Rabu, 07 November 2018

Fatma Mukijan

Tergesa aku berjalan menuju pintu masuk Stasiun Kereta Api Mojokerto, setelah dengan tergesa juga menerima karcis dari tukang parkir.

"Pak, helmnya tidak ingin dilepas dulu?" tanya pak petugas parkir, membuatku kembali berjalan balik dengan bersungut-sungut. Setelah melepas helm, dan mengucapkan terima kasih kepada pak tukang parkir. Aku memang tidak bisa mengendarai mobil, padahal di rumah ada 5 buah mewah. Dan segaja tidak kusuruh sopirku mengantarkan, karena menurut adat orang Jawa... ini harus aku lakukan sendiri. Kembali melangkah duakali lebih cepat dari langkah sebelumnya, aku bergegas menuju tempat penjualan tiket kereta api. Beberapa anak tangga, hampir tak terasakan saat kulewati. Ini semua, gara-gara Fatma istriku yang sedang hamil 5 bulan... tiba-tiba dia ngidam ingin pergi ke Jogja dengan kereta api.

"Kenapa, kita tidak naik pesawat saja sayang?" kataku menciba menawarkan sebuah alternatif padanya, "Aku takut, getaran perjalanan kereta nanti akan mengganggu kandunganmu." Dia tersenyum menatap wajahku, kemudian mengecup mesra keningku sambil berkata,

"Sayang, ini bukan permintaanku... tapi keinginan dedek bayi yang di dalam perutku ini."

Seperti biasa, aku selalu menjadi fihak yang teraniaya. Sifat Fatma yang terlampau manja, seringkali membuatku harus pandai menjaga hati... atau akan menerima akibatnya. Pernah, ketika dia memintaku mencarikan anggur muda. Saat itu memang sedang tidak musim anggur, karena tidak terpenuhi permintaannya... dia jatuh sakit.

Aku dan Fatma memang terpaut usia jauh, aku sudah 47 tahun... sedangkan dia baru 22 tahun. Kami baru saja menikah beberapa bulan yang lalu, setelah memacarinya selama dua tahun lamanya. Seorang gadis yang cantik dan baik, yang selalu hadir memberikan perhatian khusus untukku... setelah kematian istri pertamaku 5 tahun lalu. Sebelumnya, aku dan dia hanya rekan kerja disebuah perusahaan swasta. Dia menjadi Manager Personallia, dan aku hanyalah seorang Office Boy.

Suatu ketika, istri pertamaku sakit keras. Aku mengajukan cuti tahunan kepada Staf Personalia, seharusnya secara Undang Undang Ketenaga Kerjaan aku berhak... mendapat 12 hari cuti, dengan tetap digaji. Ternyata, permintaan cutiku ini menimbulkan masalah. Staf Personalia tidak berani memberikan ijin cuti sebanyak itu, dia menganjurkanku untuk menemui Manager Personalia sendiri.

Mula-mula aku ragu pergi menghadap padanya, tetapi kondisi istriku yang terkena stroke... semakin membutuhkan kehadiranku di sampingnya. Kami, memang hanya tinggal di rumah berdua saja... tanpa anak, walaupun sudah 15 tahun menikah. Bukan karena kami mandul, tetapi karena istriku memiliki riwayat penyakit jantung lemah juga ashma. Demi alasan medis, akhirnya dokter menyarankan kami untuk tidak memiliki keturunan dulu. Benar-benar tidak ada yang menjaganya saat sakit, ketika aku harus pergi meninggalkannya mencari nafkah. Keadaan ini membuatnya semakin parah, dan hari-hari hanya bisa dilaluinya dengan berbaring saja.

Akhirnya dengan nekat, aku pergi juga menghadap pada manager personalia. Dia adalah putri tunggal pemilik perusahaan, yang mempekerjakan hampir 500 orang... sebuah Rumah Pemotongan Ayam bertaraf internasional. Yang produk karkas (badan ayam utuh, tanpa kepala leher dan ceker) bekunya, sudah diekspor ke banyak manca negara. Fatmawati Siska Nadia Putri itulah namanya, setelah lulus dari Hokkaido University... dia dipercaya Tuan Sabdo Winarto ayahnya, untuk membantu beliau mengurus perusahaan pribadinya. Seorang gadis yang sangat cantik dan pintar, wajahnya mirip artis sinetron Natasya Wilona.

Pintu ruangan Manager Personalia itu kuketuk, terdengar sahutan dari dalam, "Silakan masuk!" akupun memutar knop pintunya, terlihat sekali ruangan kantor itu begitu mewah. Segar udara karena air conditioner, dan aroma harum.penyegar ruangan langsung memenuhi ringga hidungku. Bu Fatma terlihat sedang mengerjakan sesuatu dengan laptopnya, menoleh sebentar ke arahku... kemudian dia menunjuk ke arah kursi di depan mejanya,"Silakan duduk, Pak!"
Akupun mengambil tempat di depanya dengan kikuk, baru kali ini aku serasa begitu dekat dengan bu Fatma. Entah mengapa, tiba-tiba aku menjadi salah tingkah... setelah menyadari bahwa, ternyata wanita itu hanya mengenakan kaos putih ketat melekar di tubuhnya.

"Ada apa, Pak? Maaf, siapa nama Bapak?" pertanyaan bu Fatma membuyarkan lamunanku, dengan terbata-bata menciba menjawabnya,"Saya Mukijan, Bu .. ofice boy" jawabku datar.

"Ada kepentingan apa, Pak?"

"Begini, Bu. Saya sudah menghadap bu Partiyah staf personalia, ingin mengajukan cuti tahunan saya... tetapi beliau tidak bisa memberikannya, diminta menghadap bu Fatma tentang hal ini" bu Fatma menolehku, kemudian menutup laptopnya.

"Memang, Pak Mukijan minta cuti berapa hari?"

"Semua hak cuti saya falam.setahun kerja ini, Bu" jawabku ragu.

"Pak Mukijan, perusahaan ini sedang giat-giatnya memenuhi permintaan pasar. Semua karyawan, termasuk saya sendiri pun berkewajiban untuk memaksimalkan kerja. Ini tidak main-main, menyanfkut profesionalitas perusahaan dipertaruhkan. Saya memang instruksikan kepada seluruh karyawan, agar tidak dulu mengambil hak cuti mereka dalam bulan ini. Bapak belum mengetahui instruksi saya?"

"Sudah tahu, Bu. Tapi istri saya terkena stoke, Bu. Di rumah, tidak ada yang menjaga dan merawatnya. Saya minta cuti, karena ingin membawanya pulang ke desa. Disana banyak keluarga istri, yang bisa saya mintai tolong merawat dan menjaganya" jawabku dengan mencoba memancing rasa iba di hatinya.

"Jika Bapak memaksa untuk cuti, sekalian saja saya sodorkan surat pengunduran diri Bapak. Saya akan cari penggantinya besok, banyak kok yang akan dengan senang hati menggantikan posisi Bapak!" nada bu Fatma terdengar mulai meninggi, aku pun masih berusaha meminta pertimbangannya,"Tolonglah,, Bu. Ijinkan saya mengantarkan istri ke rumah orang tuanya, karena sakitnya semakin parah."

"Sudah-sudah, tidak ada gunanya membahas masalah ini. Sekarang pilih salah satu, tetap masuk bekerja... atau saya minta bu Partiyah menyidorkan surat pengunduran diri Pak Mukijan! Sekarang silakan keluar, saya sedang banyak pekerjaan!" katanya sambil menunjuk ke arah pintu ruangan itu. Aku pun segera beranjak dari hadapannya, bahkan lupa mengucapkan salam padanya.

Dua hari setelah kejadian itu, Mursini istriku meninggal dunia. Pak RT mengirim kabar ke perusahaan, dari superfisor OB aku mendengar itu. Aku lanhdung pingsan saat mendengarnya, sehingga aku pun harus di antarkan Ambulan perusahaan pulang ke rumah. Dari Pak Bari superfisorku, aku mendengar bu Fatma menyetujui pengambilan cuti tahunanku... 12 hari penuh, ditambah 2 hari cuti tambahan. Tapi untuk apa semua itu sekarang?

Dua minggu setelah masa cutiku berakhir, aku bersiap masuk bekerja kembali. Masih kusempatkan memandangi foto Mursini, dan mengucapkan kata-kata yang selalu kuucapkan sebelum pergi bekerja,"Aku berangkat bekerja ya, Sayang!" mengecup keningnya, dan berangkat bekerja.

Suasana baru di kantor setelah hampir dua minggu kutinggalkan, menjadi sesuatu yang asing bagiku. Tidak seperti biasanya, para staf biasanya mengomentari kedatanganku. Kini mereka nampak sangat menaruh hormat padaku, bahkan teman seprofesiku pun bersikap aneh... mereka tidak menggodaku dengan kata-kata. Pak Bari mendatangiku dengan tergopoh-gopoh,"Pak Mukijan. Bu Fatma sudah menunggumu di kantornya, segeralah menemuinya" katanya.

Entah mengapa, seperti mandah saja aku mendengar perintahnya. Berjalan, menuju ruangan Manager Personalia di lantai 3. Aku pun segera mengetuk pintu sesampainya disana, tidak ada sahuran seperti biasanya. Tapi aku mendengar suara hihill yang tergesa berjalan mendekati pintu, lalu daun pintu itu dibuka dari dalam. Tersembullah wajah bu Fatma di antaranya, tersenyum padaku.

"Silakan masuk, Pak Mukijan," katanya lembut... seraya menuntunku ke arah kursi lobby, bukan ke arah meja kerjanya.

"Bagaimana keadaan Bapak, apakah hari ini sudah siap bekerja lagi?" tanyanya yang duduk di sebelahku, aku tersenyum... keadaan seperti apa yang coba ingin dia ketahui dariku?

"Alhamdulillah saya baik-baik saja, Bu. Saya juga sudah siap bekerja seperti semula" jawabku mantap. Tiba-tiba kulihat perubahan air muka bu Fatma, sebentar kemudian kedua matanya berkaca-kaca.

"Saya merasa sangat menyesal, karena tidak memberikan ijin cuti pada Pak Mukijan. Sehingga istri bapak akhirnya meninggal, saat bapat sedang melaksanakan perintah saya..." sekarang wanita itu benar-benar sudah meneteskan air matanya, mengalir di sepanjang lekuk pipinya.

"Bu Fatma... kematian istri saya sudah menjadi kehendak Alloh, jodoh, rejeki, kematian, adalah mutlak kewenangan Alloh... bukan dikarenakan siapapun. Sudah waktunya saya kehilangan istri saya, Bu" kataku sambil menatap ujung sepatu bututku.

"Nikahilah saya, Pak. Sebagai pengganti istri bapak yang sudah tiada..." bagai terdengar geledek di siang hari, aku terkejut setengah mati. Aku memandangi wajah wanita cantik itu dengab hawatir, mengura sesosok magluk ghaib mungkin sedang merasuk disana.

(BERSAMBUNG)

4 komentar:

Wakhid Syamsudin mengatakan...

Cerita ngawur ini. Tapi seru deh. Wkwkwk!

Wakhid Syamsudin mengatakan...

Eh, awas saja kalau sampai tidak dibuat lanjutannya!

HAW mengatakan...

Yaampun Pak Wiinnn ftv banget ini ceritanyaa 😂😂😂😂😂
Btw si fatma mulai kerja dari usia berapa paakk masih 20 awal udah jadi manajer personalia aja. Ehh iya anaknya Pak Sabdo Winarto mah bebas yaaa 😆😆😆😆😆

FathinFar mengatakan...

Mukijan! wkwkwkw

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...