Senin, 29 Oktober 2018

Pergi Meninggalkannya

"Egois!"
"Kamu yang Egois!"
"Percuma berdebat denganmu! Lebih baik kita putuskan hubungan ini!" seru Elviranissa, sambil mencoba membuka handle darurat pembuka pintu mobil itu.
Daud terkejut dengan kenekatan wanita itu, mobil ini bisa terguling jika pintu itu terbuka. Perbedaan turbulence pada mobil yang melaju kencang itu, bisa menyebabkan perbedaan tekanan udara di dalam mobil.
Segera lelaki itu memelankan laju Ferrarinya, kemudian menghentikannya di pinggir jalan. Menekan knop pembuka pintu otomatis mobil itu, membiarkannya keluar... pergi meninggalkannya.

Kamis, 25 Oktober 2018

Apakah Kalian Barisan Orang Suci Yang Mewakili Tuhan?

siapa lagi yang kau pandang dengan tatapan jijik hari ini?
sekumpulan orang yang sedang mencari nafkah...
dengan berkesenian... yang kau anggap budaya setan?
lalu menghakimi jalan hidup yang mereka pilih... mendeskreditkan langkah keimanan mereka palsu...

kalian siapa?
sebarisan orang suci yang mewakiki Tuhan Yang Maha Esa?
sehingga berhak mengatakan kalian penghuni surga... mereka penghuni neraka?
jika mengenal surga neraka pun dari katanya... mana boleh merasa sudah melihatnya?

belajarkah dari ilmu pengetahuan... bukan dari sastra
alam tercipta dari tahun yang tidak terhingga...
kehidupan terlahir dari masa yang tidak terkira...
jauh sebelum agama mengenalkan adam dan hawa konon asak muasal manusia (?)

damai di bumi tercapai dari peperangan... dari ketidak akuran... dari selaksa perbedaan
bukan keyakinan yang mempersatukan kebersamaan... persatuan..  kerukunan... tetapi keanekaragaman...

engkau memilih jalan kebenaranmu... mereka memilih kebenaran mereka...
biarkan... karena itu yang seharusnya... itu yang semestinya... itu yang selayaknya...
jadi berhentilah...
menganggap dirimu dan keyakinanmu sebagai kebenaran mutlak...
mereka salah...
kebenaran tidak bisa ditentukan oleh satu ajaran saja... tetapi oleh hukum yang disepakati dari ketidak setaraan

sungguh kalian tidak berhak... mengatasnamakan kaum yang paling sempurna...
kalian tidak berhak menganggap kaum lain sebagai golongan dari iblis laknat...
belajarlah dari merwka yang engkau cibirkan dan mereka diam...
mereka bukan biang dari yang kalian anggap sebagai pencemaran iman...
tapi kalianlah yang ingin menghancurkan kebersamaan... mengatasnamakan keimanan...

Politik Di Samping Kopi Dan Goreng Pisang (Essai)

Di Indonesia, akhir-akhir ini terjadi semacam gerakan pemaksaan kehendak dalam ranah agama. Berbeda sedikit: haram, kafir, bid’ah. Korbannya dari mulai para ulama yang dikafirkan, sampai para penjual makanan yang dipaksa tutup di bulan Ramadan dengan cara-cara kekerasan.

Sebetulnya gerakan fasistik seperti ini, tidak hanya didominasi oleh gerakan keagamaan. Tetapi juga oleh gerakan kiri, atau mudahnya gerakan orang-orang yang ingin membebaskan rakyat dari belenggu penindasan. Mereka bisa jatuh dalam mental seakan paling benar, paling keren, paling berhak mengaku kiri. Sementara yang lain tersesat, korup, kolaboratis, parlementaris, gradualis, dan macam-macam tuduhan yang lain.

Padahal jika dilacak benar, orang yang gemar menuduh seperti itu, belum tentu punya perilaku politik yang baik, belum tentu punya tabiat moral yang bisa dipertanggung jawabkan. Dulu, Lenin punya istilah untuk orang-orang seperti itu yakni ‘kiri kekanak-kanakan’. Tapi supaya punya konteks kekinian dan keindonesiaan, saya memberi istilah berbeda: kiri taman kanak-kanak.

Supaya mudah dimengerti, dan mudah untuk memindai, berikut ini ciri-ciri orang... atau lembaga yang punya watak kiri taman kanak-kanak, seperti:

Dia yang Benar, yang Lain Sesat

Dalam hal mengambil pilihan isu, strategi perjuangan, dan bentuk organisasi, orang atau lembaga yang kena penyakit "kiri taman kanak-kanak" ini merasa paling benar sendiri. Padahal pilihan isu, strategi, dan bentuk organisasi selain berdasarkan atas analisis situasi, juga berdasarkan atas kapasitas, letak, dan domain lembaga tersebut.

Di era seperti ini, di zaman kapitalis mutakhir, ada ratusan isu yang harus direspons. Semua orang atau lembaga bisa fokus pada isu masing-masing, sesuai dengan konteks lokal dan kelembagaan: perempuan, buruh, ekologi, pertanian, pemberantasan buta huruf, ekonomi mikro, pemberdayaan masyarakat adat, penyadaran sejarah, dll. Banyak sekali. Seseorang atau sebuah lembaga tidak bisa memaksa atau menyalahkan isu yang diambil oleh orang atau lembaga lain.

Demikian juga dalam berbagai strategi advokasi. Ada beragam cara. Semua sesuai dengan konteks, level, dan proses yang telah dijalani. Ada kiat-kiat bernegosiasi dengan situasi. Tidak perlu dikafir-kafirkan, disalah-salahkan. Yang paling tahu strategi yang tengah dijalani sebuah lembaga adalah lembaga itu sendiri. Tidak usah sok tahu. Sebab risiko dan apapun yang bakal terjadi, dialah yang akan menanggungnya.

Main Fitnah, Suka Desas-Desus, Hobi Ngerumpi

Karena punya pemahaman bahwa lembaga lain adalah salah dan lembaganya yang paling benar, maka metode propaganda yang dilakukan biasanya lewat fitnah, desas-desus, dan rumpian kosong. Hobi sekali ngomongin kejelekan lembaga lain. Konsisten sekali memfitnah teman sendiri. Adol jare kulak jare. Mendengar dari orang, tidak diverifikasi, diolah sendiri, digoreng, diedarkan ke mana-mana sebagai sajian gosip.

Padahal di dalam strategi besar sebuah perang, ada adagium: perkecil musuhmu, perbanyak kawanmu. Lembaga yang berpotensi untuk diajak berkolaborasi mestinya diapresiasi. Bersinergi. Kalau ada masalah: didatangi. Tabayyun. Kalau ada waktu senggang: bersilaturahmi. Bukannya malah dijelek-jelekkan dan difitnah. Kalau seperti itu yang terjadi, maka yang terjadi justru: memperkecil kawan, memperbanyak lawan. Bodoh pakai kuadrat.

Selalu Meninggalkan Sampah Persoalan

Dengan tabiat politik seperti itu, maka wajar jika di mana-mana orang atau lembaga yang punya watak "kiri taman kanak-kanak", akan selalu menyisakan persoalan. Pohon yang kuat tumbuh di atas tanah yang subur. Lembaga yang baik dibangun dengan pondasi moral yang kokoh. Maka sebetulnya mudah melihat, menerka, memindai, lembaga atau orang yang punya sifat seperti itu. Bagaimana rekaman jejaknya di masa lalu. Siapa saja yang jadi korban. Pernah menipu siapa saja. Sampah apa saja yang ditinggalkan. Dan lain-lain. Truk sampah akan mudah meninggalkan jejak. Mudah mengenalinya. Gampang mencium baunya.

Tidak akan Besar

Lha ya bagaimana bisa berkembang besar kalau perilakunya seperti itu. Sehingga apa yang mereka lakukan seperti percobaan membangun rumah pasir. Dibangun, ambruk. Dibangun lagi, ambruk lagi. Ya pasti ambruk. Letak dan caranya sudah keliru sejak awal. Mereka merekrut orang-orang baru karena orang-orang lama sudah ditendanginya. Orang-orang baru itu pun kelak akan ditendangnya. Satu-satunya cara agar bisa besar adalah masuk ke sarang lebah dan kalajengking.

Besar Suara daripada Daya

Karena dayanya lemah, salah satu hal yang paling mudah untuk memompa eksistensinya adalah bersuara besar. Pokoknya teriak. Lantang. Sampai serak. Lalu lemas. Besok kalau suara sudah pulih, teriak lagi, bersuara lagi, lantang. Lemas. Begitu seterusnya.

Lalu orang-orang yang sering mendengar teriakan itu, akan saling berbisik dan melantunkan doa. Supaya, golongan kiri taman kanak-kanak itu cepat insyaf. Kalau tidak insyaf juga, kita cukup menertawakannya. Atau ditoleh sesekali, keanehan mereka jadikan hiburan. Dijadikan tontonan di kala senggang, bersanding kopi dan goreng pisang.

Rabu, 24 Oktober 2018

Ki Demang Wonowoso (Bagian I)

Ki Wonowoso tampak berjalan kesana-kemari, mondar-mandir di teras depan rumahnya. Hal ini, menimbulkan rasa heran di hati istrinya. Dari arah dapur Nyai Wonowoso mendekati suaminya, sambil membawa minuman hangat di wadah bambu.

"Kenapa kelihatannya gelisah sekali, Ki? Seperti, sedang menunggu kedatangan seseorang saja?" tanyanya sembari duduk di dipan bambu, setelah meletakkan minuman yang di bawanya tadi. Yang ditanya pun segera menghentikan kegiatannya, kemudian duduk di samping tubuh istrinya. Mengambil wadah bambu yang berisi minuman, perlahan menyeruputnya dengan nikmat. Kopi bumbung (gelas dari bambu) memang beraroma khas, perpasuan aroma kopi dan bau bambu yang  tiada duanya.

"Kemarin, aku menyuruh Suro Dhaplang pergi menemui Nyai Dhadhap Alas. Mestinya, semalam dia sudah kembali. Aku sedang menunggunya, untuk mendengar khabar darinya" kata lelaki tua itu, sambil sesekali menyeruput minumannya. Dan tiba-tiba saja, pandangannya terantuk pada bayangan seseorang yang dikenalnya. Orang yang ditunggunya dengan penuh kegelisahan, Suro Dhaplang.

"Saya sowan,Ki Demang!" seru Suro Dhaplang, ketika langkah kakinya semakin dekat. Kedua telapak tangannya terkatup di depan dadanya, menghaturkan sembah dan salam. Ki Demang Wonowoso segera berdiri, menyambut anak buahnya itu.

"Duduklah!" serunya, sambil memberi isyarat pada istrinya untuk pergi dari tempat itu.

"Aku ke dalam dulu, Plang. Tunggu, akan kubuatkan minuman untukmu" kata Nyai Wonowoso, sambil berlalu dari tempat itu. Suro Dhaplang pun mengangguk, tak lupa menghaturkan sembah dan salamnya.

"Bagaimana khabar Nyai Dhadhap Alas? Apa, sudah kau sampaikan pesanku padanya?" tanya Ki Wonowoso.

"Nyai Dhadhap Alas baik-baik saja, Ki. Murid-muridnya semakin banyak, mereka datang dari sekitaran Gunung Pananggungan, dari Pasuruhan (Pasuruan), bahkan ada beberapa orang Putro Sentono (putra pejabat) dari Majapahit, Ki. Beliau menitipkan salam, untuk Ki Demang dan keluarga" jawab Suro Dhaplang takzim, dia menunduk hormat... ketika Nyai Wonosobo datang, mengantarkan minuman kepadanya.

" Minumlah dulu minumannya, selagi hangat. Bagaimana khabar istrimu Sendani? Sudah lama dia tidak pernah kau ajak datang kemari, Plang?" tanya Nyai Wonowoso. Yang ditanya pun tersenyum, menyeruput minuman yang disuguhkan..  sebelum akhirnya menjawab pertanyaan dari Nyai Demang Wonowoso.

"Dia baik-baik saja, Nyai. Tetapi, saat ini dia sedang berada di rumah orang tuanya... berkunjung saja, sekalian mengirimkan sedikit hasil panenan kami, Nyai"

"Sudah... pergilah ke dapur sana, Nyai. Ada hal penting, yang harus aku bicarakan dengannya" mendengar kata-kata suaminya, perempuan 45 tahun itu pun segera melangkah pergi tanpa sepatah kata. Dia sudah hafal, jika suaminya berkata seperti itu... pastilah, memang ada sesuatu yang penting yang ingin mereka bicarakan.

"Lalu, bagaimana tentang permohonan bantuanku padanya?" tanya Ki Wonowoso, wajahnya tampak sangat serius sekali.

"Sudah saya sampaikan padanya, Ki. Dia sangat bersemangat, membantu Ki Demang dan Desa Wonowoso ini. Sebenarnya pun, saya turun dari Padepokan bersama 2 orang muridnya... Adhi Noroyono, dan putri Nyai Dhadhap Alas yang bernama Titisari" wajah orang tua itu tampak sangat terkejut, mendengar jawaban bawahannya itu. Dia segera berdiri, matanya berkeliling mencari yang dimaksud oleh Suro Dhaplang itu. Melihat hal ini, Suro Dhaplang pun segera memberi isyarat pada Ki Lurah, untuk segera duduk kembali.

"Mereka berdua masih mendapatkan tugas dari Nyai Dhadhap Alas, untuk menyampaikan pesan kepada Ki Anjar Sawahan, juga kepada Ki Danyang Buto. Mungkin, nanti malam mereka baru sampai di desa kita, Ki"

"Dhanyang Buto?!" lelaki tua itu sangat terkejut, mendengar nama yang sangat dibencinya itu.

Sebenarnya, antara Nyai Dhadhap Alas, Ki Anjar Sawahan, Ki Dhanyang Buto, dan dirinya... adalah empat sekawan, yang tanpa sengaja dipertenukan oleh keadaan. Duapuluh tahun yang lalu, ketika terjadi pemberontakan di Katumenggungan Barebek... saat itulah, mereka bertemu untuk yang pertama kalinya. Saat itu KRT.Hiro Sentono yang menjabat Tumenggung, sedang menghadapi pemberontakan dari adik tirinya Demang Arjoso, yanf dibantu oleh Tumenggung Pepajeng Dari Bojonegoro.

Tumenggung Hiro Sentono, meminta bala bantuan dari beberapa Padepokan (perguruan) yang ada di sekitar Katumenggungan Barebek, selain dari ratusan bala bantuan dari Keraton Mataraman Madiun. Dari lereng Gunung Wilis, Padepokan Sawahan mengirimkan Sosrowojo... yang sekarang beegelar Ki Anjar Sawahan, bersama dengan seratus murid terbaiknya . Dari lereng Gunung Penanggungan Pasuruhan,  padepokan Dhadhap Alas... mengirimkan Endang Sukesi, yang sekarang menjadi guru besar di Padepokan Dhadhap Alas, bersama sepuluh irang pasukan pemanah. Dari Gunung Renteng, padepokan Dhanyang Buto mengirimkan murid terbaiknya... Waroko, yang sekarang bergelar Ki Dhanyang Buto disertai sepuluh orang pasukan Buto Geni (penguasa api) . Sementara dari padepokan Gunung Pandan, mengirimkan dirinya... Sujiwo, bersama limapuluh ahli kanuragan.

Pemberontakan yang berlangsung tiga minggu lamanya pun, dapat diredam dan dihancurkan. Para pemberontak kocar-kacir, melarikan diri ke hutan-hutan. Demang Arjoso yang memberontak dapat diringkus, kemudian diganjar hukuman mati di alun-alun Barebek. Istri dan anak Demang Arjoso, dikembalijan ke rumah orang tuanya di Bojonegoro.

Kenapa Demang Wonowoso begitu membenci Waroko, alias Ki Dhanyang Buto... itu karena kisah percintaannya di masa lalu. Ketika masa pemberontakan, Sujiwo jatuh cinta kepada seorang Abdi Dalem (dayang) Katumenggungan yang bernama Warsini. Mereka saling mencintai, dan bermaksud membangun rumah tangga seusai pemberontakan.
Tetapi, diam-diam Waroko juga mencintai Warsini. Dia mencari cara,  untuk menghancurkan hubungan Sujiwo dan Warsini. Hingga suaru ketika, Waroko menghembuskan khabar kepada Warsini. Dia memfitnah Sujiwo memiliki hubungan asmara dengan Endang Sukesi, Warsini pun marah dan memutuskan hubungan mereka. Akhirnya Waroko dapat memiliki hati dan jiwa Warsini. Tetapi wanita itu meninggal, ketika melahirkan anak pertamanya. Setelah 29 tahun mencoba menjaga jarak, kenapa Endang Sukesi ingin mempertemukan mereka kembali? (Bersambung)

Ki Jambak Rikmodowo

Jelaslah ini bukan nama yang sebenarnya, karena dari artinya sungguh sangat menakutkan. Ki Jambak Rikmodowo, itu artinya orang tua yang menjambak rambut panjang.Rambut siapa yang dijambaknya? Karena orangnya sendiri tidak berambut panjang. Kalau maksudnya itu menjambak rambut panjang orang lain, bukankah itu suatu perkara? Siapa, yang mau dijambak rambut panjangnya oleh orang tua itu? Pasti orangnya akan marah, bisa-bisa kena pasal kriminal penganiayaan.

Pasti bukan itu maksudnya, kan kita juga mengenal sebuah nama legendaris Ki Hajar Dewantara. Dan seperti kita tahu, beliau bukan orang yang suka menghajar orang lain. Tetapi, beliau dikenal sebagai pengajar yang juga seorang Pahlawan Nasional.

Ki Jambak Rikmodowo, sebenarnya adalah nama samaran sang penulis. Dia juga sering menggunakan nama samaran Ki Bawuk Mangunhasmoro, atau Otraniw Sam, Chuck Win (Cak Win), Must Win (Mas Win), dan Fuck Win (Pak Win). Dan nama samaran yang terakhir inilah, yang sering bermasalah dengan tim redaksi. Karena dianggap tidak patut, dan atau tidak layak untuk di publikasikan. Hadhuh, padahal naskah yang dikirim sangat diinginkan mereka. Untuk pengiriman naskah anak-anak atau tinlit di majalah dia memakai nama samaran Winaruto. Agak narcis sih orangnya, padahal tampangnya tidak necis sama sekali.

Nah kembali kepada nama Ki Jambak Rikmodowo, ini ternyata ada kaitanya dengan fetish yang disandangnya. Ya, penulis adalah seorang long hair fetisher (penggemar rambut panjang) dan juga seorang long hair lover (penyuka/pecinta rambut panjang). Menggemari dan mencintai rambut panjang, rambut panjang wanita tentunya. Karena dia malah eneg kalau melihat pria berambut panjang. Sempat muncul satu pertanyaan membingungkan. Penulis itu suka rambut panjang wanita, atau suka wanita berambut panjang? Sepertinya, alternative pertama yang tepat untuk menjawab kepribadiannya. But he love woman with long hair,  tetapi dia mencintai wanita yang memiliki rambut panjang. Cinta yang bagaimana?

Sebenarnya lebih tepat disebut "pengagum" darpada "pecinta", selama tidak didasarkan pada pengertian nafsu. Tetapi bukankah akan selalu terkait, antara cinta, kagum, dan nafsu? Entahlah, mungkin tidak patut alasan itu di share dalam tulisan ini. Hubungannya dengan Jambak Rikmodowo akhirnya terpecahkan, penulis itu suka gemas kalau lihat rambut panjang wanita. Pengen ngelus, pengen nyiumin, pengen menjambak manja gimana gitu lah.

Apakah Ki Jambak ini akhirnya menjadi  anti trondhol? (bhs.jawa: berambut pendek). Tentu saja tidak, buktinya dia jatuh cinta kepada wanita berambut pendek. Kalau ini jelas menyalahi fetish-nya dong, masa pengagum wanita berambut panjang malah jatuh cinta pada wanita berambut pendek? Apakah ini sebuah karma? Tentu saja tidak, karena cinta yang ini bukan sekedar nafsu semata. Ada segumpal hati disana, yang membuatnya harus dan wajib mencintai wanita ini. Yaitu "ahlak mulia" seorang muslimah.

Tidakkah seorang wanita berambut panjang, juga bisa saja berahlak karimah? Ah, mana bisa disebut ahlukul karimah, kalau setiap hari dia pamerin rambut panjangnya. Tidak berhijab seperti kekasih penulis ini, dari satu hal itu saja sudah bisa dibedakan mana yang ahlakul karimah.

Bagaimana, apakah sudah dapat menarik benang merah dari uraian singkat nan sederhana di atas? Hubungan nama Ki Jambak Rikmodowo, dengan kegemarannya pada rambut panjang? Sangat simple dan gampang dimengerti kan? Nah, sekarang mari kita mencoba mengurai benang merah dari nama samaran penulis berikutnya, yaitu Ki Bawuk Mangunhasmoro.

(BERSAMBUNG)

Selasa, 23 Oktober 2018

Anniversary Testpack

Cempluk membuka pintu kamarnya dengan tergesa, lalu menutupnya dengan keras setelah dia di dalamnya. Membanting tubuhnya di atas kasur, dan menangis terisak dengan wajah terbenam di bantal. Beberapa pintu kamar, di sekitar kamar itu terbuka hampir bersamaan. Beberapa kepala tersembul dari dalamnya, saling berpandangan satu dengan lainnya.

"Ada apa?" tanya Cipluk penghuni kamar 19, dia bertanya kepada Ciput... penghuni kamar nomor 19, yang bersebelahan dengan kamar 21, kamarnya Cempluk. Ciput keluar dari kamarnya... perlagan mendekati kamar Cempluk, kemudian dengan hati-hati mengetuk pintu kamar itu.

"Pluk... Cempluk... Kamu kenapa, Pluk?" agak terbata dia memanggil, karena dari balik pintu dia mendengar isakan, "Pluk... Buka dong pintunya sebentar... Kamu baik-baik saja, kan?"

"Iya Put, aku baik-baik saja... tinggalkan aku sendiri, Put. Aku hanya ingin sendiri saja, Put" terdengar jawaban Cempluk dari dalam kamarnya, suaranya tetdengar serak dan berat. Ciput pun tanpa sadar mengangguk, sambil meninggalkan pesan pada Cempluk sebelum.pergi ke kamarnya lagi, "Kalau butuh apapun, kamu ketuk saja kamarku ya Pluk" meskipun tak terdengar jawaban dari sananya.

Cempluk, Ciput, Cipluk, dan beberapa orang lagi... adalah penghuni kamar kontrakan (kosan) itu. Kosan khusus putri, yang dititip kelolakan oleh pemiliknya... kepada seorang lelaki, mereka memanggilnya Pak Siman. Pengelola, dan juga pengawas kos-kosan, yang berpagar besi setinggi dua meteran itu. Sedangkan pemilik kos-kosan itu ada di Jakarta, seorang wanita... yang konon adalah, kekasih gelap duda 47 tahun itu.

Cempluk masih terisak, tetapi kali ini dia sudah telentang memandang langit-langir kamarnya. Terdengar nada notifikasi whatsapp dari gawainya, dia membacanya... kemudian membalasnya. Lalu matanya melihar ke arah testpact, yang tergeletak di meja riasnya. Alat itu menunjukkan, bahwa dirinya hamil. Itu yang membuatnya menangis tadi, terbayang betapa akan murkanya kedua orang tuanya... jika mereka mengetahui, anak semata wayang mereka hamil tanpa suami.

Ya... Cempluk memang hamil, dan satu-satunya lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas kejadian ini adalah... Winarto Sabdo, lelaki bangsat yang tiba-tiba entah kemana. Menghilang tanpa jejak, tanpa pesan, seperti lenyap ditelan bumi... sebelum sempat Cempluk mengabarkan tentang kehamilannya ini, lelaki itu tidak dapat dihubunginya lagi. Nomor gawainya tidak aktif, WA, Facebook, Line, G+, dan beberapa akun media sosialnya, semua tidak aktif. Apakah dia melarikan diri darinya? Berencana membebankan aib ini pada dirinya sendiri? Lalu mana bukti dari janji manisnya, saat merayunya melepaskan kesuciaanya di kamar hotel itu? Dimana sumpahnya yang selalu dia ucapkan, untuk akan bertanggung jawab kepadanya, bersedia menikahinya... setiap kali dia mengajak mengulangi, mereguk nikmatnya surga duniawi.

Hotel Tretes Raya, Hotel Surya, Hotel La-Syuga, dan beberapa tempat lainnya menjadi saksi... ketika dia selalu bersumpah untuk menikahinya.Kamar kontrakan ini, kamar kontrakan dia. Di kebun teh Penanggungan, di rumah pohon Taman Dayu, di tempat itu selalu dia membisikkan kata rayuannya... sebelum cumbu rayu menembus samudrasmara. Lalu sekarang, dimanakah lelaki yang selalu memberinya janji-janji indah itu berada? Tidakkah hatinya bersuka ria, karena dia sedang mengandung calon keturunannya?

Fikirannya sangat kalut, antara perasaan takut pada orang tuanya, perasaan malu pada teman sejawatnya, rasa kecewa, dan sesal yang menyesak di dada... dia mulai berfikir untuk mengakhiri saja hidupnya, dia akan bunuh diri.
Disambarnya sebuah gunting, lalu dia berancang-ancang... mengarahkan gunting itu ke arah ulu hatinya. Tetapi dia urungkan gerakannya, dia pandangi gunting kecil di genggamannya. Gunting pemotong kuku ini takkan bisa melukai kulitnya, mungkin hanya menyebabkan lecet saja... dan Cempluk benci luka, benci rasa sakit dan perihnya. Tiba-tiba dia ingat sesuatu, mungkin minum racun serangga yang tidak menyakitkan. Dia mencari-cari dengan seksama, disepanjang lekuk kamar itu. Tidak ditemukan apa pun yang dicarinya, boro-boro racun serangga... lotion pengusir nyamuk saja dia tidak punya.Apa harus membeli dulu di warung ujung jalan sana? Atau minum saja cairan deodoran? Apa iya bisa mati, kalau cuma dapet pahitnya saja? Ditengah kebingungannya, dia dikejutkan oleh suara.

Bunyi dering gawainya yang sangat nyaring terdengar, membuyarkan segala rencananya mengakhiri hidup. Diambilnya gawai yang terus-menerus berdering itu, dilihatnya foto  si pemanggil... Cemplon, teman sejawatnya di kantor.

"Hallo!"
"Hallo! Ada apa menelponku, Plon?"
"Eh... Sableng lu ya... main ambil tespack orang sembarangan!"
"Maksudnya apa, Plon?"
"Tespack yang lu bawa pulang itu punya gue! Nih punya lu, tertinggal di meja kantor... dasar sableng lu!" kata yang di seberang dengan nada berang, "Gue sampai bertengkar sama suami, gara-gara tiba-tiba jadi gak hami... padahal pagi tadi indikasi-nya hamil!"
"Jadi yang hamil elu, Plon?. Bukan gue?" tanya Cempluk mulai nampak kegirangan
"Eh, Pluk! Elu hamil sama siapa?!" terdengar suara dari seberang sana, dihiraukannya...
"Hai sableng!... kembaliin tespack gue!..."

Cempluk menari-nari dalam kamarnya, hilang sudah rasa was-was di hatinya. Ternyata, dia salah membawa pylang tespack orang yang sedqng hamil... temannya yang hamil, bukan dia. Tetapi, kenapa si brengsek Winarto Sabdo itu tidak bisa di hubunginya juga? Apa dia sudah melupakannya, dan sekarang mungjin sedang mencumbu seseorang di suatu kamar hotel?. Terdengar, suara pintu kamarnya diketuk dari luar. Buru-buru, dia membenahi penampilannya yang acak-adul itu. Setelah pintu terbuka, terlihat wajah orang yang sangat dihawatirkannya itu tersenyum padanya.

"Selamat malam, sayang" selalu kata itu yang meruntuhkan ketangguhannya, dia kehilangan akal untuk mencaci-maki kekasihnya itu. Padahalnseharian tidak bisa dihubungi, dan dia muncul kemari dengan senyuman.

"Kamu habis menangis, ya? Kenapa?" tanya kekasihnya dari tempatnya berdiri,"Kamu lupa ya... hari ini kita merayakan anniversary pertama kita?" kata lelaki iru lembut, dan entah kenapa tangisnya tiba-tiba saja keluar.

"Kenapa seharian tidak bisa dihubungi, ha?!... seneng bikin aku kawatir, aku nangis karena aku bingung tau!" kata Cempluk dengan marah yang manja.

"Gawaiku ada padamu, sayang. Di kunjungan terakhir kemarin kesini, bukannya dia tertinggal disini? Jangan-jangan tidak kamu charge ya? Wah... lowbatt dong, sayang?!"
"Ya ampuuun... aku baru mengingarnya! Benar, aku lupa tidak mengisi dayanya... mana seharian tadi aku coba menghubunginya, dan aku marah karena gawaumu tudak aktif," Cempluk menutup wajah ayunya, dengan kedua telapak tangannya sendiri, "Maafkan, sayang... aku telah berprasangka buruk padamu!"

Winarto Sabdo segera merengkuh tubuh kekasihnya itu, ke dalam pelukan dan dekapan mesranya. Membelai rambut panjang kekasihnya dengan mesra, seraya membisikkan sebuah kalimat di telinganya:

"Happy Anniversary, sayang" dan tangis bahagianya oun pecah berderai, tangis kebahagiaan, tangis kebanggaan, tangis kesuka citaan. Dalam hatinya pun, tulus mengucapkan satu kata "Happy Anniversary Cinta"

Cindelaras

Pada jaman dahulu, tersebutlah sebuah kerajaan besar di kawasan Kabupaten Kediri pada saat ini. Nama kerajaan itu adalah Jenggala, dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raden Putra. Ia didampingi oleh seorang Permaisuri yang baik hati, serta seorang Selir yang memiliki sifat iri dan dengki.

Raja Putra dan kedua istrinya, hidup di dalam istana yang sangat megah dan damai. Hingga suatu hari, selir raja merencanakan sesuatu yang buruk pada permaisuri raja. Hal tersebut dilakukan karena selir Raden Putra ingin menjadi permaisuri.

Selir baginda lalu berkomplot dengan seorang Tabib istana, untuk melaksanakan rencana tersebut. Selir baginda berpura-pura sakit parah. Tabib istana lalu segera dipanggil sang Raja. Setelah memeriksa selir tersebut, sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah menaruh racun dalam minuman tuan putri.

"Orang itu, tak lain adalah permaisuri Baginda sendiri," kata sang tabib. Baginda menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana. Ia segera memerintahkan patih untuk membuang permaisuri ke hutan dan membunuhnya.


Sang Patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke tengah hutan belantara. Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuh sang permaisuri. Rupanya sang patih sudah mengetahui niat jahat selir baginda. "Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan kepada Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh," kata patih.

Untuk mengelabui raja, sang patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya. Raja merasa puas, ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.
Setelah beberapa bulan berada di hutan, sang permaisuri melahirkan seorang anak laki-laki. Anak itu diberinya nama Cindelaras.

Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan tampan. Sejak kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari, ketika sedang asyik bermain, seekor Rajawali menjatuhkan sebutir telur ayam. Cindelaras kemudian mengambil telur itu dan bermaksud menetaskannya. Setelah 3 minggu, telur itu menetas menjadi seekor anak ayam yang sangat lucu. Cindelaras memelihara anak ayamnya dengan rajin.

Kian hari anak ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang gagah dan kuat. Tetapi ada satu yang aneh dari ayam tersebut. Bunyi kokok ayam itu berbeda dengan ayam lainnya. "Kukuruyuk... tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah Alas (di tengah utan), atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra...", kokok ayam itu
Cindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya itu dan segera memperlihatkan pada ibunya.

Lalu, ibu Cindelaras menceritakan asal usul mengapa mereka sampai berada di hutan. Mendengar cerita ibundanya, Cindelaras bertekad untuk ke istana dan membeberkan kejahatan selir baginda. 

Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras pergi ke istana ditemani oleh ayam jantannya. Ketika dalam perjalanan ada beberapa orang yang sedang menyabung ayam. Cindelaras kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam.

"Ayo, kalau berani, adulah ayam jantanmu dengan ayamku," tantangnya. 

"Baiklah," jawab Cindelaras.

Ketika diadu, ternyata ayam jantan Cindelaras bertarung dengan perkasa dan dalam waktu singkat, ia dapat mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali diadu, ayam Cindelaras tidak terkalahkan.


Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat hingga sampai ke Istana. Raden Putra akhirnya pun mendengar berita itu. Kemudian, Raden Putra menyuruh hulubalangnya untuk mengundang Cindelaras ke istana. 

"Hamba menghadap paduka," kata Cindelaras dengan santun.

"Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan rakyat jelata," pikir baginda.

Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras


Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya. 

"Baiklah aku mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku. Tapi, siapakah kau sebenarnya, anak muda?" Tanya Baginda Raden Putra.

Cindelaras segera membungkuk seperti membisikkan sesuatu pada ayamnya. Tidak berapa lama ayamnya segera berbunyi. "Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra...," ayam jantan itu berkokok berulang-ulang.

Raden Putra terperanjat mendengar kokok ayam Cindelaras. "Benarkah itu?" tanya baginda keheranan.

"Benar Baginda, nama hamba Cindelaras, ibu hamba adalah permaisuri Baginda."


Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua peristiwa yang sebenarnya telah terjadi pada permaisuri.

 "Aku telah melakukan kesalahan," kata Baginda Raden Putra. "Aku akan memberikan hukuman yang setimpal pada selirku," lanjut Baginda dengan murka.

Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera memeluk anaknya dan meminta maaf atas kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan hulubalang segera menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra, permaisuri dan Cindelaras dapat berkumpul kembali.

Setelah Raden Putra meninggal dunia, Cindelaras menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana.

Pesan: Janganlah memfinah orang lain, demi untuk menjatuhkan martabatnya. Karena sesungguhnya, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.

ilustrasi: winartosabdo46.blogspot.com

Senin, 22 Oktober 2018

Life Herba Style

Bulan Oktober ini, cuaca di Kabupaten Nganjuk bisa dikatakan cukup extreme. Teriknya matahari begitu terasa menyengat kulit, karena memang musim kemarau tengah berlangsung. Karena saking panasnya cuaca, sehingga berkembang anekdot lucu di kalangan anak-anak. Jika dulu ada beberapa anak berkumpul, kemudian kita bertanya, "Sedang menunggu siapa?" mereka akan kompak menjawab, "Penjual mainan!". Tetapi sekarang... jika ada anak-anak dan ibu-ibu berkumpul, lalu kita bertanya pada mereka, "Sedang menunggu siapa?" mereka dengan penuh semangat akan menjawab, "Penjual ice cream!" karena, memang hanya makanan itu yang paling cocok dimakan/dinikmati, dalam cuaca yang sangat gerah ini.

Sementera itu, menukil dari kata-kata dalam puisi saya Kita Kumpulan Pejuang (yang ada di dalam artikel blog ini), saya "waktu takkan mau menunggumu...". Ini berkaitan dengan aktifitas kita sebagai pekerja/pejuang nafkah keluarga. Seharusnya cuaca tidak menjadi kendala dalam mengais rejeki. Mau panas atau hujan, kita harus tetap tegar mencari penghidupan yang halal. Dan tentu saja, ini membutuhkan stamina yang senantiasa kuat, dan juga vitalitas prima setiap harinya.

Untuk itulah, menjalankan gaya hidup sehat sangat dibutuhkan... tetutama untuk menjaga daya tahan tubuh kita. Olah raga setiap pagi misalnya, meskipun hanya beberapa menit saja, terbukti berpengaruh besar terhadap kesehatan. Saya biasanya melakukan joging, 10 sampai 15 menit setiap hari... minimal sampai tubuh mengeluarkan keringat. Apakah cukup dengan kegiatan itu saja? Tentu tidak. Menghadirkan menu makanan sehat yang seimbang juga perlu diperhatikan. Seperti halnya, menambah konsumsi sayur dan buah-buahan dalam pola makan kita.

Selain itu, pentingnya mengkonsumsi makanan/minuman herbal, yang bisa menambah vitalitas dan stamina  kita. Untuk minuman herbal yang praktis dan kaya manfaat, saya sudah pastikan untuk memilih varian produk dari www.herbadrinknatural.com . Seperti siang ini dengan cuaca yang sangat terik, saya sudah menyediakan Herbadrink Lidah Buaya di dalam kulkas. Herbadrink Lidah Buaya ini sangat aman dikonsumsi untuk seluruh keluarga. Bahkan untuk anda yang sedang menjalankan program diet, tidak perlu hawatir lagi dengan kandungan kalori di dalamnya. Karena Herbadrink Lidah Buaya tidak mengandung tambahan gula alias sugar free. Walaupun tanpa penambahan gula, rasa manis dari Herbadrink Lidah Buaya begitu segar terasa. Penggunaan pemanis buatan berupa sukrosa yang aman, sudah digunakan pada makanan dan minuman... di lebih dari 80 negara, termasuk Indonesia dan sudah mendapatkan lisensi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga sertifikasi halal dari MUI.
Herbadrink Lidah Buaya Sugar Free merupakan ramuan herbal yang dibuat berdasarkan resep tradisional Indonesia dan diproses melalui tehnologi modern. Diolah dari bahan-bahan alam pilihan, sehingga berkhasiat untuk membantu memelihara kesehatan, fungsi pencernaan, dan membantu melancarkan buang air besar, tanpa efek samping yang mengganggu.
Untuk menambah manfaat dan kenikmatan rasanya, saya campurkan irisan lemon dan sereh dengan Herbadrink Lidah Buaya. Kemudian saya diamkan dulu di dalam kulkas, selama ± 2 jam atau bisa juga didiamkan semalaman. Buat Teman-teman yang tertarik untuk mencobanya, berikut saya sertakan resep sederhana dari Herbadrink.

Bahan:

2 Sachet Herbadrink Lidah Buaya Sugar Free

1 Buah Lemon Iris (Saya menggunakan lemon lokal/jeruk nipis)  diiris dengan ukuran kecil

1 Batang Sereh (panjang ± 20 Cm)

300ml Air (seukuran gelas belimbing)

Cara Membuat:

Teman-teman cukup mencampurkan semua bahan, kemudian aduk rata, kemudian simpan ke dalam lemari es selama  ± 2 jam, atau bisa juga disimpan semalaman.
Rasanya begitu segar, dengan aroma herbal yang khas dari Herbadrink. Khasiatnya, mampu membuat badan menjadi fresh dan menenangkan fikiran.

Oh ya, selain Herbadrink Lidah Buaya Sugar Free, saya juga mengkonsumsi Herbadrink Sari Jahe dan Herbadrink Sari Temu Lawak. Kandungan bahan alaminya, benar-benar aman, dan memberikan banyak manfaat bagi kesehatan tubuh kita. Saya sudah merasakan, manfaatnya mengkonsumsi semua produk Herbadrink.
Teman-teman bisa mencobanya, dan membuktikan khasiat alaminya, dengan tanpa harus merasa was-was. Semua produk Herbalink aman dikonsumsi, dan bersertifikasi halal.

Karena kesehatan merupakan harta yang paling berharga, jadi mari bersama-sama menjaga kesehatan. Mulailah merubah gaya hidup kita, menjadi gaya hidup yang lebih sehat.
Salam sehat untuk kita semua. Terimakasih yang sudah berkunjung di blog saya ini, dan semoga artikel ini, bisa menjadi rujukan, serta memberikan manfaat yang seluas-luasnya.

#LifeHerbaStyle
Gambar diambil dari:
www.konimexstore.com
www.herbadrinknatural.com

Diikut sertakan dalam Blog Competion, yang diadakan oleh www.herbadrinknatural.com


Minggu, 21 Oktober 2018

Antara Truk Box dan Sandal Joger (Essai)

"Truk aja punya gandengan, masa kamu yidaak? Sandal aja ada pasangannya, masa kamu tidak?”

Sumpah, itu adalah stereotipe sindiran basi untuk kaum bujangan yang pernah sangat popular dan kebetulan sering kudengar (karena memang sering ditujukan kepadaku). Sangat menyebalkan. Seolah-olah harga diriku ini jauh lebih rendah daripada truk atau sandal. Kalau difikirkan dengan seksama, sepertinya memang iya sih.

Tukang sindir yang sering menggunakan sindiran truk dan sandal ini seolah-olah ingin mengatakan kepada si tersindir: “Ini lho, Aku bisa punya pacar, kapan sampean punya pacar?”. Sepintas terdengar sangat motivatif, tapi di satu sisi, juga terdengar sangat pamer. Mentang mentang sudah punya gandengan yang segedhe truk, main sindir seenak udelnya.

Ya, aku tahu... bahwa sindiran ini hanya bermaksud sebagai bahan ledekan saja, namun jika itu kemudian ditanyakan terus-menerus, aku sebagai salah satu obyek yang sering disindir pun tentu lama-lama akan muak juga. Baper juga lah, masa tiap hari diledikin.

Seorang kawan pernah berkata kepadaku, bahwa tidak punya pasangan itu secara umum terbagi atas dua sebab, pertama karena "kepepet" dengan keadaan, alias karena memang susah dapat pacar, dan yang kedua karena "pilihan"... karena yang bersangkutan merasa nyaman dengan kesendiriannya.

Nah, menurutku, apapun sebab kebujangan seseorang, rasanya kok ya tetap ridak etis untuk disindir terus-menerus, apalagi dengan sindiran yang dengan konteks membandingkan seseorang dengan truk atau sandal.

Slow please sedikit, tak usah terlalu mengurusi status hubungan orang lain. Biarkan masing-masing pribadi menjalani kehidupan asmaranya tanpa intervensi yang tak perlu. Kalau tak bisa membantu, minimal jangan menganggu. Kalau tidak bisa bantu mencarikan, minimal jangan memanas-manasi kawan yang masih bujangan.

Lagipula, bukankah kesuksesan tak sepenuhnya dipengaruhi oleh punya atau tidaknya pasangan.

Oke, truk memang gandengan... tapi mungkin kita lupa, bahwa ada yang namanya truk box, truk yang lebih gesit dan efektive jika tanpa gandengan.

Oke, Sandal memang ada pasangannya... tapi mungkin kita lupa, bahwa di jagad persandalan, ada yang namanya Sandal Joger. Sandal yang sok keren dan terkesan dipaksakan. Sandal yang tidak berorientasi pada keserasian, melainkan pada keunikan dan sekedar gaya-gayaan. Buat apa punya pasangan, jika tidak serasi dus cuma buat ngeceng doang.

Ones again please, biarkan masing-masing orang untuk memilih, ingin jadi truk model apa, dan ingin jadi sandal jenis apa. Itu bukan urusan kita.

Jumat, 19 Oktober 2018

Vidia

Angin berhembus pelan, mengusap pepohonan, menggugurkan dedaunan. Hawa dingin menusuk kulit, merasuk kedalam jiwa, membekukan hati. Udara begitu sejuk, melingkupi SMP Negeri Kotamobango Timur. Dalam sebuah ruang kelas VIII... Vidia hanya duduk diam, memandangi teman-temannya dari balik jendela. Bola matanya berkeliaran kesana kemari mengikuti kemana teman-temannya pergi. Perasaannya bercampur antara gundah dan bahagia. Dia melirik cowok yang duduk di sudut belakang ruang kelas, sambil malu-malu Vidia pun tersenyum. Cowok itu membalas tatapan dan senyumnya, Vidia pun berpaling... pipinya bersemu merah, mata beningnya berbinar-binar. Diambilnya secarik kertas, di tulisnya sajak-sajak puisi seindah mungkin. Sebelum ia menyimpan kertas itu, ia kembali melirik cowok itu. Navy... cowok teman sekelasnya itu, beberapa hari ini mengusik jiwanya.

Vidia sudah mulai tumbuh menuju gadis dewasa, meski kini baru 13 tahun. Dia mulai senang bercermin... memperhatikan penampilannya, sebelum pergi kesekolah. Tetkadang... ia melenggang kesana kemari di depan cermin dengan seragamnya, memastikan penampilannya sudah layak pergi ke sekolah.

Vidia hanyalah gadis belia biasa, sama seperti gadis seusianya. Seperti yang lainnya, dia juga tengah menghadapi krisis pubertas. Dia sudah mulai tertarik dengan lawan jenisnya. Kadang ia malu-malu melirik Navy, yang entah dari mana mulai masuk ke dalam hati dan pikirannya. Kadang ia merindukan cowok itu menghampirinya, sekedar menanyakan pekerjaan rumah.  Kadang ia ingin menyentuhnya,  sekedar berjabat tangan mungkin. Kadang ia ingin duduk bersama teman-temannya, mulai membicatakan tentang "keistimewaan"cowok itu. Tetapi kuat-kuat di tepisnya keinginan itu. dia membiarkan jiwanya bergemuruh, hanya satu yang diingatnya. “Tuhan sudah mempersiapkan orang yang tepat untuknya”. Vidia pun tersenyum dalam hati, karena sesungguhnya dia juga belum memahami kata-kata ini. Dia hanya menyadari hatinya sedang jatuh cinta, hatinya sedang berbunga-bunga. Dan mereka mengetahuinya, Vidia sedang jatuh hati dengan Navy sang Genius Man. Navy sang pemain basket. Navy si anggota band "Kotimbo" milik sekolahnya. Tetapi dia selalu menyembunyikan perasaannya itu, meskipun dia juga merasa Navy juga tertarik padanya.

Vidia sering harus menolak ajakan teman-temannya, untuk sekedar jalan bersama sepulang sekolah. Hatinya masih begitu malu, dia belum terbiasa dengan perasaannya. Meskipun dia tahu... Navy ada di antara mereka, tetapi dia belum bisa melakukannya. Dan ketika esok.paginya mereka bercerita, tentang pengalaman jalan mereka... Vidia hanya bisa tersenyum saja.

****

Hari itu hujan rintik-rintik membasahi desa tempat Vidia tinggal. Entah dari mana asalnya, Vidia tiba-tiba merasa gundah. Dia berulang-ulang memeriksa isi tasnya, memastikan perlengkapan sekolahnya tidak ada yang tertinggal. Ia bolak-balik memeriksa PR-nya, dan tugas prekeryanya. Semua sudah yang seharusnya, tapi dia tiba-tiba merasa tidak siap berangkat ke sekolahnua. Dia merasakan sesuatu akan terjadi, tetapi dia tidak yakin apa itu. Maka dengan terpaksa, dia kalahkan perasaannya.

Vidia melangkahkan kakinya, meninggalkan rumahnya yang hangat, menempuh perjalanan ke sekolahnya yang berjarak sekitar 2 Km, hujan mengguyur tubuh kecilnya, langkahnya kadang-kadang gontai, dia kadang-kadang kesulitan menahan payung berwarna ungu yang melindunginya dari hujan. Angin sesekali bertiup agak kencang, nyaris menerbangkan payung yang dipegangnya. Tetapi, bahkan angin kencang dan rintik hujan pun tak mampu menghentikan langkah kakinya. Sampailah  dia disekolah, tak ada yang berbeda, tak ada yang berubah, semuanya sama. Tak ada yang menakutkan hari itu.  Navy juga ada di tempatnya, disudut belakang. Sesekali di liriknya
cowok yang tampan itu. Dari bangku di sudut kelas, Navy melemparkan senyum untuknya. Dan seperti biasanya, pipi Vidia pun merona merah.

Ketika jam pelajaran berakhir, Vidia dan tiga orang temannya tidak segera pulang. Mereka hari ini bertugas membereskan kelas, salah satu kegiatan rutin di kelasnya,  juga kelas-kelas lainnya. Ika dan Rahma teman piketnya itu sedang sibuk menata meja kursi Guru, dan menghapus papan tulis. Sedang dia dan Hanifah bertugas membereskan korden, dan bangku siswa. Saat akan menutup korden kaca kelas, tiba-tiba dia melihat Navy duduk du kuar kelas... tepat memandang ke arahnya, dia pun tersipu malu. Dalam hatinya bertanya-tanya, mengapa si tampan itu belum pulang juga? Kemudian Vidia melihat Ika tergesa keluar kelas, setengah berlari menghampiri tempat Navy berada. Vidia terus memandangi dua temannya itu bercakap, selertunya membicarakan sesuatu yang serius. Sejurus kemudian Ika telah kembali masuk ke dalam kelas, Vidia juga menyaksikan Navy yang mulai beranjak pergi melintasi halaman sekolah.

"Ada apa dengan Navy, Ka?" Vidia mendengar suara Rahma bertanya, "Bela-belain sampai nunggu kita piket segala?"

"Sebenernya, Navy itu mau ngomong sama Vidia. Eh malah aku yang di japri, disuruh menyampaikan pada dia!" mendengar namanya disebut Ika, Vidia pun menoleh ke arahnya.

"Dia ngomong apa, Ka?" tanyanya.

"Hari ini adalah hari terakhir Navy bersekolah disini, karena besok akan pindah bersekolah ke Jawa" semua nampak terkejut mendengar jawaban Ika, terlebih Vidia yang mengagumi teman sekelasnya itu.

" Benarkah?!" tanyanya dengan perasaan sesak di dadanya, hampir saja dia tak dapat membendung air matanya. Dia memalingkan wajah dari teman-temannya, sambil menyeka air mata yang sudah mengembang di pelupuknya. Tak urung, perbuatannya itu diketahui juga oleh teman-temannya. Rahma merangkul bahunya, seraya bertanya.

"Kamu menangis ya, Vid?"

"Ah tidak... tadi mataku terkena debu, saat melepas ikatan korden itu" jawab Vidia tersenyum kecut.

"Dan, Navy mengajak kita semua ini ke cafe selepas piket. Dia akan berpamitan dengan kita di sana, mungkin" kata Ika lagi, "Kamu ikut, Vid?"

Vidia tersentak, di situasi yang tidak seperti ini  pasti ditolaknya. Tapi ini adalah demi pertemuan terakhir dengan pujaan hatinya, dia mengangguk dengan mantap, "Ya, aku ikut!" jawabnya pasti.
Mereka pun segera mengakhir piket mereka, kemudian peegi menuju cafe dimaksud.

Sepanjang jalan Vidia hanya melamun, hari-hari yang membosankan tanpa Navy lagi. Sanpai-sampai dia tidak mebdengarkan, aoa yang mereja percakapkan seoanjang jalan itu. Tahu-tahu sampailah mereka ke cafe di ujung jalan itu. Vidia melihat Navy sudah di sana, masih dwngan seragamnya. Gadis muda itu segwra menghampirinya, tidak ikut ketiga sahabatnya memwsan makanan minuman. Duduk di depan tempat kursi yang diduduki Navy, oemuda tanggung utu pun tetsenyum.padanya. Senyum yang selalu membuatnya melayang, tetapi tidak kali ini.

"Benar, kamu akan pindah sekolah Vy?" tanyanya langsung, yang ditanya tampak terkejut dan menjadi salah tingkah. Vidia jadi merasa heran, ini bukan Navy yang di kenalnya selama ini. Sementara itu... ketiga temannya sudah selesai memesan untuk mereka semua, kemudian duduk di kursi sekitar Vidia.

"Sebenarnya, ini rencana kami untuk bisa mengajakmu jalan bersama, Vid. Navy sudah menolak rencana ini, tapi kami yakinkan dia untuk menyetujuinya. Kami hanya ingin sekali saja, bisa mengajakmu keluar. Navy tidak akan kemana-mana besok, juga besoknya lagi, bahkan setahun kemudian pun, dai tidak akan pindah kemana-mana" kata Ika sambil mwnggenggam tangan Vidia, yang sudah berkaca-kaca.

"Jadi, kalian lakukan semua ini demi aku?" tanyanya lirih.

"Iya, Vid. Karena kami juga tahu, kamu dan Navy saling menyukai... kenapa tidak janjian saja di tempat ini?" kata Rahma disambut tawa berderai mereka semua. Tawa ABG jaman Now.

Kemarau Hati


ketika aku berada jauh dari haribaanmu
akankah kau merindukan aku?
jika saja aku raga ini tidak sedang bersamamu
terfikirkah olehmu untuk lari meninggalkan aku?

saat kita menjalin asa yang sama
pernahkah jenuh menggelitiki hatimu?
aku tak tau dan tak ingin tau...
bisa saja kau pernah ragu padaku
mungkin juga bimbang pernah bersemayam di kalbumu

karna hati adalah lautan luas yang tak terselami
yang tak tertebak dalamnya sanubari
terkadang sulit memahami segala nas ini
menjadi keniscayaan nan hakiki

dan ketika kejenuhan itu datang menghampirimu
mengusik kemarau di hatimu
mendatangkan awan hitam di anganmu
percayalah akan kekuatan hasratnya mengurapimu
dengan berjuta rinduku menguasaimu

ingatlah pada mimpi yang selalu kita bina
ingatlah harapan yang selalu kita jaga
ingatlah mimpi yang selalu kita damba
kita berjanji untuk mewujudkannya
dengan segenap kekuatan cinta yang kita punya

Rabu, 17 Oktober 2018

Notifikasi

Bunyi Notifikasi grup WA teman SMP, tertulis:
[08:01 27/10/2018] SMP Betha: Hari Minggu tanggal 21 Oktober, ngumpul Yuk di rumah Betharia.

Bunyi Notifikasi grup WA grup Long Hair Lover, tertulis:
[08:02 17/10/2018] LH Revan: Hari Minggu, 21 Oktober 2018 ada sesi pemotretan di Tretes, dengan 2 orang model. Yang bisa hadir silakan wapri.

Bunyi Notifikasi grup WA Supranaturalist, tertulis:
[08:03 17/10/2018] SP GagakRimang: Assalamu'alaikuum... untuk semua anggota, harap berkumpul di kediaman Bpk. I Wayan Jumena Wahid (Mojokerto) Hari/Tanggal: Minggu, 21 Oktober 2018 Jam 08.00 sampai selesai. Dalam rangka Pemantapan Rencana Kegiatan "Bhakti Husada" di Trowulan Mojokerto bulan November 2018. Pengurus inti diharapkan untuk Hadir semua.

Bunyi Notifikasi grup WA Serat Jiwa (Perguruan Tenaga Dalam), tertulis:
[08:04 17/10/2018] ISJPonco: Kepada: Segenap Keluarga Besar Perguruan Pencak Silat Tenaga Dalam Inti Serat Jiwa. Dimohon untuk kehadiranya,
Pada Hari : Minggu
Tanggal : 21 Oktober 2018
Tempat : Aloon-aloon Utara Jogjakarta
Acara : Penyucian Massal
Khusus Program Guru. Harap mengkonfirmasai kehadiran.

Bunyi Notifikasi grup WA teman SMA, tertulis:
[08:05 17/10/2018] SMApuput: Hari Minggu ygl 21 Okt takziah ke RSUD Faizah koma. Kumpul di rumahku jam 1 siang.

Sementara sebelumnya,
[07:44 17/10/2018] x.indys: Sabtu Minggu ada acara gak?
[07:45 17/10/2018] Winarto Sabdo: Insyaalloh gak ada
[07:45 17/10/2018] x.indys: Sabtu kam 9 aku mau ke Trenggalek, ke rumah Pak Bonari. Mas Didik mengajakmu
[07:50 17/10/2018] Winarto Sabdo: Oke, siap Boss
[07:55 17/10/2018] x.indys: Bawa jaket dan pakaian ganti, kita nginep. Aku juga ajak anak-anakku.
[07:56 17/10/2018] Winarto Sabdo: Siap Boss, lagi butuh refresing ini juga. Oke siap berangkat

Kemudian apa? Aku termangu sendirian, tercenung, termenung, mengingat semua Notifikasi itu. Mengapa, setiap grup WA seakan "Sangat Membutuhkan" kehadiaranku, pada hari yang sama untuk kepentingan di hari yang sama. Aku ini hanya satu, dan dibutuhkan di empat tempat yang berbeda... pada hari yanh sama. Mana bisa aku menunaikan itu semua? Pilih yang Priority? Itu semua penting untuk kudatangi. Dan besar kemungkinan, tidak ada satupun yang akan kudatangi. Karena pemberitahuan mereka terlambat sekian menit, dari pemberitahuan yang dibuat oleh sahabatku Indys... aku pun sudah mengkonfirmasi keikut sertaanku dalam acaranya.

Terpaksa, semua harus aku korbankan. Bertemu teman sekolah, bertemu team sosial, bertemu kesukaan, bertemu guru,-guru, karrna apa? Aku sudah membuat comitment terdahulu,  untuk acara ke Trenggalek bersama Indys dan keluarganya. Tetap memilih mempertahankan pilihan, itu adalah prinsip hidupku. Ini akan mengecewakan beberapa pihak, tetapi ini juga sesuatu yang harus fupeetangging jawabkan.

Akhirnya, dengan penuh rasa penyesalan... aku membalas semua pemberitahuan itu, dengan permintaan maaf tidak bisa hadir. Dengan menyebutkan alasan, dan salam untuk para anggota lainnya. Ini juga suatu pembelajaran untuk kita semua, jangan pernah meremehkan... keberadaan juga waktu seseorang. Buatlah undangan atau pemberitahuan apapupun, jauh hari sebelum acara yang ditentukan. Apalagi jika trmpat tujuan acara sangat kauh, berpikirlah bahwa seseorang yang diundang... pasti membutuhkan waktu memutuskan, juga butuh persiapan biaya keberangkatan. Ini pengalaman pribadi, semoga berguna untuk yang lainnya.

Nganjuk, 17 Oktober 2018

Senin, 15 Oktober 2018

Jaka Tayub

senja meremang merah membara
tatkala turun bidadari dari kayangan para dewa
menuju danau kecil untuk membasuh raga
bercanda bagai sekumpulan dara

jaka tayub mendekatkan mukanya
disaat mereka mulai membuka busana
di dalamnya pun tampak begitu adanya
tak secantik kata dongeng dahulu kala

pemuda itu membuang muka
melihat yang telanjang pun tiada selera
para bidadari merasa terhina
menangis meraung bagai prahara

manusia tak butuh bidadari untuk cinta
hanya butuh nyali dan sedikit harta
ke mol atau pinggir jalan raya
tempat bidadari menjajakan cinta

tujuh bidadari sungguh malang merana
tak ada lagi pemuda mencuri selendangnya
berhamburan mereka terbang ke asalnya
membawa serta tangis dan air mata

Kliwon Dan Pengembara Tua

"Adhuh! Mulai lagi deh!" gerutuku dalam hati. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi di rumah ini, hampir setiap hari. Tdak pagi, tidak siang, tidak malam, selalu mereka bertengkar. Ada saja, masalah yang tiba-tiba bisa menyulut pertengkaran. Seperti malam itu  Narto sang suami, mengomentari bau rambut Nining istrinya yang lupa tidak dikeramasi.

"Masalah rambut belum dikeramas saja langsung jadi masalah, ini jadi gak rencana bercintanya, ha?!" Nining berseru kecewa pada suaminya.

"Aaahhh! Males... mending pergi keluar saja, aku!" berkata suaminya sambil buru-buru merapikan pakaiannya. Dan buru-buru juga keluar dengan wajah kesal, membanting pintu kamar dengan kerasnya. Hampir saja aku terpelanting jatuh, kalau saja tidak kuat peganganku di atap kamar itu.

"Dasar! Orang gila!" aku meneriaki yang mulai keluar meninggalkan rumah, sambil bersungut-sungut. Seekor temanku merayap mendekatiku, dia adalah Cicak Pengembara. Dialah satu-satunya cicak, yang hampir pernah menyinggahi setiap rumah di desa ini. Usiannya mungkin sudah tua, tetapi rasa keingin tahuaanya begitu kuat. Dia adalah rujukan, para cicak untuk mencari makan. Hampir semua tempat dia tahu, termasuk rumah penyimpan keranda di dekat makam. Aku memanggilnya Abang, karena nada bicaranya yang seperti berlogat Batak. Konon, itu karena dia punya istri seekor cicak di rumah orang Batak.

"Ada apa gerangan engkau mengumpat keras kali, hai Keliwon?" dia bertanya dengan logat bataknya yang dibuat-buat.

"Namaku Kliwon, Bang. Bukan Keliwon," kataku sembari menangkap nyamuk teler yang tidak sadar hinggap di dekatku, Nyamuk itu pasti mabuk, karena asap obat nyamuk bakar yang memenuhi semua sudut kamar itu.

"Alaaah, engkau jangan terus-menerus memperotes gaya bicaraku lah. Sama saja lah Keliwon atao Kelawon, yang penting bukan Keliwat saja kan... hahahaha!" dia malah menertawai ketidak senanganku.

"Ada apa engkau mengumpat tadi, ha?" dia mengulang pertanyaannya, kali ini dia tidak menyebutkan namaku.

"Sebel dengan suami wanita itu. Bang. Marah-marah, pakai banting-banting daun pintu segala. Hampir terpelanting jatuh aku, dibuatnya"

"Hahaha! Engkau belum juga terjatuh, sudah mengumpat macam itu. Bagaimana kalau sampai jatuh? Engkau akan memukul kepala lelaki itu? Hahaha!" jawabnya tergelak-gelak, sungguh malam ini si Abang terlihat sangat tidak menyenangkan bagiku.

"Kenapa si suami wanita itu marah-marah pula? Engkau tahu penyebabnya, kah?" tanyanya lagi, kali ini dia tampak serius sekali. Sementara itu, aku melihat wanita itu sedang memainkan handphone. Sebentar kemudian, terdengar dia sedang bercakap-cakap dengan seorang pria. Aku dapat memastikan itu adalah suara pria, karena memang cicak memiliki pendengaran yang sangat peka.

"He Keliwon! Aku sedang bertanya pada engkau, engkau malah asyik memandangi wanita berkerudung itu!" hardiknya membuyarkan pandanganku pada wanita itu.

"Iya, Bang. Si suami marah sama istrinya, karena istrinya tidak mencuci rambutnya tadi sore, si suami terganggu dengan bau rambut istrinya, Acara bercinta mereka pun gagal, si suami pergi sambil marah-marah, begitu ceritanya" aku mencoba menjelaskannya dengan singkat. Kulihat Abang baru saja menangkap nyamuk, yang terbang mrndekati moncongnya. kemudian menelannya dengan puas.

"Hanya permasalahan sepele macam begitu, mereka sudah menjadi ribut," katanya, sambil membasahi bibir kakunya dengan ludah panjangnya, "Padahal aselinya, mereka sudah tidak saling mencintai lagi satu dengan lainnya"

"Kenapa Abang berkata seperti itu? Dari mana Abang tahu, mereka sudah tidak saling mencintai lagi?" tanyaku terkejut, sambil memandangi wajahnya yang tampak seperti wajah cicak-cicak lainnya itu.

"Tidak percaya engkau? Pergilah ke rumah paling ujung sana, ke rumah janda yang bersebelahan dengan persawahan itu"

"Rumah yang terletak di ujung jalan itu? Rumah yang berjauhan dari rumah tetangga lainnya itu? Rumah Natasya Wihluman itu?" tanyaku memastikan, "Emang kenapa, Bang?"

Cicak tua itu terkekeh-kekeh, pandangannya menerawang.
"Jika engkau ada di sana pada saat ini... engkau akan tahu apa yang dilakukan suaminya di sana, dengan janda penyanyi dangdut itu. Mereka sudah lama berselingkuh dibelakang istrinya, sungguh kasihan wanita itu" berkata begitu pandangannya tertuju pada wanita berhijab di bawahnya, yang tampak sedang merapikan seprei tempat tidurnya itu.

"Kenapa kasihan padanya, Bang? Wanita itu, sebenarnya juga sudah lama selingkuh dengan lelaki lain" kataku, memandang benci pada wanita itu. Abang tampak terkejut, hampir saja dia terjatuh saking terkejutnya. Untunglah, dia menempel dengan erat di plafon kamar itu.

"Apa?! Wanita berjilbab itu juga berselingkuh?!"

"Emang gak boleh? Abang pernah bercerita tentang Ustadz Kipli, yang tidur bersama Janda Pak Haji Klamudin, ingat?" tanyaku padanya, coba membangkitkan memorinya.

"Aih mengacau engkau ini, Ustadz Kipli itu kan sudah menikahi Sirri Ibu Hajah Maksiati... jadi lain ceritanya, lah. Yang aku lihat dari wanita ini adalah kesholehahannya, dia rajin beribadah, rajin mengaji, dia juga berhijab, menutup auratnya dari pandangan yang bukan mahramnya" tiba-tiba saja kata-kata Abang, sudah seperti Ustadz Kipli yang sedang berkotbah di mushola desa. Jangan-jangan,  si Abang ini adakah Cicak Islam yang menyamar? tanyaku dalam hati.

"Abang lihatlah sendiri, sebentar lagi... seorang lelaki yang ditelponnya tadi akan datang. Mengendap-endap di luar jendela, mengetuk jendela tiga kali, itu isyaratnya. Lalu wanita itu akan membukakan jendelanya, mempersilahkan kekasihnya itu masuk ke dalam kamarnya"

"Ah benarkah itu? Engkau jangan berkata tifak benar kepadaku, he Keliwon!"

"Mari merayap di balik bayangan lemari itu, Abang akan dapat dengan jelas mendengar percakapan mereka" kataku sembari berjalan merayap ke arah sudut kamar, Abang mengikuti rayapanku.

Seperti dugaanku, dari luar kamar aku mendengar langkah kaki, berhenti tepat di samping jendela kamar. Terdengar tiga kali ketukan, dan wanita berjilbab merah itu segera mematikan lampu kamar. Membuka kedua daun jendela kamarnya, dan membantu seseorang masuk ke dalamnya. Setelah itu dia menutup kembali pintu jendelanya, merapikan gordennya, kemudian menyalakan lampu kamar. Dan memabg benar, dua adalah kekasih gelap wanita itu 

Dua orang berlainan jenis itupun berpelukan, seakan memendam rindu yang begitu dahsyatnya.

"Mas Leo kenapa lama sih, Nining kan sudah kangen" rengek wanita itu di pelukan kekasihnya.

"Maaf sayang, seperti biasa... aku menguntit kepergian suamimu dulu, memastikan kemana dia pergi. Setelah dia masuk ke rumah Natasya, dan setelah aku dengar mereka bercumbu rayu. Aku segera bergegas kemari sayang, sepertinya suamimu bakal menginap lagi di rumah janda itu sayang" kata Leo nampak gembira, sambil membelai wajah wanita pujaannya itu.

"Jadi, kita bisa bercinta sepuasnya malam ini, ya sayang?" sambut Nining yang bergelayut manja di tubuh kekasihnya.

"Iya sayang, kita akan menikmati malam yang panjang ini sepuas-puasnya" jawab Leo, dengan tanpa menghentikan aktifitas tanganya... di sekujur tubuh kekasihnya yang menggelinjang-gelinjang itu.

Abang hanya terdiam di balik bayang-bayang lemari tua itu, tampak wajahnya sangat kecewa. Dia menyadari, ternyata selama ini dia tidak berhasil menilai karakter dari wanita berhijab itu. Wanita yang tampak lugu, pemalu, tidak suka bergunjing, tidak suka berghibah, ternyata justru malah suka berzinah. Aku mendekatinya, mengibaskan ekorku ke punggungnya.

"Sudahlah, Abang. Hal semacam ini sudah menjadi kehendak yang Maha Pencipta, kamu jangan kecewa dengan penilaianmu yang keliru. Bagi kami, segenap anggota Persatuan Cicak Seluruh Indonesia, khususnya di Anak Ranting Desa Talang ini... Abang tetap selalu jadi Cicak Panutan, cicak terbaik yang pernah Tuhan ciptakan. Sekarang pulanglah, istri Abang yang setia Ibu Makmahan sudah menanti kedatanganmu. Terima kasih, sudah menjadi teman ngobrol yang menyenangkan malam ini" kataku memberinya semangat kembali padanya. Cicak tua itupun mengangguk, tersenyum padaku. Merayap pergi dalam kegelapan malam. Meninggalkanku dalam  selarik do'a
"Yaa Tuhan, lindungilah aku dari godaan Manusia dan Cicak. Aamiin."

(Tamat)





Sabtu, 13 Oktober 2018

Parman Di Kamar Warsini

Painah berlari dengan kencang, menyusuri jalan setapak di pinnggiran desa itu. Dia berlari seperti orang kesetanan, mulutnya tertutup rapat... nafasnya tersengal, matanya menatap tajam penuh kemarahan ke arah bukit. Bagai orang kehilangan akal dia berlari, gelungnya terlepas... rambut panjangnya teturai tidak beraturan, terbawa getaran tubuhnya yang sedang berlari. Wakijan dan Suparno yang berpapasan dengannya mencoba bertanya, namun dihiraukannya. Painah terus berlari menuju ke arah bukit, beberapa kali tampak tubuhnya hampir terjengkang ke rerumputan... tapi dia terus berlari.Dua orang yang penasaran itu pun, segera mengejar laju Painah di belakangnya.

"Kenapa, Painah berlari seperti orang kesurupan begitu Kang?" tanya Suparno yang berlari di samping Wakijan

"Aku pun kurang tahu, No"

"Jangan-jangan, dia memang sedang kesurupan Kang!"

"Hush! Jaga bicaramu, No! Kita jangan suudzon dengan perkara yang nelum kita ketahuinkebenarannya. Kita ikuti saja kemana tujuannya, jika nanti membahayakan... baru kita bertindak" kata Wakijan di sela larinya, Suparno pun mengangguk setuju. Mereka melanjutkan larinya, mengikuti lari Painah yang hampir tak terkejar lagi.

D isepanjang jalan setapak itu, semakin banyak orang yang penasaran dengan kelakuan Painah yang aneh itu. Maka semakin banyaklah orang yang ikut mengejarnya, bahkan sebagian orang mengikutinya dengan sepeda pancal.

Meskipun mereka tidak memperoleh jawaban dari Painah, tetapi mereka tahu kemana arah tujuannya. Jalan setapak ini, adalah jalan satu-satunya menuju rumah Warsini, janda cantik yang kesehariannya menjadi tledek tayub ( penari pada kesenian tradisional gamelan yang khas dari kabupaten Nganjuk ). Mereka juga tahu Parman dulu adalah bekas suami Warsini, dia menceraikan Warsini setelah mendapat kepastian dari dokter... bahwa wanita itu, dinyatakan tidak akan bisa mempunyai keturunan. Mandul. Dan hari ini Parman dimintai tolong, untuk membetulkan genteng rumah Warsini, yang beberapa buah melorot tertiup angin semalam. Sepertinya Painah sudah melarang suaminya kesana, karena dia masih cemburu dengan mantan istri suaminya itu. Painah dan Parman memang baru saja menikah sebulan yang lalu, setelah 3 tahun Paiman hidup menduda. Tetapi... tujuan dari tingkah Painah saat ini, mereka yang sedang mengikuti lari Painah... tidak ada yang tahu.

Ini sebenarnya bermula ketika, Painah sedang mencuci beras dan sayuran di belik (pancuran air yang muncul dari sela bebatuan) di ujung desanya. Sedanh asyik mencuci sayuran, tiba-tiba datanglah Saimah istri Wakijan tetangganya, biasanya mereka berangkat ke belik berbarengan.

"Kok telat, Mah?"

"Iyo, Nah. Ke rumah Warsini dulu... dia lagi kurang enak badan katanya, aku disuruhnya memasak sebentar" kata Saimah tanpa memandang wajah sahabatnya itu. Mendengar nama wanita yang dibencinya itu disebut, memerahlah wajah Painah. Dia ingat suaminya sedang berada di rumah janda itu, apa benar suaminya sedang membetulkan genteng si janda gatel iru? Tanya hatinya, yang tiba-tiba berfikiran yang tidak-tidak tentang suaminya.

"Kamu lihat Kang Parman disana, Mah?" tanyanya, pada sahabatnya yang sedang sibuk mencuci sayurannya itu. Dengan tanpa menoleh, Saimah menjawabnya.

"Iya lihat..."

"Ngapain dia?"

Sebenarnya Saimah tidak begitu "ngeh" dengan pertanyaan sahabatnya itu, dia mengira Painah sedang bertanya tentang Warsini.Maka dengan pelan dia menjawabnya.

"Pareman di kamar, sejak ku tinggal pulang tadi"

"Apa Parman di kamar?!" tanya Painah dengan suara bergetar, dia sedang membayangkan suaminya itu sedang di kamar mantan istrinya itu.

"Iya... pareman di kamar..."

Saimah tidak melanjutkan kata-katanya, karena dia melihat Painah sudah berlari sambil meraung-raung, meninggalkanya yang kebingungan.

Laju lari Painah semakin dekat ke tujuan, rumah Warsini sudah tampak di depan mata. Pintu depannya terbuka, sehingga Painah dengan mudah dapat memasukinya. Dia berteriak-teriak memanggil nama suaminya. Tiga pintu kamar yang tertutup berhasil didobraknya, tinggal satu kamar lagi. 

Sementara itu, orang banyak sudah sampai pula kebrumah iru. Melihat Painah yang berteriak histeris, beberapa orang segera menenangkannya.

"Keluar kau wanita sundal! Perebut suami orang! Kang Parman! Kang Parman!" teriak Painah di depan sebuah pintu kamar yang tertutup, di tidak berhasil mendobrak pintu itu karena terkunci, dan karena orang-orang telah memegangi tubuh kecilnya.

"Ada apa, Nah?!" tanya Wakijan sambil tetap memegangi tubuh wanita yang meronta-ronta itu. 


"Parman di kamar! Parman di kamar!" teriaknya sambil menunjuk ke arah pintu kamar yang tertutup.

"Parman di kamar? di kamar ini? Siapa yang bilang?" tanya Suparno yang membantu Wakijan memegangi tubuh wanita itu.

"Saimah yang bilang Kang... dia pagi tadi kesini... dia melihat Kang Parman di kamar bersama Warsini..." jawab Painah di sela tangisnya.

"Eh... bukanya Warsini sedang di Kinik Desa? Katanya dia sedang sakit, ketika aku pulang... dia baru saja antri" terdengar suara dari kerumunan, tetnyata Paijo yang berkata. Seketika tangis Painah terhenti, ketika dia melihat suaminya turun dari tangga. Parman terpaksa turun, karena mendengar keributan di dalam rumah itu. Painah segera memeluk tubuh suaminya, yang dipenuhi keringar bercucuran itu.

"Kang Parman, kamu tidak di kamar bersama Warsini kan?" tanyanya sambil berurai air mata, betapa dia sangat mencintai lelaki itu. Dia akan bunuh diri saja, jika benar suaminya masih berhubungan dengan wanita itu.

"Kamu ini kenapa, Nah? Siapa yang bilang aku sedang di kamar Warsini?" tanya suaminya, sambil membelai rambut istrinya itu dengan lembut. Sebelum sempat menjawab pertanyaan suaminya, Painah melihat sahabatnya Saimah menerobos kerumunan. Dengan gampang dia langsung menunjuk hidung wanita itu, seketika ramailah orang mencemohnya. Wakijan dengan segera melindungi istri tercintanya, dari cemoohan orang-orang.

"Dengarkan dulu penjelasan istriku! Jangan main cemooh saja!" seru Wakijan pada semua, yang langsung terdiam dalam seribu bahasa. Saimah pun menceritakan, tentang percakapannya dengan Painah tadi waktu bertemu di belik.Tudak ada yang ditambahi, atau pun sengaja ditutup-tutupinya. Dia menegaskan lagi jawabannya, yang kemungkinan telah membuat Painah salah faham.

"Aku bilang pareman di kamar, karena kusangka dia sedang menanyakan tentang Warsini" kata Saimah dengan percaya diri

"Pareman???" hampir bersamaan mereka terkejut, "Pareman artinya sedang memakai param???"

"Iya, aku menjawabnya begitu. Karena memang, aku sedang melihat Warsini mamakai param di dalam kamar. Mungkin terdengar di telinga Painah... Parman di kamar" dengan gamblang Saimah bercerita.

"Oooohhh! Jadi seperti itu???"
serentak mereka yang disitu sudah memahaminya. Tampak Painah yang tersipu, membenamkan wajahnya di dada suaminya.

Sementara Warsini yang pulang dari berobat di Klinik Desa terkejut, karena dirumahnya terlihat banyak berkerumun. Dia mengira telah terjadi sesuatu pada Parman, karena dia menitipkan rumahnya pada pria itu... ketika dia pergi ke klinik tadi.

"Ada apa, ramai-ramai di rumahku ini?" tanyanya kebingungan.
Suparno segera dengan cermat, menceritakan semua yang sudah terjadi di rumah itu. Gaya bahasanya yang kocak, sering membuat yang lain terbahak-bahak.

"Seperti itulah kejadianya, Tuan Putri" Suparno mengakhiri penjelasannya, sambil membungkukkan badanya. Semua pun tergelak dengan ceria.

Warsini mendekati Painah, yang sudah tidak lagi dalam pelukan suaminya. Memegang tangannya sambil berkata,

"Dik Painah, aku dan Kang Parman tidak lagi mempunyai hubungan apa-apa. Aku sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri, seperti saudara layaknya," kata Warsini dengan lembut, "Bahkan, sangat kebetulan sekali kalian ramai-ramai ada di rumahku ini. Karena ada seseorang yang akan kuperkenalkan, pada kalian semua" katanya seraya tanganya melambai pada seseorang pria, yang tadi mengantarkannya berobat. Pria itupun berjalan ke arah Warsini, penampilannya sungguh menawan, tampan, gagah, dan mengenakan baju yang rapi. Semua wanita yang hadir disitu berdecak kagum, melihat penampilan orang itu.

"Kenalkan semuanya, ini adalah Mas Winarto kekasihku... bulan depan dia akan menikahiku" kata Warsini dengan bangganya.

Tiba-tiba terdengar suara orang terjatuh ke lantai, bunyinya berdebuk mengagetkan semua yang ada.

"Partijan pingsan!" terdengar seseorang di belakang berteriak, seorang lagi berusaha membangunkan dengan menepuk-nepuk pipinya, "Jan! Bangun Jan!"

"Kenapa dia pingsan?" tanya Warsini panik.

"Dia pingsan karena mendengar, kamu akan menikah dengan Mas Winarto!" teriak seseorang dari belakang.

"Kenapa bisa begitu?" tanya Warsini lagi.

"Yaiya lah, dia kan naksir kamu setengah mati! Semoga setelah bangun dia tidak bunuh diri!" kata yang lainnya, disambut gelak tawa semua yang ada. Wakakakakak.

Akhirnya Warsini membuat syukuran dadakan di rumahnya, Painah dan lainnya turut membantu mempersiapkan,makanan dan minumannya. Semua kembali ceria, kembalj bahagia.

Jumat, 12 Oktober 2018

Pacar Untuk Si Jomlo

Membaca berita tentang fenomena pacar sewaan yang sedang hangat di media akhir-akhir ini, sedikit banyak membuatku mengelus dada. Prihatin.

Dulu aku meyakini, urusan pacar adalah level sakral. Tidak bisa dibaurkan dengan aneka rupa kepentingan yang materiil. Namun nyatanya "keyakinanku" ini pun akhirnya tumbang di tangan para pebisnis pacar sewaan.

Anjriiit!

Bisnis sewa pacar ini membuat nilai seorang pacar turun drastis ke level yang sangat rendah. Dari “Pendamping hati” menjadi sebuah “komoditas” jual beli. (Quoteku). Dan yang pasti, bisnis ini tak lagi menjadikan pacaran tidak lagi sakral.  Pacar jadi tak ubahnya seperti Play Station, yang bisa disewa kapan pun setiap jam-nya (Bedanya, tak boleh mencolokkan stik dengan sembarangan).

Tapi, Fenomena ini memang kiranya sudah diramalkan. Dunia yang sedang start-up,  membuat segala sesuatu sangat mungkin untuk dibisniskan. Tak terkecuali pacar. Wajar toh, lha wong kita ini hidup di zaman di mana sebutir beras pun sudah bisa dipalsukan. Maka jangan heran jika pacar pun sekarang bisa disewakan. Tentu ini tak terlepas dari teori ekonomi supply and demand, di mana ada permintaan, di situ ada penawaran.

Tentu kita mahfum, karena zaman sekarang, pacar semakin sulit didapatkan maka tak aneh jika kemudian pacar menjadi barang sewa yang bisa dikomersilkan.

Bisnis pacar sewaan ini jelas bisa berjalan dengan baik, karena para pelaku bisnis ini sadar betul bahwa mereka menjalankan bisnis ini di atas prinsip perniagaan yang tepat. Mereka menyadari benar bahwa segala sesuatu yang terlalu mahal untuk bisa dibeli, biasanya selalu menyisakan celah untuk bisa disewakan. Uang memang yidak membwli cinta, tapi kalau untuk mwnyewanya masih bisa.

Mereka juga faham benar, bahwa para pria fan wanita jomlo yang sudah muak dengan ejekan teman-temanya... mereka akan berusaha mencari celah yang longgar. Rasa malu dan jengkel membuat mereka royal dan rrla merogoh kocek yang dalam... hanya untuk membuktikan bahwa mereka bisa, dan mampu mendapatkan seekor pacar, eh, seorang pacar. Yah, walaupun statusnya hanya nyewa.

Faktor-faktor itulah yang kemudian membuat bisnis pacar sewaan ini tumbuh begitu suburnya.

Menurut salah satu pengusaha pacar sewaan, omset bisnis ini sangat-sangat menggiurkan. Dalam satu hari, mereka bisa mendapatkan penghasilan kotor hingga dua juta rupiah, di mana nilai profit sharing-nya bisa mencapai 40-50 persen. Siapa yang tidak tergoda dengan jumlah sebesar itu?

Dengan omset segitu besar, tentu banyak orang yang tertarik untuk menggeluti bisnis pacar sewaan ini (bukan menggeluti pacar sewaanya). Tak terkecuali denganku. Jujur, aku sendiri sebenarnya pernah punya niatan untuk membuka bisnis jasa pacar sewaan ini. Untuk awal,  aku hanya sebagai inventaris, tapi nantinya... aku sendiri juga bakal turun tangan dengan menjadi pacar sewaan tersebut. Tapi kelihatannya itu bakal sulit. Mencari orang yang mau menjadikanku sebagai pacar secara gratis saja,  susahnya minta ampun...  apalagi mereka disuruh menyewa.

Untunglah, aku masih cukup sadar dan tahu diri, sehingga niatanku untuk membuka bisnis pacar sewaan hanya sekadar bayangan saja.

Karena bagaimanapun, bisnis ini jelas merusak semangat militan para jomlo ,dalam perburuan seorang pacar. Semangat membara seorang jomlo yang senantiasa berusaha keras mempraktekan alur metodis sebuah perburuan, yang diawali dengan penaksiran dan diakhiri dengan penembakan.

Tentu kita harus sadar, bahwa yang istimewa dari seorang pacar bukanlah kecantikan, kebaikan, atau perhatiannya. Lebih dari itu, yang paling istimewa dari seorang pacar sejatinya adalah... sensasi pada saat berjuang mendapatkannya. It’s all about the process, not the result. Dan bisnis sewa pacar ini telah merusak kerangka proses ini.

"Anjriiit!"

Aku berharap, para Jomlo yamg membaca tulisan ini sadar, dan tidak terpengaruh dengan promosi masiv bisnis sewa pacar yang ramai beredar di berbagai media sosial. Percayalah, lebih baik "menyendiri dalam kejujuran" daripada "punya pacar tapi penuh kepalsuan"

Sudah Jomlo, pendusta pula, apa yang bisa Sapean harapkan?

Dan untuk para  pebisnis pacar sewaan, ayolah, tak bisakah kalian mencari bisnis lain yang lebih menghormati kesakralan sebuah hubungan? Yakinlah, masih banyak kok ceruk usaha lain yang omsetnya tak kalah mengiurkan selain bisnis sewa pacar, misalnya membuka bisnis Kontak Jodoh, atau membuka Wifi Cafe, atau sepertiku nulis novel, terbitkan, berharap menjadi best seller... kaya deh.

Sedangkan untuk para pria atau wanita yang mau-maunya dijadikan sebagai obyek pacar sewaan. Segera sadarlah, kalian itu bukan pemain sinetron, yang bisa dengan begitu mudahnya diskenariokan di entertainment partikelir. Kalian itu terhormat, maka bersikaplah layaknya seperti insan yang terhormat. Ingatlah Uang tidak bisa membeli segalanya.


Rabu, 10 Oktober 2018

Mbah Setu Dan Sebatang Handphone

Namanya adalah Mbah Setu, usianya sekitar 75 tahun. Dia tinggal di tengah hutan, bersama istri tercintanya Mbah Sakem yang berusia 70 tahun. Atas kebaikan hati para Penjaga Hutan di wilayah itu, Mbah Setu dan keluarganya boleh bertempat tinggal, dan diperkenankan menggarap lahan di sela-sela tanaman hutan. Itu pun dengan syarat, dia harus mau ikut membantu... memelihara pohon Jati muda, yang ditanam okeh pihak PERHUTANI.

Pohon jati yang dirawatnya itu sudah seukuran bedug, dan tinggi besar menjulang ke angkasa. Karena dia sudah berdiam di situ, sejak dia diusir oleh warga desanya 40 tahun lalu... karena dicurigai memiliki Ilmu santet. Dia dan istri tercintanya memilih tinggal di sana, di tengah hutan dan jauh dari desa tempat kelahirannya. Makan dari hasil panenan, yang mereka tanam di sela pepohonan. Mbah Setu dan istrinya adalah sosok yang ulet, mereka tidak merasa berkekurangan... meski pun mereka sudah terisolasi puluhan tahun lamanya. Mereka membuat nasi jagung dari tanaman jagungnya, dengan peralatan uang sederhana... hasil karyanya sendiri. Dan membuat lauk dari tanaman yang ada, bermacam sayuran yang ditanamnya.

Sering dia menukarkan hasil kebunnya dengan bumbu dapur, kepada petugas Polisi Hutan yang sengaja mengunjunginya. Tetapi memang, kedatangan petugas itu tidak bisa ditentukan. Kadang sebulan, kadang dua bulan sekali, bahkan jika musim penghujan... hampir tak seorangpun dari petugas itu yang mengunjunginya. Sepanjang musim itu mereka terpaksa makan apa saja yang ada. Tetapi sungguh, mereka adalah keluarga yang berbahagia. Mbah Setu memanggil istrinya Bune (Ibunya), sedang Mbah Sakem memanggil suaninya Pakne (Bsosknya). Walaupun, mereka tidak dikaruniai seorang anak pun. Mereka memposisikan diri sebagai Bapak dan Ibu siapapun.
***
Suatu hari Mbah Setu agak terlalu jauh meninggalkan gubugnya, menyusuri jalan setapak... yang sebenarnya adalah bekas tapak kakinya, berpuluh tahun melintasiya. Dia berjalan ke arah luar hutan, mengarah ke jalan beraspal... jalan yang membelah hutan tempat tinggalnya, yang menghubungkan Kabupatennya dan Kabupaten tetangga. Sebelum sampai di jalanan aspal langkahnya terhenti, dia melihat kira-kira 20 meter di depannya... terlihat beberapa orang Pria. Seorang Polisi, seorang Polisi Hutan, seorang mengenakan kopyah hitam mungkin seorang petinggi... karena kedua orang polisi itu, bersikap sangat hormat dan santun kepadanya. Terlihat juga beberapa orang mengenakan helm proyek, ada yang berwarna kuning, putih, juga berwarna biru. Sementara, di pinggir aspal jalan raya... terparkir 4 kendaraan, satu diantaranya mobil patroli Polisi. Mbah Setu mengamati mereka tanpa mereka menyadarinya, dia bersembunyi di rerimbunan alang di bawah sebuah pohon Mahoni. Siapa mereka? Mau apa mereka berkumpul di tepi hutan sepagi ini? Pertanyaan berkecamuk di dada lekaki tua itu.

Beberapa saat setelah yang berkumpul itu masuk ke dalam mobil masing-masing, dan meninggalkan pjnggiran hutan itu... dia pun kembali berjalan.

Diseberang jalan aspal itu adalah tujuan perjalanannya pagi ini, ke tempat dimana dia dapat menemukan tanaman Gadung (sejenis umbi dari tumbuhan merambat, yang beracun dimakan jika tidak benar cara mengolahnya). Bulan-bulan begini tanaman itu sudah waktunya di panen, dia memanennya setahun yang lalu. Ada seorang Polisi Hutan yang selalu dengan senang sekali membarternya, setelah Mbah Sakem mengolahnya menjadi bahan siap makan. Bayangan bakal mendapat bumbu dapur yang banyak, menari-nari dalam angannya. Terbayang juga senyuman di wajah istrinya, waktu membungkuskan bekalnya tadi.

"Semoga mendapat gadung yang banyak ya, Pakne" kata istrinya sambil tersenyum.

Nasi jagung, dengan lauk kulup gambas (rebusan labu muda), dan sambel terasi kesukaannya. Pasti hari ini dia akan mendapat hasil yang banyak, karena istrinya mendo'akanya selalu.

Langkahnya sudah hampir mendekati jalanan aspal itu, ketika tiba-tiba matanya melihat sebuah benda tergeletak di rerumputan, Dengan tergesa dia menghampiri benda tersebut, diamatinya dengan kebingungan... benda yang baru kali ini dia melihatnya. Benda itu dipungutnya, hatinya masih begitu takjub melihat keindahan benda itu. Dia menduga, pastilah benda itu milik salah seorang tadi yang tercecer. Perasaannya bimbang, antara meninggalkan benda itu... atau membawanya pulang. Tetapi hatinya memutuskan untuk membawanya pulang, kelak jika ada petugas yang mengunjungi gubugnya... dia akan meyerahkanya.

Mbah Setu tidak tahu, benda yang ditemukannya itu adalah sebuah Handphone. Setelah mengantongi benda tersebut (handphone), dia kembali berniat meneruskan  langkahnya. Ketika tiba-tiba benda di kantongnya itu bergetar dan bersuara nyaring,

"Pak! Ada telpon Pak!... Pak! Ada telpon Pak!" (bunyi nada panggil/ringtone)

Mbah Setu sangat terkejut, sampai jatuh berguling di rerumputan. Dengan cepat dia merogoh kantongnya, dan membuang handphone yang masih bersuara itu.

"Pak! Ada telpon Pak!"

Dia memasang kuda-kuda, sambil mengamati dengan seksama yang bersuara itu. Tiba-tiba suara dari benda itu berhenti, juga sudah tidak terlihat bernyala lagi. Tetapi Mbah Setu belum beranjak dari tempatnya memasang kuda-kuda, matanya pun masih menatap tajam handphone itu. Nafasnya terengah, karena rasa terkejutnya belum hilang. Lelaki tua itu masih menunggu, kali ini dia sudah duduk bersila... sambil mulutnya berkomat-kamit, membaca mantra. Beberapa menit tidak terjadi apapun pada benda itu, diapun berdiri... berjalan mendekatinya. Dengan sikap waspada, dia coba mengulik benda itu dengan sebatang ranting kering. Tidak terjadi apapun, tetapi dia ragu apakah akan memungutnya kembali.  Baru saja tangannya terulur untuk mengambil, tiba-tiba benda itu bersinar lagi... bergetar dan bersuara lagi,

"Pak! Ada telpon Pak!"

"Pak! Ada telpon Pak!"

"Pak! Ada telpon Pak!"

Demgan reflex Mbah Setu melompat ke belakang, menjauhi benda bersuara itu. Kembali memasang kuda-kuda pencak silatnya... seraya menoleh ke kanan kiri, dengan kewaspadaan seorang Jawara sejati.

"Siapa Kamu! Tunjukkan wujud aslimu!" teriaknya sambil mengelilingi benda tersebut, tidak ada yang menjawab tantagannya. Perlahan nyalinya menciut, dia merasa mantra pengusir hantunya tidak mempan lagi. Dia mulai berjalan beringsut, menuju ke samping sebuah pohon jati yang besar. Lalu dia duduk di rerumputan, masih dengan memandangi benda tersebut.
Tak terasa, keringat mulai mengucur diseluruh tubuh tuanya. Bermenit-menit benda itu tidak mengeluarkan suaranya lagi, seribu tanda tanya berkecamuk di hatinya. Mungkin benda itu berisi jin atau setan. Mungkin benda itu tak ingin disentuhnya. Mungkin benda itu tak sudi dimasukkan kantongnya yang bau itu. Mungkin benda itu sedang memanggil pemiliknya, karena yang dia fahami dari suara itu hanya kata "Pak" saja. Mungkin benda itu adalah anak dari benda serupa, yang mungkin lebih besar dari benda itu sendiri.

Sepuluh menit berlalu, tidak ada tanda-tanda benda setelapak tangan itu akan memanggil "Bapaknya" lagi. Mungkin dia sudah tertidur, karena kekelahan memanggil-manggil bapaknya. Setelah merasa benda itu sudah aman, Mbah Setu pun memberanikan diri mendekatinya. Dengan sigap dia melompat, dan menerkam benda itu dengan sekuat tenaga. Tanpa berfikir panjang lagi, diikatnya benda itu ke ujung ranting yang dibawanya dengan erat. Kudian dengan hati-hati mulai berjalan, dia memegang ranting itu seperti seorang pemancing. Berjalan menuju ke rumahnya, karena semangatnya untuk mencari gadung tiba-tiba lenyap.

Sepanjang jalan menuju rumahnya, hatinya dipenuhi kebimbangan. Apakah suatu keputusan yang tepat, membawa benda asing ini ke gubugnya. Bagaimana jika istrinya nanti ketakutan? Bagaimana jika jin yang ada di dalam benda itu merasuki istrinya? Bagaimana jika keputusannya membawa benda itu pulang, adalah seperti membawa pulang permasalahan saja?. Berulang kali pertanyaan itu berkecamuk di hatinya, hingga tak terasa langkahnya sudah memasuki halaman rumahnya. Istrinya yang sedang memetik sayur, terkejut dengan tingkah suaminya itu.

"Pakne! Ada apa?! Mengapa berjalan seperti itu???"  terdengar ada kecemasan di dakam teriakan itu, Mbah Setu memasang jari telunjuknya diletakkan di bibirnya... memberi isyarat istrinya untuk tidak bersuara. Dengan lambaian satu tangannya, dia memanggil istrinya untuk mendekat. Yang dipanggil pun datang mengendap-endap, mengikuti instruksi isyarat tangan suaminya. Berdua dengan saling berpegangan tangan, mereka pun masuk ke dalam gubugnya. Meletakkan ranting dan yang terikat handphone itu di meja. Kemudian Mbah Setu mengajak Mbah Sakem menjauh, sambil berbisik dengan suara tertahan,

"Ambilkan air minum, Bune,"

"Kamu kenapa, Pakne? Tubuhmu sampai gemetaran dan berkeringat begini?" tanya istrinya sambil mengangsurkan sebuah kendi pada suaminya, "Dan mana hasil pencarianmu hari ini?"

"Aku tidak bisa mencari gadung setelah menemukan benda ini, tenagaku habis terkuras untuk mendiamkan benda ini"

"Ini benda apa, Pakne? Kelihatannya sangat bagus... boleh aku menyentuhnya?"

"Jangan Kamu sentuh benda itu, dia itu hidup... bisa bersuara dan memanggil bapaknya"

Mbah Sakem menjadi semakin penasaran, dia tidak mendengarkan nasehat suaminya. Tiba-tiba saja dia sudah berdiri di samping meja, melepaskan ikatan benda itu dari ranting. Ketika tiba-tiba benda itu menyala, bergetar dan berputar  di atas meja... dan bersuara dengan kerasnya.

"Pak! Ada telpon Pak!"

Mbah Sakem menjerit ketakutan, berlari memeluk tubuh suaminya dengan gemetar.

"Pergi! Jangan ganggu keluarga Kami!" teriak Mbah Setu dengan marah

"Pak! Ada telpon Pak!"

Mbah Sakem semakin keras saja jeritanya, kain lusuhnya basah karena dia terkencing-kencing karena takutnya. Mbah Setu meraih sebatang kayu pengganjal pintu gubugnya, bermaksud akan memukulkannya pada benda itu.

"Diamlah! Atau Aku akan menghancurkanmu dengan kayu ini!"

"Pak! Ada telpon Pak!" benda itu tetap beesuara, seakan berjalan mendekati pinggir meja karena getarannya. Mbah Setu semakin marah, benda itu mengindahkan peringatannya. Maka dengan bersikap menyerang, dia bermaksud menghancurkan benda laknat itu.

"Hiiiiiaaaaaattt... !!!"
Tetapi terdengar suara keras dari luar gubugnya, yang menahannya dari gerakan menghancurkan benda itu,

"Assalamu' alaikuum... !"

Mbah Setu menoleh ke arah sumber suara, melalui pintu gubugnya yang terbuka. Dia melihat beberapa orang berdiri di sana, ada Pak Winarto si Polisi Hutan, satu orang Polisi, dan satu lagi lelaki gemuk berkopyah yang dilihatnya di pingguran hutan tadi pagi. Tergopoh suami istri itu pun keluar, menemui para tamunya.

"Walaikumusalaam!" jewab Mbah Setu dan Mbah Sakem hampir bersamaan, "Ada apa gerangan Bapak-bapak ini berkunjung ke gubug Kami?" imbuhnya lagi. Pak Winarto berjalan mendekati tubuh lelaki tua itu , seraya berkata kepadanya,

"Mbah, ini Pak Camat... dan ini Pak Kapolsek. Pak Camat baru saja tadi pagi kehilangan handphone, tepat di dekat jalan setapak... di dekat jakan raya, yang biasanya Mbah Setu lewati untuk memanen gadung," Pak Winarto memandang wajah lelaki, yang tampak kurang memahami perkataannya itu, sepertinya dia tidak memahami kata-katanya

"Apa Pak? Hapon?" tanya kakek itu kebingungan.

"Apa Sampeyan menemukan. benda seperti ini, Mbah?" berkata begitu Polisi Hutan itu, mengeluarkan sebatang gawai dari kantong celananya. Demi melihat benda itu, suami istri itu pun menjerir bersamaan. Seperti biasa, Mbah Setu langsung memasang kuda-kudanya. Tiga orang tamu itu tidak kalah terkejutnya, mereka pun mundur satu langkah bersamaan. Seperti ada sesuatu yang teringat, Pak Win segara mendatangi Mbah Setu berdiri... tentu setelah dia kantongi kembali gawainya.

"Bagaimana, Mbah. Apa Sampeyan menemukan benda itu?" tanyanya dengan lembut, seraya menepuk pundak pendekar renta itu.

"Tidak seperti itu, Pak. Tetapi mirip seperti itu," jawab Mbah Setu sambil menutup kuda-kudanya. Pak Camat ikut neringsut mendekati mereks, dan mulsi berkata juga si kakek nenek.

"Itu handphone Saya, Mbah. Didalamnya... tersimpan data-data penting, dan nomer-nomer penting para Pejabat Negara," katanya kemudian. Mbah Sakem yang lebih faham duluan dari suaminya, segera menunjuk ke arah meja di dalam gubugnya. Dengan tergesa Pak Winarto segera masuk, untuk mengambil benda dimaksud.Ketika benda itu sampai ke tangan pemiliknya, tiga orang itu pun bersama mengucap Alhamdulillah.

"Untung Mbah menemukan hape Saya ini. kalau orang lain yang menemukan... pasti sudah lienyap entah kemana. Terima kasih ya ,Mbah..." berkata seperti itu,  Pak Camat sambil memberikan lima lembar uang ratusan ribu. Mbah Setu menerima uang itu keheranan, sudah 40 tahun dia dan istrinya tidak melihat uang. Dan memang, selama itu pula dia dan istrinya... tidak pernah lagi memegang uang, apalagi mempergunakannya. Apalagi dia tahu, uang yang diberikan Pak Camat itu adalah tanda terima kasih... karena dia telah menemukan benda milik Pak Camat. Mbah Setu mengembalikan uang itu, tetapi Pak Camat tidak mau menerimanya. Maka, terjadilah saling angsur-mengangsur uang diantara mereka berdua.

Pak Winarto segera menengahinya, Pak Camat diajaknya menjauh dari Mbah Setu... kemudian dia berkata sesuatu kepadanya. Pejabat Pemerintah itu mengangguk-angguk, kemudian mendatangi lelaki tua dan isrrinya itu. Mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam, sekalian berpamitan kepadanya.

Setelah mereka pergi dengan membawa si hapon itu, barulah mereka merasa lega. Si Kakek langsung menggoda istri tercintanya.

"Owalaaah... Kamu ngompol, hanya karena si hapon ya, Bune?" ledeknya, yang merasa langsung memukul bahu suaminya dengan lembut. Berdua mereka kemudian masuk ke dalam gubug, sayup-sayup masih terdengar suara si kakek, "Buatkan Aku kopi ya, Bune".

Seminggu setelah kejadian itu, keluarga Mbah Setu dikejutkan dengan kedatangan beberapa orang berseragam. Mereka adalah beberapa orang SATPOL PP Kecamatan, yang masing-masing menangguk barang di pundak mereka. Ada Pak Winarto diantara mereka, yang menerangkan tentang kedatangan mereka.

"Ini semua adalah utusan Pak Camat, Mbah. Beliau mengirimkan sembako ini... sebagai ucapan rasa terima kasihnya" terangnya, "Beras 1 kwintal, mibyak goreng 50 liter, gula 20 kilogram, ada juga perlengkapan bumbu dapur... juga Beliau mengirimkan salamnya"

Mbah Setu hanya bisa ternganga dalam puji syukurnya , tidak menyangka Alloh memberinya rejeki yang banyak melalui Pak Camat. Ini gara-gara si hapon yang memberinya berkah, semoga semua ini barokah. Mbah Setu dan istri pun sangat berterima kasih, mereka melakukan sujud syukur bersama-sama di tanah. Alhamdulillaah.

*Naskah ini sudah dikirimkan ke redaksi@mojok.co (tabloid online berhonor), pada tanggal 2 Desember 2018.

Link: www.mojok.co (denhan keterangan pernah dipublish di komonitas ODOP)

#KelasFiksi

#ODOPBatch6

#TantanganKirim.ArtikelKeMediaMassa

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...