Senin, 31 Desember 2018

Cinta Bersemi Di Tempat Kost

Tambaksawah Waru-Sidoarjo 1991.
Alhamdulillah, akhirnya namaku termasuk dari 20 orang yang diterima bekerja di PT Siantar Hot Industri. Sebuah industri makanan ringan, yang berlokasi di kawasan Sidoarjo Jawa Timur. Setelah sehari lamanya aku merepotkan anak tetanggaku, nebeng tidur dan makan di kamar kosnya yang sempit.

Berita keberhasialanku itu pun, segera aku kabarkan kepadanya.

"Mas, alhamdulillah aku diterima kerja di Siantar Hot. Dan, mulai besok pagi aku sudah mulai bekerja di bagian oven atau ekstruder." kataku pada Mas Eko, anak tetanggaku itu.

"Syukurlah, kamu baru sehari langsung mendapat pekerjaan disini. Dulu, aku sampai sebulan luntang-lantung. Sebelum bekerja di PT.Kertarajasa, aku pernah ikut kenalan menjadi kenek angkutan." jawabnya, seraya memberesi pakaiannya ke dalam sebuah dus besar,"Kebetulan juga, aku harus berangkat ke Kalimantan Timur besok lusa. Aku mendapat panggilan kerja disana, di sebuah pabrik plywood. Aku pulang dulu ke Nganjuk, baru besoknya berangkat. Kamar kos ini baru saja aku bayar sewa bulanannya, kamu bisa menempatinya sendiri. Sayang jika kamu cari kos lainnya, dari Siantar Hot juga sangat dekat jaraknya."

Aku sangat terkejut dengan berita tersebut, kehilangan Mas Eko sama dengan kehilangan rujukan tentang tempat itu.

Semalam tinggal bersamanya, dia sudah banyak memberiku wawasan tentang kehidupan merantau. Bagaimana mengelola uang gaji, bagaimana mendahulukan sesuatu yang penting diatas kebutuhan lainnya. Dan, memang hanya dia satu-satunya orang yang kukenal, diantara 11 penghuni kamar lainnya.

Malam itu juga Mas Eko berpamitan kepada si pemilik kos, dan memperkenalkanku sebagai penerus kamar kosnya. Dan mulai malam itu, aku mulai tinggal di kamar kos itu seorang diri. Disinilah permasalahan dimulai.

Aku menutup pintu kamar kosku, kemudian mulai terduduk termenung di atas kasur dipan yang sederhana. Bagaimana caranya aku memulai hidup seorang diri di perantauan? Bagaimana nanti aku sarapan? Kemarin , Mas Eko mengajakku ke sebuah warung di pinggir jalan menuju arah pabrikku. Tak sepeser pun aku mengeluarkan uang, karena Mas Eko lah yang mentraktirku.

Kubuka dompet lusuhku, yang kubeli tiga tahun lalu saat mulai bersekolah di SMA. Dompet bermotif doreng, yang sudah sobek di kanan kirinya. Hanya berisi selembar KTP dengan lima lembar fotocopynya, empat lembar pas foto, dan selembar uang limaratus rupiahan yang bergambar orang utan itu. Bagaimana aku bisa memulai hidup, dengan selembar uang limaratus rupiahan di dalam dompetku?

Bahkan saat itu juga perutku sudah berbunyi, sebanyak empatpuluh tiga kali semenjak tadi. Aku menghitungnya? Ya, aku menghitung bunyi keroncongan perutku... yang sejak siang tadi belum terisi makanan apapun.

Kemarin jam 12 siang aku pulang ke kosan, menunggu Mas Eko pulang dari jam istirahat pabriknya... kemudian menunggu ajakannya untuk makan siang di warung. Tetapi, tadi aku tidak sempat pulang. Karena ada briefing karyawan baru di calon pabrikku itu.

Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar kosku diketuk dari luar, dan suara seorang wanita memanggil nama Mas Eko.

"Mas! Mas Eko!"

Aku beranjak membuka pintu yang hanya berkunci engsel (kaitan besi) itu, dan terlihat seorang gadis sudah berdiri di depan pintu. Di tangannya tampak memegang sebuah rantang besar, mungkin berisi makanan. Dia terkejut mendaoari aku di kamar itu, seperti kurang puas gadis itu cekibgukan mengintip ke dalam kamar.

"Ada apa, Mbak?" tanyaku pelan.

"Mas Ekonya, ada? Sampean siapanya?" pertanyaanku belum dijawabnya, dia sudah balik bertanya padaku. Untung dia cepat tersadar, mwngukurkan tangannya sambil menyebut namanya.

"Namaku Afifah, Mas. Kamarku yang di dekat sumur itu, ini nasi dan lauknya lengkap. Mas Eko memesannya untuk satu minggu, orangnya kemana?"

"Namaku Sabdono, Mbak. Mas Eko sudah tidak tinggal disini lagi, dia mendapat panggilan kerja di Kalimantan. Malam ini tadi dia pulang ke Nganjuk, mungkin beberapa hari ke depan baru berangkat."

"Oh, berarti dia pesan masakan ini untuk sampean, Mas" katanya sembari menyodorkan rantang itu padaku,"Karena dia bilang, antarkan ke kamarku pagi dan sore, atau malam, selama seminggu."

Aku trrkejut dengan kenyataan yang kualami ini, betapa baik hatinya seorang Mas Eko padaku. Bahkan, sampai urusan makanku selama belum bergaji pun dia perhatikan.

"Ayo, Mas! Diterima nasinya ini, besok pagi aku ambil rantangnya sambil membawakan sarapan." kata Afifah, membuyarkan keterharuanku. Andai pada saat itu ada alat yang bisa mengantarkanku kepada Mas Eko, aku akan datang padanya... mencium tangannya, memeluk tubuhnya, dan setulus hati mengucaokan terima kasih... atas perhatian dan kasih sayangnya padaku.

"Mas! Kok malah melamun, sih. Ini diterima rantangnya, gak usah kawatir... ini sudah dibayar Mas Eko, untuk satu minggu." kata Afifah mengagetkan lamunanku, segera kutetima rantang itu. Dan Afifah pun perfi menuju kamarnya, sementara aku kembali menutup pintu kamarku. Rasa lapar yang tetamat sangat, membuatju malas memikirkan yang lain-lain. Dan terlelap pulas, setelah menyelesaikan acara 'santap malam' yang tidak terduga itu.

***

Pagi hari pertamaku di tempat kos itu, terkejut oleh suara hiruknpikuk penghuni kamar kos lain. Aku membuka pintu kamar, dan merasakan hembusan angin pagi... yang tidak sesegar udara pagi di tempat asalku, Nganjuk. Apalagi suasananya, tidak sedamai suasana di desaku.

Dari kamar paling ujung, terdengar caci-maki seorang istri kepada suaminyabyang semalaman tidak tidur di kosan. Sementara dari kamar di depannya, terdengar suara musik dangdut yang diputar dengan kencang. Membuatku teringat pada suasana di desaku, ketika tetanggaku sedang menggelar pesta hajatan. Dari arah sumur terdengar suara protesan, karena seseorang memakai kamar mandi terlalu lama. Rupanya, mandi sambil bernyanyi disini adalah pantangan. Di arah yang lain, aku mendengar suara segerombolan wanita sedang bergibah. Lengkap sudah keberisikan di tempat itu, cukup bagiku untuk memberikan kesan 'kacau balau' padanya.

Aku masih bertahan duduk di depan pintu kamarku, sambil menertawakan dalam hati kegaduhan di pagi hari itu. Ketika tiba-tiba pintu kamar disebelah kamarku terbuka, terlihat seorang gadis sedang berusaha keluar. Wajahnya tampak sangat pucat, rambut panjangnya terurai tidak beraturan. Satu langkah meninggalkan pintu kamarnya, dia tampak sempoyongan. Sedetik kemudian, dia terjatuh tepat menimpa tubuhku.

Terdengar beberapa jeritan para wanita yang melihatnya, dan terasa beberapa orang yang berusaha mengangkat tubuh gadis yang jatuh menimpaku itu ke dalam kamarnya. Dan seorang wanita yang tinggi besar datang membantuku untuk berdiri, mengelap kotoran tanah yang menempel di baju dan sarungku.

"Sampean tidak apa-apa, Mas?" tanyanya, setelah yakin aku sudah berdiri dengan sempurna.

"Tidak apa-apa, Mbak. Kenapa dengannya?" tanyaku kemudian.

"Namanya Purni, mungkin vertigonya sedang kambuh, Mas. Oh iya, sampean orang baru ya? Namaku Yuliati, dari Kediri." katanya ramah, mengulurkan tangan memperkenalkan diri.

"Namaku Sabdono, dari Nganjuk" jawabku sambil menjabat tangannya.

Beberapa orang yang menggotong rubuh Purni sudah keluar kamar, mereka datang padaku memperkenalkan dirinya masing-masing. Umi dari Gresik, Lidya dari Sumbawa, Qurun juga dari Kediri, dan tentu saja Afifah juga dari Kediri. Baru aku menyadari, ternyata kebanyakan disini yang kos adalah parawanita, para karyawati pabrik.

Setelah melalui kejadian yang tidak terduga di hari pertamaku, aku segera mandi. Menikmati sarapan hasil masakan Afifah, kemudian pergi ke pabrik baruku.

****

Di PT.Siantar Hot, aku ditempatkan di bagian ekstruder (pengadonan) bahan kerupuk. Hanya beberapa hari, kemudian dipindahkan lagi ke bagian oven. Hingga satu bulan lamanya, hingga melahirkan kisah ini.

****

Gadis yang pada pagi hari jatuh menimpaku itu bernama Purni, seorang gadis cantik yang berasal dari Kropak, Pati, Jawa Tengah. Setelah sembuh dari vertigonya, dia bertamu ke kamarku di suatu malam. Berkali-kali dia meminta maaf padaku, karena tidak sengaja telah menibani tubuhku. Kami berdua ketawa-ketiwi mengenangkannya, sambil sesekali saling mengolok 'ketidak sengajaan' itu.

Setelah malam itu... hubungan kami menjadi sangat akrab, hingga akhirnya aku berani 'mengungkapkan perasaan cintaku' padanya. Purni menerima cintaku, bahkan dalam waktu yang sebentar itu aku sudah meyakinkannya... aku akan melamarnya, menjadikannya istriku.

Sudah layaknya hidup sebagai suami istri, bukan berarti kami tinggal sekamar. Tetap tinggal di dua kamar yang berdekatan, kami satukan uang belanja untuk membeli bahan makanan.

Purni memasak nasi dan lauknya, aku yang berbelanja sayuran setiap paginya. Sering aku bawakan dia kerupuk mentah dari pabrik, tentu saja dengan menyembunyikannya dari pemeriksaan scurity. Biasanya aku membungkusnya dengan plastik longgar, lalu melilitkannya dengan isolatif di seputar betisku. Itulah yang membuatku selalu menjerit-jerit, ketika Purni berusaha membuka isolatifnya... bulu-bulu kakiku ikut tercabut.

****

Ternyata, cinta yang sudah terjalin hampir setahun lamanya. Keseharian yang terbina, hidup bagaikan suami istri pun tidak bisa memastikan... kisah ini akan sampai pada jenjang pernikahan. Manusia hanya berusaha dan berdo'a, Tuhan juga yang menentukannya. Kami berpisah, karena Purni dijemput paksa kedua orang tuanya dari Pati... yang telah terlanjur menerima pinangan orang lain atas dirinya.

Aku hanya bisa menerima kenyataan, mencintai tidak harus memiliki. Purni pun pergi, dan seminggu kemudian aku sudah jadi milik Yuliati. Sebulan kemudian bersama Qurun. Tetapi, akhirnya aku menikahi Retno Probowaty... seorang karyawati Apollo Mart, yang terserempet sepeda motorku malam itu.

TAMAT

Kamis, 27 Desember 2018

Cintaku Seteguh Tugu Portugis

"Hallo, Mas. Sudah sampai mana perjalananya?" terdengar suara Habibah di speaker gawaiku, perlahan aku menoleh ke luar jendela bus yang kutumpangi. Kubaca sebuah papan nama di sebuah masjid, ternyata sudah sampai di Pecaron.

"Sudah sampai Pecaron, Sayang," jawabku setelah pasti nama tempatnya,"Kamu menungguku di Panarukan?"

"Bukan, Mas. Turun saja di, depan Hotel Pasir Putih Permai" jawab kekasihku itu dengan jelas dan tegas, dan itu sungguh membuat dadaku berdebar-debar. Kenapa dia menyuruhku turun di depan sebuah Hotel?, dadaku semakin berdegup tak karuan.

"Maaf, Sayang. Kenapa menungguku di depan hotel? Apakah kita akan meng... ?" belum selesai aku bertanya, Habibah sudah memotong pembicaraanku.

"Bukaaaan! Astaghfirulloh, Mas Siman! Aku tunggu di depan hotel, karena aku membawa sepeda motor. Dari sini lebih dekat menuju desaku, lewat jalan persawahan di belakang desaku. Kalau dari Panarukan harus memutar jalan, bisa satu jam sampainya" aku tersenyum malu mendengar dia bercerita, malu karena bayanganku yang mesum tentang suasana kamar hotel yang indah. Dan itu dibantahnya langsung, aku kan jadi merasa konyol karenanya.

"Oh... begitu ya, sayang. Baiklah, ini sudah memasuki desa Pasir Putih. Sebaiknya, aku segera maju ke depan memberitahu tempat turunku pada kondektur." setelah mengucap salam dan mematikan percakapan, aku langsung berjalan merayap ke depan. Memberitahu kondektur, sebelum dia mempersilakanku mendekati pintu keluar.

Bus itu berhenti di seberang jalan Hotel itu, seseorang yang amat kurindukan sudah menyambutku dengan riang gembira. Mencium tangan kananku, aku pun membalas mencium tangan kananya. Dia segera menunjukkan dimana memarkir sepeda motor miliknya, dan mengambil tas carrier di punggungku.

Petlahan-lahan sepeda motor matic itu kubawa dengan santai, meninggalkan kawasan pasir putih. Kemudian sampailah di kawasan kecamatan Besuki, mengarah ke utara. Memasuki jalan pedesaan, menyusuri jalan di pinggiran sungai Sampeyan yang asri. Disekitarnya tetlihat ijo royo-royo (hijau menghampar), tanaman padi yang luas sepanjang mata memandang.

Habibah yang hari itu menjadi guideku (pemanduku), adalah satu-satunya rujukanku mengenali tempat itu.Ketika tiba-tiba pandanganku terantuk pada sesosok bangunan berbentuk tugu, di tengah-tengah area persawahan disamping sebuah desa. Itulah desa Peleyan (bahasa Madura yang artinya Pilihan), desa kelahiran kekasihku ini.

"Apa kita bisa mendekati tugu itu, sayang?" tanyaku pada Habibah.

"Iya, nanti Mas. Kita ke rumahku dulu, kebetulan Kakak tertuaku sedang melakukan penelitian tentang tugu itu juga. Dia adalah dosen di Universitas Negeri Jember" jawab Habibah. Aku mengangguk setuju, dan langsung memacu sepeda motor menuju rumahnya.

Keluarga Habibah sangat familiar denganku, walaupun baru sekali ini aku berkunjung. Kakak tertuanya Mas Edy Burhan sangat senang mengenalku, ketika dia tahu aku seorang penulis. Selepas sholat Dhuhur, kami bertiga... aku, Habibah, dan Mas Edy pergi mengunjungi Tugu Portugis itu. Cukup beesepeda motor, karena bwnda itu terletak persis di pinggiran desa.

Tugu setinggi tiga meter itu tersembunyi di belakang rumah warga desa Peleyan Panarukan, dikelilingi area pertanian padi yang subur menghijau. Orang kampung setempat menamainya Tugu Portugis.

Berujung lancip, tugu ini dipercaya sebagai satu-satunya peninggalan Portugis di Kecamatan Panarukan, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Letaknya di sisi timur Sungai Sampeyan, Dusun Peleyan Barat, Desa Peleyan, Panarukan.

Jangan berharap ada papan penunjuk jalan menuju tugu ini. Kalau saja aku tidak berkunjung ke rumah kekasihku, mana mungkin aku tahu ada peninggalan sejarah seperti ini. Mungkin bisa juga tahu dari Internet, atau bertanya kepada warga sekitar untuk menemukan lokasi tugu ini. Letaknya sekitar 2 m kilometer ke utara, dari monumen 1.000 KM Anyer-Panarukan.

"Tugu ini sering didatangi orang dari luar kota, Mas. Kebanyakan adalah peneliti, atau dari mahasiswa sejarah" kata Habibah sambil terus menggandeng tanganku, aku memandangnya dan mengangguk.

"Kata Bapakku, tugu ini sudah ada sejak beliau kecil. Orang tua Bapak bercerita, katanya tugu ini dibuat orang Portugis,” sambung perempuan yang sudah hampir satu tahun ini kupacari, aku senang dia ternyata sangat mendukung profesiku.

Kondisi tugu itu memprihatinkan. Bopeng di mana-mana. Warna putihnya lusuh, dan dikepung ilalang di pinggirnya. Dari bagian yang bopeng, aku bisa melihat batu bata yang tersusun berukuran tebal dan besar. Tidak ada informasi yang tertulis di tugu ini.

Menurut Mas Edy, tugu itu satu-satunya peninggalan Portugis yang tersisa di Panarukan. Portugis datang dan mendirikan bandar dagang di sisi timur Sungai Sampeyan pada abad ke-16 (1700M)

Sungai Sampeyan adalah sungai terbesar di Situbondo yang bermuara langsung ke laut Panarukan.

"Dulu Sungai Sampeyan lebih dalam, sehingga kapal-kapal besar bisa masuk,” kata Mas Edy, sambil menunjuk sungai dalam perkiraannya.

Mas Edy menjelaskan, Pelabuhan Panarukan dulu menjadi satu-satunya pelabuhan besar di ujung timur Jawa. Panarukan sudah dikenal sejak era Majapahit. Puncaknya, ketika Raja Hayam Wuruk memilih Panarukan sebagai tempat pertemuannya dengan raja-raja dari timur.

Selain membangun bandar ekonominya di Pelabuhan Panarukan, Portugis menjadikan Panarukan sebagai pusat misionaris di ujung timur Jawa. Sejumlah gereja Katolik sempat didirikan di daerah yang dulunya pusat Kerajaan Blambangan ini. Karena ada ekspansi Islam dan perebutan kekuasaan, gereja-gereja tua akhirnya dihancurkan.

Menurutnya lagi, besarnya nama Panarukan pada masa silam membuat Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels memilihnya sebagai ujung Jalan Raya Pos, jalan sepanjang seribu kilometer yang dibangun dari Anyer (Banten). Daendels tahu betul Panarukan berpotensi besar sebagai daerah pertahanan dan ekonomi.

“Komoditas-komoditas penting dari ujung timur Jawa bisa dikirim lewat Panarukan.” katanya mengakhiri percakapan, karena tiba-tiba serombongan cewek yang rata-rata berwajah oriental datang.

Sembilan orang cewek dengan hanya mengenakan shirt, dan memakai hotpant berwarna-warni. Guide mereka membimbing untuk menyalami kami, dan menerangkan bahwa mereka adalah wisatawan dari Jepang.

Mungkin diantara mereka ada yang keponakan Maria Osawa (Miyabi), atau kemenakan Anri Suzuki (Aki). Tiba-tiba aku tersenyum geli, karena teringat dua bintang film dewasa itu. Habibah mencubit perutku keras sekali, aku sengaja tidak berteriak walaupun terasa sakit sekali.

"Apa sih, Yang?!" tanyaku sambil memelototinya, Habibah malah tambah lebar matanya memelotiku.

"Lagi bayangin wajah gadis-gadis Jepang itu, ya! Sampai senyum-senyum begitu?!"

"Ah, tidak!"

"Bohong, ya?! Mas jahat sekali ya, padahal ada aku disampingmu"

"Tidak, sayang. Aku tidak sedang membayangkan siapapun, aku kan tipe cowok setia. Setahun kita pacaran, sekalipun tidak pernah membohongimu kan?" kataku sambil menggenggam kedua tangannya, Mas Edy langsung ngeloyor pergi, mengangkat tangan kanannya sambil menggelengkan kepalanya.

"Aku tunggu di rumah ya, Man!" serunya.

"Iya, Mas!" jawabku masih dengan memegangi tangan kekasihku.

"Sayang, kamu jangan menuduhku membayangkan cewek lainnya. Bagiku, engkaulah yang tercantik, yang terbaik, yang sempurna"

"Bohong!" jawab Habibah malu-malu, naga-naganya dia minta dipeluk. Aku pun menarik tubuhnya dalam pelukanku, seperti biasa dia mandah saja.

"Cintaku padamu seteguh Tugu Portugis, Sayang. Tak lekang oleh waktu, tetap berdiri kokoh dalam kesetiaan cinta!" bisikku di telinganya

"Ih, Mas Siman! Merayuku di persawahan... aku kan malu!" serunua sambil mempererat pelukannya, wajahnya menengadah menatap wajahku. Sehingga aku dapat melihat, keinginan yang terpancar dari mata bulatnya yang lucu itu. Maka kudekatkan bibirku ke arah bibirnya, hampir saja terlumat bibir itu. Tapi tiba-tiba, terganggu oleh kegaduhan yang terjadi dari kerumunan wisatawan Jepang itu.

"Oh, this so sweet!" terdengar teriakan provokasi dari kerumunan wisatawan itu. Dan tiba-tiba suasana menjadi riuh, cewek-cewek Jepang itu serentak menyerbu kami. Mereka meminta foto bersama, dan beberapa kali foto selfie. 

"Cekrek!"

"Cekrek!"

Hororoto kono! Kodo-kodo sukamoto!

Tamat.

Kamis, 20 Desember 2018

Novel Suraida Sudah Terbit

Suraida dengan bahagia menghempaskan tubuh kecilnya ke atas springbed, dia masih belum meyakini seutuhnya atas berkah... juga kasih sayang, yang diterimanya hari ini. Wajahnya tampak berseri-seri, selalu nampak senyum diujung bibir kecilnya. Kejadian di sekolah tadi pagi, masih menari-nari di matanya.

Pak Suradi, guru Bahasa Indonesia memanggilnya ke Ruang BP ketika jam istirahat. Semua mata mereka yang berdiri di sepanjang lorong menuju Ruang BP, menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya. Karena sebelumnya, namanya dipanggil melalui pengeras suara.

"Perhatian! Siswi bernama Hessa Suraida, kelas XII IPS-2. Harap segera menemui Bapak Suradi, di Ruang BP!" begitu bunyi panggilan, yang entah berapa kali diulang-ulang.

Di selasar kelas XII IPS-1, dia bertemu Vidia teman sekelasnya... sedang mengobrol dengan Betran, sosok favorit, dan juga idola di sekolahnya. Seorang pemuda genius langganan ranking 1, juara olimpiade bahasa, juara beberapa lomba even kepenulisan, baik tingkat Kabupaten maupun Provinsi.

Membawa team basket sekolah, menjuarai  Pekan Olahraga Pelajar, dan juga menjadi juara pencak silat pelajar tingkat nasional. Belum lagi dia haffiz penghafal Al-qur'an, dan qori yang bersuara merdu.

Sungguh suatu prestasi yang sangat luar biasa, untuk ukuran bocah tinggi kerempeng itu. Sangat wajar, jika seantero sekolah ini mengidolakannya. Juga Suraida, hanya saja... mereka terlihat seperti 'Tom dan Jerry' saja layaknya.Suraida bahkan marah atau pura-pura marah, jika namanya disebut sebagai salah satu 'penggemar' Betran.

Vidia menyapanya dengan pertanyaannya,"Ada apa,Da? Kenapa Pak Suradi memanggilmu? Apa kamu belum mengerjakan tugas resume?"

"Tidak tahu aku,Vid. Aku sudah mengerjakan semua tugas Bahasa Indonesia, sebaiknya aku segera kesana. Sebelum perawan tua itu, memanggil-manggilku lagi!" jawab Suraida. Perawan tua yang dimaksud Suraida adalah Julaika, pegawai TU berumur 30 tahun yang senang betul memposisikan diri sebagai 'penyiar'.

Suraida, yang sudah bermaksud melanjutkan langkah kakinya. Tetapi dia mengurungkan niatnya, karena mendengar Betran menimpali obrolannya dengan Vidia

"Mungkin, nagih uang SPP!" Suraida terkejut dengan kata-kata Betran, dia menoleh sinis pada pemuda dambaan semua cewek di sekolahnya itu.

"Apa Lu bilang, nagih SPP? Kalau bener gue ditagih uang SPP, nagihnya juga pake surat resmi kelles. Lagian, kenapa juga Pak Suradi ngurusin pembayaran SPP? Konyol Lu!"

Betran terkejut melihat reaksi Suraida yang begitu sinis, dia hanya tersenyum kikuk sambil memandangi gadis berkerudung itu. Suasana menjadi tegang, seperti sudah tidak kondusif lagi. Untung dengan lihainya, Vidia menengahi, pembicaraan yang berpotensi menuai konflik itu.

"Sudah! Mending Lu cepetan cabut deh, Da. Apa pengen nama Lu dipanggil lagi, sama Julaikah?"

Suraida tidak menjawabnya, terakhir dia memandang wajah Betran. Pemuda Idola semua siswa itu hanya menunduk, tidak berani menatap matanya yang masih terlihat nanar.

Ruang BP tampak lengang, hanya terlihat Pak Suradi duduk di balik meja bimbingan. Melihat Suraida sudah memasuki ruangan, Julaikah segera beranjak dari meja penyiaran. Memandang sebal pada Suraida, lalu memberi isyarat pamit keluar ruangan pada Pak Suradi.

Setelah mendapat isyarat 'diijinkan', gadis gemuk berkacamata itupun pergi meninggalkan ruangan. Pak Suradi membuat isyarat lagi, kali ini mempersilakan Suraida untuk duduk di kursi di depannya.

"Kamu terkejut ya, Bapak panggil kemari? tanya pria 45 tahun itu sambil tersenyum simpul. Suraida pun membalas senyum itu, dan mengangguk perlahan.

"Iya, Pak. Saya terkejut sekali, kenapa saya dipanggil."

"Bapak ingin membicarakan perihal novelmu, yang kamu ingin saya editori. Aku sudah membacanya, tapi karena sedang sibuk mengurusi Ujian Akhir Semester. Maka naskah itu kulimpahkan kepada orang lain, yang kuanggap mampu mengerjakannya," katanya sembari memilah beberapa tumpukan dokumen di mejanya, "Seperti permintaanmu, setelah selesai direvisi naskah itu langsung kukirimkan ke penerbit."

"Lhah?! Siapa yang jadi editornya, Pak?" tanya Suraida masih dalam keterkejutannya, bagaimana mungkin naskah novelnya sudah sampai ke penerbit... tetapi dia tidak tahu siapa editornya, siapa dia?.

"Betran Aliando Ahmad, dia tidak bercerita padamu?" kata Pak Suradi yang kali ini juga nampak terkejut,"Hanya dia di sekolah ini, yang kepiawaian menulisannya sangat mumpuni. Karena itu aku percayakan naskah novelmu padanya, untuk diedit dan direvisi."

Suraida ingin pingsan saja rasanya, dia tidak tahan membayangkan 'nasib novelnya' di tangan pemuda itu. Mungkin ada beberapa bagian yang dikuranginya, atau beberapa bagian yang ditambahinya. Atau mungkin, dia malah sudah merubah semua nama tokoh dalam ceritanya?. Suraida tiba-tiba merasa sangat patah hati, dia ingin marah, ingin ngamuk, dia sungguh sangat kecewa. Dia ingin berteriak sekuatnya, 'Tiiiiidddaaaaaakkk!!!'.

"Ida! Kamu melamun, ya?" tiba-tiba suara Pak Guru Bahasa Indonessia itu menyadarkan lamunannya, dia menunduk dengan tersipu, tersenyum malu dibalik ujung kerudungnya.

"Ini ada surat 'Bukti Terbit' dari penerbit, ini lima eksemplar cetakan novelmu, dan ini bukti sirkulasi novelmu di seluruh Nusantara," kata Pak Suradi sambil menyodorkan beberapa dokumen dalam amplop coklat yang besar, dan setumpuk novel bersampul sangat indah di depan Suraida,"Ilustrasi cover dan isi, Betran sendiri yang mengerjakannya."

Dengan terkejut Suraida segera menyambar salah satu novel di depannya, dengan tergesa dia membuka lembar pemberitahuan. Tertulis disana:

Suraida Lestari
Sang Idola/Suraida Lestari
Editor: Betran Aliando Achmad
Jakarta, Republik Penerbit, 2018

ISBN: 978.602.8997.90-1
I. Judul        II. Betran Aliando Achmad

Ditetbitkan oleh:
Republik Penerbit, Jakarta
Anggota IKAPI DKI Jakarta.

Suraida terbelalak tidak percaya dengan apa yang dibacanya, ternyata Betran sangat membantu sekali atas terbitnya novel ini. Pemuda itu tidak mengirimkan naskahnya ke penerbit indie, tetapi justru ke penerbit mayor yg juga menerbitkan karya novelis besar Terei Liyei. Dan di akhir tulisan, Betran menambahkan satu quote yang indah.

"Idolamu, adalah seseorang yang engkau kagumi sepanjang yang kau ketahui tentangnya. Kenalilah hatinya."

Perasaan Suraida begitu campur aduk, dimulai dari pertentangan kecil yang membuat hatinya sebal tadi. Lalu, rasa curiganya yang tidak terbukti pada Betran. Dan kini, benih kekaguman semakin tumbuh dan kuat melingkupi hati sanubarinya. Dan kemungkinan besar, Betran sudah faham tentang 'tokoh Wisky sang idola' di dalam novelnya itu, sehingga dia menambahkan quote di halaman akhir novelnya. Betran ingin dia menyelami hatinya?.

"Dan ini, chek senilai Rp.10.000.000 dari penerbit, yang kontrak kerjasamanya sudah di tandatangani Betran untukmu" kata-kata Pak Suradi tak dihiraukannya lagi, dia segera menghambur keluar ruangan. Berlari sekencang-kencangnya, smbil menyerukan sebuah nama, "Betraaaan!"

Seluruh sekolah pun seketika heboh milihat tingkahnya, dia berlari seperti orang kesurupan. Setiap kelas dimasukinya, setiap lorong dilaluinya. Tetapi, sosok yang dicarinya tidak juga ditemukannya.

Tiba-tiba Vidia sudah memeluk tubuh Suraida, yang sudah mulai bercucuran air mata di wajahnya. Suraida balas memeluk tubuh sahabatnya itu dengan sangat kuat, menangis lepas di bahu sahabatnya itu.

"Mana Betran, Vid!" serunya diantara tangisnya.

Dari kerumunan siswa terdengar seseorang menyahut,"Lu nyari gue, Da?" Betran keluar dari kerumunan, melangkah perlahan menuju tempat Suraida dan Vidia berpelukan.

Suraida segera melepaskan pelukannya dari tubuh Vidia, lalu menghamburkan tubuhnya ke pelukan Betran. Kembali menangis haru dalam pelukan idolanya itu. Semua yang berkerumun segera memberikan aplause, beberapa 'resse men' langsung berkomentar.

"Ini hari patah hati SMA kita!" disambut derai tawa mereka semuanya.

Setelah mereka saling melepaskan pelukkannya, Betran berkata pada Suraida.

"Maaf, gue sengaja tidak memberitahu Lu. Tapi gue selalu berkoordinasi dengan Pak Suradi  tentang novelmu, alhamdulillah sekarang novelmu sudah terbit. Selamat, ya!" kata Betran sambil mengulurkan tangannya.

Suraida memandang wajah Betran dengan lekat, dia tidak menyambut tangan itu. Tetapi malah kembali menghambur memeluk tubuh cowok pujaannya itu, lebih kuat dengan berbagai perasaannya yang berkecamuk. Pelukan seorang fans kepada Idolanya.

Dengan berbisik lirih Suraida berkata,"Lu sudah tahu tentang 'siapa' sang idola yang gue maksud dalam novel gue itu, kan?"

"Gue sudah tahu itu adalah gue, dan perlu elu tahu 'sang idolamu' itu sama sekali belum punya pacar... dia bahkan bukan playboy, atau pemberi harapan palsu seperti yang lu sangkakan dalam novelmu itu. Gue masih jomlo, tau!" Betran berbisik juga ditelinga Suraida lembut.

Suraida semakin jatuh hati pada cowok idola itu, setelah mendengar bisikkannya. Atau sebelum mendengar bisikkannya pun, dia sudah jatuh cinta.

"Lu mau jadi pacar gue?" bisik Betran kemudian, yang langsung dijawab Suraida dengan lembut dan malu-malu.

"Iyaaaa...gue mau"

Suraida juga Betran yang berpelukan tidak menyadari, ternyata kerumunan teman-temannya itu sudah mengepung mereka. Setapak demi setapak mereka melangkah mendekati Suraida dan Betran yang asyik berdiskusi, tanpa mereka sadari. Bahkan percakapan mereka pun terdengar sangat jelas, tidak ada rahasia lagi. Suraida dan Betran resmi berpacaran.

Sorak sorai mereka membuyarkan keasyikannya, mereka pun masing-masing menjadi tersipu-sipu. Mereka akhirnya bubar juga saat mendengar bel masuk berdering, juga Suraida dan Betran... mereka berjalan menuju kelasnya masing-masing.

Sepulang sekolah, Suraida dan Betran mampir di kedai bakso. Sebelum dengan sepeda motor trailnya, Betran mengantarkan kannya pulang ke rumah. Suraida tak berhenti mencubiti pipinya, di sepanjang perjalanan masuk ke dalam gang menuju rumahnya. Dia mengulas banyak senyum manis di bibirnya, di dadanya terdekap novel pertamanya Sang Idola. Suraida tertawa sendiri, karena tiba-tiba terlintas di fikirannya:
"Andai saja novel ini berjudul Sang Idola Kekasihku"

Tamat.

Materi Lanjutan Tentang Prosa Liris


Judul Materi: Materi Lanjutan Prosa Liris
Narasumber: Achmad Ikhtiar (Uncle Ik)
Hari/Tanggal: Sabtu, 9 Desember 2018
Tempat: Kelas Fiksi ODOP Batch 6
Waktu: 20.00 - 23.00

Berikut adalah rangkuman materi yang disampaikan:

Mengapa sih di dunia ini harus ada Prosa Liris? Karena prosa bikin jenuh dan puisi bikin pusing. Perlu banyak latihan untuk bisa membuat prosa liris. Supaya tidak tertukar dengan puisi.

Prosa liris yang dibahas lebih condong ke prosa liris modern. Soalnya prosa liris klasik kebanyakan berisi mantra dan udah umum di masyarakat Minang. Coba simak saja karya Khalil Gibran, W.S. Rendra, Tagor atau Pasternak (Boris Pasternak).

Sebelum mulai menulis Prosa Liris, kita harus tau dulu beda antara puisi, sajak sama prolis (Prosa Liris). Karena ketiganya mirip. Puisi cenderung kaku dan terikat pada aturan, sajak lebih bebas tapi tetap terikat pada rima tertentu.

Prolis bisa dibilang sebuah pemberontak atau mix dari prosa dan puisi. Prolis punya gaya bercerita mirip dengan prosa tapi menggunakan diksi puisi. Itulah yang membuat prolis memiliki kekuatan lebih dibanding prosa, karena daya interpretasinya lebih luas. Umumnya prolis ditulis berparagraf seperti prosa atau cerpen tapi tidak mengikuti plot cerpen, jadi boleh langsung lompat ke konflik atau malah tanpa konflik.

Contoh:

BLUES MALARIA (Uncle Ik)

Sitir Blues Untuk Bonnie....

Pandangan matamu masih nanar menjilati pojok demi pojok. Berharap ada berahi malam ini supaya perutmu  yang kosong bisa terisi. Sejauh mata memandang, hanya asap-asap kejenuhan yang terus dihembuskan dari mulut-mulut berbau whiskey.

Langkah kakimu gontai, dari balik perut yang rata, lambungmu perih menjerit-jerit karena belum terkena nasi sejak pagi.

Di tengah ruangan, penyanyi negro dengan gitar akustik bututnya masih terus bernyanyi-nyanyi. Dia tidak bernyanyi dengan suara, tapi dengan darah dan air mata. Kenang mengenang. Lagu perih tembang kampung halaman.

New Orleans… New  Orleans… Oh New Orleans yang jauh disebutnya berulang-ulang. Terkenang anak istrinya yang terbuang, mimpi-mimpi yang sudah tergadai sampai tandas dan borok di selangkangan yang tak kunjung sembuh.

Sumpah serapah membuncah dari mulut-mulut mabuk di pinggir panggung. Bising, hingar bingar, kumuh, jorok, tak beradab, bar-bar. Kamu terjebak dalam neraka yang tak berkesudahan.

Pandangan matamu mulai buram…

Duduklah sini dekat pedianganku. Angin santer yang meniupkan malaria terlalu liar untukmu duduk-duduk di luar. Anyaman rambutmu kusut masai tapi keningmu terang benderang. Duduklah sini sayang.

Hari sudah kasip begini… siapa lagi yang akan datang?

Duduk sini dan genggamlah cangkir kenangan yang akan aku sodorkan. Di dalamnya meliuk-liuk nafas sejarah yang panjang, jangan kamu lupakan. Genggam erat-erat biar tubuhmu hangat.

Akan aku ceritakan sebuah kisah.

Seribu dua ratus empat puluh enam tahun yang lalu, ada seorang lelaki yang termakan sumpah. Janji untuk kembali setelah bertualang lelah. Seorang perawan yang terlalu setia, selalu menunggu kapal terakhir merapat di dermaga. Sambil duduk di ayunan memainkan boneka. Apa mau dikata, kelasi-kelasi mabuk yang datang tak pernah membawa kabar berita. Perawan tetap setia, walau merana.

Duduklah sini sayang, puaskan laparmu, makan dari pingganku. Teguklah anggur-anggur kenangan yang kusajikan. Supaya lupamu hilang, supaya deritamu sirna.

Nanti, pada kokok ayam pertama kita pergi. Tinggalkan negeri tak berperadaban ini. Saat matahari nanar membakar ladang-ladang gandum, kita sudah akan sampai di negeri entah berantah yang hanya kita berdua tahu.

Pada saatnya nanti pasti akan kukatakan:

“Tatap mataku dalam-dalam. Kenanglah, aku lelaki yang seribu dua ratus empat puluh tahun lalu pernah ucap janji…
...padamu"

Latar belakang penulisan, ide Blues Malaria Uncle Ik dapat waktu membaca Blues Untuk Bonnie sambil denger lagu Abraham Laboriel yang berjudul Guidum. Tentang kerinduan seorang budak pada kampung halaman. Lalu lahiran ide untuk memasukkan tokoh Pelacur, penyanyi kuiit hitam yang kena sifilis dan cerita tentang tanah harapan. Jadi deh Blues Malaria.

Langkah berikutnya sebelum menulis prolis adala diksi. Ini adalah bagian paling penting dalam membuat prolis. Fungsinya untk memperkuat kesan. Disinilah seorang penulis diuji kemampuannya untuk berdiksi dengan sepenuh hati.

Selanjutnya kita masuk bagian pematraan, ini bagian paling penting. Sebagaimana prosa yang harus kuat dalam deskripsi ruang, prosa liris juga demikian. Enaknya prosa liris lebih bebas, jika kita diminta mendeskripsikan sesuatu kita bisa bikin seemosional mungkin.

Dalam kelas lain, salah satu sifat prosa liris adalah bersifat romantis. Itu betul, tapi siapa yang bisa kasih tolok ukur sebuah keromantisan. Romantis bersifat private, semua orang punya definisi romantis sendiri.

Menurut Uncle Ik: Perkembangan prosa liris di Indonesia kurang bagus, masyarakatnya masih suka sastra paperback, makanya wattpad laku. Kalau di luar negeri lebih berprospek, taste seni masyarakat nya udah terlatih

Uncle Ik suka nulis prosa liris. Alasannya adalah: karena media menulis lain ga ada yang se megah prosa liris. Juga karena kelebihan prosa liris dengan prosa lainnya yang lain. Satu paragraf prosa liris bisa sama dengan 5 halaman prosa dalam makna.

Prosa liris jelas berbeda dengan puisi, karena prolis boleh memakai dialog.

Perhatikan contoh prolis di bawah ini!

JENDELA

October 21, 2016

sumber: artebia.com

“Sudah kubilang jangan sekali-kali berani membuka jendela itu!”

“Kenapa?”

“Karena saat kamu melihat dunia di balik jendela kamu akan menginginkannya.”

“Itu apa?”

“Itu adalah tangisan.”

“Kenapa manusia menangis?”

“Karena hatinya sedang dihinggapi kesedihan?”

“Apa itu kesedihan?”

“Kenyataan yang terjadi di luar harapan.”

“Apa pula itu harapan?”

“Sesuatu yang kamu inginkan agar terjadi dalam hidupmu.”

“Aku paham sekarang. Berarti manusia akan menagis jika harapannya tidak terpenuhi.”

“Benar. Cepat tutup jendela itu!”

“Sebentar, apa itu yang di sebelah sana?”

“Itu tawa.”

“Kenapa manusia suka sekali dengan tawa?”

“Karena tawa adalah wujud bahagia.”

“Bahagia?”

“Iya, bahagia.”

“Apa itu bahagia?”

“Bahagia adalah saat harapanmu terpenuhi.”

“Berarti tawa adalah kebalikan dari tangis?”

“Tepat.”

“Kenapa tangis diciptakan? Bukankah akan lebih menyenangkan kalau hanya ada tawa di dunia?”

“Untuk menggenapi takdir.”

“Aku jadi bingung. Apa itu takdir?”

“Takdir adalah yang terjadi pada manusia saat mereka sibuk merencanakannya.” *)

“Bahasamu terlalu tinggi. Jelaskan padaku dengan bahasa uang mudah aku pahami.”

“Tidak ada penjelasan lain, sekarang lekas tutup jendelanya.”

“Sebentar, tolong jelaskan yang berpendar dari dada manusia itu apa?”

“Itu cinta.”

“Cinta?”

“Iya.”

“Akan aku tutup jendelanya setelah kamu jelaskan cinta padaku.”

“Tak pernah ada penjelasan tentang cinta.”

“Kenapa begitu?”

“Karena cinta bersifat personal. Tak pernah bisa didefiniskan.”

“Lalu kenapa cinta diciptakan.”

“Untuk menggenapkan.”

“Menggenapkan siapa?”

“Manusia.”

“Bukankah manusia sudah genap dan lengkap.”

“Belum. Lihatlah mereka. Mereka berbeda dengan kita. Mereka hanya memiliki sebelah sayap.”

“Karena itukah mereka tidak pernah bisa terbang ke sini?”

“Tepat.”

“Lalu…?”

“Lalu apa?”

“Bagaimana cinta bisa sebegitu menggenapkan?”

“Saat manusia dalam cinta mereka akan saling berepelukan, erat, sampai tubuh mereka lumat, jadi satu. Jadilah sayap mereka lengkap. Lalu mereka dapat terbang.”

“Kalau mereka dapat terbang, kenapa mereka tidak pernah sampai bisa ke sini?”

“Karena mereka betah tinggal di dunia dibalik jendela.”

“Apa menariknya dunia di sana?”

“Tidak ada.”

“kamu pasti berdusta.”

“Tidak.”

“Kalau dunia di sana tidak menyenangkan, kenapa manusia betah sekali tinggal di sana?"

“…………”

“Baiklah, kalau kamu tidak mau menceritakannya. Akan aku tutup jendelanya sekarang.”

Mungkin karena aku sudah tua dan alpa, rupa-rupanya cinta sempat singgah melalui jendela. Jadilah kami merana. Tertawa, 

menangis, tersenyum dan berkerut-kerut kening karena berusaha memahami hakikat cinta itu sendiri.

*) John Lennon, Beautiful Boy

Komentar Uncle Ik, tentang tulisan 'Jendela' ini sudah luar biasa bagus, hanya bagian emosi yang kurang.

Ada bermacam-macam genre prolis:
Gibran yang romantis
Tagor yang humanis, dan Rendra yang sedikit sadis.

Berikut contoh lain Prosa Liris, yang dikirimkan Peserta Kelas Fiksi ODOP Batch 6:

1. Gedebog Tua oleh Winarto Sabdo (Gue)

dia merasa bagaikan seorang ratu phrameswari
yang duduk di singgasana yang agung megah menawan hati
bersolekkan segala keindahan yang akan dikagumi duniawi
dimana semua orang akan datang menatap dan ingin memilikinya

sekarang hanya dia seorang berkuasa di wisma penjaja asmara
tiada ratu pesaing duduk di kanan kirinya hanys dia saja penghuninya
ratu bohay yang kecantikkannya bak primadona mati karena AIDS dan ratu semok yang masih keturunan tionghoa terkena sifilis dan sirna
mereka berguguran menuai buah dari kemaksiatan pekerjaan ini

ratu jablai tanpa senyuman menatap kosong ke arah kaca
dahulu banyak lelaki mengetuknya sekedar mencari perhatiannya
sekarang mereka hanya melewatinya dengan tatapan kosong dan hampa
tergesa menuju istana baru tempat pelacur muda dari generasi yang lebih belia

ya orang perlahan telah melupakkan kemolekkan tubuhnya
duapuluh tahun lamanya dia dipuja para pencari cinta
sebagai sosok primadona penguasa seantero komplek prostitusi
kini hanya seperti sebatang gedebog pisang tua tak berharga
andai suatu saat dia tumbang
takkan ada yang memperdulikannya....

2. Bahasa Cinta di Tengah Lenyapnya Cinta oleh Wakhid Syamsudin (Suden Basayev)

"Pergilah, Nak, tinggalkan Rohingnya. Biarkan kami menunggu Izrail, kemana pun pergi, toh, ia akan memanggil, meski di sini kami hanya bisa menggigil."

Kata-kataku di selaksa tangis yang tidak kaugubris di antara kecemasan dan ancaman tragis. Dua keranjang kauikat meski kami tak sepakat karena apalah arti nyawa kami yang sudah nyaris sekarat dalam dekap jazad yang kehilangan daya kuat.

"Aku akan membawa kalian serta, karena kalian bagiku permata, bahkan tidak akan pernah rela kalian keluar airmata, karena kalianlah cinta."

Ucapanmu tulus dari cekung wajahmu yang tirus ditopang tubuhmu yang kian kurus karena kami tak lagi sanggup mengurus. Kau angkat kami satu persatu, merebah di keranjang itu, meski harapan selamat pun belum tentu, meski kau tahu nyawa bisa melayang sewaktu-waktu, tak menyurut tekadmu yang membatu.

"Kau memanggul surga, Nak. Surga akan menyertaimu selalu, Nak."

Tidak kaupedulikan lelah agar kami tetap di atas, kaubawa langkah kaki telanjangmu pada tanah berlumpur yang kaulintas, hutan dan bukit serta sungai kauretas, agar sesegera mungkin melewati tapal batas, agar nyawa selamat tuntas, karena kampung halaman hanya menyisakan kisah nahas.

Nizam, kunamai engkau ketika terlahir, bahkan kami tak habis pikir, sedemikian tekadmu membawa kami menyingkir, dari jangkauan laknat para kafir. Nizam, kujumpai Uwais Al Qarni, sahabat Nabi yang pantas disegani, karena hidup berlimpah bakti, menggendong ibunya ke tanah suci, demi menunaikan haji. Dan Uwais terlahir di sini, dengan nama Nizam si anak kami, surgamu menanti, segala hidupmu kami ridhai.

Komentar Unkle Ik:
Tulisan 'gedebog tua' menyalahi aturan pertama dalam prolis, curahan perasan. Prolis melulu berisi keberpihakan, entah itu suka, jijik, benci, melaknat, simpati dll. Di tulisan itu hanya menceritakan kisah Pelacur tua yang dibumbui diksi dan analogi sehingga kesan emosi yang mau diangkat terasa kurang. Tulisan kedua mengingatkan saya sama prolis lama, keterikatan diksi kuat, saling membelit, jadi terasa kurang bebas. Tapi pemilihan diksi nya bagus.

Sebenarnya... ada beberapa kiriman contoh prosa liris lain dari kawan-kawan peserta, tetapi tidak kumasukkan dalam rangkuman ini. Semoga bermanfaat.

#Kelas_Fiksi
#ODOPBatch6
#Resume_UncleIk

Selasa, 18 Desember 2018

Menggali Ide Oleh Umar Afik

Judul Materi:  Menggali Ide
Narasumber: Muhammad Umar Affik (Umar Afik)
Tempat: Kelas Fiksi ODOP Batch6
Waktu: 20.00-23.00
Sistem: Interaktif  (Peserta bertanya dan Narasumber menjawab)

Dikarenakan sistem penyampaian materinya interaktif, maka ini adalah rangkuman dari tanya jawab tersebut. Peserta bertanya, narasumber menjawab.

1. Dari mana biasanya menemukan ide?

Jawaban:
Dalam beberapa cerpenku, aku menemukan ide dari mimpi. Jadi ketika aku tiduran bermimpi sesuatu dan masih teringat sampai bangun, kalau mimpi itu menarik akan kutulis dalam draft.
Selain dari mimpi kadang dari bacaan. Kalau pas baca karya siapa gitu, dan tertarik, aku tandai biasanya.

2. Dimana biasanya menulis draftnya?

Jawaban:
Kadang di status WA. kadang di grup, kadang di note pribadi. Kadang langsung tulis di laptop.

3. Pernah nggak lupa mimpi tapi kayaknya penting banget dan kamu tersiksa karena ingin menulisnya tapi tak tahu itu apa? Apa yg kamu lakukan biasanya?

Jawaban:
Ikhlaskan saja sih. Wong udah lupa. Ide itu rejeki, kalo emang itu rejeki kamu ya gak bakal ilang gitu aja.
Mimpi = rejeki.

4. Kadang mimpi itu hanya kita ingat saat terbangun. Ketika sudah pagi atau lewat hari, suka lupa? Bagaimanakah itu? Apakah cerita yang bersumber dari mimpi lebih aman difiksikan?

Jawaban:
Soal aman tidaknya tergantung gimana kita menceritakannya ya.

5. Kalau sudah dapat ide,dan ternyata kebanyakan. Ide mana dulu yang harus ditulis lebih dulu?

Jawaban:
Mana yang disuka saja mbak, masak ginian mau istikhoroh segala. Bhahaha... ops...
Aku tulis aja dulu biasanya. Baru nanti mikir ide ini bagusnya diginiin. Ini ngerjakannya pakai insting sih menurutku.

6. Apa pernah nonton movie Kimi no Nawa? Itu pembukaannya menginspirasi buat dijadiin cerpen lho.
Yang aku maksud, kurang lebih begini:
_Kadang2 aku terbangun dari mimpi dan tiba2 menangis._ Ini sesuatu banget menurutku. Dari sini aku jadi bayangkan tentang seseorang yang belum pernah bermimpi dan tiba2 bermimpi. Kemudian dia begini-begini dan begini. Karena meresa terganggu oleh sesuatu yang baru.

Jawaban:
Tapi ide dari mimpi tidak melulu menuliskan (menumpahkan apa yang kita mimpikan ke naskah), kita bisa menuliskan kondisi kita pasca mimpi itu atau sebelum mimpi itu. Dan mimpi itu sebagai bahan konflik saja.

7. Bagaimana cara mencari inspirasi dari hal yang sederhana menjadi luar biasa, apakah ada triknya? Semoga bisa dibagi beberapa kiatnya juga berdasarkan pengalaman Abang selama ini?

Jawaban:
Aku merasa masih sederhana saja dan belum luar biasa. Meski demikian aku akan mencoba menjawabnya. Pertanyaannya adalah "bagaimana cara mencari". Siapkan peralatan pencarianmu setiap waktu. Bila ada sesuatu yang menarik, kantongi dia. Proses pencariaan tidak hanya yang bisa ditangkap indera penglihatan saja ya. Gunakan berbagai indera. Atau misalkan kamu fokus satu saja.
Misal nih. Sekarang kamu bayangkan dirimu berdiri di bawah matahari pukul 11 siang di tepi jalan. Gunakan indera pendengar saja. Kamu bisa menjadikan cerpen dari sini.

8. Ide dan semangat itu kan tidak ubahnya seperti iman.
Kadang naik, kadang turun. Apa Kak Umar pernah merasakan ide atau semangatnya turun drastis alias down? Bagaimana menyikapi saat semangat itu turun, agar bisa kembali bangkit dan nggak berlarut-larut dalam keadaan tersebut?

Jawaban:
Untuk semangat nulis nih. Hal yang perlu ditanyakan ada gak sih yang bikin kamu semangat nulis?
Oke oke... aku pernah kehilangan semangat nulis, bahkan, jangankan nulis, baca aja gak semangat. Kurasa semua penulis pernah kok ngalami fase ini. Dinikmati aja. Kepalamu bukanlah kepala M Aan Mansyur yang pernah bilang: "kepalaku kantor paling sibuk sedunia."
Dinikmati aja. Baca yang ringan2 dulu, nonton film, main ke pantai atau gunung, lalu nulis lagi.

9. Menurut kakak, untuk pemula lebih baik menulis kisah apa? Nyata atau fantasi? Bagaimana cara menemukan jati diri yang sesungguhnya, atau kalau nulis Passion atau yang cocok dengan aku "ini"?? Maaf banyak bertanya, karena masih pemula dan haus ilmu ?
Mohon pencerahannya?

Jawaban:
Untuk pemula mungkin kamu bisa belajar dari nulis surat ya. Kamu bisa baca cerpen Trilogi Alina karya Seno Gumira Ajidarma untuk belajar. Itu cerpen surat yang bagus. Dan menulis cerpen model surat gini, meskipun udah agak basi tapi cukup bagus buat melatih imajinasi kamu.

10. Kak Umar biasanya dapat ide nulis dari mana yang paling dominan?

Jawaban:
Aku merasa pindah-pindah dan musiman ya. Jadi belum ada yang menurutku dominan. Kalo ditanya dari mana ide datang, bisa dari mana saja. Dari tempat ziarah, dari film, dari nontom wayang, dari baca buku, dari macem2...

11. Kak Umar Bagaimana agar ide kita nggak alay?

Jawaban:
Mungkin kamu bisa jelaskan mana yang kategori ide yang alay sama yang enggak alay?

12. Kalau kita dapet ide nih misal ya kak. Terus cara mengembangkan ide biar nggak ngalor ngidul ga puguh gmn caranya?

Jawaban:
Ini soal rasa sih... karena soal rasa, perlu olah rasa. dan bahan bacaan juga sangat berpengaruh.

13. Bagaimana cara membuat judul yang mengharu biru?

Jawaban:
Perihal judul, kamu bisa mencoba hal-hal ini:
1. Memetik dari puisi, Semusim dan Semusim Lagi (Novel Andlina Dwi Fatma), Yang Fana Adalah Waktu, Kita Abadi (Novel Sapardi Djoko Damono)
2. Membuat pertanyaan: Agama Apa yang pantas bagi pohon-pohon? (Eko Triono)
3. Menggunakan pernyataan pengumuman: Hanya Anjing yang Boleh Kencing Di Sini (cerpen Mashdar Zainal), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (Seno Gumira Ajidarma)
4. Menggunakan angka: 1984, 5 cm, Fahrenheit 451
5. Tentukan gayamu sendiri
Oh, iya, dalam menulis puisi kalau gak salah ada sesuatu yang bernilai plus bila ada perulangan bunyi "ng" "ah" di akhir. Ini juga bisa dipakai dalam menulis judul maupun dalam badan cerpen. Biar terkesan liris.

Inilah resume sederhana yang berhasil kutuliskan, dari proses tanya jawab pemberian materi di kelas fiksi ODOP Batch. Beberapa kata yang bermaksud 'melucu' disini sengaja 'kuhilangkan, karena tidak mempengaruhi proses tanya jawab. Semoga bermanfaat.

#Kelas_Fiksi
#ODOPBatch6
#Resume_UmarAfik

Jumat, 14 Desember 2018

32 Hati Dalam 47 Tahun: Kesatu

Aku sengaja memperlambat langkah kakiku, hanya agar langkah kakinya dapat segera menyusulku. Tetapi dasar lelet, dia tak juga sampai kesampingku berjalan. Aku pun berhenti, dan menolehnya. Gadis itu masih tetap dengan langkah pendeknya, malah menatapku dengan tatapan 'tidak merasa' sedang ditunggu. Huh! ingin ku menyamperinya, lalu menggelendengnya berjalan disampingku.

"Sum! Ayo cepetan sedikit kenapa? Pegel nungguin kamu, tauk!" seruku dengan jengkel pada akhirnya, dan Sumirah pun berlari kecil mendekatiku.

"Kenapa menungguku? Biasanya, kamu berangkat dan pulang bersama Tono, Wayan, dan Santoso?" tanyannya dengan memasang wajah sok imutnya, setelah berhasil mengimbangi langkah kakiku.

"Hiiiih.... gemeeeessss!" kataku sambil menggeram padanya,"Kamu yang ngajak aku pulang bareng tadi, kan?! Karena ada titipan surat dari Ita, ingat?!"

Sumirah tampak teringat sesuatu, tanpa meminta maaf atas kealpaannya padaku baru saja. Gadis itu malah terlihat sibuk mengaduk-aduk isi tas sekolahnya, sepertinya dia mencari surat balasan dari Ita untukku.

"Dimana aku meletakkannya?" katanya, sambil masih mengaduk-aduk seisi tas bawaannya.

Tiba-tiba aku menjadi merasa panik juga, bagaimana kalau surat balasan dari Ita itu hilang sebelum kubaca? Apa isinya? Bagaimana, kalau si ceroboh Sumirah ini sudah menjatuhkannya di halaman sekolah? Bagaimana jika ditemukan oleh temanku, kakak kelasku, atau adik kelasku?.

Sementara itu. Belum ada tanda-tanda Sumirah sudah menemukan benda beramplop itu, dan ini membuatku semakin panik saja. Membayangkan seseorang telah memungutnya di lantai depan kelas Sumirah, lalu membaca isi surat itu beramai-ramai di suatu tempat. Ini gawat, berita akan segera tersebar ke seantero sekolah.

"Sudah ketemu belum, Sum?!" pertanyaanku tidak berbalas, sehingga dengan segera aku ikutan membongkar isi tasnya. Kukeluarkan sisir, dan tempat bedak kecil diantara pensil, pulpen, penghapus, dan semua peralaatan tulisnya. Saat itu kami tidak menyadari, beberapa pasang mata sedang mengawasi kesibukan kami.

"Heh! Kalian pacaran ya?!" tiba-tiba sebuah pertanyaan, terlontar begitu dekat di telinga kami. Terkejut, kami segera saling menjauhkan tubuh yang berhimpitan tadi, aku melihat Nanik teman sekelasku dan Endang adik kelasku sedang tersenyum-senyum kegirangan. Karena berhasil mengagetkan kami, mungkin.

"Kalian, masih akan lama berhenti di tempat ini? Jika begitu, kami akan berjalan pulang duluan ya?!" kata Nanik sambil memandangku, aku mengangguk tidak begitu menggubrisnya.

Biasanya, kami pulang bersama-sama. Ada Nanik, Endang, Sumirah, Suwarni yang hari ini tidak masuk sekolah. Bersama Santoso, Suhanto, Zainul, dan beberapa teman lainnya. Jarak sekolah kami dari desa kami semua memang dekat, hanya kurang dari satu kilometer. Dan kami juga berasal dari desa yang sama. Karena itulah, kami hanya berjalan kaki menempuhnya berangkat pulang ke sekolah.

Nanik dan Endang pun meninggalkanku dan Sumirah yang semakin kebingungan, semua isi tasnya bertaburan di atas rerumputan pinggir jalan setapak itu. Lalu, seakan mendapat bisikan ghaib tiba-tiba. Atau teringat sesuatu yang dilupakannya sejak tadi, dengan wajah bengong bin culun dia memandangku.

"Ada apa?!" tanyaku tidak mengerti, gadis itu tidak menjawabnya. Malahan, dengan cepat memasukkan semua yang berserakan di atas rerumputan itu ke dalam tasnya.

"Ayo ikut aku!" serunya, seraya menggandeng tanganku berlari menuju arah sekolahan lagi.

"Ada apa, Sum? Kenapa kita harus kembali ke sekolahan?"

"Surat balasan dari Ita, tertinggal di laci bangkuku!"

Bagai disambar petir rasa terkejutku. Dan bekas kelas Sumirah, pasti sudah diduduki anak kelas lain yang masuk siang. Tak terbayangkan, apa yang akan terjadi atas peebuatan si ceroboh ini.

Memasuki gerbang sekolah dengan bergandeng tangan, sudah menjadi pemandangan yang aneh... di mata anak-anak kelas siang. Apalagi Sumirah yang tubuhnya lebih besar dariku, lebih terlihat 'menyeretku' ketimbang tampak 'menggandengku". Memasuki selasar kelas, Sumirah belum memperlambat laju lari kecilnya. Dia juga belum melepaskan genggaman tangannya di tanganku, sia-sia saja aku coba melepasnya.

"Sum! Lepaskan gandenganmu!" seruku setengah berbisik, saat itu tepat di kelas ll D (kelas Vlll D) di pagi harinya... dan siang ini sudah menjadi ll E (Vlll E). Ruangan kelas yang terbatas di sekolah kami, mwmbuat fihak sekolah membagi seluruh siswa masuk beegiliran. Aku juga Sumirah, minggu ini mendapat giliran masuk pagi.

Akhirnya, cengkeraman tangannya di tanganku pun di lepaskannya. Aku mengelus rasa panas dan sakit yang terasa, di bekas genggaman tangannya itu. Ada bekas kuku di sana. Aku memandang sekeliling, banyak berkerumun siswa lain yang penasaran. Dan Sumirah dengan selonong saja langsung menuju 'bekas' bangkunya tadi pagi, kedua tangannya tampak merogoh laci meja. Bahkan kemudian merogoh laci meja disebelahnya. Aku pun akhienya ikut masuk kelas demi memahami, kejadian apa sesungguhnya yang gadis itu alami.

"Suratnya tidak ada! Sudah diambil seseorang!" serunya berbisik padaku, aku menjadi lemas dibuatnya. Terduduk tak berdaya, di sebuah bangku. Lemas karena capek berlarian, dan lunglai karena kepanikan. Hilang sudah harapanku, untuk dapat memiliki surat balasan dari Ita Paramitha. Dan ini semua, karena teman sebangku Ita ini.

"Kalian, mencari ini?!" tiba-tiba sebuah suara membuatku sontak memalingkan muka, mencari arah dari suara itu.

Anik Setyoningsih teman sekelasku dulu di kelas I C, tampak sedang memegang amplop berwarna merah muda di tangan kirinya. Aku segera menoleh ke arah Sumirah, dia mengangguk pasti itulah surat yang kami cari.

"Nik! Itu suratku, kembalikan padaku!" kataku, seraya berjalan mendekatinya.

"Ini suratmu? Kenapa ada di laci bangku Sumirah? Apa kalian pacaran?" Anik malah menginterogasiku.

"Bukan begitu... itu surat balasan..." aku tak melanjutkan kata-kataku, karena bingung memilih jawaban yang tepat.

"Akui saja, kalian pacaran kan?" tanya Anik lagi, aku tidak menjawabnya. Surat itu langsung aku sambar, begitu Anik menyodorkannya padaku. Langsung menuju pintu, lalu aku berlari meninggalkan kelas itu menuju pintu geebang sekolah.

Terdengar teriakan Anik dan beberapa kawan-kawannya.

"Hai, Win. Pacarnya ketinggalan nih!"

"Pacarnya kok ditinggal, sih?!"

"Hahahaha!"

Aku terus berlari keluar dari pintu gerbang sekolah, aku sempat menoleh ke arah kelas II E, aku melihat Sumirah tampak berjalan tertunduk. Mungkin anak-anak itu menggodanya dengan kata-kata yang menyakitkan hati, seperti terhadap diriku sebelum berlari tadi. Rasanya tidak tega juga mengetahui itu, aku berhenti menunggunya di bawah pohon d pinggir jalan menuju arah desa kami.

Dia tidak menghentikan langkahnya ketika sampai di tempatku menunggu, masih dengan menunduk dia melewatiku tanpa kata.

"Mereka mengolokmu?" tanyaku sembari mengiringi jalannya.

"Ini yang terakhir kalinya aku membantumu, jangan libatkan aku dalam hubunganmu dengan Ita lagi." jawabnya lirih tanpa sedikit pun coba memandang wajahku. Aku terkejut dengan perubahan perangainya, biasanya dia adalah anak tertebal mukanya di seluruh murid di SMPku ini. Tetapj kenapa hanya karena diolok begitu saja, dia langsung berubah jadi semurung itu.

"Baiklah, aku tidak akan melibatkanmu lagi. Tetapi, kumohon jangan kau bawa wajah masammu itu saat berjalan di sampingku. Nanti orang mengira kita pacaran, dan sedang masalah dalam.percintaan kita." aku coba melucu untuk mengembalikan kepercayaan dirinya.

"Kenapa? Kamu malu ya dikatakan beepacaran denganku, ya?" tanya Sumirah tiba-tiba, dan aku pun terkejut mendengarnya.

"Bukan begitu maksudku, Sum. Bersikaplah seperti biasanya, ceria lagi seperti hari-hari yang lalu."

"Pentingkah itu bagimu?"

"Itu sangat penting bagiku, aku tidak mau melihat sahabat baikku tampak bersedih seperri ini."

"Kamu tahu alasannya?"

"Alasanmu tiba-tiba menjadi murung seperti ini? Aku sedah melihat dan mendengar sendiri olok-olokan mereka padamu tadi, aku sangat meminta maaf padamu. Semua ini terjadi, gara-gara aku melibatkanmu dengan urusanku dan Ita."

"Bukan karena itu, Win!" tiba-tiba Sumirah menghentikan langkahnya, saat itu perjalanan kami sudah sampai Bendungan Margomulyo,"Kamu ingin tahu penyebabnya?"

Aku mengeryitkan dahi, menyadari percakapan kami ternyata semakin serius saja. Tiba-tiba hatiku menjadi deg-degan, misteri apakah yang tersimpan dalam kemurungan sahabat baikku itu?

"Baiklah, kita berhenti dulu di tempat ini. Bicaralah, aku akan mendengarkannya." jawabku, seraya mendahulhi duduk di sebuah bangunan tembok yang rubuh di sekitar bendungan itu.

"Baiklah aku akan menceritakannya, setelah itu terserah padamu ingin membenciku atau marah padaku."

"Apa, sih? Jangan membuat hatiku semakin berdebar-debar dong, Sum!" seruku tidak sabar.

Sumirah duduk disampingku, rasanya dia tidak merasa risih walaupun tubuh kami saling menempel. Justru aku yang merasa panas dingin, saat bahu nya menempel lekat di bahuku.

"Surat yang kamu bawa, yang kau anggap surat balasan dari Ita itu bukanlah dari dia yang sebenarnya," katanya sambil menundukkan kepalanya sambil memandangi ujung sepatunya,"Itu adalah balasan dariku!"

"Apa maksudnya, Sum? Aku benar-benar tidak memahaminya." kataku semakin tidak menentu, bingung dengan apa yang sedang dikatakannya. Sementara dengan bimbang dan ragu, kukeluarkan surat berwarna biru itu dari kantong celanaku.

"Itu bukan balasan dari Ita, bahkan dia tidak pernah menerima surat darimu. Aku membawa pulang surat yang kau titipkan padaku untuknya, tetapi aku tidak peenah  memberikannya." aku terkejut dengan jawaban gadis itu, dengan sangat penasaran akhirnya kutanyakan juga alasannya.

"Kenapa kamu lakukan itu, Sum. Aku menjadi bingung dengan pengakuanmu ini, untuk apa kamu melakukan semuanya itu?,"

"Karrna aku cemburu padanya! Karena sudah sejak lama aku menaruh hati padamu, tetapi justru orang lain yang kamu kirimi surat cinta!"

"Apa?! Kamu jatuh cinta padaku, Sum?" tanyaku segera, sambil menatap wajahnya seakan tidak mempercayai ucapannya. Sumirah mengangguk pelan, kemudian matanya yang berkaca menatap mataku dengan rasa yang menyentuh hatiku.

"Kamu mencintai aku, Sum?" tanyakublagi dengan suara yang lebih nyaring.

Sumirah tiba-tiba berdiri, sebelum berlari pergi meninggalkanku dia sempat berkata.

"Ya, aku mencintaimu. Sejak kau dengan sangat pahlawannya, mengambilkan topi pramukaku yang tertiup angin masuk ke sungai waktu itu. Walaupun akhirnya kamu harus kembali pulang, dan tidak masuk sekolah karena bajumu basah. Sejak saat itu, aku sudah jatuh cinta padamu Win!" selesai mengucapkan kata-kata itu dia berlari kencang sambil mengusap air matanya.

"Tapi, Sum. Itu adalah saat kita masih duduk di bangku kelas lima SD!" teriakku padanya yang semakin berlari jauh dariku. Meninggalkanku dalam ketidak percayaan, kebingungan, dan juga kebengongan yang dalam.

Aku membuka surat bersampul biru itu dan membacanya, hanya tertulis sebuah kalimat saja.

Aku juga mencintaimu, Win

Tertanda Ita Pharamita.

Amplop dan secaik kertas itu aku remas dalam kepalan tangan kananku, kemudian dengan sekuat tenaga kulemparkan ke arus air bendungan itu. Aku tersenyum bahagia, ternyata aku berhasil juga menahlukkan hati seorang wanita. Sumirah.

(Bersambung)

Kata Pengantar

Akhirnya... setelah berpuluh tahun tidak melahirkan satu karya tulis apapun, setelah melalui perjuangan yang sangat melelahkan. Melalui hujan deras, dan kering kerontangnya musim kemarau yang panas. Dengan bercucurannya keringat, dan juga derasnya linangan air mata. Maka lahirlah karya tulisku yang pertama (resminya) dan yang ke 1234 (rencanannya). Yang aku beri judul:

Master Typo: Kumpulan Cerpen

Buku ini menyajikan beberapa puluh cerpen hasil 'ketipografianku', selama mengikuti program ODOP (One Day One Post).

Ada beberapa jenis cerita pendek yang tersaji di dalamnya; Cerpen Motivasi, Cerpen Misteri, Cerpen Tinlit, Cerpen Humor, Cerita Mini, Flash Fiktion, Domestic Noir, Historical Fiction, yang semua merupakan hasil 'gaya penyampaiaanku' yang kuberi nama Fakesee (terlihat palsu).

Ini adalah jenis tulisan fiksi baru, yang sengaja akan aku kembangkan dalam setiap tulisanku. Contoh Fakesee ini, ada pada Cerpen Fantasi Ulang Tahun Kaisar Langit dan Cerpen Humor Demang Sarwogemuk dan Dharma Wisata. Dan juga gaya penulisan fiksi yang kusajikan sebagai pengembangan, dari ide 'lucu' orang lain di meme facebook, whatsapp, atau instagatram. Contoh: Cerpen Humor Obat Stress, yang mengadaptasi sebuah meme Tongkat, Kontak, Tongkol ucapkan dengan cepat 10 kali. Atau Cerpen Humor Penemuan Beras Cair, yang mengembangkan ide humor si penemu dengan judul yang sama di fscebook. Tetapi disajikan dengan lebih tertata, lebih serius, dan tentu saja menjadi 'lebih pecah'.

Ada juga Cerita Misteri, yang sampai selesai ceritanya pun belum tetungkap 'misterinya'. Bisa dibaca di Cermis Kamar 202. Ada juga contoh Flash Fiction, yang humor di Bejo Yang Tak Bejo, yang tinlit di Bersinggungan, yang dramatik di Pergi Meninggalkan. Juga ada contoh cerpen bertema Dramatic Noir di Pagi Bercinta.

Tentu saja aku sertakan juga beberapa cerpen motivasi, seperti Ki Bawuk Panotojiwo: Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan dan Ki Bawuk Panotijiwo: Tumpahan Kebijaksanaan. Masih belum lengkap juga? Tenang saja, ada Prosa Liris yang coba aku susupin di buku ini yaitu Gedebog Tua dan Nakalnya Malam. Bonus satu cerpen horror Melawan Gendruwo.

Nah, dari sekelumit uraian di atas. Anda pasti sudah dapat membayangkan, betapa seru dan gokilnya Master Typo: Kumpulan Cerpen ini khan?. Bagaimana mendapatkan buku ini? Tentu saja Anda harus membelinya di Onlineshop saja, atau dapat juga membarternya dengan 5kg beras, atau 5kg gula pasir, nanti aku jual lagi ke warung sebelah rumahku.

Kiranya cukup sekian, sepatah dua patah kata pengantarku. Sebagai satu keharusan dari penerbit, untuk memberikan Sekapur Sirih sambutan di buku ini. Ulasan/review Editor tidak aku sertakan di lembar penyajian, karena dia berusaha menghilangkan minat orang untuk membeli buku ini. Sekian dan terima kasih atas segala apresiasinya, ingat: Membeli buku ini, sama dengan membantu Anak Yatim (aku sudah yatim sejak tahun 1972). Kasihi dan cintailah Anak Yatim, maka Alloh akan mengasihi dan mencintaimu.

Nganjuk Kota Angin,
Salam Penulis

Winarto Sabdo

Senin, 10 Desember 2018

Master Typo

Sesungguhnya aku sudah tahu, arti dari kata typo/tipo. Yaitu... kesalahan tipografi atau galat tipografi (dalam bahasa Inggris biasa disingkat typo), adalah kesalahan yang terjadi pada saat mengetik. Istilah ini mengenai 'kesalahan' karena 'kegagalan mekanis' atau slip jari, tetapi tidak termasuk kesalahan yang timbul akibat ketidaktahuan penulis... seperti kesalahan ejaan misalnya. Kesalahan tipografi dapat disebabkan, jari yang menekan dua tombol papan ketik (keyboard) yang berdekatan secara bersamaan. Mereka mengolokku dengan 'Jempolnya Kegedean'

Padahal, apakah kalian mengetahuinya? Kesalahan tipografi bukan merupakan kesalahan yang disengaja. Typo memang bisa mengubah arti kata atau bahkan arti kalimat, terutama dalam bahasa Indonesia. Tetap saja, itu bukan kesengajaan.

Tetapi memang benar sih, si typo/ tipo ini seringnya bikin baper yang membaca. Contohnya: saat mau mengetik kata 'ketika' yang terketik jadi 'ketiak',  artinya menjadi teramat sangat berbeda. Ketika mau mengetik 'Mari', malah terketik menjadi 'Mati'. Yang menerima atau membaca tulisan tipo ini, pasti akan mengira kita sedang mengutuknya. 'Mari sini!' jadi 'Mati sini!'.

Kesalahan ketik seperti ini, tidak akan dapat dideteksi oleh aplikasi pengecek ejaan ( spelling checker), sehingga dia akan memunculkan arti yang tidak sedang kita tanyakan. Tetapi secara pergaulan sosial, salah ketik seperti ini sangat termaafkan. Jika si pengirim dan si penerima, sudah saling memahaminya. Khususnya di grup jejaring sosial, namun jadi tidak termaafkan jika ini tentang 'naskah' yang dikirim ke media massa.

Nah, tentang si typo ini. Aku adalah satu-satunya orang yang 'tertipo', di grup jejaring sosial, juga di grup Komunitas One Day One Post/ODOP (komunitas penulis dan kepenulisan). Karena terlalu seringnya (baca:selalu) melakukan typo/tipo ini, mereka memberikanku julukan Master Typo (ahli salah ketik?). Kedengarannya saja keren, tetapi itu sungguh sangat memalukan. Apalagi, aku sudah menahbiskan diri sebagai seorang Penulis... penulis kok salah ketik melulu. Untungnya, aku selalu rajin melakukan self editing (swa sunting) pada setiap karya tulisku (semoga). Sehingga kesalahan ketik ini, bisa di minimalisir (diperkecil).

Dibawah ini adalah kesalahan ketik (typo/tipo) yang pernah kulakukan, berserta tanggapan pembacanya:

1. 'Mati sini!' yg seharusnya 'Mari sini!' tanggapan 'Mati aja sendiri!'

2. 'Kamu kan tahi!' yg seharusnya 'Kamu kan tahu!', tanggapan 'Eh tahi juga lu!'

3. 'Sidak dayang' yg seharusnya 'Sudah sayang', tanggapan 'Emang pejabat?'

4. 'Ass fuki' yg seharusnya 'Ada dulu', tanggapan 'Kok ngumpat!'

5. 'Bweabjsy drlaesbg!' yg seharusnya 'Berangkat sekarang!', tanggapan 'Mabuk ya???'

Sudah ya, cintohnya luma saka... biar tudak kelihayan master typo-nya. Untuk yang pernah menjadi korban ketipoanku, dengan sangat merendahkan diri aku memojon maaf yang sebedar-besarnya.

Melihat Bintang

Adinda...
Mari mendekatlah pada cahaya
Agar terurai darah pucat di raut wajah semu
Maka tersenyumkanlah jiwa pemurungmu
Tatap langit hitam menghampar di angkasa
Belajar dari bintang gemintang
Yang seakan serupa wujud serta sinarnya
Mereka berbeda satu dengan lainnya
Tetapi mereka setia menerima kodratnya
Bertebaran sesuai tugas dan kewajibannya
Yang jatuh adalah menghilang Lenyap
Tanpa bekas
Entah kemana
Adinda...
Inilah hidupnya kehidupan
Kita diciptakan berbeda untuk satu tujuan
Dari perbedaan itu hayatilah keseimbangan
Selaku tidak ada yang sempurna
Sebegitubkust sehingga tudak binasa
Semua akan mati
Dan lenyap
Menghilang
Entah kemana

Rabu, 05 Desember 2018

Gedebog Tua

Dia merasa bagaikan seorang ratu phrameswari
yang duduk di singgasana yang agung megah menawan hati. Bersolekkan segala keindahan yang akan dikagumi duniawi. Dimana semua orang akan datang menatap dan ingin memilikinya

Sekarang hanya dia seorang berkuasa di wisma penjaja asmara. Tiada ratu pesaing duduk di kanan kirinya. Hanya dia saja sundal yang tersisaa. Ratu Bohay yang kecantikannya bak primadona mati karena AIDS. Dan Ratu Semok yang keturunan Tionghoa terkena sifilis dan sirna. Mereka berguguran menuai buah dari kemaksiatan pekerjaannya.

"Mampus, Lu! RatuUlar! Ratu Buaya!" teriaknya pada malam yang kelam.

Ratu Jablai tanpa senyuman menatap kosong ke arah kaca. Dahulu banyak tangan lelaki mengetuknya sekedar mencari perhatiannya. Dahulu banyak lelaki menggerayangi tubuh mulusnya. Berpacu dalam berahi menurutkan nafsu maksiati. Sekarang... mereka hanya melewatinya dengan tatapan kosong dan hampa. Tak secuilpun lirikan demi untuk menatap lagi sisa keindahannya. Malah tergesa menuju istana baru tempat pelacur muda dari generasi yang lebih belia.

"Habislah engkau wahai Pelacur Tua! Gedebog Tua! Yang bahkan hanya belatung menggerogoti yang tersisa!"

"Ini adalah siksa untuk cinta yang engkau niagakan!" Malaikat Maut meneriak murka. Mengancam jiwa-jiwa yang kecewa.

Ya... orang perlahan telah melupakkan kemolekkan tubuhnya. Duapuluh tahun lamanya dia dipuja para pencari cinta
sebagai Ratu penguasa komplek prostitusi. Kini tubuhnya hanya seperti sebatang gedebog pisang tua tak berharga. Andai suatu saat dia tumbang
takkan ada yang memperdulikannya....

Minggu, 02 Desember 2018

Ki Bawuk Panotojiwo: Tumpahan Kebijaksanaan

Saat perjalanan menuju Padepokan Ilmu Kasunyatan, pernah Ki.Bawuk dan.para muridnya kesulitan mendapatkan makanan. Pada saat itu bertepatan dengan paceklik melanda seluruh negeri, kekeringan terbentang meluas dimana-mana. Kemarau panjang tiada terbantahkan, telah membuat kesengsaraan pada kehidupan rakyat semuanya.

Akhirnya perjalanan rombongan orang-orang lapar itu, memasuki sebuah dusun kecil yang sepi. Hanya tampak beberapa rumah bambu beratap ilalang, tetapi tidak terlihat kesibukan sebagaimana mestinya sebuah perdusunan. Ketika itu, seluruh rombongam sudah teramat sangat kelaparan. Sudah dua hari perut mereka tidak dihampiri makanan, selain dari air putih dan pucuk-pucuk dedaunan.

Bermaksud meminta air untuk minum di sebuah rumah, sang pemilik malah mengundang mereka semua untuk mampir. Petani yang baik hati itu, hanya tinggal memiliki persediaan satu takar beras saja.Dan memberikannya dengan tulus, untuk bisa sekedar menjadi pengganjal lapar.

Ki Bawuk banyak mengucapkan terima kasih kepada petani itu, dan memerintahkan Jokowi muridnya... untuk membuat bubur encer, yang sekiranya cukup untuk mereka semua. Segera, Jokowi dan Jokothir saudara seperguruannya itu berbagi tugas. Jokowi mempersiapkan alat memasak, sementara Jokothir dan beberapa orang murid lain mencari air dan kayu bakar.

Setelah semua alat memasak, air, dan kayu bakar tersedia. Jokowi segera memulai memasak di dapur, tepat di belakang rumah petani itu. Sementara itu, sambil menunggu masaknya bubur itu. Ki Bawuk, mengajar murid lainnya di halaman rumah. Sementara, Jokowi melaksanakan tugasnya seorang diri di dapur. Mencoba mencari akal, bagaimana caranya membuat bubur dengan setakaran beras... menjadi makanan, yang cukup dimakan 20 orang. Akhirnya, dia memperbanyak air di dalam kuali itu hampir seukuran kuali iti sendiri.

Bubur itu mulai mendidih. Karena terlalu banyak kandungan airnya, bubur itu pun meluap keluar dari kuali. Meluber dan tertumpah. Jokowi berfikir, bubur yang mulai tertumpah itu akan terbuang sia-sia. Maka dia pun segera mengambil mangkok, dan menampung tumpahan bubur itu ke dalamnya. Dia merasa sayang, jika bubur itu tidak termakan. Karena, walaupun dia sudah mengencerkan buburnya sedemikian rupa, dia belum yakin itu akan cukup untuk Sang Guru, Pak Petani, dan 17 saudara seperguruannya. Jokowi rela hanya memakan bubur yang meluber, dengan harapan itu akan mengurangi jatah bubur yang tersisa.

Ketika Jokowi sedang menikmati bubur tumpahannya, Ki Bawuk datang untuk melihat... apakah bubur yang dimasak Jokowi sudah masak, atau kalau-kalau muridnya itu masih membutuhkan bantuan lainnya. Betapa kecewanya hati Sang Guru, melihat Sang Murid tengah memakan bubur yang dimasaknya dengan lahap. Seakan dia tidak memperdulikan, lapar yang sama... yang dialami saudara seperguruannya, juga gurunya. Ki Bawuk teramat sangat kecewa dengan kelakuan Jokowi, murid terbaiknya, yang terpandai, yang dianggapnya paling memahami tatakrama. Tetapi malah dengan liciknya, berani mendahuluinya, memakan bubur dengan sembunyi-sembunyi, bahkan sebelum meminta ijin darinya.

Jokowi tidak berusaha membantah, ketika Ki Bawuk memarahinya. Mengatakan dia lancang, licik, dan tidak memiliki tatakrama. Rasa hormatnya kepada Sang Guru, membuatnya tidak berani menyangkal kata-kata gurunya itu. Oleh sebab itu Ki Bawuk merasa keheranan, dia memperhatikan dengan seksama raut wajah murid kebanggaannya itu. Dalam hatinya juga mulai ragu, mana mungkin murid terbaiknya itu melakukan tindakan tercela seperti yang dituduhkannya. Maka dengan lembut dia bertanya,"Jokowi muridku, apakah ada sesuatu yang ingin engkau sampaikan padaku, Le? Yang sebenar-benarnya, yang sejujur-jujurnya?."

Setelah menghaturkan sembah dan penghormatannya, Jokowi mulai menceritakan kejadian yang sesungguhnya.Ki Bawuk pun terkejut dengan cerita dari murid kinasihnya itu, dia mulai menyadari kesalah fahamannya. Dengan jiwa besar, Sang Guru Agung itu pun meminta maaf kepada muridnya. Dia telah salah sangka menilai muridnya, hanya karena dia menyaksikan sepotong kecil peristiwa... dari keseluruhan peristiwa utuh, yang terjadi di dapur itu beberapa saat lalu.Ki Bawuk memeluk muridnya itu dengan erat, lalu menerintahkannya membawa kuali bubur itu ke halaman rumah.

Disela-sela keriuhan para muridnya berbagi makanan, Ki Bawuk memberikan pelajarannya.
"Kadang, kita hanya cukup mendengar dari orang lain dan mempercayainya. Tetapi, saat mendengarnya sendiri kita makah tidak percaya. Melihat dengan mata kepala sendiri pun, jika hanya sebagian dari yang seharusnya kita lihat... itu belum cukup, bahkan sangat berbahaya untuk membuat kesimpulan.Seorang yang waskitha, tidak menyimpulkan sesuatu yang dilihatnya, sebelum menemukan hakiikat dari yang disaksikannya tersebut."

Jokothir merasa aneh dengan pengajaran gurunya itu, maka dia segera menanyakannya.

"Kenapa, guru tiba-tiba menceritakan ini kepada kami? Apa yang terjadi, dan belum kami ketahui?" tanyannya. Sang Guru tersenyum dalam kebijaksanaannya, lalu menjawabnya dengan sunggingan senyum.

"Aku, baru saja memarahi Jokowi karena kesalah fahamanku. Dan aku sudah menyadari kesalahanku itu, meminta maaf kepadannya "

"Guru adalah seorang yang paling bijaksana, bahkan guru juga adalah Penasehat Khusus Kanjeng Adipati Anjuk Ladang. Bagaimana bisa, seorang yang sangat bijaksana seperti Panjenengan (bahasa Jawa untuk Kamu dengan bahasa Halus) melakukan kekeliruan?" tanya Pujiastutik murid perempuannya. Sang Guru kembali tersenyum."Muridku! Seorang Rosul, seorang Nabi, seorang Guru, seorang Bijaksana sekali pun, mereka tidak serta merta terlahir sempurna. Ada sebuah laku yang harus dilewati, yang harus dilakoni, banyak ilmu yang harus tetap dipelajari. Mengetahui dirinya bersalah, dan berani mengireksi diri itu belum menjadi kesalahan. Bersalah tetapi tidak mau mengakui kesalahan, itulah kesalahan yang sesungguhnya" semua murid tertegun, mendengar penerangan gurunya yang rendah hati itu.

"Muridku, suatu saat kalian akan menjadi seirang pemimpin. Menjadi tetua, yang dihormati banyak orang. Menjadi orang besar, besar dalam arti yang sesungguhnya. Bukan hanya harus mampu membawa kemaslahatan ummat, tetapi besar juga berarti harus tetap belajar setiap hari. Mawas diri, nenyelami diri sendiri. Berani mengakui kesalahan, juga berani meminta maaf... terrhadap rakyat terkecil sekalipun."

Sang Guru menutup pengajaran dengan do'a memulai makan, hebatnya... dari kuali yang kecil itu keluar berpuluh-puluh mangkok bubur. Yang tidak hanya cukup membuat semua rombongan merasa kekenyangan, bahkan sisa bubur daoat dibagikan kepada seluruh penduduk dusun. Tamat.

(TAMAT)

Sabtu, 01 Desember 2018

Demang Sarwogemuk Dan Dharma Wisata.

Demang Sarwogemuk terlihat sangat tegang, dari gerakan tubuhnya tampak kegelisahannya. Carik Buriksemu melihat kesemuannya itu, hatinya pun ikut merasakan ketegangan atasannya.

"Kakang Burik, apa tidak sebaiknya engkau susul Lurah Cucukmenuk di Kademangan Lemahjeglong. Apa yang sedang terjadi disana? Apakah Cucukmenuk mengalami kesulitan?" kata Demang Sarwogemuk, dengan mimik muka yang sangat serius.

"Tidak perlu menyusulnya, Ndoro Demang. Kita bisa melakukan video call bukan? Apa yang terjadi disana, akan langsung diketahui" jawab Carik Buriksemu, sambil mengeluarkan handphone dari balik baju luriknya. Demang Sarwogemuk terlihat tersenyum, dia baru ingat... Kanjeng Adipati Jokondokondo, telah memberikan semua Demang dan Lurah sebuah gadget untuk.mempermudah komunikasi.

Belum juga Carik Buriksemu melakukan panggilan video, samar-samar terdengar suara sepeda motor Lurah Cucukmenuk. Suara motornya terdengar sangat khas dan berbeda, karena hanya dia yang memasang knalpot racing di sepeda motornya. Sebentar kemudian, sampailah Lurah Cucukmenuk di halaman kademangan. Ki Demang dan Ki Carik mendatanginya, sebelum yang baru datang membuka helm blangkonnya.

"Kakang Cucukmenuk, apa yang terjadi? Kenapa lama sekali?" tanya Ki Demang.

Yang ditanya pun segera memberikan jawaban, setelah meletakkan helm blangkonnya di spion sepeda motor,"Semua baik-baik saja, Ki Demang. Dari kelurahan Lemahjeglong, saya diajak Lurah Bendoltelu mampir ke cafe terlebih dulu."

"Kenapa tidak mengirim pesan ke whattsapp? Atau setidaknya kirim SMS!" kata Ki Demang agak sewot, Lurah Cucukmenuk pun tersenyum simpul.

"Maaf, Ndoro Demang. Baterry handohone saya lowbatt, kabel chash yang ada di Cafe Rondho Kempling tidak cocok dengan chash hole hape saya."

"Ah, sudahlah. Jadi, bagaimana urusanmu menyampaikan pesan rahasiaku kepada Demang Butogimbal (Demang Desa Lemahjeglong)? Apakah dia menyetujui rencanaku itu?"

"Ndoro Demang itu lupa, atau memang sudah pikun? Bukannya Anda sudah menshare rencana itu di grup WA? Sekarang itu bukan rahasia lagi, semua Demang di Kabupaten Tampahbolong sudah mengetahui rencana Sampeyan!" jawab Cucukmenuk agak nyaring, meyakinkan diri Ki Demang dapat mendengar kata-katanya. Karena perhatian Ki Demang tiba-tiba beralih, kepada getar gawai yang ada di saku bajunya.

"Sebentar, ada telepon dari Kanjeng Adipati!" katanya kemudian, sambil menjauh dari tempat pembicaraan. Sementara Demang Sarwogemuk menerima panggilan, Carik Burik mengajak Lurah Cucukmenuk duduk di kursi teras kademangan.

Setelah selesai menerima telpon dari Kanjeng Adipati, dengan bersungut-sungut dia menuju para bawahannya menunggu. Ki Carik menyambutnya dengan pertanyaan,"Kanjeng Adipati dhawuh (berkata) apa, Ndoro Demang?" yang ditannya tampak kesal.

"Kanjeng Adipati tidak setuju, hari Ahad besok para Demang dan Lurah berdharma wisata dengan mobil dinas! Beliau menghimbau, agar mempergunakan mobil elf charteran milik istrinya!"

"Bukannya memang seperti itu rencananya, Ndoro?" kata Carik Burik.

"Rencana apa?!" tanya Ki Demang penasaran.

"Kita memang sudah merencanakan, menyewa elf charteran untuk acara dharma wisata besok hari Ahad, Ndoro Demang" jawab Lurah Cucukmenuk.

"Ki Demang galfok, sih" imbuh Carik Burik. Ki Demang semakin terdesak, dia sama sekali tidak bisa mengingatnya.

"Apa memang benar seperti itu, yaa?!" tanyannya malu-malu,"Baiklah, umumkan kepada seluruh Demang dan Lurah diseluruh Kadhipaten Tampahbolong. Pada hari Ahad besok, kita berangkat berdharma wisata menggunakan elf charteran!"

"Sudah diumumkan seminggu yang lalu kelles !!!... " teriak Lurah Cucukmenuk dan Carik Buriksewu hampir bersamaan.

"Sudah diumumkan ya?" tanya Ki Demang sambil tersenyum malu.

Tiba-tiba, dari dalam rumah terdengar suara Nyi Demang Nellakharima.

"Kalian akan tetap disitu saja, atau melihat pertandingan sepak bola ini! Timnas Baudendo melawan Timnas Monconegoro, disiarkan oleh stasion Baudendosiar ini!"
Tanpa menunggu lama, ketiga orang gibol (penggila bola) itu berlarian masuk ke dalam rumah. (Tamat).

Ki Bawuk Panotojiwo: Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan

Seusai pelatihan kanoragan... (olah tubuh/pencak silat) disaat para murid tengah beristirahat, Ki Bawuk mengambil tempat diantara mereka. Di Padepokan Ilmu Kasunyatan yang dipimpinnya, segala ilmu diajarkannya. Murid yang ratusan jumlahnya itu, dibaginya dalam beberapa kelas sesuai tingkatan ilmunya. Hanya yang telah memenuhi persyaratan moral saja, yang diajarkan ilmu kanoragan dan ilmu kesaktian.

Melihat sang guru sudah bersiap mewedarkan ilmu, para murid segera mengambil posisi chandrabyuha ( bentuk barisan seperti bulan sabit, sang guru sebagai pusatnya). Semua memusatkan perhatian pada sang guru mulia, tak seorang pun berani bersuara... bahkan berbisik pun tidak berani.

Ki Bawuk memulai pengajaran, dengan terlebih dahulu mengajak semua yang hadir untuk berdo'a... memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

"Anak-anakku, dengarkanlah. Aku akan menceritakan kepada kalian sebuah kisah, yang pada jaman dahulu pernah terjadi di negeri Tiongkok. Sekitar tahun 2357-2255 SM (sebelum masehi), saat itu yang menjadi Raja adalah Baginda Yao. Beginilah kisahnya:"

Saat itu usia Baginda Yao sudah teramat lanjut, sudah tetamat lama juga memevang tampuk pemerintahan. Dia pun sadar untuk segera mempersiapkan calon penggantinya. Meski pun dia.memiliki sembilan putra dan dua orang putri, namun menurutnya... tak ada satu oun diantara mereka, yang pantas menggantikannya. Oleh karena itu, matanya ditajamkan untuk melihat kasak-kusuk rakyatnya, hatinya diruncingkan untuk merasakan keinginan rakyatnya.

Pada awalnya, dia memperhatikan dengan seksama orang di sekelilingnya. Patihnya, Tumenggungnya, Wedananya, hingga kepada Lurahnya, tetapi Baginda menganggap mereka semua tidak pantas menggantikannya. Mulailah telinganya mendengarkan, bjsik-bisik dari para rakyatnya. Saat itulah dia mendengar, suata rakyat mengarah kepada Shun... seorang petani yang berbudi luhur, yang arif bijaksana.

Untuk.lebih meyakinkan hatinya, maka dinikahkanlah Shun dengan kedua putrinya. Melalui kedua putrinya, baginda mendengar apapun tentang kebaikan, kejujuran, serta keshalehan Shun. Baginda pun semakin mantap pilihannya kepada Shun, dan memberinya kesempatan menggantikan posisinya. Itulah demokrasi purba, rakyat memilih pemimpinnya secara langsung... dan suata rakyat diikuti kehendak raja.

Shun memerintah dengan sangat arif bijaksana, rakyat sangat memuji dan mengagungkan kebesaran namanya. Rakyat sangat mencintai Shun, seperti cinta mereka kepada baginda Yao ketika itu. Baginda Shun mengikuti jejak dari Baginda Yao, rintisan mertuanya itu diteruskannya. Saat Shun mulai berusia lanjut, mulailah dia 'memperhatikan' siapa-siapa yang layak menggantikannya. Awalnya baginda memilih seseorang dari Menterinya, tetapu menteri itu malah menunjuk orang lain. Tidak ditemukan seseorang yang pantas mengemban amanah selanjutnya, para birokarat itu tidak memenuhi syaratnya.

Akhirnya, Raja Shun mengikuti seperti yang pernah dilakukan Raja Yao. Kembali mendengarkan suara rakyat, dan semua orang sepakat memilih Xia Yu. Seorang oejuang kingkungan hidup, ahli tata kota, tetapi yang sejatunya juga seorang petani biasa. Xia Yu sangat tersohor dimata rakyat, karena dialah yang bertahun-tahun berjuang menyelaraskan aliran sungai. Pada saat itu aliran sungai tidak beraturan, menyebabkan banjir yang menyengsarakan rakyat. Maka terjadilah, Xia Yu dianhkat menjadi Raja menggantikan Shun. Ini juga demokrasi, yang pada awalnya digagas oleh Raja Yao.

Ada yang perlu diperhatikan secara khusus, jika perlu catatlah. Yao berasal dari suku Han, 95% dari total penduduk Tiongkok pada saat itu. Sementara Shun dari etnik Jepang, dan Xia Yu berasal dari etnis proto melayu. Meskipun mereka bukan dari etnis mayoritas, merekalah yang terpilih pada demokrasi ketika itu. Membuktikan bahwa sistem demokrasi di Tiongkok pada saat itu sudah sangat maju, melampaui batas-batas SARA (suku, agama, ras, aliran kepercayaan). Kesadaran demokrasi yang sangat maju tersebut, ternyata tidak hanya dimiliki oleh kaum.elit saja.... tetapi juga dimiliki oleh rakyat jelata. Terbukti, pilihan rakyat juga didasari oleh benerapa aspek. Shun pada keutamaan perilaku, dan Xia Yu pada aspek dedikasi, dan prestasi kerja.

Catatan lain yang perlu menjadi renungan adalah, kebesaran jiwa para pemimpin pada saat itu. Mereka tidak berusaha berebut jabatan, bahkan malah merekomendasikan satu dengan lainnya. Terbukti pada saat Shun mencari penggantinya, pejabat yang ditunjuk merekomendasi pejabat lainnya... yang dianggap lebih pantas, dan layak mengemban amanah.

Melihat fenomena yang luar biasa itu, membuat Gao (Menteri Kehakiman merangkap Penasehat Agung Raja Yao dan Shun) berkata:

"Tuhan melihat seperti Rakyat melihat, dan Tuhan mendengar seperti  Rakyat mendengar"

Inilah wujud demokrasi sejati, dalam artiannyang sesungguh-sungguhnya.

Ki Bawuk mengakhiri ceritanya, dia melihat beberapa orang muridnya tertidur pulas. Bahkan terdengar beberapa jenis suara bersahutan, dari mulut muridnya yang mengorok. Beberapa orang dilihatnya tidak tettidur oleh ceritanya, tetapi mata mereka menatap kosong ke arahnya. Hanya seorang saja yang tampak sangat antusias mendengar ceritanya, bahkan dia tidak tetpengaruh bunyi dengkur kawan-kawannya. Dia adalah Joko Winarto, teman-temannya memanggil dia Jokowi. Ki Bawuk tahu, suatu saat Jokowi akan mwnjadi pemimpin besar bangsa ini. Dia hanya butuh lebih seksama, mempersiapkan pemuda itu menuju tanggung jawab yang sangat besar kelak. Ketika terlihat Jokowi mengangkat tangan kanannya, sebagai tanda ingin menanyakan sesuatu padanya. Ki Bawuk malah berkata,"Tidurlah seperti kawan-kawanmu itu, Le" lalu dia berdiri meninggalkan aula itu.


(TAMAT)

Ikan Asin

Wanita itu berlari sekuat yang dia mampu, sambil berteriak mengejar kucing yang kabur di depannya. Tangan kanannya memegang sapu lantai, sementara yang kiri menyincing rok panjangnya.
"Kucing garong! Ikan asin satu-satunya jatah makan Upik, digondol juga!"
Kucing hamil itu terbirit menghindari kibasan sapu, berlari menyeberangi jalan raya. Ketika sebuah motor melaju kencang, melindas tubuhnya hancur berserakan.
Wanita itu menjerit histeris, melihat tubuh kucing yang tak bersisa.
"Seharusnya, kubiarkan kau makan ikan asin itu!" teriaknya pilu, bersimpuh di pinggir jalan raya.

Ki Bawuk Panotojiwo: Matematika dan Estetika (Cerpen Motivasi)

Ki Winarto Sabdo... atau Ki Bawuk Panotojiwo, adalah seorang guru disebuah Padepokan Ilmu Kasunyatan. Dia memiliki banyak murid, yang datang dari berbagai pelosok Nusantara. Dari berbagai suku, agama, ras, dan aliran kepercayaan. Tidak pernah menolak calon murid, tidak berpilih kasih, tetapi syaratnya... harus sungguh-sungguh ingin belajar. Murid yang malas, sangat tidak disukainya. Walaupun dia tidak pernah membencinya.

Jokowi adalah murid terpandai, jauh melampaui kepandaian murid-murid lainnya. Terkenal sangat arif bijaksana, sopan, jujur, dan senang membantu teman-temannya. Lain dengan Jokathir, murid terbodoh, dan tersombong, sangat memuakkan. Tetapi, Ki Bawuk sangat menyayangi kedua-duanya.

Suatu hari, Jokowi ditantang Jokothir.

"He, Jokowi! Kalau kamu memang pintar, berapakah hasil dari 8 x 3 itu?"

Secara cepat, Jokowi menyebut angka 24.
"Salah! Yang benar itu 23!" sergah Jokothir dengan pongahnya.

Jokowi tetap mempertahankan jawabannya, sedang Jokothir pun kekeh memegang prinsipnya. Masing-masing mempertahankan kebenarannya. Masing-masing tidak ada yang mau mengalah. Tidak tahan dengan perdebatan panjang itu, Jokothir kemudian mengajak Jokowi bertaruh.

"Begini saja, sesandainya 8 x 3 adalah 24... kamu yang benar. Aku akan menggorok leherku sendiri, sebagai tanda kekalahanku. Tetapi, jika hasilnya adalah 23... kamu harus pergi meninggalkan Padepokan ini!"

Berusaha mencegah pertaruhan konyol itu, Jokowi berkata,"Saudaraku, tidak ada gunanya pertaruhan ini. Aku tidak ingin, kamu akan menjadi korban yang sia-sia"

Tetapi Jokothir tetap berkeras, melanjutkan pertaruhan itu. Bahkan, dia memohon agar Ki Bawuk sudi menjadi hakimnya,"Apa yang Guru katakan, itulah kebenaran!" kata Jokothir mantap. Ki Bawuk menyetujuinya, tetapi Jokowi dengan tidak bersemangat... terpaksa harus mengikuti pertaruhan itu.

Sebetulnya, Ki Bawuk sudah mendengar percakapan kedua muridnya itu sejak awal. Tetapi, dia meminta keduanya mengulangi apa yang menjadi perdebatannya.

"Romo Guru, awalnya Jokothir mendatangiku. Kemudian melontarkan pertanyaan, jasil dari perkalian angka 8 dan angka 3. Kemudian aku menjawab, jumlah atau hasilnya adalah 24. Tetapi Jokothir membantahnya, dia bilang hasilnya adalah 23. Kami pun berdebat, tidak ada yang mau mengalah" Jokowi menoleh ke arah Jokothir, yang menganggukkan kepalanya tanda setuju,"Jokothir malah mengajakku beraruh. Jika jawabannya adalah 24, dia akan mwnggorok lwhernya sendiri. Dan jika jawabannya adalah 23, maka aku disuruhnya pergi dari Padepokan ini"

"Hem, aku sudah mengerti... lanjutkan ceritamu, Nak!" kata Ki Bawuk, sambil mengelus jenggot putihnya yang panjang.

"Sekarang, kami mohon jawaban dari Romo Guru. Berapakah hasil perkalian dari 8 x 3 yang sesungguhnya?" tanya Jokowi.

"Hasilnya adalah 23!" jawab Ki Bawuk dengan tenang, raut wajahnya menunjukkan ekspresi kejujuran. Jokothir bersorak girang dengan jawaban gurunya itu,  berbeda dengan Jokowi yang masih tidak mempercayai jawaban gurunya itu.

Betapa kecewanya hati Jokowi. Rasa kagum pada guru tercintanya sejetika luntur, rasa hormatnya pun tiba-tiba menurun. Dia merasa selama ini dibohongi oleh orang yang dikaguminya itu. Dengan perasaan kesal, marah,, dan kecewa, Jokowi berdiri dari duduknya... dan berkata dengan keras,"Lebih baik aku pergi dati tempat ini! Pulang ke kampung halamanku, hiduo dengan kejujuran, dengan keluguan, dan kesederhanaan! Daripada, hidup ditengah-tengah kebohongan, kemunafikan, dan kepura-puraan!"

Melihat reaksi Jokowi, Ki Bawuk hanya tersenyum. Kemudian dengan suara lembut, dia berkata,"Jika kamu memang sudah bertekat meninggalkan padepokan ini, dan ingin memulai hidup di kampung halamanmu. Aku tidak akan mencegahmu, atau menahan keinginanmu.Tetapi, jika kamu masih mau mendengarkan nasehatku... seandainya di tengah perjalananmu nanti terjadi hujan yang sangat lebat, janganlah kamu bertedih di bawah pohon yang besar. Karwna pohon itu akan tumbang, bisa saja menimpa tubuhmu"

Sambil bergumam, Jokowi langsung pergi dari hadapan gurunya. Tanpa sempat mengucapkan terima kasih, bahkan tidak memojon pamit. Dia begitu marah dan sangat kecewa, sehingga hilanglah tabiat terpujinya.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba cuaca berubah drastis. Mendung hutam yang tebal, datang berhulung-gulung. Langit yang cerah, seketika berubah menjadi hitam.pekat. Kilat menyambar-nyambar, guntur bersahut-sahutan, mengitingi turnya hujan yang bagai ditumpahkan dari langit.

Jokowi berlari bermaksud ingin berteduh, disebuah pohon yang sangat besar yang rimbun daunnya. Tetapi dia mengurungkan langkahnya, karwna teringat pesan gurunya. Dia berbalik arah larinya, menuju pohon kecil yang agak rimbun juga daunnya. Ketika disaat yang sama pohon besar itu tiba-tiba tumbang, jatuh berdebum.ke tanah dengan kerasnya. Jokowi sangat bersyukur, terhindar dari bencana yang bisa membinasakannya itu.

Jokowi tersadar, pesan-pesan gurunya benar tetjadi padanya. Gurunya benar-benar bukan orang sembarangan, tetapi seirang waskita yang sudah mengetahui sebelum.terjadi. Apa yang terjadi dengan dirinya dan Jokothir, mungkin adalah ilmu tang belum dipelajarinya. Dia menyesal telah meninggalkan gurunya, padepokannya, dan juga meninggalkan teman-temannya. Hanya karena keegoisannya, mempertahankan kebenarannya sendiri. Jokowi pun segera merubah rencananya, tidak melanjutkan pulang ke kampung halamannya... tetapi dengan berlari, dia menyusuri jalan menuju padepokannya.

Di depan pintu gerbang padepokan, Ki Bawuk sudah menunggunya sambil tersenyum dan mengelus jenggotnya. Jokowi pun terkesima, ternyata sang guru sudah tahu dia kembali. Dengan berurai air mata, Jokowi berlutut di depan orang yang bijaksana itu. Fan sebelum sepatah kata oun terucap dari bibirnya, orang tua itu sudah berkata dengannlembut padanya,"Anakku, 8 x 3 memang 24! Tetapi, jika tadi aku katakan 8 x 3 afalah 24, maka kamu akan menyesalinya seumur hidupmu. Kamu akan merasa menjadi pembunuh saudaramu sendiri, sepanjang hayat penyesalanmu itu tidak akan tunai. Hidupmu akan tersiksa selamany! 8 x 3 = 24 adalah kebenaran kecil, tetapi 8 x 3 = 23 dalam kejadian tadi adakah kebenaran besar... karena menyangkut nyawa seseorang, nyawa saudaramu seperguruan."

Jokowi terperangah dengan penjelasan gurunya, semakin tetsedulah isak dan tangisannya.

"Ingatlah, murid terbaikku. Hidup itu berwarna... setiap warna memiliki arti trtsendiri, tetapi tidak semua bisa dilihat dengan mata biasa. Harus dibaca dengan kejernihan mata hati, kebesaran jiwa, serta kelapangan dada. Kalau soal hitam dan outih, semua orang dapat membedakannya.Kslau sudah beraneka warna, semakin sulit dan rumitlah mengatakan keindahannya. Manakah yang lwbih indah, satu dengan lainnya. Begitu juga tentang kebenaran, sangatlah mudah dibedskan dengan kejahatan. Tetapi ini akan berbeda, jika ada dua kebenaran yang berbeda... seperti kejadianmu tadi. Kebenatan matematika, dengan kebenaras estetika. Di sinilah kejernihan mata hati yang menentukan, renungkanlah."

Dalam sedu-sedannya Jokowi berterima kasih, dan memohon maaf atas kekeliruannya. Jokowi merenungi sungguh-sungguh nasehat dari gurunya, dan belajar lebih giat lagi memaknai hidup.  Ki Winarto Sabdo pun semakin menyayanginya, semua ilmu-ilmu kenyataan hidup diajarkannya. Karena kelak, dia bermaksud mengangkat muridnya itu menjadi penerusnya. (Tamat)

#KelasFiksi
#ODOP6
#CerpenMotivasi

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...