Senin, 13 Mei 2019

Kebaikan Akan Berbalas Kebaikan


Disalin dari WAG, kiriman tanggal 3 Juni 2019. Setelah dilakukan beberapa penyesuaian, penggantian Judul, dan penyederhanaan. Naskah ini tampil seperti dibawah ini:

Pada suatu hari, seorang pria melihat seorang wanita lanjut usia sedang berdiri kebingungan di pinggir jalan. Meskipun hari sudah beranjak gelap, pria itu dapat melihat, bahwa wanita itu sedang membutuhkan pertolongan.

Maka, pria itu menghentikan sepeda pancalnya di depan mobil Benz wanita itu, dan keluar menghampirinya.

Meskipun pria itu tersenyum, wanita itu masih ketakutan. Sebelumnua tak ada seorangpun berhenti menolongnya, selama beberapa jam ini. Apakah pria ini akan melukainya?
Pria itu kelihatannya tidak baik, penampilannya kelihatan miskin dan kelaparan.

Sang pria dapat melihat bahwa wanita itu ketakutan, sambil berdiri disamping mobilnya dengan kedinginan. Ia mengetahui bagaimana perasaan wanita itu, ketakutan itu membuat sang wanita semakin kedinginan.

Kemudian pria itu berkata, "Saya disini untuk menolong anda, Nyonya. Masuk ke dalam mobil saja, supaya anda merasa hangat. Ngomong-ngomong, nama saya Ladiman."

Sebenarnya mobil itu hanya mengalami ban kempes, namun bagi wanita lanjut usia seperti dia, kejadian itu sungguh cukup buruk.

Ladiman merangkak ke bawah bagian sedan, mencari tempat untuk memasang dongkrak. Selama mendongkrak, beberapa kali jari-jarinya membentur tanah. Segera ia dapat mengganti ban itu, walaupun akibatnya ia jadi kotor dan tangannya terluka.

Ketika pria itu mengencangkan baut-baut roda ban, wanita itu menurunkan kaca mobilnya dan mencoba ngobrol dengan pria itu.

Ia mengatakan kepada pria itu bahwa ia berasal dari Kabupaten Bojonegoro, dan hanya sedang lewat di jalanan Kecamatan Rejoso ini. Ia sangat berutang budi, atas pertolongan pria itu.

Ladiman hanya tersenyum, ketika ia menutup bagasi mobil wanita itu. Sang nyonya menanyakan berapa yang harus ia bayar, sebagai ungkapan terima kasihnya. Berapapun jumlahnya, tidak menjadi masalah bagi wanita kaya itu. Dia sudah membayangkan semua hal mengerikan, yang mungkin terjadi seandainya pria itu tidak menolongnya.

Lelaki itu tak pernah berpikir untuk mendapat bayaran, dia menolong orang lain tanpa pamrih. Dia biasa menolong orang yang dalam kesulitan dan melakukan karma baik, banyak orang telah ditolong dirinya pada waktu yang lalu. Ladiman biasa menjalani kehidupan seperti itu, dan tidak pernah ia berbuat hal sebaliknya.

Dia mengatakan kepada sang nyonya, bahwa seandainya ia ingin membalas kebaikannya. Pada waktu berikutnya, jika wanita itu melihat seseorang yang memerlukan bantuan, dia dapat memberikan bantuan yang dibutuhkan kepada orang itu. Dan Ladiman menambahkan, agar selalu mengingat peristiwa ini.

"Siapa nama anda, Pak?" tanya wanita itu dari balik setir mobilnya.

"Nama saya Ladiman, Nyonya!" jawabnya mantap.

Dia berdiri menunggu sampai wanita itu menyalakan mobilnya, dan berlalu meneruskan perjalanannya.

Malam itu terasa sangat dingin seakan bisa membuat orang depresi, namun pria itu merasa nyaman ketika ia pulang ke rumah dengan menembus kegelapan malam.

Beberapa ratus meter dari tempat itu, sang nyonya melihat sebuah warung kecil. Dia turun dari mobilnya, untuk sekedar mencari minuman ringan, dan makanan kecil sebelum pulang ke rumah.

Warung itu nampak agak kotor, diluarnya ada dua pompa bensin mini. Pemandangan di sekitar tempat itu sangat asing baginya, tetapi itu tidak menyurutkan langkahnya untuk masuk ke dalamnya.

Sang penjual adalah seorang wanita, menyapa dengan ramah dan mempersilakannya duduk. Tersenyum manis kepada tamunya, meskipun ia tak dapat menyembunyikan raut wajah lelahnya.

Sang tamu melihat bahwa wanita penjual itu sedang hamil, mungkin sekitar hampir delapan bulan. Namun sepertinya ibu warung itu tak membiarkan keadaan dirinya, mempengaruhi sikap pelayanannya kepada para pelanggan warungnya.

Wanita itu heran, bagaimana pelayan yang sepertinya tidak berpendidikan tinggi ini, dapat memberikan suatu pelayanan yang baik kepada orang asing seperti dirinya.
Seketika wanita itu teringat kepada Ladiman, sebelumnya dia juga berprasangka buruk tentangnya. Tetapi kenyataannya, lelaki lusuh itu berhati emas.

Setelah wanita itu menyelesaikan pembeliannya, ia membayar dengan uang kertas Rp100ribuan. Pemilik warung itu dengan cepat pergi, untuk menukarkan uang itu kepada warung-warung lain disekitarnya. Dengan tergesa, dia bermaksud memberikan kembalian kepada wanita itu.

Ketika kembali ke warungnya, ternyata wanita itu sudah pergi. Pemilik warung itu bingung, kemana perginya?.
Kemudian ia melihat sesuatu, tertulis pada selembar kertas di meja warungnya.

Ada butiran air mata, ketika pemilik warung itu membaca tulisan itu:

---Sampeyan tidak berutang apa-apa kepada saya. Saya, juga pernah ditolong seseorang, dia mengajarkan saya tentang hal ini. Seseorang yang telah menolong saya, berbuat hal yang sama seperti yang saya lakukan. Jika sampeyan ingin membalas kebaikan saya, inilah yang harus sampeyan lakukan: Jangan biarkan rantai kasih ini berhenti hanya pada sampeyan.---

Dan di bawah kertas itu, terdapat lagi empat lembar uang kertas Rp100ribuan. Jadi totalnya, dia mendapatkan Rp500ribu.

Ada meja yang harus dibersihkan, toples gula yang harus diisi, namun pemilik warung itu memutuskan untuk melakukannya esok hari saja. Hatinya terlampau gembira, sehingga dia ingin segera berbagi kebahagiaan dengan suami tercintanya di rumah. Maka segera ditutupnya warung kecil itu, dan bergegas mengayuh sepeda mininya menuju rumah.

Malam itu ketika ia pulang ke rumah, dia bermaksud menemui suaminya yang sedang terlelap tidur.

Dia memikirkan tentang uang yang diterimanya, dan apa yang telah ditulis oleh wanita tua pelanggan terakhirnya. Bagaimana wanita yg baik hati itu tahu, tentang berapa jumlah uang yang dia dan suaminya butuhkan, untuk biaya kelahiran bayinya bulan depan?.

Ia tahu, betapa suaminya kuatir tentang keadaan mereka. Dan ketika melihat suaminya yang sudah tertidur di sampingnya, wanita itu memberikan ciuman lembut dan berbisik, "Segalanya akan beres, Mas. Aku mencintaimu, Kang Ladiman!"

Renungan:

Ada pepatah yang mengatakan, "Berilah yang terbaik, maka engkau akan diberi yang terbaik."

Teman baik itu seperti bintang-bintang di langit. Anda tidak selalu dapat melihatnya, namun anda tahu mereka selalu ada.

Yuk, kita bagikan kebaikan hari ini pada 1 orang saja, semoga rantai ini tdk akan pernah terputus di wall fb anda saja. Percayalah, energi positif itu sifatnya menular.

Semoga kita semua hidup bahagia. Amiin yarobbal'alamiin.
                                             

Rabu, 08 Mei 2019

Kolak

"Kalian pasti sudah tahu yang namanya Kolak, bukan?" tanya Mbah Kidir, diantara kuliah shubuhnya pagi itu.

"Tahu, Mbah!" jawab jama'ah, yang kesemuanya adalah murid padepokan yang diasuhnya.

"Kolak, makanan satu ini mungkin sangat sederhana, tapi ia adalah yang paling terkenal saat puasa. Kolak bisa dibikin kapan pun, tapi waktu yang pas untuk menyantapnya tetap adalah ketika buka puasa," kata Kiai Sepuh itu, "Paduan kuah yang manis, serta isiannya yang mantap, membuat suasana buka puasa makin tak terlupakan."

Semua murid kecilnya mengangguk, diantaranya ada yang memahami, ada juga yang setengah mengantuk mendengarkan wejangannya.

"Kolak memang cuma penganan kecil, tapi kalau kita telusuri lebih dalam ternyata punya sisi lain."

"Sisi lain bagaimana, Mbah?" tanya Kipli, satu-satunya santri dari Papua. Mbah Kidir tersenyum, sambil memandangi bocah korban kekerasan politik di tanah kelahirannya itu.

"Ya, kolak nyatanya tak hanya enak rasanya, tetapi juga menyimpan berbagai filosofi yang sangat mendalam tentang hidup dan kehidupan."

Kipli mengangguk kecil, tetapi sesungguhnya dia merasa belum mendapat jawaban dari pertanyaannya itu. Mbah Kidir melanjutkan tausiahnya.

"Mungkin kalian tidak pernah menyangka sebelumnya, tapi inilah makna-makna terpendam dari setiap sendok kolak yang kita makan:

Kalau ditelusuri dari sisi sejarahnyanya, kolak ini akan mencatut nama para wali. Ya, beliau-beliau itu yang memperkenalkan makanan ini. Tujuannya selain menawarkan khazanah kuliner baru, juga ingin masyarakat belajar nilai dari makanan ini.

Kolak banyak yang mengatakan berasal dari kata khala yang artinya adalah kosong. Kalau diterjemahkan secara penuh, intinya adalah kita sebagai manusia harus selalu bertaubat selagi hidup agar bisa kosong, kosong akan dosa. Kematian dengan kekosongan dosa menurut para wali adalah sebaik-baiknya kematian.

Kolak ada yang mengatakan berasal dari kata Khala, ada pula yang bilang berasal dari Kholaqo. Kata-kata ini berasal dari bahasa Arab yang bisa diturunkan menjadi kata Kholiq atau Khaliq yang artinya adalah mencipta. Nah, dari sini juga bisa diambil satu makna filosofisnya.

" Artinya bagaimana, Mbah?" si Paung santri daro Batak ikutan bertanya.

"Ya, secara tersirat kolak menganjurkan penikmatnya untuk selalu mendekatkan diri kepada Tuhan, Sang Pencipta. Tak hanya itu, istilah ini juga ada yang mengartikan agar kita selalu mendoakan mereka yang telah meninggal." jawab Mbah Kidir lembut.

"Tetapi, Mbah. Di tanah kelahiranku, kami tidak memakan kolak, Mbah. Apa sajakah bahan untuk membuatnya, itu?" tanya Kipli.

'Berbicara soal bahan yang ada di dalam kolak, kita biasanya akan menemui banyak jenis makanan. Tapi, yang pasti selalu ada adalah ubi. Ubi bisa dibilang adalah yang paling identik dengan kolak. Ibarat rumah, kolak adalah pondasi. Tak bisa tidak ada. Tak hanya sebagai bagian yang selalu ada, ubi dalam kolak ini juga punya filosofinya sendiri."

Menurut orang Jawa, ubi masuk dalam jenis-jenis makanan Polo Pendem atau yang tumbuh di bawah tanah. Artinya, ketika kita menyantapnya, maka harus ingat jika suatu saat kita pasti akan seperti mereka. Dalam artian dikubur di dalam tanah. Para wali menganjurkan adanya pertaubatan di setiap sendok kolak yang kita makan. Pasalnya, kematian mungkin saja akan datang semudah kita menyendok kolak ke dalam mulut.

Tak cuma ubi, pisang juga bahan yang mesti ada dalam kolak. Tapi, tak semua pisang bisa pas dimasukkan sebagai salah satu bahan kolak. Dari sekian banyak, mungkin hanya jenis kepok yang paling mantap. Nah, tentang pisang satu ini, siapa sangka jika ia juga punya nilai filosofisnya sendiri.

"Semua ado pilsapinya ya, Mbah?" pertanyaan Paung sontak membuat para jamaah santri lainnya tergelak. Mbah Kidir hanya tersenyum simpul.

"Kepok pada pisang kepok merujuk kepada istilah kapok. Kapok adalah bahasa Jawa yang artinya adalah menyesal atau jera. Artinya setiap kali kita menyantapnya, harus selalu ingat untuk jera akan dosa dan tidak lagi dengan gampang melakukan hal-hal yang membuat kita berdosa."

"Kalau santan, Mbah? Sejak mondok disini, setiap ada penyajiaan Kolak pasti diberi santan kelapa. Kenapa, Mbah?" tanya Kipli lagi.

"Santan adalah bagian yang juga tak kalah penting dalam kolak. Ia adalah pelebur semua bahan-bahan karena bertugas sebagai kuah. Santan menurut orang Jawa juga mengandung sebuah makna filosofis yang sangat dalam," jawab Mbah Kidir, sambil menggeser tubuhnya bersandar ke dinding Masjid, "Santan dalam bahasa Jawa disebut santen. Jika ditelusuri, kata-kata ini adalah kependekan dari sepunten yang artinya adalah permohonan maaf. Jadi, ketika kita menyisipi kuah kolak yang manis itu, ingatlah juga akan kesalahan dan meminta maaf kepada orang yang pernah kita salahi."

Semua santri mengangguk kembali dengan penuh semangat, di arah timur ufuk mulai menghadirkan fajar pagi.

"Inilah makna filosofis dari sepiring kolak yang selalu kita santap. Siapa yang menyangka, dari makanan sesederhana itu ada makna yang begitu mendalam. Ini bukan ilmu ngawur ya, melainkan benar-benar ada filosofinya seperti apa yang sudah tertulis di atas."

Setelah selesai memberikan tausiahnya, Mbah Kidir segera mengajak semua jama'ah berdo'a: semoga puasa di tahun 1440 Hijriyah ini, dapat dilakukan dwngan tanpa halangan sesuatu apapun. Aamiin.

#Day3
#RWCOdop2019
#onedayonepost

Minggu, 05 Mei 2019

Puasa Pertama

Memulai hari dengan situasi yang sama, seakan sudah menjadi lukisan baku di dinding-dinding kisah kehidupanku. Begitu mata terbuka dari lelap yang tidak bermimpi, pandangan pertamaku selalu terarah kepada tembok di atas selonjoran kakiku. Disana tidak ada apapun yang istimewa, hanya seperti warna kusam disekelilingnya saja. Harmoni yang tertangkap panca inderaku selalu sama dari hari ke hari, hanya kali ini nampak agak masih terlalu gelap. Tetapi aku ingat, ini adalah hari pertama puasa ramadhan.

Kumandang nyaring suara teriakan penyiar partikelir, yang dilengkingkan dari pengeras suara surau, dan pengeras masjid,  menguasai udara dan suasana pagi. Pagi yang masih sangat buta, dimana orang-orang hanya mendengarkan, menerawang jengah, lalu mandah dengan segala alur fikiran mereka masing-masing. Jam 00.25.

"Sahuuur! Sahuuur! Saudara-saudari yang ingin melaksanakan ibadah puasa, segeralah melakukan sahuuur!"

Tidak berselang lama, dari ujung jalan yang melintasi depan rumahku, terdengar tetabuhan memekak telinga datang. Dengan nada tidak beraturan, yang keluar dari bebendaan yang ditabuh tanpa intonasi. Ember plastik, jiregen plastik, besi yang beradu bertalu-talu, dan tamborine palsu dari tutup botol Sprite atau Cocacola, ini bukan alat musik, dan lagi mereka bukan para pemusik. Terbayang, betapa menjengkelkannya harus mendengar alunan musik rombeng itu di perbatasan hari.

Inilah, kenapa dulu aku ingin memelihara 10 ekor anjing penjaga perdamaian tidurku. Akan kuhalau segala aktivitas bising-berisik tanpa tatakrama seperti ini, dari kenyamanan istirahat malam sepiku. Aku tersenyum, membayangkan bocah-bocah sepuluh tahunan yang menabuh irama patrol itu, lari terbirit-birit dalam jerit dan raungan ketakutan. Kehiruk pikukan, berhamburan karena dikejar anjing-anjing penjagaku. Hanya sebuah mimpi dari keinginan semu, seseorang pemuja tidur malam sepertiku. Di desaku, tradisi dan etika mengubur segala anganku, mimpiku, juga cita-citaku. Anjing itu bukan peliharaan, dan terlarang hidup di tempat yang Islami ini. What?! Dan siapa gerombolan pemabuk, di lorong-lorong jalanan gelap, yang berpesta pora dalam kebisuan yang menakutkan itu? Juga mereka siapa, para perawan berkerudung yang tiba-tiba hamil tanpa suami itu?, mereka tinggal di desaku yang Islami ini.

Mama mengetuk pintu kamarku. Aku memang hanya tinggal berdua saja dengan Mamaku, yang daya ingatnya sudah mulai melapuk termakan usia secara perlahan.

"Albertus, engkau sudah bangun?" terdengar suara parau Mama, aku segera beranjak dari tempat tidurku. Kemudian membuka pintu kamar, dimana Mamaku tengah berdiri di luarnya.

"Iya, Ma. Aku sudah bangun sedari tadi, akan kusiapkan hidangan sahur kita." jawabku, seraya menuntunnya menuju kursi di meja makan kami.

Setelah itu aku berjalan ke arah dapur, menghangatkan sayur yang sudah kusiapkan sore tadi. Membuat adonan tepung untuk tempe, memotong tempe dengan sangat tipis, kemudian menggorengnya dengan adonan yang sudah kusiapkan. Sementara menunggu gorengan tempe tepungku matang, aku mempersiapkan sambal terasi kesukaan ibuku. Hanya setengah jam saja, hidangan sahur hari pertama kami telah siap. Walaupun, berulang kali Mamaku memintaku memasakkan dendeng daging sapi kesukaannya. Aku hanya mwmintanya bersabar, karena aku belum punya uang untuk membelanjakannya.

Aku, Mamaku, dan mendiang Papaku adalah orang keturunan Tionghwa. Masyarakat sekitar menyebut kami Singkae/Singkek, karena nenek moyang kami memang dari Sin Kae sebuah daerah di dataran China. Umurku sudah 45 tahun, sedang usia Mamaku 75 tahun. Kami keluarga keturunan Tionghwa satu-satunya di desa ini, dan satu-satunya yang beragama Islam se Kabupaten. Dan kami adalah mualaf sejak setahun yang lalu, stelah suatu kejadian mimpi bertautan yang sangat aneh.

Kami, aku dan Mamaku bermimpi pada saat yang sama. Dalam mimpi kami, seseorang berjubah putih mengajari kami kalimat Syahadat. Itu tepat seminggu, sebelum Papa menghembuskan nafas terakhirnya. Papa menderita kanker ganas di perutnya, dimana melihat penderitaannya adalah mimpi buruk buat kami. Papa sering mengerang-erang keaakitan, menggeliat-geliat bagai cacing kepanasan.

Setelah bermimpi secara bertautan, kami ceritakan itu kepada Ustaz Fikri tetangga kami. Alhamdulillah, kami bertiga dengan Papa dituntunnya membaca Syahadat oleh beliau. Semenjak memeluk agama Islam, Papa tidak lagi mengalami kesakitan yang tetamat sangat. Bahkan dia sudah bisa mau makan bubur, dan jus buah-buahan. Seminggu kemudian Allah SWT berkata lain, Papaku dipanghil-Nya dengan kedamaian. Dalam senyum dan ketenangan yang luar biasa, membuat kami yang ditinggalkanerasa tegar dan mengikhlaskannya.

Lamunanku pun buyar seketika, saat seseorang dari luar mengetuk pintu rumah kami.

"Asalamu'alaikum, Kang Albert!" terdengar seperti suara Ustadz Fikri.

"Waalaikumussalaam, Ustadz!" dengan tergesa aku berlari kecil, menuju arah pintu depan rumah kami.

Setelah pintu kubuka, aku lalu menjabat serta mencium tangan kanannya. Beliau tersenyum, seraya menepuk-nepuk punggungku.

"Bagaimana keadaan Mamamu, Bert?"

"Alhamdulillah, beliau baik-baik saja Ustadz. Ada apa gerangan, mari silakan masuk ke dalam."

"Tidak usah, aku hanya sebentar saja. Ini, membagikan bingkisan sahur untuk kalian, terimalah." berkata begitu, Pak Ustadz mengangsurkan sebuah bungkusan. Aku menerimanya dengan perangai senang, setelah itu Ustadz Fikri pun memohon pamit.

Sepeninggal Pak Ustadz, aku membawa bungkusan itu ke meja makan. Alhamdulillah, sewadah dendeng daging sapi kesukaan Mamaku. Seperti yang diimpikan Mamaku seharian ini, dalam puasa pertamanya sebagai muslimah. Tidak terasa menitik air mataku, terima kasih Yaa Allah. Telah Engkau cipratkan anugrah dan kebahagiaan kepada kami, di hari pertama puasa kami ini. Kuatkanlah kami menyelesaikannya, sehingga kami berhak merayakan Idul Fitrimu yang suci. Aamiin.

#RWCOdop
#onedayonepost
#Day1

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...