Senin, 02 September 2019

Pahlawan Alumnus 88

"Bener-bener nggak masuk akal!" kataku sambil marah-marah, di sepanjang jalan pulang sekolah menuju rumah. Keputusan yang konyol, sepanjang jalan hidupku sebagai siswa teladan (telat datang pulang duluan), menurutku.

Terus memikirkan hal itu sampai tiba di rumah, hingga di dalam hati seakan aku berdialog dengan diriku sendiri.

Padahal kalo dipikir-pikir, sebesar apa sih kesalahanku? Masih tergolong dibatas kewajaran kan? Bagiku apa yang kulakukan itu adalah hal yang benar. Membela kaum yang lemah, tertindas, dan teraniaya (baca: kaum.memprihatinkan).

Orang-orang yang seharusnya, dan sepantasnya mendapat uluran tangan dewa dariku. Soalnya aku tahu, selain termasuk golongan kurang mampu (berfikir), mereka juga bernyali tikus, tidak punya keberanian, maupun keterampilan apa-apa. Mereka hanya pelajar lemah, yang tidak berdaya, dan kurasa aku wajib menolong, karena menyangkut masa depan mereka.

Tapi jujur saja, aku juga termasuk dalam kelompok mereka. Bedanya, aku punya nyali dan mental baja, bukan orang yang mudah ditindas. Akhirnya aku mencuri daftar nilai ulangan kelas, dan membuangnya. Itu, adalah perbuatan paling mengerikan. Bagai ibutiri,  siap merebus para pelajar yang sulit memahami hitung-hitungan.

Mungkin hanya aku yang berani melakukannya di kelas ini, atau bahkan di satu sekolahan. Itu adalah sebuah rekor paling bernyali bagiku, karena aku yakin; sampai lima, atau sepuluh tahun kedepan pun belum ada yang akan bernyali mengalahkannya.

Memang selain sebagai solidaritas membantu sesama, itu juga dalam rangka penyelamatan diriku sendiri. Siapa coba yang nggak pusing, tiap latihan atau ulangan nilaiku tidak pernah lebih dari tiga. Itupun kalau aku berhasil melirik kertas jawaban bintang kelas, yang duduk berseberangan bangku denganku.

Tapi tenang, yang lemah itung-itungan di kelas ini bukan cuma aku seorang. Ada banyak teman lainnya yang dapat nilai lebih parah dariku. Sebenarnya, kelompok lemah (golongan tidak mampu itung-itungan) hampir tiga perempat dari jumlah murid di kelas ini. Jadi kalau jumlah muridnya empat puluh orang, berarti yang matematikanya jeblok... sekitar tiga puluh orang.

Makanya setiap ulangan tiba, bukan cuma aku yang susah---satu kelas pun turut gelisah. Sebab semuanya tahu, bagimana cara perhitungan nilai di rapor. Semua nilai ulangan dan latihan selama ini ditotal, terus dibagi berapa kali ulangannya.

Pokoknya kalau aku itung-itung sendiri, nilai raporku kemungkinan dua koma enam. Sebab beberapa kali ulangan dapet nol besar banget, sampai guruku biasanya bilang, "Makan tuh, telur dadar!"

Dua koma enam (2,6), pasti emakku miris mendengarnya. Anak tunggalnya yang menuntut ilmu setiap hari, pagi berangkat sekolah dibuatin sarapan, dikasih sangu (uang jajan), tiap bulan dibayari SPP, cuma dapet nilai segitu.

Aku tidak bisa membayangkan gimana malunya emakku itu, apalagi kalau ngambil rapor, dia selalu duduk di bagian paling depan. Walaupun pastinya akan dipanggil belakangan, karena huruf awal namaku adalah W.

Ah  itu masih mending, lagi. Yang lebih gawat adalah, dua koma enam masih ditambah lagi sama nilai ulangan umum terus dibagi dua. Kalau ulangannya dapet nilai tinggi, kalau dapet nol lagi? Abis deh, dua koma enam dibagi dua, jadi satu koma tiga. Ini artinya, nilai matematikaku di rapor satu koma tiga?

Emakku pasti histeris teriak-teriak.

"Gusti! Owalah Le (panggilan anak lelaki), mending kamu ngarit (menyabit rumput) saja di sawah sana. Sekolah tinggi begini, tapi gak pinter. Mendingan emakmu, ngitung apapun bisa! Kamu cuma ngitung pakai kertas saja, ora bisa!"

Yah, mungkin (kurang lebih) omelannya seperti itu, seperti yang dialami oleh anak tetanggaku, yang mengalami hal yang sama denganku tahun kemarin.

Tapi setelah kupikir-pikir, semua ini tidak seratus persen murni kesalahanku. Ada faktor lain yang melatarbelakanginya, yaitu guru tua yang udah keriput, dan nafasnya tersengal.

Guru matematikaku itu sudah tua, tiap mengajar paling suka nembang (menyanyi lagu Jawa) sendiri. Dengan lagu yang sama, nada minor dan nada mayor tidak beda. Biramanya sama tinggi, disertai rintik-rintik bau jengkol yang membasahi mukaku saat mengkritikku. Saking seringnya nembang, sampai-sampai aku hafal banget tuh lagu---ora jelas!

Murid malas!
Apa kamu tidak pernah belajar, di rumah?
Ulangan nilai nol terus, kalau  guru nerangin tidak diperhatikan!
Bagaimana mau dapet nilai bagus, kalau belajar aja gak serius?
Mau jadi apa kamu?!

Menurutku itu lagu cuma reff doang, kalau denger syair yang super dahsyat itu kepalaku pasti langsung pusing. Kayaknya itu guru waktu sekolah nggak belajar seni musik deh, soalnya kalau dia belajar, pasti dia juga ngerti ngatur alur nadanya, kapan harus tinggi kapan harus rendah, nggak semuanya tinggi.

Akhirnya pas hari itu, rencana besarku dimulai. Rencana itupun mempunyai banyak dukungan, dari berbagai penjuru sudut kelas 1C. Bukan cuma dari (halaqoh lemah otak) di kelasku, tapi kelas yang lainnya juga sama. Mungkin juga ada dukungan non partai dari sekolah PGRI, atau Tsanawiyah, kuharap itu tidak pernah terjadi.

Matematika, selalu bikin pusing para penuntut ilmu. Dan yang kepilih untuk tugas besarku ini adalah teman-teman, yang biasa nongkrong di warung pojok sekolah.

Logikanya atau hanya fikiranku saja, kalau daftar nilai milik guru itu aku buang, maka catatan nilai semua murid selama ini akan hilang. Kalau menurut pegawai sipil, ini namanya pemutihan.

Awalnya pekerjaan ini berjalan mulus, buku absensi nilai itu berhasil kucuri dari ruang staf di kantor sekolah, dan kubuang ke kali dekat belakang sekolah. Dan dengan keyakinan hakiki, sampai kiamat pun kertasnya gak bakalan dapat diketemukan. Karena sudah kusobek-sobek sampai menjadi serpihan kecil, yang jumlahnya lupa gak kuitung. Yang pasti banyak, berhamburan mengikuti aliran sungai yang deras itu.

Kupikir, perbuatan itu akan aman-aman saja. Ternyata hari Sabtu aku dipanggil ke ruang guru, di sana aku dicerca pertanyaan dari berbagai corong, yang akhirnya bermuara ke gendang telingaku.

Dari mulai cuma pertanyaan biasa, sampai luar biasa. Dari ocehan kayak yang terdengar bagai geledek di masa kemarau, yang pada akhirnya sampai kepada satu keputusan. Aku diskorsing, selama satu minggu.

Teman-temanku yang ikut dalam misi tim "The koclok" itu, harusnya ikut bertanggung jawab juga. Sebab mereka termasuk orang yang terlibat langsung, dalam pencurian dokumen itu. Mereka memang tidak turun langsung dalam pencurian buku nilai, tapi hanya mengawasi keamanan saja. Waktu aku menyelinap ke kantor guru, ketika para guru itu sedang mengadakan rapat.

*****

Tapi aku bukanlah tipe orang yang suka ngumpet di belakang, kalau ada masalah. Dengan sifat kesatria, di hadapan para hakim, jaksa, dari guru-guru itu, aku mengaku dengan tegas. Aku jelaskan proses kejadiannya, yang apa adanya itu. Termasuk juga menyampaikan alasanku, kenapa mencuri daftar nilai tersebut. Dan aku juga menyatakan, bahwa tidak ada orang lain yang ikutserta dalam misi konyol ini. Hanya aku seorang, yang menjadi pelaku tunggal.

Kalau dipikir-pikir, aku bisa mengambil pelajaran dari kejadian ini. Aku jadi tahu, bagaimana sikap orang-orang di sekitarku. Kalau sudah begini, jangankan teman (yang ikut misi kemarin), teman sekelas, bahkan tetangga kelas (yang juga ikut merasakan berkah dari hilangnya daftar nilai itu) tidak ada yang peduli. Mereka seolah tutup mata dan telinga, bahkan menutup hidung juga. Mereka tidak mau tau, dan tidak ingin berbagi merasakan kesusahan yang sedang menimpaku.

Mungkin harus berbesar hati, juga berbesar jiwa. Ada kalanya, pemeran utama harus mengalami masa suram dalam pejalanan hidupnya. Ini pelajaran yang harus aku terima, untuk menyongsong masa depan yang lebih suram (sepertinya). Mau sukses bagaimana lagi, coba? Kalau jalan untuk nuntut ilmu saja malah distop begini? Tidak diijinkan mengikuti pelajaran, selama seminggu. Pasti jadi lebih bodo, kan?

Aku pulang meninggalkan halaman sekolah dengan kepala tegak, tidak mau tertunduk lemah dan sedih. Sebab aku tahu (dari setiap jendela kelas) murid-murid yang termasuk golongan otak lemah itu, sedang mengiringi kepergianku dari kelasnya masing-masing. Berdiri memagar memadati pinggiran lapangan, dan aku lewat di depan mereka (fantasiku saja).

Aku menarik napas dan menahannya, dada lebih kubusungkan lagi ke depan. Gaya jalanku juga kubuat sewibawa mungkin. Mata lurus ke depan, rahang mengatub, kedua pipi melembung, dan mulut sedikt gue manyunin (mulutku memang manyun).

Dari arah samping kiriku kubayangkan ada seseorang bersuara, "Kepada... Pahlawan revolusioner Sekolah Menengah Pertama Negeri Rejoso... Hormaaaattttt.... grakk!!"

Aku berpikir siapa yang memberi komando super konyol itu---pasti Suhanto, atau Sumarno, mungkin juga Wardi (yang kutahu sejak awal bercita-cita menjadi tentara) merekalah yang ikut bergabung dalam modus kemarin itu.

Serempak mereka memberi aba-aba, pada anak-anak yang berbaris mengiringi kepergianku siang itu. Indiah segera memimpin murid putri, menyanyikan koor Mars Pahlawan Bangsa.

Lebih dari itu, mereka pasti akan selalu mengingat siapa pahlawan sekolah ini. Di karier, juga masa depan mereka nantinya. Siapa pahlawan yang telah menyelamatkan nilai rapor mereka, dari ocehan bapak dan ibu mereka. Siapa yang berperan penting, dalam kenaikan kelas pada akhirnya.

Hanya satu orang yang akan mereka ingat yaitu aku, Winarto.

Biarpun diskors, aku tidak akan sedih. Aku bukan orang yang menyesali nasib, duduk galau di lantai, menangis meraung-raung seperti anak kecil. Aku adalah orang yang hebat, aku pemberani, pembela kaum lemah.

Telah berjasa, penyelamat kaum telmi (telat mikir), juga setia kawan. Murid terhebat dari murid hebat lainnya, walaupun pada akhirnya dengan semua yang aku banggakan itu membuatku diskorsing!

Yang jadi permasalahanku saat itu adalah, bagaimana cara ngomong sama emakku. Perempuan yang sudah melahirkan, membesarkanku dengan kedua tangannya seorang diri. Bagaimana reaksinya, kalau mendengar aku diskors?

Jika tidak mengaku pun dia pasti juga akan curiga, kalau aku tidak berangkat sekolah pada pagi harinya. Ini juga, bukan waktu libur panjang kenaikan kelas. Pasti aku akan diberondong pertanyaan-peetanyaan, yang pasti sepanjang gerbong kereta api. Belum lagi  mendengar dakwahannya tentang sekolah SR (sekolah rakyat), yang dibanggakannya itu.

Sesungguhnya pun, aku tidak pernah betah tinghal di rumah. Karena setiap hari, setiap waktu, setiap detik, harus selalu mendengar siraman qolbu, dari seorang emak milenial di rumah ini (bava: cerewet). Bahkan setiap aku melakukan hal kesalahan yang terkecil saja, gagang sapunya pasti ikut menyertai iringan (suara khas) radio rusak yang dimilikinya.

Sepertinya, aku harus cari jalan untuk menghabiskan waktu satu mingguku. Ini sangat wajib, kalau aku mau aman dari emakku itu. Mungkin yang harus aku lakukan, refreshing buat mendinginkan otakku yang ganas, karena lingkungan belakangan ini. Tempat mana yang cocok ya? Beijing? Belanda? Atau Ndrenges, ya?

Dari beberapa pilihan yang ada, rasanya tidak ada yang cocok buatku. Maklum, kan masih pelajar. Ahh... jadi malu sendiri. Baru ingat kalau masih pelajar, sombong-sombong pakai mau ke luar negeri segala.

Jangankan ke luar negeri, berangkat sekolah yang jaraknya 1 kilometer saja aku jalan kaki, karena gak punya sepeda. Apalagi udah dua minggu ini aku gak dikasih uang jajan, gara-gara disangka merebut permen lolipop anak tetanggaku yang masih umur lima tahun.

Konyol sih kedengarannya, tapi itu hanya bagi orang yang tidak tahu permasalahan aslinya, termasuk emakku sendiri. Sebenarnya aku tidak merebut lolipop itu, tetapi anak kecil itu sendiri yang memberikannya.

Tetapi, anak kecil itu kemudian menangis sampai termehek-mehek? Karena jempol kakinya terinjak kakiku, setelah permen darinya itu kuemut-emut

Nah, orang yang lewat dan sepintas melihat kejadian, disangkanya aku merebut permen punya anak kecil itu.

Itulah kesialan beruntun yang kualami, setelah berasa menjadi pahlawan di sekolahku (31 tahun yang lalu).

Dan bagi kalian alumni SMP Negeri Rejoso tahun1988, masih ingatkah akan kejadian itu? Pasti tidak! Karena aku mengarang cerita ini.

Selesai.

8 komentar:

Mardha Umagapi mengatakan...

Terakhir ternyata kisah fiksi 😅

catatannurmufidah.blogspot.com mengatakan...

Ternyata fiksi toh hehe

Nenih Maxy mengatakan...

ahhaahahhha keren ih,,, komedi ginih

Maftuha mengatakan...

Hhhh nice gini bah

Winarto Sabdo mengatakan...

Cerita fiksi bisa diadaptasi dari kisah seaungguhnya, yang membedakan adalah keterangan di awal cerita. Jika ini kisah non-fiksi, maka ditulis "Benar-benar terjadi" atau "Seperti diceritakan oleh tokoh dalam cerita ini". Terimakasih sudah berkunjung.

Winarto Sabdo mengatakan...

Sebetulnya cerita ini adalah untuk keperluan 'Pelatihan Kepenulisan di WAG KOPLING' dimana di dalamnya saya sisipkan/jejalkan; alur yang salah, tipografi, dan penggambaran karaktertokoh yang aneh. Semua penulis pasti menemukan 'hal' itu dalam cerita ini. Terimakasih sudah berkunjung.

Winarto Sabdo mengatakan...

Waspadai jebakan di dalam style berceritanya, terimakasih sudah berkunjung.

Winarto Sabdo mengatakan...

Sesungguhnya bisa ditemukan keanehan dalam cerita ini, termasuk tipografi nyata dan tersembunyi. Terimakasih sudah berkunjung.

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...