Jumat, 14 Juni 2019

Alasan Mengikuti NAD

Kenapa ingin ikutan Nulis Aja Dulu? Alasan khusus sesungguhnya tidak ada, tetapi memang tertarik ikutan saja. Dengan harapan, dapat mengenal lebih banyak teman-teman baru penulis-penulis potensial disini. Alasanku ikut grup sudah tersampaikan, nah sekarang kenalan boleh dong?.

Namaku: Winarto Sabdo
Umur: 47 tahun
Alamat: Nganjuk, Jawa Timur
Status: Nanti diperiksa lagi deh, maaf KTP ilang.

Nah, sebagai tantangan awal motivasi ikut Nulis Aja Dulu ini langkah bagus. Memberikan tema tulisan setiap hari, yang harus dituliskan oleh para peserta dalam 30 hari. Sebagai seorang penulis, sebenarnya sangat gampang menemukan ide untuk tema tulisan. Dan menjadi sebuah tantangan, ketika tema diberikan oleh orang lain. Juga pastinya akan menjadi boring, karena ada ketentuan mengenainya.

Bagiku, yang hampir menjalani hidup sebagai pengangguran. Atau tidak berpenghasilan tetap, atau pengandal transferan dari tulisan yang dikirimkan ke koran atau mahalah. Tantangan 30 hari menulis ini masih bisa kuikuti, walaupun sebenarnya saat ini juga dalam program Ramadhan Write Challange (tantangan menulis selama bulan puasa). Dan beberapa lagi, juga masih aktif di kegiatan WAG Group Literasi lainnya.

Eh rasanya sudah mencapai 300 kata ini ya (maaf aku tidak punya aplikasi penghitung kata), semoga bisa sedikit menguak tentang kepribadianku.

-Selesai-

Day1

https://www.instagram.com/p/BxHI3EaA67U/?utm_source=ig_share_sheet&igshid=k8isk8vuqxw4

Marijan bin Sastro Kateno

Wasih terdiam duduk di sebuah bangunan bata pembatas jembatan, dari sungai yang melingkari desa kecilnya itu. Mata kecilnya menatap ke jalanan aspal di depannya, dimana berbagai macam kendaraan bergantian melaluinya. Bukan tanpa sebab bocah kelas lima SD itu melakukan semuanya, dia sedang menunggu kedatangan ibunya dari kota Surabaya tempatnya bekerja.

Setahun sekali dia pulang sebelum puasa, sebulan berkumpul dengannya dan juga Mbahdok (neneknya), untuk menjalani puasa bersama. Mereka akan sahur dan berbuka bersama, Wasih sangat menyukai masakan orangtua yang tinggal satu-satunya itu. Kue-kue dari kota yang banyak macamnya, dalam wadah kaleng yang beraneka rupa bentuknya. Hanya setahun sekali dia dapat merasakan makanan-makanan yang lezat-lezat itu, sekembali ibunya dari bekerja di kota Surabaya.

Sehari-hari Mbahdok hanya akan memasak; sayur bening, sayur asem, atau lalapan daun mengkudu. Terkadang, Mbah juga memberinya kulup daun pepaya yang sangat pahit rasanya, meskipun begitu Wasih tidak merasa terpaksa memakan semuanya. Karena Mbahdok menasehatinya, setiap makanan itu anugrah. Rasa pahit pada sayuran atau lalapan, itu semua adalah obat bagi kesehatan.

Puasa baru akan dimulai nanti malam, Pak Guru Agama Islam berkata: malam ini sudah melaksanakan Tarawih, dan sahur yang pertama untuk puasa pertama pada pagi harinya. Tapi hati Wasih mulai gelisah, tidak seperti biasa ibunya belum datang menjelang puasa pertama seperti ini. Biasanya, seminggu sebelumnya dia sudah ada di rumah.

Bunyi klakson mobil yang hendak masuk ke jalanan menuju desanya nyaring terdengar, membuat bocah kecil yang dikuasai lamunan itu tersentak kaget. Dengan tergesa tubuh kecilnya melompat kesisi jalan, memberi kesempatan mobil itu untuk melaluinya. Tetapi mobil itu malah tidak bergerak, Wasih menduga siapapun yang di dalamnya sedang membicarakan dirinya. Wasih hanya menduga, karena pandangannya bisa menembus keburaman kaca kendaraan itu.

Seorang yang berkerudung mengenakan kacamata sedang berbicara dengan sopir mobil itu, sesekali dia menunjuk kepada dirinya. Hal ini membuat hati hati gadis kecil itu mulai meragukan keberaniannya, jangan-jangan mereka ingin berbuat jahat padanya.

Kaca kiri depan mobil itu terbuka, seorang wanita berkerudung merah turun darinya. Berjalan menuju tempat Wasih, yang mulai berdiri dengan gemetaran. Ketika tinggal dua, atau tinggal tiga langkah lagi dari wanita berkacamata hitam itu, Wasih sudah bersiap-siap melarikan dirinya sekuat tenaga. Namun sebuah suara yang teramat dirindukannya itu terdengar, dari wanita yang berkerudung merah.

"Wasih! Kesini, nak." kata wanita itu, yang bersuara sangat mirip dengan suara ibunya.

Wasih tidak menjawab, rasa bingung dan ketakutan, masih menguasai raga dan perasaannya. Tetapi dalam hatinya berangsur mengakui, wanita ini tidak mungkin berniat ingin mencelakainya. Dia ingin menjawab sapaan itu, tetapi tiba-tiba menjadi gagap, sehingga lupa caranya berkata-kata.

'Wasih, kamu tidak mengenali Ibu?" wanita itu tiba-tiba sudah berjongkok didepan tubuh gemetarnya, memegang lembut kedua bahunya. Tetapi Wasih belum juga mengenali siapa wanita itu, dan seseorang pria tiba-tiba ikut berjongkok di dekat tubuh gemetarnya.

"Kamu belum melepaskan kacamatamu, Mah!" katanya, sembari memukulkan lembut sikunya ke tubuh wanita yang tampak sangat terkejut dengan teguran itu.

"Astaghfirullah, aku lupa Pah." bersamaan dengan itu dia menggeser kacamatanya, menyesak di rambut di atas keningnya.

Wasih meskipun meragukan daya ingatnya, tetapi nalurinya sebagai anak segera tahu siapa wanita itu.

"Ibu!" jerit gadis kecil itu dengan segenap perasaan, yang segera memeluk leher wanita itu sekuat-kuatnya. Emosi yang teramat sulit diterjemahkan anak sekecil Wasih, membuatnya pingsan dalam dekap kerinduannya. Diiring jerit ibu yang memeluknya dengan erat, dan wajah ketakutan pria yang menyertainya itu.

*****
Entah berapa lama Wasih pingsan, saat dia terjaga sudah berada di bilik kecilnya. Disampingnya, ibu tercinta tampak sembab di kedua matanya. Selama Wasih pingsan, dia selalu menangis tiada hentinya.

"Ibu?" Wasih membuka suaranya, "Siapa Bapak yang bersama Ibu tadi?"

Ibunya tetsenyum, tangan kirinya menyibakkan helai rambut dari kening anaknya. Dia mencium lembut kening bocah itu, sehingga dua tetes airmata menetesi wajah anakmya.

"Dia sekarang yang akan menjadi Ayahmu. Ibu dan Om Tio sudah menikah di Surabaya, mulai sekarang dia adalah Ayahmu."

Wasih tersenyum, meskipun dia tidak mengerti ucapan ibunya. Dia hanya ingat satu hal, setahun lalu Ibunya sudah berjanji membawakannya sebotol sirop untuk berbuka puasa.

"Ibu tidak lupa membawakan kami sirop kan, Bu?"

"Tidak sayang, ibu selalu mengingat permintaanmu," Ibunya justru memandang aneh kepada Wasti, "Malah ibu yang curiga, kamu yang sudah lupa dengan nama sirop pesananmu itu?"

"Tidak, Bu. Aku selalu mengingat-ingatnya setiap hari, namanya sama dengan nama almarhum Kakek."

"Apa namanya, sayang?"

"Sirop Marijan bin Sastro Kateno, Bu."

Jawaban Wasti ternyata membuat ibunya terbahak-bahak, sehingga ayah baru, dan Mbahdok sampai berlarian masuk ke dalam kamarnya.

"Ada apa, Mah? Kenapa kamu tertawa sekeras itu?' tanya ayah barunya kaget, sambil mengguncang bahu ibunya dengan keras.

" Tidak ada apa-apa, Pah. Mamah hanya kaget, mendengar Wasih salah menyebutkan merek sirop yang diinginkannya." terang Ibu pada suaminya.

"Emang, Wasih ingin sirop apa?" tanya Om Tio, sambil memegang tangan gadis kecil itu.

"Sirop Marijan bin Sastro Kateno, Om." jawab Wasih ragu.

"Itu nama Mbah Kung (kakek), kenapa dijadikan nama sirop?" protes Mbahdok, yang disambut gelak tawa mereka semua. 

Jadi selama ini, Wasih menghafalkan nama almarhum Kakeknya, agar ingat dengan merek sirop, yang diinginkannya sejak setahun yang lalu itu. Nama kakeknya adalah Marijan bin Sastrokateno.



#Day2
#RWCOdop2019
#onedayonepost

Day4

"Sudah siap, Mbor?" tanya Robert Paijan mantap, setelah merasa yakin panggilan dari gawainya tersambung ke gawai kekasihnya.

"Sudah dari tadi, Kang." Jawab Debora Wakinem, yang dipanggil Kombor olehnya tadi.

Pemuda itu segera menutup percakapan, kemudian memasukkan kembali gawai kevilnya ke dalam saku bajunya. Lelaki 25 tahunan itu beranjak menuju sebuah cermin yang tergantung di dinding kayu ruang tamunya, menelisik setiap detil penampilannya. Setelah puas mematut diri, jebolan kelas 11 SMA El Panas itu segera pergi ke istal. Memilih seekor dari kuda tunggangannya, seekor peranakan sadel arab yang sangat gagah. Tetapi, begitu keluar dari istal ibunya sudah siap menghadang langkahnya.

"He, bocah gemblung. Kamu mau pergi kemana, sebentar lagi Maghrib!" tanya Mak Michele Paijah, sambil berkacak pinggang di hadapan putra tunggalnya itu.

'Mau pergi ngabuburit, Mak. Nanti sebelum Maghrib, aku janji sudah ada di rumah." jawab Robert Paijan, yang langsung saja melompat ke punggung kucanya yang tidak berpelana itu.

"Baiklah, awas jika kumandang adzan Maghrib terdengar, dan kamu belum siap di meja makan!"

"Baiklah, Mak. Aku janji hanya pergi sebentar saja, assalamu'alaikum!"

"Waalaikumusalaam!"

Dan kuda berwarna hitam itupun melesat, berlari meninggalkan halaman rumah dengan cepatnya. Mengarah ke barat, ke arah kota Talang City ibukota kecamatan El Panas. Pada setiap tiba bulan puasa, kota itu menjadi sangat ramai. Karena munculnya pedagang takjil dadakan, dan masakan untuk kepentingan berbuka puasa.Dan sesungguhnya, keramaian itu juga dikarenakan orang yang sedang ngabuburit. Menunggu saat adxan Maghrib berkumandang, sambil melupakan rasa lapar mereka dengan kegembiraan.

El Kilat, nama kuda blasteran arab dan sunda itu dipacu dengan sangat kencang. Melewati halaman Masjid Al Maghribiha yang megah itu, terus dipacu ke arah matahari yang akan tenggelam. Tetapi di tengah jalan, Robert Paijan menghentikan El Kilat dengan tiba-tiba. Dari kejauhan, dia melihat kuda Deborah Wakinem sedang berlari ke arahnya. Tetapi dia tidak melihat sang pemilik mengendarainya, sampai La Nyinyir si kuda putih itu berhenti berlari di samping El Kilat kuda hitamnya. Robert Paijan memandang asal si Nyinyir datang, berharap melihat bayangan Debora Wakinem... tapi tidak ditemukannya kekasihnya disana. Dan dia mulai merasa khawatir, jangan-jangan telah terjadi sesuatu yang buruk pada diri kekasihnya itu.

Tanpa berfikir panjang lagi, Paijan segera membelokkan kudanya berlari menuju arah La Nyinyir datang. Sepanjang jalan fikirannya melayang, apa yang terjadi dengan Debora Wakinem kekasihnya?.

Di pinggiran kota El Panas City, daerah yang juga tempat tinggal Deborah, Robert Paijan menghentikan langkah kudanya. Dia terpaku melihat pemandangan yang tidak pernah ada di benaknya selama ini, dia melihat Deborah Wakinem duduk sepelana dengan Steven Parjo. Yang membuat dadanya merasa sesak seketika adalah, dia melihat kedua tangan Wakinem memeluk erat pinggang anak Marshal Mukiyo penguasa El Panas City.

"Aku melihat La Nyinyir berlari sendiri ke tengah kota, aku membawanya kembali untukmu!" teriak Robert Paijan kepada Debora Wakinem, mereka berdua segera turun dari kudanya.

"Hai Paijan, apa kabar kawan?" sapa Parjo akrab, tetapi Paijan menghiraukannya. Pandangannya tertuju ke arah Deborah, yang seakan tidak mengenalinya lagi. Sikapnya seperti orang yang baru pertama kali berjumpa, kaku dan tidak ada senyuman.

"Kamu jangan salah faham dulu, Jan. Gadis yang kamu lihat bersamaku itu bukan Wakinem, tapi dia adalah Anaconda Wakijah... saudari kembar kekasihmu Deborah Wakinem. La Nyinyir baru saja menjatuhkannya dari punggungnya, untung aku melihat kejadian itu dan segera menolongnya."

"Jadi, dia bukan Wakinem?" Robert Paijan melompat turun dari punggung El Kilat, memperbaiki pandangan matanya ke arah gadis itu.

"Aku disini, Kakang!" sebuah seruan, membuatnya memalingkan wajahnya ke arah suara tersebut. Dan betapa sangat terkejut hati Paijan, disana dia melihat kekasihnya Debora Wakinem tampak begitu jelita, duduk di punggung La Nyempluk kuda yang satu lagi miliknya.

"Kombor?! Kenapa kamu tidak pernah bercerita, kalau punya saudari kembar padaku?" tanyanya, sambil meraih tangan kekasihnya itu turun dari sadel kudanya.

"Kakang tidak bertanya, lagian Wakijah juga baru sekali ini datang ke El Panas, setelah 21 tahun diasuh keluarga Pamanku Alex Saidi di kota lain." jawab Debora Wakinem.

"Sudahlah, kebetulan kalian datang. Aku pasrahkan Anaconda Wakijah kepada kalian, sementara itu aku meneruskan perjalananku ke kota." kata Parjo dengan gentlemen, Paijan menyalami dan memeluk tubuh Parjo sahabatnya di SD El Anyep dulu itu. Mengucapkan terima kasih, kemudian melambaikan tangan ke arah pemuda yang baik hati itu.

"Aku terjatuh dari punggung El Nyinyir, rupanya dia baru sadar jika bukan kamu yang mengendarainya Nem." Kata Anaconda Wakijah, ketika Debora Wakinem sedang memeriksa luka ringan di dengkul saudarinya itu.

"Tidak ada yang serius, Jah. Kamu ikut kami pergi ngabuburit, atau pulang ke rumah dengan La Nyempluk?"

"Baiklah, aku ikut kalian saja!"

"Dan untukmu, Kang! Hafalkan perbedaanku dengan Wakijah, jangan sampai keliru lagi seperti saat ini!"

"Eh iya, Mbor. Aku sudah langsung tahu dari penampilan kalian berdua, kamu lebih trendy dari Wakijah yang feminis." jawab Paijan terbata.

"Baiklah, itu masuk akal. Aku menerima jawabanmu, dan mari kita lanjutkan acara ngabuburit kita."

Ketiganya, secara berlari sedang memacu kudanya masing-masing. El Kilat merasa sangat beruntung, berlari didampingi kedua kekasih hatinya El Nyinyir dan La Nyempluk. Mungkin juga hati Robert Paijan, baru di puasa Ramadhan 1440 hijriyah ini, dia ngabuburit dengan dua orang gadis tercantik di seluruh kota El Panas Kecamatan Talang City.

#RWCOdop2019
#onedayonepost
#Day4

Day5

Keceriaan Desa Balongkenco seakan bangkit kembali, setelah seharian ini terdiam oleh suasana puasa ramadhan. Tidak seperti biasanya, pada siang hari tidak terlihat ramai penjual menjajakan dagangannya. Para petani pun hanya sebentar menengok sawahnya, mereka pergi ke sawah kemudian pulang kembali ke rumah jika dirasa semua tidak ada masalah.
Hanya para peladang di sekitaran hutan yang tetap berada di gubug mereka, menghalau rombongan Babi hutan, atau rombongan Monyet, yang akan datang menyerbu tanaman disana. Sesungguhnya mereka lebih suka berada di rumah, berkumpul dengan sanak saudara, anak istri, atau melakukan hataman di Masjid Al Kautsar satu-satunya di desa itu.

Balongkenco sudah berubah total, dahulunya desa teepencil di tepian hutan itu adalah sarang maksiat. Hampir setiap rumah mereka adalah warung remang-remang, yang menyediakan minuman beralkohol, juga wanita-wanita pemuas nafsu syahwat.

Konon, desa itu dibangun dengan dendam dan sakit hati seorang janda cantik bernama Kenconowati, yang terusir dari desanya karena fitnah perselingkuhan yang tidak pernah dilakukannya.

Bersama dengan anak perempuannya yang terpaksa juga harus menjanda karena peristiwa itu, Nyi Kenco dan Srigati anaknya pergi dari desanya. Konon sebelum pergi dari desanya dia mengucapkan sumpah, akan membuat desa itu kehilangan setiap laki-lakinya.

Nyi Kenconowati yang berparas jelita itu menunaikan sumpahnya, dari sebuah gubug bekas orang berkebun yang di tepi sebuah sungai kecil. Setiap hari dia dan anaknya selalu melakukan kegiatan hampir tanpa busana, hanya menutupi sebagian kecil auratnya dengan sobekan kain Batik Balongan yang dibaginya dengan Srigati. Mereka berladang dengan menanam ubi jalar, dan berbagai tanaman yang bisa dimakan.

Beberapa lelaki yang pergi mencari kayu bakar ke hutan, menyebarluaskan berita tentang kehidupan Nyi Kenco yang berkain balongan itu ke desa-desa sekitarnya. Sehingga sedikit demi sedikit para pria hidung belang mendatanginya, mengajaknya berasyik masyuk dengan imbalan yang telah disepakati. Kurang dari setahun, desa yang akhirnya dinamai Balongkenco (kain balongan yang dipakai Nyi Kencono) itu menjadi semakin besar. Para janda yang sakit hati karena ditinggalkan para suaminya demi wanita lain, berduyun-duyun datang berkeluh kesah kepada Nyi Balongkenco. Atas bantuan para lelaki hidung belang, mereka dibuatkan rumah kecil untuk tempat tinggal. Sehingga semakin banyak para janda yang datang ke desa itu, semakin habislah lelaki dari desa asal Nyi Balong Kenco. Setelah yakin sumpahnya terlaksana, wanita itupun meninggalkan desa dan anaknya. Pergi bertapa di lereng Gunung Lengki di sebelah utara desa, dan hilang rimba dan kabar beritanya.

*****

Balongkenco dimasa kini, setelah kedatangan seorang Ustadzah Aminah. Seorang janda konglomerat dari Surabaya, yang sangat miris hati dan jiwanya, setelah membaca kisah desa di tepian hutan itu dari surat kabar. Dia membeli sebuah pekarangan yang luas di desa itu, membangun sebuah Masjid yang sangat megah di samping rumahnya yang mewah. Dan setahun yang lalu dia memutuskan meninggali rumah barunya itu, mulai memperkenalkan ajaran Islam yang sesungguhnya di Balongkenco.

Niat tulusnya itu bukannya tanpa ada hambatan, terror dan tentangan datang silih berganti menerpanya. Terutama dari Lurah Winarno, yang merupakan juragan mebel dari kayu ilegal, dan pemasok minuman beralkohol di desa itu.

Bahkan di suatu malam yang gulita, rumah Aminah didobrak segerombolan pria. Yang kemungkinan adalah anakbuah dari Lurah Win, yang kalah berdebat di halaman masjid saat itu. Aminah yang sedang melaksanakan sholat tahajjud mereka gelandang keluar, membawanya ke tengah hutan. Disana mereka menelanjangi wanita yang masih terlihat cantik diusianya yang 55 tahun, dan mereka berniat memerkosanya di tengah hutan itu. Tetapi sungguh kuasa Allah SWT berlaku malam itu, keajaiban yang akan membuat bulukuduk merinding jika diceritakan.

Aminah yang sedari diculik dari rumahnya tidak berkata atau menjerit meminta pertolongan, hanya beristighfar dengan penuh kekusyukan. Disaat para lelaki mabuk itu ingin melaksanakan niat jahatnya, barulah Aminah berkata.

"Minta ijinlah dahulu kepada Allah SWT, jika kalian ingin menikmati ciptaan-Nya. Bacalah bismillah sebelum kalian memulainya, dan serukan alhamdulillah saat kalian menyelesaikannya. Ingatlah, Gusti kuwi ora sare (Tuhan itu tidak tidur) Dia tahu apa yang sedang kalian lakukan."

Sungguh ajaib, sepuluh orang yang berniat jahat kepadanya itu langsung gemetar seluruh badannya. Hilang nafsu birahinya, terduduk lemas bagai tiada bertulang. Sebentar kemudian mereka menangisi kekhilafan mereka, dan kesemuanya tersungkur dalam sujud permintaan ampun kepada wanita yang hampir mereka celakai itu. Setelah mengenakan kembali pakaiannya, Aminah membimbing kesepuluhnya membaca dua kalimat Syahadat.

Sekembalinya ke desa, kini Aminah memiliki 10 orang yang sangat ditakuti di desa itu. Mereka rela tidur di teras rumah janda itu, untuk mengamankan ustadzah itu dari dendam orang-orang yang membencinya. Inilah sepenggal kisah tentang Desa Balongkenco, sampai saat ini kisah ini masih diceritakan dari mulut ke mulut.

Inilah hari pertama penduduk desa Balongkenco melaksanakan puasa bulan ramadhan, suasananya berubah dari setahun yang lalu, apalagi sungguh sangat bertolak belakang dengan kisah terciptanya desa ini.

Tarawih pertama di puasa pertama desa Balongkenco, hampir semua rumah tertutup rapat. Jika rumah tersebut tidak tertutup, pasti ada seorang kakek atau nenek yang tidak sanggup lagi melaksanakan sholat tarawih karena usianya.

Di rumah Hajjah Aminah, para ibu, juga para remaja putri berkumpul, mempersiapkan takjil seusai melaksanakan sholat tarawih. Dan puluhan anak kecil bermain riang disekitarnya, dengan tangan dan mulut yang penuh dengan makanan dan minuman.

Subhanallah, tarawih pertama membuat masjid itu tidak mampu menampung jama'ah yang hadir. Sehingga sampai meluber ke halaman masjid, karena banyak juga warga dari desa sekitar yang bertarawih di Masjid Al Kautsar Balongkenco.

-Tamat-

#RWCOdop2019
#onedayonepost
#Day5

Day6

Nissa terjaga dari tidurnya, suara air yang mengucur dari belakang rumahnya telah membangunkannya dari tidur. Sejenak dia mencoba mengingat dengan nalarnya, darimana suara air yang bergemericik itu berasal. Tubuhnya terlonjak kaget, demi menyadari darimana suara air mengucur itu berasal.

"Astaghfirullah, air padasan (gerabah tempat menyimpan air untuk berwudu)!" gumannya dalam hati, kemudian dengan cepat melontarkan dirinya dari tempat tidur.

Dengan langkah berhati-hati dia berjalan meninggalkan kamar tidurnya, dia tidak ingin membangunkan nenek yang tidur di kamar sebelahnya. Berjingkit-jingkit berjalan melewati pintu kamar neneknya, berhenti sebentar untuk memastikan orang tua itu tidak terjaga karena pergerakannya. Alhamdulillah, orang tua itu terlihat lelap dalam tidurnya. Nissa memang hanya tinggal berdua dengan neneknya, setelah semenjak bayi dia ditinggalkan kedua orang tuanya menghadap Sang Pencipta. Nenek adalah satu-satunya gantungan hidupnya, pengganti kedua orangtuanya.

Melewati kamar nenek, Nissa masih mengendap-endap mendekati pintu belakang rumahnya. Menggeser pengganjal pintunya, dan langsung keluar menuju pekarangan belakang rumah. Suasana masih teramat gelap, bahkan dia tidak mampu mengira itu jam berapa. Dengan meraba dinding bambu di sebelah kanan pintu rumah, Nissa menemukan senter kecil yang selalu diletakkan di tempat itu. Benda itu pun dinyalakannya, sehingga alam sekitar yang terjangkau cahayanya terlihat jelas. Suara gemericik air itu sudah tidak lagi terdengar, tetap saja gadis 9 tahun itu ingin mencari tahu penyebabnya. Dengan bantuan cahaya dari lampu senter kecilnya, perlahan dia berjalan menuju tempat padasan itu berada.

Ketika sampai di tempat yang ditujunya, dia sungguh sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya. Padasan itu sudah dalam keadaan kosong, semua airnya mengucur terbuang karena lepas penyumpat lubangnya. Padahal seperti biasanya, air yang ada seharusnya masih cukup untuknya berwudu, juga nenek, ketika Shubuh datang.

Ini bukan berita bagus, karena berarti dia dan neneknya tidak akan bisa mengambil air wudu ketika waktu Shubuh datang. Mengisinya kembali? Itu yang sedang difikirkannya, karena dia harus mengambil air dari pancuran di pinggiran desa.

Nissa tidak ingin nenek kesulitan mengambil air Wudu, ketika hendak melaksanakan ibadah sholat. Tetapi untuk mengambil air di pancuran selarut ini, bukan ide yang bagus untuk anak kelas III SD itu. Sesaat bocah itu berfikir dalam sunyi, membiarkan angannya melayang. Andai saja orangtuanya masih ada, tentu masalah seperti ini tidak terjadi pada dia dan neneknya.

Hampir saja gadis kecil itu menangis, karena merasa tidak akan mampu menyelesaikan permasalahannya. Tiba-tiba sorot cahaya senter dari arah samping rumahnya, menyoroti sekujur tubuhnya. Gadis itu terkejut, tetapi tidak bisa melihat siapa yang sedang menyorotkan senter kepadanya. Hingga sebuah suara, terdengar memanggil namanya.

"Nissa?! Kamu sedang apa malam-malam begini ada diluar rumah, ha?" suara itu dikenalinya, suara Pak Wali Min tetangga depan rumahnya.

Nissa tidak menjawab, tetapi justru berlari mendekati Pak Guru di sekolahnya.

"Saya akan pergi ke pancuran mengambil air, Pak." jawab gadis kecil itu, setelah sampai didepan orang itu.

"Kenapa kamu mau mengambil air selarut ini, Nis?"

"Padasanku sumbatnya lepas, Pak. Jadi semua air didalamnya habis terbuang, ketika kami terlelap tidur."

Pak Wali segera memahami apa yang terjadi, di kegelapan dia tersenyum melihat tekad bocah perempuan kurus itu.

"Kamu tidak perlu pergi jauh-jauh ke pancuran, Nis. Di rumah Pak Wali kan sudah pasang PDAM, aku akan membawakanmu beberapa timba untuk mengisi padasanmu itu." kata Pak Guru, sambil menepuk bahu bocah yang masih ternganga tidak percaya itu.

"Benarkah itu, Pak?"

"Tentu saja benar, kemarikan timbamu itu. Sementara itu, tolong kamu terangi jalannya saat aku membawakanmu air."

"Baiklah, terima kasih Pak!" seru Nissa kegirangan, padahal dia tadi sudah mau menangis sebelum kedatangan Pak Wali. Dia takut mengambil air ke pancuran, selain itu tempatnya jauh, sedangkan dia harus mengatur cahaya senter dan membawa timba yang berat berisi air. Sekarang dia bisa tersenyum lega, karena pertolongan Alloh sudah berlaku padanya. Hanya sebaris rasa syukur terucap dari bibir mungilnya, diantara langkah riang mengikuti langkah Pak Wali mengangkut air mengisi padasannya.

"Terima kasih ya Alloh, telah Kau kirimkan seorang baik hati untuk mengisi padasanku. Aamiin!"

-Tamat-

#RWCOdop2019
#onedayonepost
#Day6

Day7

Seusai menjalankan ibadah shalat Ashar, Eny Siswanti segera bergegas menuju dapurnya. Inilah waktunya, untuk mempersiapkan hidangan berbuka puasa. Atas kesepakatan dengan suaminya Winarto Sabdo semalam, dia akan menghidangkan satu menu makanan tradisional. Sayur asem daun ubi jalar dan kacang panjang, dengan taburan taoge yang banyak didalamnya. Juga sambal terasi pereng/kehitaman (karena proses penggorengan), yang sudah lama tidak dihidangkannya.

Semua bahan memasak telah tersedia, yang sebelumnya dia simpan semua di lemari pendingin. Satu bahan yang belum ditemukannya adalah terasi mentah, yang baru tadi pagi dibelinya pada tukang sayur langganannya. Dimana dia menyimpannya? Mungkinkah benda itu tidak ikut disimpannya dalam kulkas?

Terasi itu masih terbungkus plastik seukuran sabun mandi, pagi tadi dia baru saja membelinya seharga 50ribu. Terasi Sidoarjo (salah satu kabupaten di Jawa Timur, yang terkenal dengan produksi terasi andalannya) yang paling terkenal keasliannya, dan rasanya yang melegenda. Hampir sepuluh menit dia mengobrak-abrik seisi dapurnya, tapi benda itu tidak juga ditemukannya.

Tiba-tiba tercium aroma terasi yang digoreng sampai di dapurnya, dari arah dapur rumah Bu Hasanatun tetangganya. Hidung Eny tidak akan tertipu, karena dia sudah sangat hafal aroma  khas dari terasi Sidoarjo ini. Ketika digoreng, aroma yang keluar darinya sangat berbeda dengan jenis terasi apapun.

"Apakah yang digoreng Bu Hasanatun itu, adalah terasi miliknya yang hilang?" tanya hati Eny, sambil terduduk lemas di sebuah kursi disisi meja makannya.

"Apakah seseorang dari keluarga Bu Hasanatun menyatroni dapurnya, kemudian mengambil terasi itu dari lemari pendinginnya?" sebuah tanya berkecamuk di fikirannya, membuatnya menutup muka dalam-dalam.

Bu Hasanatun adalah tetangga yang tinggal di sebelah rumahnya, seorang janda dengan lima orang anak kecil. Yang tertua duduk di kelas VI SD, dan yang terakhir masih belum disekolahkan walaupun umurnya sudah waktunya. Wanita 40 tahun itu sehari-harinya bekerja sebagai pemulung sampah, sambil menggendong si bungsu mengorek tempat sampah di sekitaran pemukiman itu.

"Astaghfirullaahalaziim!" Eny mengakhiri fikiran buruknya itu, setan telah membelokkan prasangkanya menuduh dan menjelekkan tetangga baiknya itu.

Selama ini, justru hanya kepada Bu Hasanatunlah dia selalu meminta pertolongan saat membutuhkan. Kepada tetangga lain dia tidak mungkin mengharapkan bantuan, karena seperti juga rumahnya... rumah tetangganya juga berpintu gerbang sangat tinggi, pun setiap hari tertutup rapat dan tergembok rapat.

Terdengar pintu gerbangnya dibuka, sebentar kemudian terdengar suara mobil Winarto Sabdo suaminya memasuki garasi rumah. Eny masih terduduk gemetaran, karena telah berfikiran buruk kepada tetangga terbaiknya.

"Assalamu'alaikuum!" terdengar suaminya mengucapkan salam, ketika membuka pintu depan untuk masuk ke dalam rumah.

"Waalaikumusalaam!" jawab Eny, yang masih terduduk gemetar di dapurnya.

Winarto merasa aneh, karena tidak seperti biasa istri tercintanya itu tidak menyambut kedatangannya. Mencium tangannya, serta melepaskan jas dan dasinya. Merasa ada sesuatu yang tidak biasa, lelaki 45 tahun yang menjadi direktur Bank Sami'an itupun bergegas ke dapur. Mendapati istri tercintanya tengah terduduk lemas di meja makan, dia segera menghampirinya dengan was-was.

"Sayang, kamu kenapa?!" tanyanya.

Eny segera mencium tangan kanan suaminya, kemudian memintanya duduk berhadapan dengannya. Kemudia wanita cantik itu menceritakan, perihal kehilangan terasinya hingga prasangka buruk kepada tetangganya.

"Astaghfirullah, Sayang. Tadi sebelum berangkat ke kantor, aku melihat seekor kucing membawa bungkusan plastik warna merah. Dia keluar dari dapur rumah kita, tapi menjatuhkan benda itu di belakang roda  elakang mobilku. Ketika benda itu dijatuhkan, aku segera memungutnya." cerita suaminya.

"Plastik merah seukuran sabun mandi, Mas?" tanya Eny tampak terkejut.

"Iya, Sayang. Baunya seperti terasi, kupikir kucing itu mengambilnya dari tempat sampah dapur kita. Mungkin daging busuk, yang sengaja kau buang karena tidak layak makan. Aku ambil tissu dari dalam mobil, kemudian bermaksud melemparkannya ke tempat sampah depan rumah kita," Winarto menghentikan ceritanya, sambil mencoba melonggarkan ikatan dasi yang membelenggu lehernya, "Ketika kulemparkan, aku tidak menyadari Bu Hasanatun ada di sekitar tempat itu. Dan segera berbalik arah menuju garasi kembali, tetapi Bu Hasanatun segera mengikutiku dan memanggilku."

"Apa yang terjadi kemudian, Mas?"

"Dia bertanya padaku, apakah benda dalam bjngkusan plastik merah itu dibuang? Aku mengiyakannya, dan mengijinkan dia memanfaatkannya, Karena katanya, benda itu sangat berguna untuk keluarganya."

Tiba-tiba tangis Eny pecah berderai, dengan gemetar dia memeluk tubuh suaminya dengan gemetaran.

"Aku berdosa telah berprasangka buruk kepada Bu Hasanatun, Mas! Aku telah menyangka, salah satu dari keluarganya mengambil bungkusan terasi itu di rumah kita! Antarkan aku untuk meminta maaf kepadanya, Mas!" raung dan tangis penyesalan yang dalam, dihamburkannya dalam pelukan lelaki pujaannya itu.

"Baiklah, sebentar lagi waktunya berbuka. Kita pergi ke rumah Bu Hasanatun untuk meminta maaf, sekalian kita ajak seluruh keluarga mereka untuk berbuka di luar bersama. Dan karena kamu sudah batal karena menangis, sekarang minumlah segelas air untuk meredamkan emosimu itu."

Eny tersenyum malu kepada sauaminya, memukul pelan pundak lelaki itu sebelum pergi ke kamar mandi.

Pukul lima sore, Eny dan suaminya sudah berada di rumah Bu Hasanatun. Setelah prosesi permohonan maaf yang mengharu biru, berpeluk-pelukan bagai suasana hariraya. Mereka lalu pergi ke kota, menuju sebuah rumah makan padang yang sangat terkenal. Semua bebas memilih menu makanan yang tersedia, boleh memesan minuman apapun yang disuka. Sungguh, suasana seperti begini bagaikan suasana surga yang penuh bahagia. Semua bersukacita, bersukaria, tidak ada dendam, hanya jiwa-jiwa yang bersyukur atas karunia-Nya.

-Tamat-

#RWCOdop2019
#onedayonepost
#Day7

Day8

Rumah, hanyalah benda tidak bergerak yang tidak bisa berubah dengan sendirinya. Karena waktu hanya mengelupaskan cat di dindingnya, atau memudarkan bekas sapuan pelitur di kayunya. Akan tetap seperti itu, selama dia mampu mempertahankan eksistensi atau keberadaannya.

Yang tidak akan tergantikan di dalamnya adalah kenangan, suatu kejadian yang akan selalu tertanam dalam ingatan penghuninya. Seseorang yang pernah menjadi salah satu bagian, dari tujuan rumah itu dulu diciptakan. Para bekas penghuninya, yang pernah melindungkan dirinya dalam dekapan serta rasa nyaman di dalamnya. Dari terik matahari yang membakar, hingga dingin yang membekukan. Rumah juga melindungi mereka dari gangguan binatang buas atau hewan beracun, yang bisa saja mengancam jiwa penghuninya. Itulah sesungguhnya fungsi sebuah rumah, tetapi ini tidak berlaku untuk sebuah rumah Sunduk Sate (tusuk sate) yang terbengkalai di tengah Desa Kalisat.

Mbah Paino Ketua RT tertua di desa itu, yang juga pemangku jabatan dimana rumah itu berada pernah bercerita.

"Dulunya rumah itu milik Ndoro Jumeno, seorang pedagang hasil bumi yang kaya raya. Dia mempercayakan transaksi jual beli usahanya kepada Pak Sakino, seorang bekas perampok yang dijadikannya seorang Mandor."

Lambat laun gaji besar dari tuannya terasa kurang, karena kehidupanya yang berfoya-foya. Menghambur-hamburkan uang gajinya untuk bermain perempuan, atau mabuk-mabukan dengan para kaum Bajingan. Lambat laun dia mulai berani memakai uang usaha tuannya, yang menyebabkannya dipecat dan diusir keluar dari perkongsian.

Mandor Sakino sangat tidak berkenan dengan pengusirannya dari kerja itu, dan dia mengancam akan menuntut balas pada tuannya. Dendam mandor itu akirnya tertunaikan, ketika negeri ini dilanda gonjang-ganjing politik tahun 1965. Sakino membuat kesaksian palsu kepada Pasukan Hitam, bahwa dia pernah melihat bendera Palu Arit terpasang di kamar bekas tuannya itu.

Tanpa ampun lagi, keluarga pedagang itupun ditumpas habis Pasukan Bercadar Hitam. Kepala Ndoro Jumeno ditebas samurai tanpa pengadilan, juga kepala istri dan kedua kepala anak gadisnya turut mereka tebas. Karena mereka keluarga Komunis, halal darahnya untuk ditumpahkan. Akhirnya, hak kepemilikan atas rumah itu jatuh kepada Sakino. Yang langsung dijualnya juga kepada seorang pedagang China bernama Babah Chong, yang kesehariaannya berjualan kain di pasar kecamatan.

Entah apa yang terjadi dengan rumah itu, satu persatu keluarga Babah Chong meninggal dengan tidak wajar. Limei anak tertuanya, ditemukan meninggal menggantung diri. Adiknya Lingsi, secara bersamaan juga ditemukan tewas tenggelam di sumur belakang rumah. Istri Babah Chong pun menjadi gila, dia menikam dada suaminya yang sedang tertidur sampai mati. Wanita itupun akhirnya juga meninggal, dengan menusukkan pisau yang masih berlumuran darah suaminya ke dadanya.

Penduduk desa akhirnya menguburkan mereka bersama, dalam sebuah lubang di belakang rumah itu. Semenjak tahun itulah rumah ini kosong, tidak ada yang berani menempatinya lagi. Bahkan walaupun setiap bulan rumah dan lingkungannya dibersihkan, serta dilakukan pengecatan berulang-ulang. Tidak ada satupun yang berani menempati rumah terkutuk tersebut, bahkan kru sebuah Televisi yang ingin mengungkap rahasia rumah itu kocar-kacir. Semua host, bintang tamu, dan cohost yang mengaku murid dari Sunan Kalijogo pun tunggang langgang tidak karuan.

Karena itulah, rumah angker itu disayembarakan. Siapapun yang betah menempati rumah itu selama satu bulan, maka sertifikat rumah dan pekarangan akan diberikan.

Anis Hidayati seorang praktisi supranatural asal Banyuwangi pernah mengikuti sayembara itu, hanya satu jam didalamnya sudah tunggang langgang. Lalu ada Eny Siswanti pendekar putri dari Kabupaten Pati, juga hanya sejam saja sudah keluar dengan tubuh menggigil. Kemudian Ki Wali Min dari Solo, sang penguasa Ilmu Panglimunan itu lari berhamburan dengan wajah pucat penuh ketakutan.

Bulan-demi bulan berganti tahun, selama itu juga banyak para pendekar dan pakar supranatural yang coba menaklukkan rumah terkutuk itu. Inilah daftar keikut sertaannya (yang aslinya tersimpan dalam arsip Kelurahan Desa Kalisat).

1. Nyi Yulia Ahkam Sandhi dari Jatisari
2. Lutfi Yulianto Iyan si Pendekar Tebu Ijo
3. Muhammad Septian Wijaya si Pendekar Janda (Jawa Sunda)
4. Dwi Septiyana si Pendekar Kimia Jaya
5. Benik Al Arif si Pendekar Ayat Kursi
5. Ziana Lu'il Adha si Cucu Pendekar Anjuk Ladang
6. Zen si Jurus Komputerisasi
7. Novarina Dian Wardani si Pendekar Geli Ulat Bulu
8. Eka Amelia si Pendekar Syair Berghairah
9. Suden Basayev Pendekar Pena Berupiah
10. Nining Purwanti si Pendekar Wonogiri
Semuanya menyerah, menghadapi penghuni rumah angker itu.

Hingga suatu hari, datanglah sang Cerpenis kacangan si Raja Slengekan Winarto Sabdo. Dia merasa tertantang bukan karena tebalnya keimanan, atau karena tingginya ilmu yang dimilikinya. Sebagai seorang Bonek (Bondo Nekat) sang sudah bergelar Kawak Awu (senior), lelaki 48 tahun dari Kecamatan Rejoso itu mendaftarkan diri untuk mengusir para lelembut di dalam rumah itu.

Panitia sempat meremehkannya, tetapi para pengikutnya; Bonari Nabonenar, Yuditeha, Pangerang P. Muda, Asma Nadia Liyana, dan juga Hiday Nur R, semua meyakinkan panitia akan kemanpuan duda beranak lima itu.

Akhirnya, dengan terpaksa panitia mengijinkannya. Dengan perjanjian, jika setelah mengikuti sayembara menjadi gila... resiko ditanggung peserta dan pendukungnya. Semua berteriak setuju!.

Pukul sembilan malam, peserta kacangan itu dijinkan mempersiapkan dirinya. Winarto Sabdo bukannya mulai membentengi diri dengan jampe-jampe, malah asyik berkaraoke lagu 'Rasa Sayang Sayange'. Melihat kejadian itu, para penonton mulai mengadakan taruhan. Yang memprediksi cah gemblung itu hanya bertahan 10 menit atau kurang, sepertiga dari jumlah ratusan orang yang menonton mengatakan dia akan lari tunggang langgang. Karena tidak ada yang memasang lebih kecil dari sepuluh menitan, akhirnya Winarto Sabdo menjadi musuh tunggal. Nilai uang taruhan sebanyak hampir semilyar, dibawanya masuk ke dalam rumah dengan sebuah karung goni bekas beras jatahan.

Panitia dan kru televisi nasional juga internadional memulai peliputan, sedikit wawancara, dan menshot langkah kaki Novelis Koclok itu masuk ke dalam rumah. Semua yang menyaksikan menahan nafas (karena ada penonton yang kentut diam-diam), serta beberapa orang tampak pingsan karena kebauan.

Duda kesepian itupun perlahan masuk ke dalam rumah berhantu itu, semua penonton menahan nafasnya lagi. Hingga pintu rumah itu benar-benar tertutup dari dalam, suanapun sunyi senyap. Reporter tivi yang mencoba membuat laporan pandangan mata langsung terdiam ketakutan, setelah beberapa orang secara bersamaan meneriakinya, "Diam!".

Sepuluh menit, duapuluh menit, tigapuluh menit, hingga tembus satu jam. Duda Koclok itu masih bertahan di dalam, membuat seseorang penonton meneriaki panitia yang ketakutan.

" Coba tengok ke dalam, jangan-jangan si goblok itu sudah di makan setan!"

Salah seorang kameramen tivi, menyahut perkataan orang itu.

"Tenang saja, Pak. Dia sedang main gaple dengan para setan di dalam, tuh lihat mereka lagi asyik mabuk-mabukan!"

"Apa?!" teriak sebagian besar penonton.

"Terang saja gak digangguin setan, dia mengikuti kesukaannya setan!" teriak beberapa orang yang merasa jengkel, "Gak seru, ah! Ayo kita pulang!"

Hanya butuh sepuluh menit saja, semua penonton meninggalkan lokasi uji kenekadan itu. Termasuk para kru televisi, dengan tergesa kembali ke hotelnya masing-masing. Meninggalkan panitia yang kebingungan, antara ikutan bubar atau ikutan main gaple di dalam. Para panitia baik yang menang, merekapun akhirnya pergi juga dari lokasi uji kenekatan.

"Percuma nungguin setan, lagi kumpul sama setan! Kita pulang saja!" gerutu mereka, sambil menggotong peralatan.

Kemudian, tidak ada saksi mata lagi yang bisa menceritakan. Habis dah ceritanya.

-TAMAT-

#RWCOdop2019
#onedayonepost
#Day8

Day9

Sholawat (Flash Fiction)

"Kyai, aku adalah seorang yang teramat sial dalam ketidak beruntungan" kata Farukh, kepada sang Kyai.

"Bacalah sholawat sebelum sholat!" kata sang Kyai.

"Sebelum sholat, Kyai?"

"Jika buluh tidak berhasil dari ujung pertama, pakailah ujung yang lainnya."

Farukh memahami kata Kyainya: Hidup adalah melulu tentang menyikapi, bukan menakhlukkan.

#RWCOdop2019
#onedayonepost
#Day9

Day10

Rasul

Dialah manusia pilihan Ilahi
Sesempurna mahluk dunia
Akhlakul karimah
Muhammad

Lahir dari bani Quraish
Bani yang menganiaya teraniaya
Mendapatkan penampakan wahyu kebenaran
Ketika hidupnya gersang tiada daya

Allohuma sholi wa saliim alaa
Sayidina Muhammadinnurdzaat
Wasirri saari fi sairil asmaa'i sifaati
Wa alaa alili wasalimu taslimah

#RWCOdop2019
#onedayonepost
#Day10

Day11

Sahabat Facebookku
Oleh: Winarto Sabdo

Bismillaahirohmaanirrohiim, kumulai tulisan ini dengan basmalah. Karena yang akan aku tuliskan ini adalah kebenaran, ketika RWCOdop 2019 mengharuskanku menulis tentang Sahabat.

Aku akan berkata benar, inilah nama-nama sahabat facebookku. Tidak ada tendensi apapun, tanpa kategori apapun, hanya sahabat saja.

Mereka yang awal berkenalan melalui ODOP (One Day One Post), TPL (Teras Pejuang Literasi), Nulis Cerkak, GYN-Nasional (Gerakan Yuk Nulis Nasional), KBM (Komunitas Bisa Menulis), KOPLING (Komunitas Pejuang Literasi Nganjuk), Nulis Aja Community, Komunitas KQ5 Nganjuk, INDIGO COMMUNITY NGANJUK, PSJATI (Persatuan Supranaturalis Jawa Timur Indonesia), Mayapadapala (Pecinta Alam), Jama'ah Shirathal Mustakiim, Jama'ah Padepokan Suryo Ngalam,dan beberapa lainnya, yang kebetulan memiliki akun facebook.

Silakan dibaca, mohon maaf jika terjadi salah menuliskan nama atau tanda serta gelar.

1. Drs.Suden Basayev
2. Drs.Muhammad Septian Wijaya
3. Drs.Heru Sang Mahadewa,Ma,MBA
4. Drs.Lutfi Yulianto Iyan,Msc
5. Dra.Nining Purwanti,SE
6. Dra.Reni,Msc
7. Ir.Wali Min,Sp,SpAg,Spc
8. Prof.Dwi Septiyana,Mlab
9. Prof.Hiday Nur R,Msc, MBA, MBB, MBC
10. dr.Ummu Arrahma,SpAntology
11. DRA.Yeti Nuryeti,Spd
12. dr.Detta Rhapsodyna Siman,Spc
13. dr.Anastasia Bona Ventura Matteussiman,Spc
14. dr.Ndhiel Sindhiel Waelach,Spc
15. Prof.Achmad Ikhtiar
16. Yulia Ahkam Sandhi,Spd
17. Anis Hidayati,Spd
18. Eny Siswanti,Spd
19. Yusi Abel,Spa
20. Eka Amelia,Spa
21. Rina Herawati,Spk
22. Winarto Sabdo,Spe
23. Winarto Sabdo,Spe
24. Rheva Ayunda,SpSing
25. Juminten Inten,Spv

Masih ada 525 nama lagi yang belum kusebutkan disini, dikarenakan keterbatasan penglihatan dan stamina saya. Mohon maaf, dan harap maklum. Terima kasih.

#RWCOdop2019
#onedayonepost
#Day11

Day12

Cinta
Karya: Winarto Sabdo

Sudah terukir indah di dalam setiap gurat aksara, tentang kejadiannya
Rikala gumpalan hati yang tiada bermata menemukan khasanahnya
Degup berbalas degup karena pandangan pertama yang memesona
Bergolak jiwa, bergejolak tiada penawarnya

Bagaikan kitab yang tiada tersurat bagaimanakah caranya
Tetapi rasa sungguh tiada penerangannya
Mengartikan senyuman yang menghujam
Serta kerling yang menaburkan keinginan

Cinta bukan sekali menghampiri, tetapi sejatilah satu
Kisah Adam mencintai Hawa, itulah ketika nafsu menggulat smara
Cerita Romeo dan Juliet, dimana kesetiaan memenangkan jiwasraya
Dongeng Rama dan Shinta, perjuangan dan pengorbanan bertemu nasnya

Tidak seperti rasa cintaku kepada adinda
Melampaui keindahan syair pujanggasmara
Meskipun keindahanmu tiada mengguncang nirwanaku
Ketulusan hatimu lah membelenggu segenap rasa takhlukku

Nganjuk, 16 Mei 2019

#RWCOdop2019
#onedayonepost
#Day12

Day13

Balada, Setan Sinetron dan Film (Cermismin)

Karya: Winarto Sabdo

"Huh ini bulan terberat dari kehidupan kita ya, Cong?" desah Kunti dari jeruji penjara Setan blok wanita, yang berhadap-hadapan dengan jeruji Setan blog Pria.

"Emang kenapa, Ti?" tanya Poco (Pocong Cowok), sambil menggosok-gosokkan punggungya yang gatal ke jeruji penjara.

"Lhaiya, lah. Selama bulan Ramadhan, kita kan dibelenggu di tempat ini. Padahal aku sudah kangen sama Bang Bokir, pengen membeli satenya lagi." kata Kunti, dengan wajah seperti sedang mengenangkan masa lalu.

"Eh, ngawur kamu. Yang godain Bang Bokir kan aku? Aku beli satenya pakai daun kering, lalu aku makan satenya, dan kuminum kuah gulainya yang semuanya langsung keluar dari punggungku yang bolong." sergah Sundel Bolong, yang memang berada satu sel dengan si Kuntilanak, Poce Valen (Pocong Cewek), Wewe Gombel (Kalong Wewe), Leak Kharisma, Suster Ngesot, dan tentu saja ada Si Manis Jembatan Ancol (yang kebetulan sedang break shooting).

Sementara di sel Cowok ada Poco (Pocong Cowok), ada Gendruwo, ada Tuyul tanpa Mbak Yul (mereka sudah berpisah, karena masing-masing ganti program tipi), ada beberapa  Pemeran Sinetron Adzab di Tipi Indoliar, yang tidak bisa move on dari perannya, seperti dalam lakon: Mati Nganga Karena Tidak Like Status Teman, Jenasah Pengintip Status Facebook, Jari Kriting Karena Salah Komen, dan Azab Menggoda Janda di Medsos.

Diujung sel wanita dikurunglah Mak Lampir, ditemani beberapa Capster Plus-plus, dan pegawai Panti pijat Plus-plus. Sementara diujung lainnya dikurunglah Gerandong, bersama Para roh LGBT yang bertugas memijiti, atau mengerik tubuhnya jika masuk angin.

Begitulah, mereka akan tetap dikurung disana sampai berakhirnya bulan Puasa. Ini salah satu jaminan dari Allah SWT, bagi umat Islam yang tengah khusyuk menjalankan perintah berpuasa. Sebulan penuh mereka akan menghuni tempat itu, dijaga dengan ketat oleh para malaikat yang berjaga 24jam nonstop. Jadi, selama bulan puasa dunia akan terbebas dari para Setan (kecuali setan kredit, dan setan-setan yang lagi main di Film Avenger:The End Day). Mereka sudah terlanjur teken kontrak, sih.

#RWCOdop2019
#onedayonepost
#Day13

Day14

Misteri Sepuluh Potongan Keramik Di Masjid Al Qodar Sumberasih

Oleh: Winarto Sabdo

Pembangunan Masjid Al Qodar terbengkalai, karena kematian Abah Syaif sang penyandang dana. Dia meninggal dunia mendadak, saat menunjukkan contoh keramik masjid yang diinginkannya. Selain sebagai penanggung jawab pembangunan masjid, tanah yang dipakai untuk mendirikannya juga waqaf dari Tetua Desa Sumberasih itu.

Desa Sumberasih terletak di sebuah perbukitan kapur, yang merupakan desa tertinggi di antara 21 desa di Kecamatan itu. Akses menuju kesana sungguh sangat sulit, apalagi saat musim penghujan seperti saat ini. Jalanan yang belum tersentuh aspal, membuat desa diatas bukit itu bagai terisolasi. Apalagi hampir semua penduduk Sumberasih tidak ada yang bekerja di luar desa mereka, lengkaplah keterisoliran desa itu.

Kebanyakan penduduk desa memproduksi kebutuhannya sendiri, menggali batu kumbung (sejenis batu kapur yang keras) untuk membangun rumah, atau mencetak batubata untuk dindingnya. Dan untuk kebutuhan makanan, mereka menanam Padi Gogo di ladang. Termasuk sayur-mayur, juga buah-buahan. Bahkan, sepertinya uang tidak berguna di desa yang subur makmur ini.

Permasalahan baru muncul, ketika Abah Syaif mendapat hadiah pergi haji dari Pemerintah. Karena program penghijauannya pada hutan disekitar Desa Sumberasih, dianggap pemerintah berhasil mengurangi dampak erosi di kawasan hutan itu. Ketika melakukan hajinya itulah, pertama kalinya dia melihat keramik lantai yang sangat indah. Dia membawa pulang secuil potongan keramik hingga pulang kembali ke rumahnya, dan itulah awal terjadinya keruwetan demi keruwetan pembangunan masjid di desanya itu.

Masalahnya dia membawa pulang cuilan keramik dari Arab Saudi, yang tidak akan ditemukan ada pembuatnya di Indonesia. Beberapa orang ditugaskannya mencari keramik yang serupa, baik tekstur dan coraknya. Dan sudah enam bulan lamanya mereka berupaya, satupun tidak ada yang berhasil menemukan keramik serupa itu. Bahkan orang yang dikirimnya ke berbagai pelosok Nusantara, mereka kembali dengan tangan hampa.

Hingga semua warga membuat kesepakatan rahasia, mereka akan mengganti potongan contoh keramik yang diinginkan lelaki tua itu, dengan potongan keramik serupa yang hampir mirip warna dan coraknya.

Hingga suatu hari kehebohan terjadi, Sueb salah seorang utusan dari desa itu berhasil mendapatkan contoh keramik yang diingini Pak Haji. Seisi kampung menyambut gembira kedatangannya, sepanjang perjalan menuju rumah sang tetua dia dielu-elukan bagai pahlawan bangsa. Kedatangan dan keberhasilannya, ternyata lebih cepat terdengar oleh Haji Saif. Seseorang langsung mengabarkan berita bahagia dan kesuksesannya itu dengan berurai airmata.

Haji Saif sudah menunggu kedatangan sang duta, di sebuah kursi di teras rumahnya. Penduduk sekitarpun dengan antisias ikut berdebar-debar hatinya, menunggu kedatangan harapan dan cita-cita mereka yang sudah didepan mata. Masjid mereka akan segera diberi keramik, dan satu-satunya bangunan yang terpasang di desa itu.

Sueb yang tiba dengan diusung oleh para pemuda, tiba di halaman rumah itu. Suasana terdengar semakin gegap gempita, karena mereka saling beebalas takbir.

"Allohu Akbar! Allohu Akbar!" teriak mereka ganti berganti, sahut menyahut, sehingga suasana sakralpun tercipta.

Contoh keramik yang dibawanya dari Kota Surabaya, dibungkus dengan kain kafan oleh Sueb. Diletakkannya diatas kepala, sebagai benguk rasa bangga teehadap perjuangan rekan-rekan sejawadnya. Sampai di halaman rumah, dia segera mengucapkan salam.

"Assalamu'alaikuum!"

"Waalaikumusalaam!" jawab mereka swmua yang hadir disana.

"Kiai, atas berkat do'a dan restu Kiai, Aku berhasil mendapatkan contoh, dari keramik yang anda inginkan!" kata Sueb dengan penuh keharuan, setelah menjabat tangan dan mencium tangan tetua desa itu.

"Alhamdulillah, Eb. Alloh mendengar do'aku, dan juga seluruh warga Sumberasih," jawab sang Kiai, "coba bukalah bungkusanmu itu, agar kita bisa menyerukan hamdallah." jawabnya.

Sueb dengan tangan gemetar mencoba membuka ikatan kain kafan itu, dibantu beberapa orang lainnya. Semua warga yang menyaksikan kejadian itu menahan nafas, tidak ada yang bersuara, bahkan anak kecil digendonganpun terdiam. Akhirnya bungkusan itupun terbuka, memperlihatkan sebuah keramik kehijauan yang mempesona. Terdengar decak kagum dari masing-masing warga, bahkan banyak yang meneteskan air mata. Tetapi tidak dengan Haji Saif, dia tampak tidak menyunggingkan secuilpun senyuman di bibirnya.

"Kamu yakin ini sesuai dengan yang aku inginkan, Eb? tanyanya, semua warga terkejut mendengar pertanyaan Sang Kiai. Hening.

" Iya Kiai, saya yakin. Ini sesuai dengan contohnya." jawab Sueb, sambil menjejerkan potongan keramik yang dipakainya untuk mencari keramik.

Kiai Saif merogoh kantong bajunya, mengeluarkan potongan keramik yang sesungguhnya. Dan meletakkan disamping keramik yang dibawa Sueb, warga sangat terkejut melihatnya. Itu sungguh berbeda, baik corak dan warnanya. Sueb tidak bisa berkata apa-apa, diikuti oleh pencari keramik lainnya mereka memohon maaf atas kejadian yang mereka rencanakan ini. Sang Kiai hanya tetsenyum, mengangguk tanpak telah memaafkan mereka semua.

"Sebaiknya, pegang teguh kejujuran kalian semua. Jika kalian tidak sanggup melakukannya, seharusnya menyampaikannya padaku. Bukan seperti begini caranya, Islam tidak mengajarkan kebohongan, bahkan untuk tujuan mulia sekalipun."

Tiba-tiba orang tua itu jatuh terduduk di kursinya, kepalanya tertunduk. Sia-sia mereka mencoba membangunkannya, karena sang Kiai telah menghembuskan nafas terakirnya.

Maka suasana suka cita itupun berubah menjadi duka cita, semua orang menangisi kepergian tetua, pemimpin, tauladan, dan Imam mereka untuk selama-lamanya.

Hingga saat ini, lantai Masjid Al Qodar di Desa Sumberasih masih tetap berlantaikan semen. Hanya terpasang 9 potongan keramik seukuran ibu jari, dan sebuah lagi seukuran bungkus korek api di tempat Imam. Sebagai penghormatan atas perjuangan Kiai Saif, yang menjadi leluhur desa mereka.

-Tamat-

#RWCOdop2019
#onedayonepost
#Day14

Day15

Kupat (Ketupat)
Ditulis: Winarto Sabdo

Ketupat dalam bahasa Jawa disebut Kupat, sedangkan dalam bahasa Madura dinamakan Topa'. Dalam bahasa Jawa kupat adalah kependekan dari kata 'ngaku lepat' (mengakui kesalahan), sedang dalam bahasa Madura adalah 'sanonto teppa' (sekarang waktu yang tepat).

Dilihat dari falsafah bahasa, keduanya mengarah ke sebuah perbuatan: sekaranglah waktu yang tepat untuk mengakui kesalahan. Dalam rangka apa, biasanya ketupat itu disajikan? Ketupat hanya dihidangkan oleh setiap keluarga orang Jawa dan Madura (Indonesia), pada saat perayaan Hari Raya Idul Firi. Pada suasana hari itulah mereka berkumpul dengan sanak saudara, tetangga, serta handai taulan, untuk saling mengakui kesalahan. Minal aidin wal faizin, saling memaafkan secara lahir dan bathin.

Di Jawa (baca: tempat penulis tinggal di Kabupaten Nganjuk) Ketupat disajikan bersama dengan 'emput' (sebangsa koya yang terbuat dari kedelai atau jagung tumbuk, yang dibumbui sehingga terasa manis, gurih, dan pedas). Tetapi ada juga yang memodifikasi rasanya menjadi asin, gurih, dan pedas sesuai selera.

Emput sang pendamping kupat ini, juga memiliki falsafah di dalamnya. Berasal dari bahasa Jawa 'saempute' yang artinya 'beserta dengan yang sekecil-kecilnya', jika bersanding dengan 'kupat' maka arti keseluruhannya adalah: ngaku lepat sak empute (mengakui kesalahan hingga kesalahan yang sekecil-kecilnya).

Muslimin-muslimat di Jawa (Nganjuk khususnya) sekarang (sebagian) tidak memahami tantang falsafah ini, selain dari mengetahui ketupat sebagai makanan khas Hari Raya saja. Padahal makanan yang dipopulerkan pertama kali oleh Para Wali tanah Jawa itu, penuh dengan tuntunan budi luhur yang adiluhung.

Jaman sekarang, ketupat sudah disajikan dengan berbagai macam sayur pendamping. Dengan sayur lodeh, dengan sayur bali, bahkan penulis pernah disuguhi ketupat dengan saos sambal pecel, lengkap dengan sayuran dan peyeknya (orang Blitar mengenalnya sebagai 'punten', mungkin juga berasal dari kata Jawa 'sepunten', yang artinya juga mohon maaf).

Inilah seketik-dua tulisan hasil dari pemahaman pribadi penulis, belum pernah dipublikasikan di media massa manapun juga. Boleh dibuktikan dengan aplikasi penunjuk pagiasi, tulisan ini benar-benar baru. Untuk kepentingan RWC (Ramadhan Write Challange), yang diselenggarakan oleh Komunitas ODOP (One Day One Post) tahun 2019. Semoga ada manfaat, dan kegunaannya di masa mendatang. Amiin.

Nganjuk, 17 Mei 2019

#RWCOdop
#onedayonepost
#Day15

Day16

Tragedi Sebuah Sepatu
Oleh: Winarto Sabdo

Hati Eny Siswanti merasa tidak berghairah, setelah membaca secarik undangan di tangannya. Ada salah satu nama tertera di dalamnya, itu yang membuatnya merasa enggan. Anis Hidayati yang masih ada disana, melihat kecanggungan itu di wajah sahabatnya.

"Kenapa, En? Karena ada nama Winarto sebagai panitia disana? Bukankah kalian sudah berbaikan, saat itu?" tanyanya.

"Ah, tidak. Aku pasti datang, kok." jawab Eny salah tingkah, karena sahabatnya itu dapat menerka keengganannya.

"Baiklah, aku permisi pulang dulu. Jangan baper, ini kesempatanmu bertemu dengan teman-teman KOPLING (Komunitas Pejuang Literasi Nganjuk) lainnya," kata Anis sambil menyalami tangan sahabatnya itu, tidak lupa bercipika-cipiki setelahnya, "Titip undangan ini, ya."

Keduanyapun berpisah, karena Anis harus mengantarkan undangan lainnya. Meninggalkan Eny yang masih masih duduk termangu, di sebuah kursi taman Alun-alun Kota Nganjuk. Saat itulah datang kedua sahabat baiknya, Yulia Ahkam Sandhi dan Eka Amelia. Mereka juga mendapatkan undangan untuk Bukber, Anis sudah menitipkan undangan itu padanya tadi sebelum pulang.

Setelah berbasa-basi sebentar, merekapun segera meninggalkan tempat itu. Menuju ke Masjid Jami' untuk melaksanakan shalat Dhuhur, karena sudah mendengar suara adzan yang berkumandang.

*****

Eny menjangkau gawai yang ada di dekatnya, dilihatnya siapa yang membuat panggilan. Novarina Dian Wardani, sahabat baiknya sedang membuat panggilan padanya.

"Hallo! Kok belum nyampai juga di lokasi, En?" tanya Nova diseberang sana.

"Eh, iya. Ini sudah mau berangkat kok Va, tapi kendaraanku sepertinya sedang ngadat nih." jawab Eny terbata.

"Tenang, Rina Herawati sudah menyampaikan hal itu padaku tadi." jawab Nova.

"Kok disuruh tenang, sih?"

"Iya, tenang saja. Seseorang sudah meluncur ke rumahmu, dia yang akan membawamu kesini."

"Eh, siapa Nov?... Hallo! Hallo!" Eny menyaringkan suaranya, karena tiba-tiba Nova memutuskan panggilannya.

Siapa yang dimaksud Nova, dengan seseorang akan menjemputnya? Eny tiba-tiba merasa berdebar dalam hatinya, mencoba menerka seseorang yang akan rela menempuh perjalanan sejauh 10 kilometer ke rumahnya ini? Siapa?.

Mungkin Agus Heri Widodo yang biasa berkendara mobil, kalau Heru Sang Mahadewa jelas tidak mungkin, karena dia berhalangan ikut bukber. Tinggal seorang yang belum masuk dalam perkiraannya, seseorang yang selalu membuat hatinya menjadi gemas jika mengingatnya.

"Assalamu'alaikuum!" sebuah salam membuyarkan lamunannya, dengan sepontan dia menoleh ke arah pintu depan rumahnya.

"Winarto Sabdo! Eh waalaikumusalaam!" jawabnya terbata dan salah tingkah, karena dia sama sekali tidak menduga kedatangan lelaki itu.

"Emh, duduk dulu Mas. Jadi,  kamu yang menjemputku?" tanya Eny, setengah sibuk membenahi kerudungnya yang sudah benar.

"Benar, aku yang menjemputmu. Bisa kita berangkat saja, sekarang?"

"Baiklah." hanya kata itu yang diingatnya untuk mengakhiri kecanggungan tersebut.

*****

"Kamu masih marah padaku, En?" tanya lelaki itu dalam perjalanan, saat mereka sudah berada di jalanan beraspal.

"Tidak, aku sudah melupakannya." jawab Eny datar, bagaimana mungkin dia bisa melupakan kejadian yang merenggangkan hubungan mereka itu.

"Beneran?"

"Iya, aku sudah melupakannya!"

"Sebenarnya, itu bukan ideku saja. Tapi semua founder telah bersepakat melakukannya, karena kami tahu kamu yang sedang berulang tahun saat kopdar itu." sayup suara Winarto terdengar, karena dia berbicara sambil mengatur kewaspadaannya berkendara.

"Siapa saja yang terlibat, Mas?' tanya Eny, kali ini dia mencoba mendekatkan kepalanya ke kepala belakang lelaki itu.

" Ide memang dariku, tapi ketiga founder mengetahui, dan menyetujui rencana itu."

"Astaghfirullaah, mereka juga turut merencanakannya?!" seru Eny kaget.

------------------------------------------------------------
Eny pun mengingat kejadiaan yang membuatnya menangis saat itu, saat kopdar pertama komunitas penulis di kotanya. Di akhir acara, dia tidak dapat menemukan sepatu dan tas jinjingnya. Seseorang telah dengan sengaja menyembunyikannya, dan sampai dia menangis terguling-guling pun benda-benda itu tidak dapat ditemukan. Ternyata, tas dan sepatu itu disembunyikan ke dalam bak pickup seseorang yang sedang bersembahyang di Masjid Jami', dan pickup itu pergi tanpa mereka sadari sebelumnya.

Dua hari kemudian, baru semua diantarkan kembali ke rumahnya. Tidak ada satupun barang yang hilang, dan rombongan pengacau itupun sudah berusaha meminta maaf kepadanya.
---------------------------------------------------------------

"Iya, dan setelah kamu pulang dengan kesedihan. Ganti Nova yang menangis tersedu-sedu, di pelataran Masjid. Karena sepatunya yang kupinjamkan padamu itu, ternyata sepatu pinjaman juga dari tetangganya."

"Yang benar, Mas?!" kali ini Eny bisa tersenyum, membayangkan Nova juga berguling-guling di lantai masjid. Terdengarlah kekehnya, seperti sudah hilang beban di hatinya.

Tak terasa, perjalanan mereka sudah sampai di pelataran rumah Nova di Kelurahan Ganung. Kedatangan mereka disambut keriuhan para teman dan sahabatnya yang terlebih dulu datang, berbagai celotehan terdengar riuh-rendah.

"Nah, pengantinnya sudah datang!"

"Kok yang istrinya tidak merangkul pinggang suaminya?!"

"Masih marahan mereka!"

"Hahahaha!" mereka nampak sangat bergembira menyambut kedatangannya.

Nova menghambur dari kerumunan, setelah bersalaman dan bercipika-cipiki dengan Eny lalu dia bertanya.

"Kamu bawa sepatu yang Winarto pinjamkan saat itu, En?"

Semua orang tanpa dikomando, langsung memandang ke arah kaki Eny. Dan keriuhan pun tiba-tiba kembali terdengar, karena mereka baru melihat satu kelucuan di kaki sahabatnya itu. Ternyata Eny tidak memakai alas kaki apapun di kedua kakinya, dia lupa mengenakannya karena mungkin tadi melamun atau tergesa-gesa.

Dengan terkejut dan perasaan malu yang tetamat sangat, dia segera memasukkan kepalanya ke dalam jaket belakang Winarto. Sambil memukuli ringan bahu lelaki itu, yang ikut menertawakan keteledorannya. Keseruan ini segera berakhir lima menit kemudian, karena sudah terdengar kumandang adzan dari sebuah mushola di dekat rumab Nova. Mereka pun segera berbuka puasa, dalam situasi yang menyenangkan.

-Tamat-

#RWCOdoo2019
#onedayonepost
#Day16

Day17

Nuzulul Qur'an
Boleh: Winarto Sabdo

Dia adalah seoorang pemuda yang misterius, menempati sebuah rumah peninggalan leluhurnya di sudut desa. Usianya mungkin sekitar 30tahunan, tak seorangpun dapat menyebutkan dengan benar berapa umurnya.

Rumah besar itu berhalaman luas dan berpagar tembok tinggi di sekelilingnya, dengan berbagai tanaman buah, dan sayuran peninggalan orang tuanya. Dia beternak Ayam, Bebek, beberapa ekor Kambing, dan sepasang Sapi yang biasanya untuk membajak sawah. Hanya itu yang bisa terlihat dari luar pagar rumahnya, tetapi apa yang ada didalam rumah besar itu tidak ada yang mengetahuinya.

Keseharian pemuda yang dipanggil Nus itu adalah bertani, mencari rumput untuk ternaknya, dan berladang di sekitaran pekarangan rumahnya yang luas itu. Seorang pemuda yang sangat misterius, hampir sebagian besar rahasia tentangnya tidak ada yang mengetahui. Karena memang dia tidak pernah berusaha membangun komunikasi dengan tetangganya, bahkan jika ada yang mengajaknya berinteraksi sangat dihindarinya.

Dia adalah keturunan terakhir dari Raden Demang Hirosentono, sang pendiri, yang juga Petinggi desa pertama Desa Tulungan tempat tinggalnya itu. Setelahnya, tidak ada yang dapat memiliki harta berlimpah peninggalan leluhurnya itu.

Beberapa orang yang peduli padanya menawarkan gadis desa untuk dia peristri, mengingat usiannya yang sudah waktunya berumahgangga. Maksudkanya agar ada yang mengurusi, dan bisa menjadi temannya menyelesaikan pekerjaan sehari-hari.

Tetapi pemuda yang mereka panggil Nus itu, dengan sangat sopan menolaknya. Dan memang yang seperti mereka lihat, tanpa temanpun dia sanggup menyelesaikan tugas dan kewajibannya. Warga sekitar pun akhirnya segan, menawarinya untuk hidup berumah tangga.

*****

Suatu hari seorang penduduk Tulungan meninggal dunia, seorang pria tua yang tinggal di sebuah gubuk reyot di pinggir desa. Semua orang datang untuk memberi penghormatan terakhir, kepada orang tua yang tinggal sendiri dengan seorang cucunya itu. Mbah Darmo meninggal karena usia tua, meninggalkan cucu semata wayangnya yang bernama Lasmini. Seorang gadis yang bisu dan tuli, walaupun paras wajahnya sungguh cantik jelita.

Seusai prosesi penguburan, beberapa orang masih berkumpul di rumah itu. Ada Pak Kasun (Kepala Dusun) beserta istrinya, dan beberapa penduduk tetangga sekitar rumah itu. Tampak juga Nus diantara mereka, dialah yang semenjak mendengar tentang kematian Mbah Darmo bertahan disana. Dia hanya pulang sebentar, untuk memastikan hewan-hewan peliharaannya saja.

Dahulu pernah tersiar khabar, Nus dan Lasmini berpacaran. Sebelum Lasmini jatuh sakit keras, yang tiba-tiba menghilangkan kemampuannya mendengar dan berbicara. Orang menduga, Jin telah mengganggunya karena dia berpacaran dengan Nus. Saat itu memang santer tersiar khabar, pemuda pendiam itu sudah diperistri Jin betina. Oleh karena itu, kakeknya melarang gadis itu melanjutkan hubungannya dengan pemuda itu.

Pak Kasun tiba-tiba duduk disamping Nus, dengan lembut merangkul bahu pemuda itu.

"Nus, bolehkah kami bertanya padamu?" tanya Pak Kasun.

"Bertanya apa, Pak? Jika mampu menjawabnya, tentu akan saya jawab." jawab pemuda pemalu itu, sambil menunduk memandangi ujung kakinya.

"Kamu dulu pernah dekat dengan Lasmini, bukan?"

"Iya, Pak." jawab pemuda itu, suaranya hampir tidak terdengar mereka yang ada disitu.

"Kami pernah mendengar, dulu Mbah Darmo melarangnya berhubungan denganmu," kata Pak Kasun sambil melepaskan rangkulannya dari bahu Nus, karena dia melihat ketidaknyamanan pemuda itu dengan rangkulannya, "Bagaimana, jika sekarang kaliqn lanjutkan lagi hubungan kalian? Bukan karena Mbah Darmo yang melarangnya sudah meninggal dunia, tetapi ini demi kelanjutan masa depan Lasmini."

"Kalian tidak mengetahui yang sebenarnya, sesungguhnya Lasmini tidak seperti yang kalian ketahui selama ini." jawab Nus dengan suara dan karakter yang berbeda, seperti yang mereka tahu selama ini.

"Apa yang belum kami ketahui, Nak?" tanya Pak Sumo tetangga Lasmini, terpancar keheranan di wajahnya.

"Lasmini hanya bersandiwara kepada kakeknya, huga kepada kalian semua. Karena dia tidak menjadi bisu dan tuli karena penyakitnya, tetapi karena dia sengaja melakukan perintah dari kakeknya."

"Apa katamu?!" seru Pak Kasun terkejut, juga beberapa orang yang ada di depan rumah Mbah Darmo itu.

"Iya, Lasmini selama ini hanya menjalani sandiwaranya saja. Dia tidak bisu, dan dia tidak tuli. Dia melakukan sandiwaranya itu, karena dia mengetahui sebuah rencana dari kakeknya."

"Rencana apa? Mbah Darmo merencanakan apa, kepada cucu satu-satunya itu Nus?" tanya Pak Kasun.

"Mbah Darmo ingin menjodohkan Lasmini, dengan Pak Dayat yang kaya raya itu. Bahkan, dia juga yang melemparkan fitnah padaku menjadi suami Jin!." kata Nus, sambil berjalan berkeliling di tempat itu, "Untunglah Lasmini mengetahuinya, dan menceritakan semuanya padaku. Kemudian kami bersepakat melakukan rencana ini, karena kami tahu Pak Dayat hanya menyukai wanita yang sempurna."

"Astaghfirullahaladzziim, jadi seperti itu ceritanya? Kalian telah menyimpan rahasia ini kepada kami, selama lima tahun lamanya?" tanya Pak Kasun dengan tatapan haru, "Jadi, selama ini sesungguhnya Lasmini tidak bisu dan tuli?!"

Nus menganggukkan kepalanya dengan pasti, seraya menoleh ke arah dalam rumah dan berteriak memanggil.

"Lasmini!"

Dari dalam rumah, dengan tergopoh Lasmini diikuti para wanita lainnya keluar. Semua tampak terlihat terheran-heran, setelah menyadari siapa yang berseru dengan keras baru saja.

"Kamu yang berteriak memanggil Lasmi, Nus?" tanya Bu Kasun.

"Iya, Bu. Maafkan saya, karena malam ini kami akan ungkapkan satu rahasia kepada kalian semua warga desa Tulungan!" kata Nus sambil membuat isyarat kepada Lasmi, agar gadis itu berdiri disamping kiri tubuhnya.

Dengan tanpa basa-basi, gadis berkerudung itu berlari kecil ke tempat yang diinginkan Nus. Semua yang menyaksikan terhenyak, ini adalah sesuatu kejadian yang sama sekali tidak ada dalam benak mereka.

"Lasmini bukan gadis bisu dan tuli!" seru Nus, sambil mempersilakan Lasmini membuktikan kata-katanya.

"Maafkan saya!" kata Lasmini dengan keras dan jelas, semua yang mendengarnya tercengang.

"Dan sebenarnya, Mbah Darmo di penghujung sakitnya. Sudah merestui kami, untuk melangsungkan peenikahan. Hal ini disaksikan langsung oleh Pak Modin (ketua keagamaan desa) beserta istri, dan juga oleh Pak Sunoto beserta istrinya, mereka dua minggu yang lalu diunxang secara khusus, untuk membicarakan hal ini. Silakan diperkuat perkataan saya, Pak!" kata Nus diujung pemberitahuannya, dan orang yang disebutkannya keluar dari kerumunan.

"Memang benar apa yang disampaikan Nus, kami yang disebutkannya tadi telah bersaksi dengan kata-kata Mbah Darmo sebelum meninggal.$

Seketika hebohlah suasana di halaman rumah kecil itu, beberapa celotehan dahur menyahut, menyambut tersiarnya berita yang mengejutkan itu.

" Jadi, kapan mereka akan dinikahkan Pak Modin?" tanya seseorang dari dalam kerumunan.

"Insyaalloh, setelah Hari Raya Idul Fitri tahun ini!"

Keriuhanpun terulang, beberapa orang terdengar mengusulkan agar pernikahan disegerakan. Membuat sepasang sejoli itu memerah mukannya, tidak lagi bisa menahan rasa malunya.

"Sekarang semua sudah mendengar sendiri. Semua sudah mengetahui sendiri, tentang sesuatu yang tidak disangka-sangka ini." kata Pak Kasun, "Selanjutnya mari kita do'akan, semoga kelak proses pernikahannya semua lancar!"

"Amiin!" teriak mereka dengan wajah gembira.

"Nah, sekarang mari kita peringati kematian Mbah Darmo ini sudah membawa berkah kepada cucu tercintanya ini. Mari kita semua masuk rumah, dan mengirimkan do'a untuk sesepuh dan leluhur kita.!"

"Setuju!" jawab mereka serempak, dan bersiap-siap masuk rumah. Ketika tiba-tiba terdengar sebuah pertanyaan, dari seorang wanita dari kerumunan itu.

"Tunggu dulu!"

Semua orang menghentikan gerakannya, sambil menoleh ke arah sumber suara.

"Ada apa, Yu Minuk?! Mengejutkan saja!" tanya Pak Kasun, yang kebetulan berada didekat Yu Minuk.

"Aku hanya ingin bertanya, sesungguhnya siapa nama lengkapmu Nus?!"

Suasana tiba-tiba menjadi hening, bahkan seakan nyamuk pun berhenti berdengung. Ketika pemuda tampan itu maju hendak memberikan jawaban, karena memang hanya dia satu-satunya yang tahu nama lengkapnya.

"Nama saya adalah Nuzulul Qur'an!"


-Tamat-

#RWCOdop2019
#onedayonepost
#Day17

Day18

Hadiah Yang Membanggakan
Oleh: Winarto Sabdo

Hamish menjadi giliran terakhir memohon ijin, dan memohon do'a restu dari Romo Kyai Hasan Husen gurunya. Sudah setahun sampai hari ini, dia dan ratusan santri lainnya mondok di Ponpes Darut Taubatan Nasuha itu. Hari ini adalah hari terakhirnya menuntut ilmu di jenjang ibtidaiyah, kemarin baru saja dia dan 50 orang temannya di wisuda. Oleh karenanya mereka diberikan ijon berlibur, juga dikarenakan bertepatan dengan bulan suci Ramadhan.

"Masuklah, sekarang!" kata Mucklash temannya, dia ada di depannya saat berbaris menunggu giliran menghadap Romo Kyai tadi.

Sebelum mengiyakan perkataan temannya, dia sempat melirik hadiah yang diterima sahabatnya itu dari Sang Guru. Mucklash mendapatkan seuntai tasbih, yang konon katanya dapat menyala di kegelapan. Itulah yang dipikirkannya semenjak tadi, semoga diapun mendapat hadiah sebuah tasbih. Itu juga yang diinginkan Bapaknya sewaktu mengantarkannya ke ponped ini, beliau berharap dirinya berhasil mendapatkan seuntai tasbih. Karena itu adalah hadiah untuk prestasi di pondok ini, tidak ada yang lebih baik dari hadiah tasbih ini.

"Hamish, masuklah!" terdengar suara Romo Kyai dari dalam ruangan, tanpa menunggu lama diapun bergegas menghadap.

"Saya, Romo!"

Bocah 12 tahun itu menghadap dengan ragu, bayangan apa hadiah yang akan diterimanya mengganggunya. Dia mencium tangan sang guru, kemudian bersimpuh di bawah kursinya.

"Kamu akan pulang hari ini juga, Mish?" tanya sana Kyai.

"Saya, Romo. Sebab, teman-teman sedesa, dan yang tetangga desa, juga sudah berencana pulang bareng-bareng hari ini."

"Sudah menjelang Ashar, apa tidak sebaiknya kalian menginap dulu semalam di pondok. Baru seusai Shubuh kalian berangkat, menuju desa kalian masing-masing?"

"Mohon ampun, Romo. Kami sudah berjanji, untuk pulang bersama-sama." jawab Hamish dalam kekhawatiran, jangan-jangan teman terdahulunya sudah mengiyakan pendapat gurunya ini.

"Baiklah, aku tidak akan menahan kemauanmu Nak. Ini pemberian dariku, semoga bisa berguna bagi hidupmu kelak." kata sang guru, sambil menyerahkan sebuah kotak kardus yang bertali.

Hamish sangat terkejut menerimanya, sangat berbeda dengan yang diinginkan juga di harapkannya. Bukan seuntai tasbih, seperti keinginan Bapaknya.

Tanpa terasa, Hamish melelehkan air matanya. Itu terjadi, setelah dia mengucapkan terima kasih kepada Sang Kyai. Tentu saja ini terlihat oleh gurunya, hang langsung mendekati dan mengelus lembut punggung muridnya itu.

"Jangan menangis, kamu sudah berjanji untuk menuntaskan puasamu sebulan lamanya. Dan ingatlah, rejeki tidak akan tertukar."

"Saya, Romo." sahutnya, yang kemudian segera meninggalkan gedung aula di ponpes itu.

Dengan gontainya Mucklash berjalan menghampiri dua orang temannya, yang sudah menunggunya dengan gelisah di deoan pintu gerbang.

"Cepetan, Mish. Kita masih harus berjalan melewati gunung dan hutan, bisa kemalaman di jalan kita nanti!" teriak Mucklash tidak sabar, seperti juga Darwis yang ada di sampingnya.

"Iya, Mish. Lekaslah sedikit, dan ini tas perlengkapanmu." kata Darwis, sambil mengangsurkan tas Hamish yang berisi kitab dan pakaian bersih.

Hamish pun menerima barang bawaannya itu dengan enggan, sambil mempercepat jalannya mengikuti langkah kedua temannya di depan. Ketiganya melangkah menyusuri pematang sawah di depan pondokan hingga ke pinggir hutan, disanalah jalan setapak yang akan membawa mereka menuju desa kelahiran.

*****

Sudah hampir setengah jam mereka melangkah, sudah berada di dalam hutan yang mulai gelap. Dan beberapa kali Mucklash serta Darwis harus berhenti, menunggu langkah Hamish yang bagai tidak bertenaga itu.

"Hamish, cepat sedikit dong jalannya. Kita harus sudah melewati Gunung Sabak sebelum Maghrib, setelahnya baru bolehlah kita berlambat-lambat, karena sudah di kawasan hutan kita. Apa perlu aku bawakan bawaanmu itu, agar langkahmu bisa lebih cepat?" kata Mukhlash.

"Tidak usah, Klash. Biar aku bawa sendiri barangku, maaf hari ini aku agak lelet." jawab Hamish pelan.

"Bukan agak lambat lagi, tapi sangat lambat Mish!" seru Darwis, sambil merangkul bahu sahabatnya itu.

Mukhlash dan Darwis tidak berasal dari desanya, desa mereka masih setengah jam lagi berjalan. Dan tentang Gunung Sabak, yang mereka khawatirkan adalah bertemu dengan Macan Kumbang. Beberapa kali orang bercerita, pernah bertemu dengan hewan buas itu di sekitaran gunung. Untunglah pada saat bertemu manusia, hewan itu sedang membawa hewan hasil buruannya. Sialnya lagi, hewan itu mampu memanjat pohon seukuran apapun.

Alhamdulillah, sungguh karunia yang tiada terkira. Begitu memasuki kawasan Gunung Sabak, mereka ternyata sudah bertemu dengan orangtua mereka yang menjemput. Tetap saja, naluri orang tua lebih tajam. Melihat waktu yang seharusnya ditempuh dari pondok, dan mengantisipasi jika ada keterlambatan kedatangan. Ketiga orangtua masing-masing santri itu, memutuskan untuk menjemputnya di tengah jalan. Dan disinilah mereka bertemu, ketika masing-masing degup jantung bocah-bocah cilik itu mulai bergema.

Dengan hampir tanpa kendala, kecuali Hamish yang menjatuhkan kotak hadiah dari Gurunya itu beberapa kali. Akhirnya mereka tiba di tujuan masing-masing, tentu saja Hamish yang pertama sampai dan mencium tangan ibunya. Saat itu, bersamaan dengan kumandang adzan Maghrib terdengar.

*****

Hamish tampak sedang menimang-nimang bungkusan kotak, hadiah dari gurunya itu. Dalam hati dia merasa kecewa, karena tidak dapat mempersembahkan sebuah tasbih kepada Bapaknya. Dia merasa malu dan sedaih, sehingga berlama-lama didalam kamarnya seusai berbuka dan Sholat Maghrib.

"Hamish, Bapak memanggilmu Nak!" seru ibunya, setelah mengetuk pintu kamarnya.

"Iya, Mak. Aku akan segera menemuinya." jawabnya, kemudian dengan malas keluar dari kamar tidurnya menuju ruang tamu.

"Saya, Pak." katanya setelah sampai kepada bapaknya, dia begitu saja duduk disamping orangtuanya itu. Sementara itu, ibunya datang membawa sepiring irisan belewah.

"Kamu masih capek ya, setelah berjalan begitu jauhnya?" tanya bapaknya.

"Sedikit, Pak." jawabnya gelisah.

"Kamu mendapat hadiah apa dari Romo Kyai, Nak?" justru ibunya yang menanyakan, sesuatu yang di khawatirkannya.

"Maafkan Hamish Pak, Bu. Hanya Hamish yang tidak mendapatkan hadiah tasbih, seperti kawan-kawan lainnya." jawab bocah itu terlihat sangat sedih.

"Tidak mengapa itu, Nak. Karena bukan kita yang memutuskannya, syukuri saja ya?" kata bapaknya, melihat kemurungan di wajah anak semata wayangnya itu.

"Mungkin tahun depan, kamu mendapatkannya." kata ibunya menghibur, "Nah, kamu mendapat hadiah apa?"

"Sebentar, Hamish ambilkan." jawab bocah itu, meninggalkan kedua orangtuanya.

"Ini hadiahnya, Pak." sebentar kemudian bocah itu sudah sampai, menyerahkan kotak hadiah dari gurunya.

"Duduk sini, ayo kita buka bersama-sama." kata bapaknya, sambil meraih tangan Hamish duduk di pangkuannya. Ibunyapun segera bergabung bersama mereka, tampak wajahnya berseri dalam keingintahuannya.

"Bismillahirohmaanirrohiim!' ucap Bapaknya, sambil membuka isi kardus itu.

" Subhanalloh!" mereka berseru bersamaan.

Tampak di dalam kotak kardus itu beberapa barang, sebuah kotak kayu berisi tasbih perak, sebuah kitab Stambul, yang dibungkus dengan sebuah sajadah merah asli parsi.

"Sbhanalloh, sajadah Parsi yang sangat terkenal kelembutannya!" seru bapaknya sambil menimang-nimang benda itu dengan bangganya, "Yang ini boleh untuk Bapak, Nak?" terdengar pintanya sungguh-sungguh.

"Tasbihnya untuk Ibu ya, Nak?" pinta ibunya.

Hamish terkejut melihatnya, Bapak melupakan keinginannya pada tasbih bercahaya. Dan lebih memilih Sajadah Parsi berwarna merah itu, sementara ibunya dengan bangga mencium-cium tasbih barunya.

Tanpa mereka sadari, dalam kehebohan orangtuanya dwngan hadiah itu Hamish berucap syukur.

"Alhamdulillahirobbil" alamiin, terima kasih Yaa Alloh. Engkau ijinkan hambamu ini, membahagiakan, dan membanggakan kedua orangtuaku. Amiin."

-Tamat-

#RWCOdop2019
#onedayonepost
#Day18

Day20

Yang Kembali
Oleh: Winarto Sabdo

Bukan salah mereka lahir dan besar di tempat itu, karena itu adalah sikap dan kepribadian suku Samin. Putra sejati belantara, anak kesayangan hutan. Mereka hidup di sekitaran hutan berabad-abad lamanya, menuruti tuntunan dan ajaran para leluhurnya.

Mereka lahir, besar, dan meninggal di tempat itu. Jika akhirnya mereka tetisolasi dari dunia luar, itu adalah nasip, diantara sikap dan keputusan mereka saja.

Pihak Kecamatan, bahkan Kabupaten bersama pihak Konservasi tidak henti-hentinya membujuk dan menawarkan relokasi. Tetapi seperti sikap suku itu sebelumnya, mereka menolaknya dengan halus kepedulian Pemerintah itu.

Hingga ke masalah komunikasi dan transportasi, menjadi sesuatu yang sangat memprihatinkan disana. Akses jalan menuju kesana sungguh sangat mengenaskan, hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja. Jangan menanyakan perihal gawai, hampir tidak ada alat komunikasi disana. Karena listrik sebagai sarana pendukung semua itu, sama sekali belum masuk ke desa mereka. Mereka bahkan belum mengenal Radio, Televisi, DVD, bahkan tidak ada yang memiliki sepeda pancal pun disana.

Itulah sedikit gambaran, untuk mengulas tentang sebuah desa yang bernama Konang. Desa yang terletak di deretan bukit pegunungan kapur itu, adalah satu-satunya desa dari limamereka yang ada sebelumnya disana. Keempat desa lainnya sudah mengikuti program Bedhol Desa pada tahun 80an, salah satu jenis Transmigrasi yang diikuti oleh seluruh penduduk desa, beserta Pamong juga Kepala Desanya. Hanya beberapa orang yang kembalikesa tidak betah dengan lokasi disana, yang lainnya sudah beranak pinak di wilayah baru itu.

Tapi bagai bangau yang terbang dari sarang, mereka tidak akan lupa jalan pulang. Beberapa orang yang berasal dari wilayah gunung kapur itu datang lagi, bukan untuk kembali menetap disana, tapi lebih dari sekedar 'nglumpukna balung pisah' (menyatukan kembali persaudaraan) atau bersilaturahmi saja. Biasanya mereka datang berombongan beberapa keluarga dari Sumatra, kemudian menginap beberapa minggu disana sebelum kembali pulang.

Seperti duabulan yang lalu, mereka memang baru saja kedatangan Mbah Wonodadi. Beliau adalah mantan Kepala Desa disana, sudah hampir 80tahun usianya. Diantarkan putra dan cucu-cucunya, dan memutuskan untuk kembali menetap di desa kelahirannya itu di sampai akhir hayatnya.

Dari beliaulah juga, akhirnya mereka bisa mendirikan sebuah Masjid yang indah dan megah. Berdinding tembok yang kokoh berwarna putih, dan berlantaikan keramik yang sangat indah.

Dan istimewanya adalah, di Masjid Albarru itulah pertama kalinya penduduk mengenal Toilet. Toilet yang berada diluar masjid itu selalu ramai didatangi orang, dari sekedar anak-anak yang tertawa gembira melihat air yang keluar dari kran yang diputarnya. Hingga para orangtua yang mencoba toilet masjid itu dengan berdebar, karena sebelumnya mereka melakukannya di atas rerumputan di pinggir hutan. Atau membuang hajat di Kakus (WC dari tanah yang digali sangat dalam), dan selalu tersiksa dengan aroma permentasi kotorannya yang terdahulu.

-Tamat-

#RWCOdop
#onedayonepost
#Day20

Day21

Malam Bina Iman Dan Takwa
Oleh: Winarto Sabdo

"Siapa yang tau kepanjangan MABIT?!" tanya Pak Winarto Sabdo, di depan murid-muridnya, "Semua wajib menyebutkan apa yang terlintas di kepalanya, ketika bapak menyebutkan kependekannya!"

Suasana kelaspun mendadak menjadi ramai oleh bisikan-bisikan, dan cekikik pelan dari beberapa orang murid kelas IX-A SMPN I Kopling itu.

"Bapak akan mengurutkannya dari bangku depan sebelah kiri, ke kanan berlanjut ke bangku belakangnya, dan seterusnya sesuai pola," kata Pak Guru memberikan penjelasan, "Jika ada yang sudah mengetahui kepanjangannya, boleh mengangkat tangannya. Bagaimana, semua siap?!"

"Siap, Pak!" jawab murid-muridnya penuh semangat.

"Baiklah, kita mulai saja dari kamu Eny Siswanti. Apa kepanjangan dari MABIT?" tanya Pak Win yang hansome itu pada muridnya.

"Makan bibit, Pak!" jawab Eny dengan tidak yakin, disambut derai tawa seisi kelas.

Pak Win membuat isyarat kepada seluruhnya, agar tidak membuat ekspresi yang berlebihan atas jawaban teman-temannya.

"Kalau menurutmu, apa kepanjangan MABIT itu Nis?" tanyanya kemudian, pada Anis Hidayati teman sebangku Eny.

"Mobat-mabit...." jawab Anis pelan, dan kehebohanpun berlanjut di kelas itu.

Pak Guru menggeleng-gelengkan kepalanya, dia ingin ikut menertawakan jawaban muridnya itu. Tetapi sebagai seorang pendidik, dia sudah berkomitmen untuk selalu mempertahankan rasa percaya diri muridnya. Tidak menghakimi, yang bisa menjatuhkan mental kedepannya.

"Heru Sang Mahadewa, apa jawabanmu?"

"Emh, makan Biting Pak!" jawab Heru lantang, yang membuat seisi kelas terdiam karena kebingungan.

"Apa itu Biting?" tanya Pak Guru.

"Itu, Pak. Yang suka dijual di kedai seafood, yang ada supitnya itu loh." jelas Heru.

"Itu Kepiting!" seru Pak Winarto, sambil memegangi keningnya, "Kamu belum sarapan, ya?!"

"Hahahahha!" derai tawa teman-temannya, membuatnya menunduk malu.

"Sekarang kamu Novarina Dian Wardani, apa MABIT itu?"

"Mahasiswa Karbit, Pak!" jawab Nova tanpa basa-basi, semua yang di ruangan kelas itu bagai tercekat.

"Cita-citamu itu, ya?!" sambut gurunya.

"Wkwkwkwkwk!" semakin riuh rendah suasana kelasnya.

"Apa MABIT Yulia Ahkam Sandhi?"

"Makanan Adalah Berguna Intik Tubuh, Pak!" jawabnya, yang disambut dengan gelak tawa teman-temannya.

"Halah ngarang, kamu!. Benik Al Arif, apa jawabanmu?!"

"Mahasiswa Akan Bingung Ikut Transmigrasi!" jawab Benik polos.

"Aku juga akan bingung, kalau kamu ijut transmigrasi" jawab Pak Win, yang segera memicu keriuhan suasana.

"Eka Amelia!"

"Majalah Akademis Bagi Islam Terpadu!"

"Amelia Putri Hidayat, apa kepanjangan dari MABIT?" tanya Pak Guru Ganteng, melihat murid yang satu itu menguap.

"Mari Ajak Binatang Iguana Tampil!"

"Emang dia artis dangdut?!"

"wakakakakak!" semakin menggeloralah suasananya.

"Wali Min... apa jawabanmu?"

"Mahasiswa Anti Bid'ah Insan Terpuji!"

"Dwi Septiyana?!"

"Metabolisme Anti Boring Itu Tidur, Pak!"

"Dasar, tukang tidur!'

" Kwakwakwakwak!"

Rencananya semua murid akan diberikan kesempatan menjawab pertanyaannya, tetapi semakin kesini jawaban muridnya semakin tidak jelas.

Si Eko Endri Wiyono mejawab: Manunggaling Ahlak Binarengan Isining Takdir. Muhammad Septian Wijaya menjawab: Meningkatkan Antisipasi Belajar Indigo Terkutuk. Agus Heri Widodo menjawab: Musyawarah Anak Bangsa Indonesia Terpadu. Bahkan jawaban Ahmad Achmad Ikhtiar sungguh sangat mengerikan, yaitu Masyarakat Anti Bahagia Inginkan Tukartambah.

Winarto Sabdo berfikir, jika tidak segera mengakhiri forum tanya jawab ini. Dia akan pulang mengajar dengan kepala bengkak, lalu meledak dengan suara lagu "Burung Kakak Tua" keluar dari batok kepalanya. Akhirnya dengan tekad bulat, dan semangat pantang menyerah dia memutuskan. Untuk memberikan penjelasan kepada para siswanya itu, tentang apa sesungguhnya MABIT itu.

"Anak-anak, ternyata sangat sulit diterima jika kita beropini sendiri-sendiri, dengan teory kebenaran secara sepihak. Yang hanya kalian, dan Tuhan saja dapat mengetahuinya."

Semua murid begitu tenang menyimak perkataan gurunya, atau memang sudah kehilangan tawanya karena lelah.

"Oleh sebab itu, Bapak akan memberitahukan apa sesungguhnya singkatan dari MABIT itu. Silakan diingat-ingat, jika perlu kalian catat. MABIT adalah kependekan dari Malam Bina Iman dan Taqwa!"

Kelas tidak menjadi riuh rendah seperti bayangannya, bahkan tidak terdengar secuitpun suara. Pak Guru Winarto Sabdo menjadi keheranan, apa yang terjadi dengan para muridnya.

Ternyata, semua murid tertidur dengan pulasnya di bangku masing-masing. Mungkin mereka berharap akan membuat hati Pak Guru yang terkenal baik hati, tidak sombong, dan suka menolong itu trenyuh. Semua murid akan segera diselimutinya, diberikan bantal, dan guling yang terbuat dari bulu-bulu Angsa muda Kanada. Tapi ini tidak terjadi di alam nyata.

Guru killer itu segera mengambil pengeras suara di atas lemari kantor, menyetel bolumenya pada level maksimal. Lalu diarahkannya moncong soundbox itu, ke arah murifnya yang tertidur nyenyak. Dan dengan teriakan supersoniknya dia menyeru.

"Bangun kalian! Dasar tukang tidur! Awas ada bom! Kebakaran! Kebakaraaaan!!!"

12 murid pria melompat keluar dari jendela kelas, 6 pasangan keluar dengan bergendongan, sisanya menangis ketakutan didalam kelas. Bahkan ada yang tetkencing-kencing di celana, diiringi suara tawa ngakak sang guru durjana.

"Hwakakakak!"

-Tamat-

#RWCOdop2019
#onedayonepos
#Day21

Day22

Dera Pengemis Di Tepi Jalan Raya
Oleh: Winarto Sabdo

Aku berdiri di tepi jalanan beraspal
Kalut memandangi hilir mudik kendaraan lalu lalang
Tak ada yang menyapaku hanya agar berlagak mengenal
Mungkin yang mengenalku pun enggan mengenaliku
Aku hanya tua renta peminta-minta

Jalanan tak lagi selengang hari kemarin
Para pemotor yang panik ingin segera datang
Melintasi trotoar tempatku berharap iba
Demi mengharap belas kasihan orang yang melintas
Melemparkan sekeping selembar keprihatinannya

Lebaran berapa hari lagi akan berulang
Mereka yang pergi berlomba-lomba pulang
Memperlihatkan tahun-tahun hidupnya berjuang
Dengan kemewahan yang terang cemerlang
Mengiringi ego yang tinggi menjulang

Aku beringsut menepikan diri dari bahaya
Mereka yang datang takkan takut menuai celaka
Demi hasratnya bertemu keluarga mereka di desa-desa
Membawa kemewahan yang dipantaskan untuk jumawa
Setelah berhari lamanya mengantri selembar tiket mudik

Nganjuk, 26 Mei 2019

#RWCOdop2019
#onedayonepost
#Day22

Day23

Prahara Sonokeling (cerbung)
Karya: Winarto Sabdo

Beberapa orang tampak memandang ketakutan ke arah cakrawala, menatap semburat merah darah yang terpancar dari balik sandikala. Tidak ada yang mengeluarkan suara, hanya saling berbisik tentang fenomena yang terjadi disuatu senja itu. Menciptakan keheningan yang mencekat, di pelataran Pondok Sekarmayang.

Sesaat kemudian terdengar lantunan azan yang keras berkumandang, dari dalam Langgar bambu disamping pondokan Kiai Kasan Besari itu. Seorang bilal menyatakan, bahwa sudah tiba waktunya untuk melaksanakan sholat Maghrib.

Sang Mutawali memulai masuk langgar, bangunan kecil berdinding bambu yang menggantung dengan  beberapa saka dibawahnya. Diikuti oleh 5 orang santri yang bergelar Santri Limo, dan berpuluh santri lainnya. Mereka kemudian melaksanakan sholat berjama'ah, dalam suasana ta'zim dan penuh kekusyukan.

Seusai bersembahyang wajib, Sang Kiai menuntun wiridz para jama'ah. Juga melantunkan sholawat khusus, yang hanya diajarkan di pondok itu.

"Persiapkan makanan dan minuman berbuka, hari ini kita batalkan puasa disini saja." kata Sang Kiai, memberi perintah kepada santri yang bertugas mempersiapkannya.

Beberapa orang santri segera beranjak menuju dapur pondok, kemudian kembali dengan makanan dan minuman yang cukup untuk berbuka puasa mereka semua.

"Mohon maaf Kiai, sebelumnya kami mempergunjingkan masalah Sandikala (senja merah) yang terjadi sore hari ini. Apakah ada arti khusus dengannya, kami mohon pencerahannya." kata Kamidin, salah seorang dari ketua Santri Songo.

"Tentu saja ada isyaroh (pertanda) didalamnya, Ramadhan ini insyaalloh kita akan memahami petunjuk-Nya." jawab sang Kiai, sambil memasukkan sebutir kurma kedalam mulutnya.

"Pertanda apakah itu, Kiai?" tanya Sarijan, yang juga salah seorang dari Santri Songo.

"Insyaalloh, kita akan bertemu dengan Lailatul Qodar pada ramadhan tahun ini," jawab sang Mutawali, "Oleh karena itu, aku akan menugaskan kalian para Santri Limo untuk bergabung menjadi Santi Patangpuluh (empatpuluh)."

"Apakah Kiai akan membai'at adik santri kami, sehingga dapat mencukupi hitungan itu?" tanya Sukowignyo, yang juga adalah seorang dari santri khos itu.

"Tidak, seusai tarawih nanti Kalian berlima (santri limo) pergilah ke Pondok Sokolimo. Sampaikan surat yang kutuliskan ini kepadanya, dan tunggulah apa perintahnya kemudian." perintah Sang Kiai, yang segera diiyakan semuanya.

"Insyaalloh!"

*****

Menjelang shubuh, perjalanan lima orang santri itu hampir memasuki lingkungan Pondok Sokolimo. Benar saja, ketika adzan shubuh berkumandang, mereka baru saja menginjakkan kakinya di pelataran pondok. Bersama dengan santri disana mereka menunaikan shubuh berjama'ah, kemudian menyampaikan surat gurunya itu.

Kiai Kusen Saidi sesungguhnya adalah adik kandung dari Kiai Kasan Besari, dan yang ditugaskan oleh almarhum Kiai Mohammad Kandi (almarhum ayah mereka) untuk mendirikan pondok di Sokolimo.

Setelah membaca surat dari kakaknya, dia kemudian menyurati adik bungsunya Kiai Hadits Syah di Pondok Nogobondo. Kemudian memerintahkan 20 orang santrinya bersama santri limo, untuk pergi mengantarkan suratnya.

Maka berangkatlah 25 orang santri itu menuju daerah Nogobondo, yang terletak di badan Gunung Bandhang. Gunung tempat tinggal para Siluman, yang terkenal masih dihuni kawanan Macan Loreng yang haus darah. Dan juga banyak hewan buas lainnya.

"Para santri semua, kita harus bergegas menuju Nogobondho. Sangat berbahaya, jika sampai nanti kemalaman di jalan," kata Kamidin, kepada rombongannya, "Kita akan menggunakan Sayipi Angin menuju kesana, apakah kalian sudah menguasainya?"

"Kami, sudah menguasainya Kang!" jawab semuanya.

"Baiklah, jangan lupa membaca basmalah terlebih dahulu sebelum berangkat!" seru Kamidin lantang.

"Bismillahirohmaanirrohiim!" teriak mereka hampir bersamaan, sebelum tubuh-tubuh mereka melesat menembus rerimbunan hutan.

(bersambung)

#RWCOdop2019
#onedayonepost
#day23

Day24

Tragedi Geli Surat Permohonan Cuti
Oleh: Winarto Sabdo

Kasan melihat Juman keluar dari kantor perusahaan dengan bersungut-sungut, tidak ada senyum yang biasanya selalu berkembang dari bibirnya yang kehitaman. Dengan kasar dibantingnya selembar kertas putih yang sudah diremasnya menjadi bulatan kecil itu, di tempat sampah. Lalu dengan kasar pula dia menghempaskan pantatnya, duduk disisi sahabatnya.

"Arapa'a, Man? Ma' senga' reng ngosok ba'na, sakaloarra dheri dhelem Kantor?. Beremma, eberi ijin  cuti Dika?" tanya Kasan, sambil mencoba menenangkannya dengan tepukan di bahunya.

~Kenapa, Man? Kok seperti orang marah kamu, sekeluarnya dari kantor? Bagaimana, diberi ijin cuti kamu?~

Yang ditanya tidak segera menjawab pertanyaan itu, malah dengan gemas menjambak-jambak rambutnya sendiri.

"Beremma ta' ngoso'a, mara. Sataon bule alako, tadhe' saare jugen amenta' cuti. Jeriya kan beni bule menta ambu alako, eh esengguh enga' rowa bi' Personaliana!" jawab Juman, masih tampak dengan wajah gemas sekali.

~Bagaimana tidak marah, coba. Setahun bekerja, tidak seharipun aku minta cuti. Ini kan bukan aku mau minta berhenti kerja, ah disangkanya begitu sama Personalia!.~

Kasan menjadi merasa aneh dengan cerita sahabatnya itu, hatinya menjadi sangat penasaran.

"Sapa se gebay soratt pengajuen cutina, Man?"

~Siapa yang membuat surat pengajuan cutinya, Man?~

"Bule menta tollong ka, Midun. Dika kan tao mon bule ta' ngarte maca noles, San."

~Aku minta tolong kepada, Midun. Kamu kan tahu aku tidak bisa baca tulis, San.~

Kasan mengangguk pelan, di kepalanya masih berkecamuk sebuah pertanyaan yang mengganggunya. Kenapa pihak perusahaan tidak memberikan ijin cuti, kepada seorang karyawan yang 10 kali menyabet predikat Karyawan Teladan itu?.

Juman adalah sosok yang lugu, satu-satunya karyawan yang berhati sangat tulus. Dia dipekerjakan di perusahaan ini bukan karena dia melamar pekerjaan, tetapi sang Pemilik Pabrik sendiri yang memberikannya pekerjaan ini. Konon, lelaki Madura itu menyelamatkan Boss pabrik ini dari sebuah perampokan berbahaya.

Lalu apa yang sedang terjadi menimpanya, sehingga ijin cuti seminggu saja sampai tidak diperbolehkan?. Kasan lalu melirik tempat sampah, dimana bekas surat permohonan cuti Juman dibuang.

"Coba ambil kembali kertas yang kamu buang tadi, Man!" perintah Kasan padanya.

"Ada apa lagi, San. Aku sudah meremas-remasnya, karena marah tadi!"

(percakapan selanjutnya sudah diterjemahkan)

"Ambil lagi saja, aku hanya ingin tahu. Apa yang sudah dituliskan Midun, didalamnya!"

"Baiklah!" jawab Juman, yang dengan segera memukan bulatan kertas itu lagi.

Kasan menerima bulatan kertas itu, kemudian membukanya dengan perlahan. Terlihat jelas apa yang tertulis didalamnya, Kasan membacanya dalam hati.

Kepada Yth:
Kepala Personalia
Pt.Winarto Jaya Sentosa
Di Tempat.

Dengan Hormat,
Yang bertandatangan di bawah ini saya;
Nama: Juman Bin Kasrit
Bagian: Kebersihan/Serbaguna
Sub Seksi: Umum

Dengan ini memohon agar kiranya diberikan ijin tidak masuk bekerja (cuti), terhitung mulai tanggal 29 Mei 2019 sampai dengan 5 Juni 2020. Keperluan: Keliling dunia.

Demikian surat permohonan ini saya buat dengan sebenarnya, harap maklum.

Nganjuk, 21 Mei 2019.
Hormat saya,

(Juman bin Kasrit)

Kasan tidak lagi bisa membendung gelak tawanya, setelah membaca sekali saja apa yang tertulis disitu. Tentu saja perbuatannya itu telah membuat Kasan terheran-heran, tetapi dia tidak mencoba menanyakannya.

"Sekarang, pergilah meminta kertas permohonan cuti lagi!" katanya, sambil dengan kesulitan menahan gelak dan tawanya.

"Kenapa harus meminta lagi, San?" tanya yang disuruh.

"Sudah, pergi ke kantor sana! Nanti ganti aku yang nulis, permohonannya!"

Dengan malas lelaki 65 tahun itu berjalan lagi menuju kantor, dia percaya Kasan tidak ingin mencelakakannya.

Sementara itu, Kasan melanjutkan tawa riangnya setelah tubuh Juman masuk kedalam kantor.

"Hahaha, Midun ada-ada saja kekonyolannya pada orang tua. Masak minta ijin cuti setahun? Keperluannya untuk keliling dunia, lagi!" Kasan tak dapan menahan kegeliannya, jika teringat bunyi surat ijin cuti Juman itu.

-Tamat-

#RWCOdop2019
#onedayonepost
#Day24

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...