Sabtu, 29 September 2018

Membalas Cinta Miyabi

Entah siapa orang yang pertama kali memanggilnya Miyabi... Kepada wanita gemuk berkulit hitam legam, yang setiap hari berkeliling menjajakan kue. Bukan hanya pemuda usil saja yang memanggilnya begitu, bapak-bapak, emak-emak,  bahkan anak kecil pun memanggilnya begitu. Sangat aneh memang, dan sangat mustahil... Membandingkan wanita dia, dengan artis adult movie Jepang itu. Seperti antara bumi dan langit, yang seorang laksana surga... Lainnya seperti neraka. Hwahahaha!!! (tawa jahat)

Konon... Wanita itu berasal dari wilayah timur Indinesia, yang secara khusus datang ke Nganjuk ini. Mencari kekasih tercintanya, yang telah merampas kehormatannya dua tahun lalu. Pencariannya sia-sia, karena dia tidak memiliki alamat serta kejelasan apapun tentang kekasihnya. Dia hanya ingat, kekasihnya pernah bercerita tentang Nganjuk. Sempat lontang-lantung selama sebulan, karena kehabisan uang... Dia tidur di emperan toko, sampai akhirnya ditolong oleh Pak Haji Winarto yang baik hati. Miyabi, dimintanya menempati bangunan bekas rukonya. Bahkan, Pak Haji Winarto yang rajin membantu sesama itu... Memberikanya modal usaha, sehingga Miyabi dapat mempertahankan hidupnya.

Setiap hari, antara jam 09:00 sampai jam 11:00... Dia berjualan di sekolah dasar, diantara para ibu yang menunggui anaknya. Pukul 13:00 dia berjualan gorengan di sudut pasar, atau kadang di halte bus antar kabupaten.

Miyabi... Sebenarnya adalah sosok yang menyenangkan, orangnya murah senyum, ramah, pandai bergaul, dan humoris. Satu lagi, logat bahasanya yang khas orang timur itu... Selalu memancing senyum, dan tawa pendengarnya. Semua orang dipanggilnya Ipar (kakak), ibu-ibu dipanggilnya mama, dan memanggil orang tua dengan Oma Opa. Terdengar hebat sih, tapi terasa aneh. Pak Partijan jadi Papa Partijan, Ibu Wakinah jadi Mama Wakinah.

"Hei... Papa Partijan, benar jadikah kau menikahi... Mama Wakinah, kemarin itu?"

"Opa Selamet (Slamet).. kau mau belikah gorenganku,ini"

"Ipar... antarkanlah aku, menuju ke Gereja hari Minggu"

Hanya seorang saja yang tidak dipanggilnya seperti itu, dia adalah Mukiyo sang pujaan hati. Miyabi dan Mukiyo... Mereka dipertemukan dalam ketidak sengajaan, ketika sama-sama mengikuti Kebaktian di Gereja. Mukiyo, adalah satu-satunya laki-laki yang mendengarkanya, satu-satunya laki-laki yang tidak menertawakan logat bicaranya, satu-satunya laki-laki yang sangat mungkin menjadi kekasihnya... Karena mereka seiman. Miyabi dan Mukiyo beragama Nasrani, nama asli Miyabi adalah Bernardetta Saba Omen, dan nama Mukiyo adalah Petrus Ngademin. Petrus Ngademin dipanggil Mukiyo, karena pernah menjadi gelandangan di kota ini... Sebelum Haji Winarto, mempercayakan sehektar sawahnya sawahnya kepada dirinya.

Setiap selesai berjualan, Miyabi selalu menyempatkan diri mampir di rumah Mukiyo. Jika Mukiyo belum pulang dari bekerja, dia akan menunggu sambil tiduran di teras rumah itu.

Hari itu sangat istimewa, dia membawakan makanan untuk kekasihnya itu. Semangkuk Papeda yang dibuatnya dari tepung sagu, dan semangkuk sayur ikan bumbu kuning khas daerahnya. Dia sudah membayangkan... Mukiyo akan menyukai hasil masakannya itu, dan pujian-pujian yang indah akan diterimanya nanti. Senyum Miyabi terhenti, ia melihat di kejauhan... Mukiyo sedang membonceng seorang wanita. Miyabi berdiri dari tempatnya, menyambut kedatangan lelaki itu. Memandang cemburu sang wanita, wanita itupun memandanginya dengan tajam.

"Sudah lama berada di sini, Bi?" tanya Mukiyo seraya menyandarkan sepeda tuanya di pohon Turi.

"Sudah lama, Kakak" jawab Miyabi sambil melempar pandang, pada wanita itu, "Siapa wanita ini, Kakak. Mengapa dia bersamamu, Kakak?"

Mukiyo mendekati wanita itu, menggamit lenganya... Mengajaknya mendekati Miyabi, lalu menyuruhnya bersalaman.

"Inilah adikku satu-satunya," kata Mukiyo lembut

"Elisabeth Wantiyem," kata wanita itu lembut.

"Bernardetta Saba Omen," sambut Miyabi sambil memeluk calon adik iparnya itu penuh haru, ia menyesal telah berprasangka buruk kepadanya.Mereka bertiga pun segera duduk bersila, diantara makanan yang dibawakan Miyabi tadi. Semua mengambil posisi berdo'a, Mukiyo pun mulai membacakan do'anya :

"Tuhan kami yang di surga, terima kasih atas makanan ini. terima kasih telah memberikan kami kesehatan, terima kasih telah memelihara hidup kami... Dengan nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus, dimuliakanlah namaMu. Amen"

Mereka pun menikmati hidangan sederhana itu, dengan penuh rasa syukur. Mukiyo tersenyum bangga, karena dapat membalas cinta Miyabi yang sungguh besar kepadanya.



Nganjuk, 30 September 2018

Perempuan Banjar Paseban The Series (Bagian 2)

Setelah pesta meriah yang menghabiskan waktunya semalam, gadis itu terbangun oleh suara waker... Di meja samping tempat tidurnya. Dia menggeliatkan tubuhnya, yang masih terbalut selimut tebalnya.

"Alhamdulillaah barokallah fii umriik..." terdengar selirik do'a dari bibir mungilnya, mengiringi gerakanya turun dari tempat tidurnya.

Fathimah mengecek pesan di gawainya, 916 pesan di grup whatsapp. Dia tersenyum membayangkan, sepanjang malam mereka... Teman-temannya saling berkirim pesan, sementara dia tertidur pulas karena kekelahan. Kemudian matanya tertuju pada sebuah foto berbingkai emas, yang selalu terpajang di meja kerjanya... Foto kedua orang tuanya, mereka sudah meninggal dalam sebuah kecelakaan 5 tahun lalu. Diambilnya foto itu, lalu dikecupnya,

"I miss you Pa... Ma... Miss You"

keasyikan mengenang orang tuanya, terganggu oleh suara panggilan di handphonenya. Susanti, sekretaris pribadinya memanggil.

"Assalamualaikuum... Hai San, ada apa... Sepagi ini sudah meneleponku?"

"Waalaikumusalaam... ini sudah siang kelleees... Cuma mau ngingetin, kamu ada meeting dengan sponsor jam 10 ini,"

"Ini jam berapa?" tiba-tiba sesaat dia menjadi konyol, karena sebemarnya dia sedang menatap jam dinding di kamarnya. Jam 09:11 menit?!

Fathimah membuang gawainya ke atas springbed... Berlari menuju kamar mandi, gerakanya seperti kung fu panda. Yang masih tersambung di jaringan itu, terdengar mengomel dengan gemasnya...

"Sekarang apa? Berlari ke kamar mandi lagi? Bergaya seperti kungfu panda lagi? Fathiiiiim... Kesini Lu... Gue siram pakai air cucian nih!!!" Fathim yg samar-samar masih mendengar celoteh sekretarisnya, terkekeh-kekeh diantara senandungnya yang cempreng.

***
Pukul 09:45 menit... Fathimah berlarian dengan gamis hitamnya, menyusuri lorong-lorong Super Press... Beberapa sapaan dibalasnya dengan gerakan tangan, kecuali salam yang diucapkan... dia membalasnya pula dwngan salam. Ruang Redaksi dilewatinya, meninggalkan rerasan teman-temannya.

"Wah, pelari bergamis lewat..."

"Ketinggalan waktu shalat, Bu?"

"Pasti terlambat lagi,"

"Dia pasti diomelin sekretarisnya yang Killer"

"Hahahaha!!!" mereka pun tetgelak bersama, Fathimah hanya tersenyum simpul... itulah teman-temanya, yang selalu menyemangatinya.

Diujung lorong, di depan pintu ruang meeting sudah berdiri sekretarisnya dengan gelisah... Susanti segera menyambutnya dengan omelan.

"Huh... Lain kali, jangan sok pesta-pestaan lagi. Kesiniin mapnya, tuh para donatur dan sponsor sudah menunggu,"

Fathim membuat isyarat dengan tangannya pada Susanti, "Aku tidak ingin berdebat denganmu kali ini, aku kehabisan nafas!" mungkin, seperti itu arti isyarat gerakan tangannya. Mereka berdua pun, segera memasuki ruang meeting. Ketika pintu ruang meeting terbuka, Fathimah mengucao salam dengan tegas.

"Assalamualaikum!" 

"Waalaikumusalaam!" terdengar sambutan dari beberapa di ruangan itu, Fathimah mengarahkan pandanganya ke semus yang hadir, karena dia mendengar suata has dari seseorang... seseorang dari masa lalunya, seseorang yang memporak porandakan hidupnya.

Yah, Burhannudin Abdilah ada diantara yang duduk disana. Branch Manager dari Perusahaan Multinasional, yang menjadi rekanan perusahaannya. Seseorang yang selama setahun lamanya, seakan pasti akan menjadi Imam rumah tangganya... tapi kemudian malah meninggalkannya, dan menikahi Sekretarisnya sendiri. Tak seyitik pun dia membenci lelaki itu. meskipun hatinya hancur berkeping-keping... dia tetap meyakini itu semua adalah kehendak Alloh semata.

'Maafkan keterlambatan saya, semoga tidak mengganggu jalanya rapat ini," berkata begitu dia memandang Pak Ridwan managernya, yang seakan tak perduli dengan tatapan darinya.

"Baiklah rapat kita mulai saja, akan saya perkenalkan kepada kita semua... yang hadir pada saat ini," Pak Ridwan membuka pembicaraan, "Diujung sebelah kiri adalah Bapak Yonathan Ftisly... Aree Manager PT. Nusa Tiga. Didebelah beliau, adalah Ibu Maria Natawijaya... beliau Manager Penyiaran televisi RTPI. Diujung sebelah kanan adalah Bapak Burhannudin Abdilah, Branch Manager PT. MULTI JASA RAYA. Di sebelah beliau... Ibu Martini Said dari dari PT.CELLKOMSEL. Disebelah saya adalah  Fathimah Annisa, senior Direksi di perusahaan kami," begitulah meeting pun dimulai, mereka membicatakan tentang peluang proyek ini. Dan yang seperti Fathimah haraokan, akhirnya semua rekanan menyetujui... untuk membantu proyek ini, denhan catatan-catatan yang saling mengumtungkan tentunua.


(Bersambung)

Kamis, 27 September 2018

Penggibah Grup Kopkang

Terdengar bunyi notifikasi dari hape jadulku, aku melihat tanda titik hijau di grup Kopkang (Komunitas Penulis Kota Angin/Kabupaten Nganjuk). Kemudian aku membukanya, pesan dari Cita Sonya Anggraini anggota termuda Kopkang... baru 18 tahun usianya, dari rata-rata usia anggota lain yang 22 tahun sampai 48 tahun (aku).

[00:01 29/09/2018] Cita Kopkang: Belum tidur...

[00:01 29/09/2018] Win: Kamu nanya?

[00:02 29/09/2018] Cita Kopkang: Iya nanya... Kamu belum tidur???

[00:02 29/09/2018] Win: Belum...

[00:02 29/09/2018] Cita Kopkang: Jutek bener PMS yah?

[00:03 29/09/2018] Ella Kopkang: Ciyeee... panggilnya Kamu ya sekarang @Cita Kopkang ... Tuh Pak Win tinggal nembak aja...

[00:03 29/09/2018] Cita Kopkang: Apaan sih Mbak Ella...

[00:03 29/00/2018] Ella Kopkang: Sudahlah aku dukung sama pak ketu...

[00:04 29/09/2018] Cita Kopkang: Sudah ada yg punya...

[00:04 29/09/2018] Ella Kopkang: Siapa?

[00:04 29/09/2028] Cita Kopkang: Dia

[00:05 29/09/2018] Ella Kopkang: Tikung saja...hahaha... colek Pak @Win apa sudah tidur pak ketu...

[00:05 29/09/2018] Cita Kopkang: Gak tau dari tadi kaya lagi gak semangat...

[00:06 29/09/2018] Ella Kopkang: Ciyeee... yg perhatian sama pak ketu...

[00:06 29/09/2018] Fera Kopkang: Eh ada apa nih rame-rame?

[00:08 29/09/2018] Cita Kopkang: Yang punya muncul, kabuuur ah...

[00:08 29/09/2018] Ella Kopkang: Nih si Cita lagi naksir pak ketu... xixixi

[00:09 29/09/2019] Fera Kopkang: Yang punya apa? Kenapa kabur? @Cita Kopkang

[00:09 29/09/2018] Fera Kopkang: Wow Really???

[00:11 29/09/2018] Cita Kopkang: Bohong

[00:12 29/09/2018] Ella Kopkang: Iya... baca saja japrianya ke aku... semua tentang Pak Win begini padaku lah... Pak Win tersenyum padaku lah... Pak Win mau begini lah... xixixi... lain kali jangan japri aku yah, aku kan gak amanah orangnya xixixi...

[00:14 29/09/2018] Fera Kopkang: Hwakakakaak...

[00:15 29/09/2018] Cita Kopkang: Dasar Embeeer !!! ada Mbak @Fera Kopkang nih... punya hati dong Mbak

[00:16 29/09/2018] Fera Kopkang: ???

[00:16 29/09/2918] Ella Kopkang: Emang kenapa? emang ada apa kamu sama Pak Win @Fera Kopkang?

[00:17 29/09/2018] Fera Kopkang: Eh gak ada apa-apa swer deh...

[00:18 29/09/2018] Ella Kopkang: Ngaco  tuh @Cita Kopkang... dia pikir kamu jadian sama ketu

[00:19 29/09/2018] Cita Kopkang: ???

[00:20 29/09/2018] Fera Kopkang: Jangan gosip lsh... udah ah aku pamit ya sudah ngantuk nin... Bye

[00:20 29/09/2018] Ella Kopkang: Eit tunggu dulu... pertegas konfirmasi-nya, kamu tidak ada hubungan apa pun sama Pak Win kan?

[00:20 29/09/2018] Cita Kopkang: Aku juga pamit

[00:22 29/09/2018] Fera Kopkang: Apa sih bawel? Iya aku sama Pak Win tidak ada hubungan apa-apa... Bye comel, see you tomorrow

[00:23 29/09/2018] Cita Kopkang: Aku gak dipamitin?

[00:25 29/09/2018] Ella Kopkang: Minggat dia... kamu masih ada Cit?

[00:25 29/09/2018] Cita Kopkang: huum

[00:26 29/09/2018] Fera Kopkang: Tuh kan... Pak Win masih jomblo Cit... sikat aja

[00:28 29/09/2018] Cita Kopkang: Emang WC Mbak...

[00:30 29/09/2018] Win: INI KAN GRUP KOPKANG, ADA 219 ORANG YANG BISA MEMBACA OBROLAN KALIAN. APA KALIAN TIDAK MALU, MENGGIBAH SAMPAI LARUT BEGINI? APA KALIAN INGIN AKU KICK DARI GRUP?!

[00:30 29/09/2018] Fera Kopkang: Ampun Ketua...

[00:30 29/09/2018] Cita Kopkang: Maaf Pak...


***


Sepi, sunyi, senyap... Aku terkekeh dalam hati, membayangkan betapa ketakutannya mereka saat ini. Aku bahkan tidak tahu lagi, harus bangga atau malu dengan obrolan mereka ini? Karena jelas, semua anggota akan dapat membacanya. Anggota tertua menjalin hubungan dengan anggota termuda, apa tidak heboh nanti anggota yang Janda-janda? Jadi bingung sendiri... Hapus tidak ya? Memang susah jadi orang ganteng, dimana-mana direbutin cewe. Hwakakakakak.


Nganjuk, 27 Septrmber 2018

Rabu, 26 September 2018

Perempuan Banjar Paseban The Series (Bagian 1)

Tahun 2000.
Kehebohan terjadi di semua massmedia, media televisi, Surat Kabar, bahkan Stasiun Radio pun turut mengabarkan, tentang "Menghilangnya Konglomerat dan Milyuner Muslim, Salam Salim". Seorang milyuner, putra tunggal Konglomerat almarhum Bakri Salim... Yang terkenal sebagai Raja Perhotelan, Raja Perkapalan, Raja Pertambangan, Raja Real Estate, dan Raja Perindustrian, pemilik puluhan pabrik di seantero Nusantara. Sebuah Harian Ekonomi Nasional melansir, kekayaaan Bakri Salim adalah 2,3 Triliun Rupiah. Dan sepeninggalnya, harta kekayaanya itu jatuh ke tangan Putra Tunggalnya, Salam Salim.

Salam Salim tak seperti Ayahnya, tak banyak media yang dapat meliput kehidupanya. Keberadaanya, hanya terungkap dari wawancara ayahnya di salah satu Stasiun Televisi swasta Nasional. Tidak ada seorang pun yang tahu wajahnya, selain foto kelulusanya dari Harvard University beberapa tahun silam... Setelah seorang wartawan senior Amerika, membocorkanya untuk media Indonesia.

Dan sosok misterius itu menghilang, setelah semua asset warisanya dikabarkan terjual.. Dan beralih ke tangan Jack Na sang super konglomerat itu. Dengan mengantungi kekayaan sebanyak itu, Salam Salim bisa berada di mana saja... Berfoya-foya sepanjang hidupnya.

Keberadaanya Pria yang diduga berumur 40 Tahun itu tak terendus, ia bagai hilang ditelan bumi. Polisi memang tidak melakukan penyelidikan, atau pun melakukan pencarian... Karena tak seorang keluarganya pun, yang melaporkan kehilanganya. Dan memang tidak ada yang tahu, apakah dia masih mempunyai keluarga lainnya. Tetapi FBI telah melansir pernyataan, melalui juru bicaranya... Yang menyatakan, bahwa Tuan Salam Salim dalam kondisi yang baik-baik saja. Dimana keberadaanya kini, tidak ada yang bisa menjawabnya.

***

Tahun 2015.
Ruang redaksi Super Press terlihat begitu sibuknya, bunyi benda bergesek, bunyi printer, bunyi mesin foto copy, bunyi sepatu dan high hill yang menghentak lantai, begitu kontras dengan suara percakapan para karyawannya.

Sebuah teriakan dari arah meja di pojok ruangan, membuat suasana seketika menjadi sunyi senyap,

"Fatim! Channel 7!"

Fatimah sudah memahami arti teriakan, dan isyarat dari sejawatnya itu. Dengan cekatan, diraihnya remote dari atas meja kerjanya... Kemudian mengganti channel televisi di ruangan itu. Seketika semua yang ada di ruangan itu terdiam, khusuk menyimak berita yang sedang ditayangkan. Pembawa acara, sedang membacakan berita terkini.

"... kawasan berpagar, itu disinyalir adalah tempat bermukimnya komunitas atau golongan penduduk... " 

tiba-tiba seseorang mencolek pundaknya, saat menoleh... ternyata asistenya, Roland.

"Ada apa, Land?" yang ditanya malah mengarahkan telunjuknya, ke ruangan Direktur di ujung ruangan.

"Dipanggil Boss... Buruan kesana, daripada dia keluar dan teriak-teriak," kata Roland, setengah menarik bahu Fathimah. Dia adalah Wartawati senior di Kantor Pemberitaan itu, meskipun usianya masih 25 tahun. Wanita Jawa itu terkesan penuh misteri, selalu mengenakan gamis, bercadar, dan berkaca mata. Nyaris orang tidak pernah tahu, secantik apa wajahnya jika tidak berhijab. Bahkan Susanti, sekretaris pribadinya pun belum pernah melihatnya sekali saja tidak berhijab.

Fathimah lalu berjalan menuju ruang Direktur, entah mengapa dia berfikir harus membawa serta surat proposal... Yang beberapa hari lalu, pernah diajukanya pada Direktur. Ketika itu Pak Ridwan menolak proposalnya, meminta agar merevisinya.

Sampai di depan pintu ruangan direktur ia berhenti, kemudian mengetuk pintunya tiga kali.

"Masuk!" terdengar Pak Ridwan mempersilahkanya masuk, diapun membuka pintu itu.

"Pak Ridwan memanggil saya?" tanya Fathimah sambil berjalan, mendekati meja direkturnya itu.

"Duduklah... Kamu bawa proposal proyekmu kemarin, itu?"

Tergesa, dia mengulurkan map berwarna merah itu. Kemudian, dia duduk diseberang meja. Memandang tumpukan map di meja, yang mungkin juga proposal proyek rekan Wartawannya. Sesekali, pandanganya mengarah pada Pak Ridwan yang tampak sangat serius membaca proposalnya itu.

"Kamu serius, ingin melakukan expedisi ini? Kamu yakin akan mendapatkan berita potensial, dengan proyekmu ini?" pria itu mengeryitkan dahinya, sambil mencoba meraba kesungguhan di wajah anak buahnya.

"Saya yakin, Pak... sudah dua bulan ini saya melakukan observasi, dan saya yakin akan keberhasilan proyek ini,"

"Baiklah, saya setujui proyek kamu. Saya juga setujui juga, permintaan kamu... Atas sarana pendukungmu, kamu boleh memakai kendaraan perusahaan. Saya setujui juga semua team kamu, 1 orang driver, 1 orang camerament, 1 orang assistant, dan kenapa kamu butuh dokter juga?" Pak Ridwan, kembali memandang wajah Fathimah dengan serius.

"Itu... Karena yang akan kami datangi adalah obyek berbahaya, Pak. Kami harus mulai berjalan kaki, sejauh 20 kilometer dari obyek tersebut, Pak. Menembus hutan pribadi, yang bahkan menurut sumber saya... Penduduk sekitar tempat itu pun, tidak pernah memasukinya,"

"Baiklah... Urus akomodasinya sama Erina, sekarang kamu boleh keluar,"

"Alhamdulillah... Terima kasih Pak, saya berjanji takkan mengecewakan kepercayaan, Pak Ridwan," dengan kedua tangan didada dia menghaturkan terima kasihnya, Pak Ridwan pun telah mahaminya. Satu-satunya karyawan yang belum pernah menyalaminya adalah Fathimah Nabila, tetapi dia dapat mengerti prinsip bawahannya itu.

Dengan wajah girang... Dengan langkah tergesa, dia keluar dari ruangan itu. Kemudian berlari menuju ruangan redaksi, dan berteriak...

"Yeeesss... Alhamdulillaah... Proyekku disetujui!" kalau saja tidak ingat penampilanya yg berhijab, dia pasti sudah menari di atas meja kerjanya. Semua di ruangan itu ,seperti ikut merasakan kegembiraanya.

"Kita rayakan keberhasilan proyekmu ini, Tim. Nanti malam, kita pesta bersama-sama!" teriak Roland disambut tepuk tangan, dari teman-temannya. Fathimah, mau tidak mau hanya bisa mengiyakan pernyataam asistenya itu dengan anggukan kepalanya.

(bersambung)

Nganjuk, 27 September 2018

Selasa, 25 September 2018

Wong Jowo Menentang Shakespeare

Apa arti sebuah nama? Begitu kata Shakespeare.Pernyataan ini, tentu saja akan dibantah keras oleh Wong Jowo (Orang Jawa), dimana nama masih sangat dimaknai dan di-sakral-kan. Wong Jowo tidak serta merta menamakan buah hatinya, hanya karena nama yang indah semata. Karena, bagi orang Jawa... Nama, bukan hanya tetenger (tanda), atau julukan (panggilan) saja. Lebih dari itu, nama adalah do'a dan harapan orang tua... Kepada anak yang akan diberi nama, dalam mengarungi kehidupanya kelak. Jadi, setiap nama harus berisi do'a dan pengharapan, tidak asal keren dan bagus saja.

Jaman dulu, orang jawa dapat dikenali hanya dari namanya saja. Jaman sekarang, kebisaan ini sudah mustahil terjadi. Karena kearifan ini, sudah diabaikan oleh wong Jowo modern. Nama anak mereka sudah lepas dari kejawaanya, Ahmad, Muhammad, Veronika, Novita, Ferry, Jessika,  mungkin karena telah tertelan modernisasi... Atau karena sudah tidak memahami, ke-adi luhung-an (keunggulan) pemberian nama.

Pada tradisi orang Jawa, pemberian nama seorang bayi adalah sakral, sebegitu penting... Sehingga harus diadakan bancakan sepasaran (upacara hari kelima kelahiran bayi).
Pada hari kelima usia bayi, dia akan diberikan nama oleh orang tuanya. Disaksikan kerabat dekat, atau kerabat jauh yang sengaja didatangkan. Mengundang tetangga, kenalan, handai taulan, dan juga tokoh masyarakat setempat. Para undangan tersebutlah, yang akan menyaksikan pemberian nama itu.

Biasanya, dalam acara sepasaran itu diselenggarakan pembacaan tahlil atau barzanzi. Sebuah tumpeng, dan berbagai jajanan pasar pun dihidangkan. Dan acara puncaknya, adalah pemberiam nama sang bayi. Ditutup dengan do'a selamat, dan makan bersama.

Untuk upacara sepasaran ini, biasanya dibarengi dengan Akikah. Untuk bayi perempuan sisembelihkan seekor kambing, dan yang laki-laki dua ekor kambing. Bagi yang tidak mampu, mereka hanya memotong empat sampai lima ekor ayam.

Ritual pemberian nama ini, sangat penting bagi wong Jowo. Sebuah keharusan, dan harus dilaksanakan... Atau dalam kepercayaan mereka, akan berdampak buruk jika tidak dilaksanakan. Terhadap kelangsungan hidup, dan keberuntungan sang anak di kemudian hari.

Mungkin hanya sebuah nama, tetapi wong Jowo tidak mau menggampangkanya. Mereka sangat berkewajiban, memberikan nama yang baik kepada anaknya. Sebuah nama yang diharapkan dapat nyengkuyung (mendukung) keberadaan sang anak di dunia ini. Sebuah tekad yang bijaksana, meskipun mungkin falsafah ini telah mulai memudar.

Dibawah ini adalah contoh nama wong Jowo yang sarat makna :
1.  Sukarno (pendengaran baik)
2.  Suharto (kesabaran baik)
3.  Sukarwo (pembawaan baik)
4.  Sujiwo (jiwa baik)
5.  Winarto (keselamatan)
6.  Susilo (sopan santun)
7.  Bambang (putra/pria)
8.  Yudhoyono (kereta perang)
9.  Prabowo (kesaktian)
10.Subianto (pertolongan baik)
11.Joko (putra/pemuda)
12.Widodo (selamat)
13.Sri (benih unggul)
14.Puji (do'a)
15.Astutik (keselamatan)

Jadi, setiap wong Jowo memiliki nama yang pasti memiliki makna, mengandung harapan, dan do'a. Bagaimana dengan nama Anda?

Nganjuk, 27 September 2018

Sajak.Asmara

ingin bertemu denganya
hanya berdua
bertatap mata
empat mata
di ruang yang tak berkaca
tidak bergapura
tanpa jendela
beratap angkasa
berlantai bantala
berterang surya

ingin ungkapkan rasa
gelegak asmara
gelora di dada
detak debarnya
ukiran tresna
di relung jiwa
bak syair pujangga
tertorehkan nyata
untukmu saja
adinda

inilah sesungguhya
ku hentikan kembara
lah temukan teguh cinta
tanpa dinyana
tidak terkira
hanya kesungguhan pula
mendambamu juwita
menjadi separuh nyawa
selamanya

Nganjuk, 26 September 2018

Anis Si Camar

"Aniiis! Kesini cepat!!" Haji Kabul memanggil anak gadisnya, yang sedang bermain handpbone di bawah pohon mangga. Yang dipanggil cuek saja, tidak segera berdiri... hanya menoleh dan menyahut, "Apa sih, Bah? Baru juga sampai... Sudah dipanggil ini,"

Haji Kabul pun beranjak dari tempatnya semula, sedikit tergesa dia mendatangi anaknya.

"He bocah gemblung! Kamu habis bikin onar lagi, ya?!" belum juga sampai ke tempat anaknya, mulutnya sudah kembali menghardik anak semata wayangnya itu.

"Onar apaan, Bah?" kali ini Anis menatap langsung mata ayahnya.

"Onar apa? Onar apa?... Kamu habis berkelahi lagi di pasar, kan?!"

"Itu bukan berkelahi, Bah. Aku lagi menolong penumpang yang kecopetan," sanggah Anis, sambil masih menatap wajah ayahnya, "Emang, siapa yang ngasih tahu Abah?"

"Haji Faruk... Yang jual kelontong di pasar itu, dia bilang orang yang kamu hajar itu... Sekarang masuk Puskesmas!" Haji Kabul, menggaruk kepala gundulnya dengan perasaan gemas, "Astaghfirullaahaladziim... Kenapa kamu jadi sebadung ini, Nak? Dulu semasa Ibumu masih hidup, tingkahmu tidak seperti ini,"

Anis tiba-tiba berdiri tepat di depan muka ayahnya, memandang ayahnya dengan pandangan marah.

"Abah jangan bawa-bawa nama Umi lagi, dia meninggal juga karena kesalahan Abah!" berkata begitu, Anis bergegas menuju moge (motor gede) yang terparkir di dekatnya. Sebentar kemudian, sepeda motor itu sudah meraung-raung dengan kerasnya... Meninggalkan rumah itu, menuju ke arah bukit. Tinggalah, Haji Kabul dengan perasaan marah dan kecewanya. Suara moge itu perlahan menghilang, bayangan tubuh anaknya pun sudah tak terlihat lagi.
***
Ternyata, Anis tidak benar-benar mengarahkan motornya menuju bukit. Di sebuah warung dia berhenti, warung Mak Kasiyah si Rondho Royal (jajanan dari singkong, yang dalamnya berisi gula jawa). Warung Mak Kasiyah memang bukan warung satu-satunya di desanya, tetapi warung yang paling ramai iya. Warung di ujung desa itu, adalah tempat berkumpulnya Anis dan teman-temannya... Sesama tukang ojek.

Sampai di sana, ia disambut dengan celoteh para sahabatnya, seperti layaknya anak buah menyambut Boss.

"Ini dia jagoan kita datang," kata Mahfud sambil bersikap mempersilahkan duduk padanya.

"Mak ! Kopi pahit untuk Boss Camar!" teriak Badrun si keribo

"Aku juga, Mak! Kopi mukacina! (mocachino)" Edrik si kerempeng ikut memesan

"Hahaha!" merekapun tergelak bersama, kecuali Camar yang hanya tersenyum kecut. Dan teman-temannya menyadari itu, mereka segera mengerubutinya dengan penasaran. Camar adalah gadis yang ceria, biasanya.

"Ada apa, Mar? Lecek bener wajahmu ?"

"Dimarahi Abah lagi?"

"Atau... Peristiwa di pasar tadi, jadi urusan besar?" silih berganti, temannya mencari tahu, tentang kecemberutanya itu.

"Sudahlah, kalian ambil pesanan kalian sana... Aku mau ke bengkel Bogang dulu, benerin rem motor," berkata begitu, Anis atau Camar meninggalkan warung Mak Kasiyah, "Pesanan mereka aku yang bayar, Mak!"

"Iya! Iya!" sahut Mak Kasiyah.
Sepeninggal Camar, teman-temannya belum berhenti bertanya, tentang kemurungan sahabatnya itu. Anis atau Camar, memang bekerja sebagai tukang ojek. Satu-satunya tukang ojek perempuan di Kecamatanya. Dia juga dikenal sebagai Jawara Wanita, didikan dari almarhum Pamanya... Haji Kardun Si Kebal dari Gunung Renteng (nama desa Anis).
Sebagai tukan ojek... Dia hanya mau mengantarkan Wanita dan Anak Kecil saja, pemuda, Pelajar, dan Bapak - bapak adalah bagian teman-temannya.

***

Entah mengapa, pertengkaran dengan ayahnya tadi menjadi fikiranya. Camar memang berubah semenjak kepergian Ibunya. Di dalam fikiranya, selalu menyalahkan ayahnya atas kematian ibunya. Camar lupa, bahwasanya... Jodoh, rejeki, dan kematian, adalah mutlak urusan Allah. Dan dia baru menyadari itu, perasaan bersalah seketika menyelimuti hatinya.

Dipacunya sepeda motor itu melintasi jalan desa, debu beterbangan memenuhi sepanjang jalan. Camar semakin berdebar, ketika kendaraanya semakin mendekati halaman rumahnya. Dari kejauhan, ia melihat ayahnya sedang memberi makan ayam-ayamnya. Sepeda motor dia parkir di baqah pohon mangga, kemudian berlari ke arah ayahnya... menubruk kakinya, memeluk kakinya diiringi tangisanya,

"Abah... Maafkan Anis, Bah. Selama ini, anis telah menyakiti hati, Abah,"
walaupun terkejut dengan peristiwa yang tidak diduganya itu, Haji Kabul dapat memaklumi situasi tersebut. Dia membelai kepala anaknya, dan berkata

"Abah maafkan, Nak. Abah sudah memaafkanmu, sejak awal kamu membenci Abah," Haji Kabul menarik tubuh Anis dalam pelukanya, "Sudah, lupakanlah semuanya... Abah hanya meminta satu hal saja padamu, kembalilah jalankan Shalat lima waktumu... Hanya itu"

Anis mengangguk pasti, ya... dia akan menjalankan hal baik, yang dahulu selalu diajarkan mendiang ibunya. Menjalankan Ibadah, mengaji, taddarus, pergi ke Masjid, yang selama ini dia tinggalkan.

"Tetima kasih, Abah" bisiknya lirih, mereka pun berpelukan memasuki rumah... Penuh kasih dan cinta.

Nganjuk, 26 September 2018
Postingan Pengganti :
#TIDAK_ADA_LAGI_YANG_DAPAT_KUKATAKAN

Minggu, 23 September 2018

Murtad

Suparman menengadah menuju langit
dengan pandangan marah
dengan tatapan benci
seolah dia sedang menantang mata Tuhannya

"Ayo... berikan cobaanMu pada yang hina ini!!!"

Teriakanya memendam rasa sakit
Bukit wingit pepohonanya berderit
Seakan turut menjerit.

Suparman baru saja kehilangan
anak semata wayangnya, binasa
oleh petir yang Maha Kuasa.

"Tuhan! Sekejam apakah kutukanmu? Selalim apakah murkamu? Timpakan padaku Tuhan!!! "

"Aku sudah bosan menjalani hidup ini! Aku sudah jengah mengikuti perintahMu!"

"Selama ini aku bersujud ... berharap padaMu,
kasihanilah keluargaku, sayangilah keluargaku, cintailah keluargaku"

"Tetapi Kau binasakan anakku!"
"Anak semata wayangku!"
"Mengapa, Tuhan?!"

Tangisnya pun pecah berderai. Seluruh alam berkabung. Pepohonan kaku tak bergerak...
matahari terdiam tertutup awan...
angin berhenti bertiup....

"Murtadlah aku padaMu!"
Suparman mengangkat sumpahnya

Suminah berlarian menembus ilalang. Kedua telapak kakinya berdarah oleh bebatuan,
dan segala onak duri penghalang. Terjatuh bergulung dan bangkit lagi.

Bersimpuh dia di kaki suaminya. Air matanya membasuh kaki Suparman,
kencang memeluk kedua kaki sang imam.

"Istighfar Kang!!!" 

Jeritnya memohon didengarkan

"Sadarlah... ini hanya ujian!"

"Anak ini mati sebagai pilihan Tuhan,"

Suparman terdiam. Menyadari lah buta karena kesedihan. Khilaf karena remuknya kehilangan. Terduduk lemas bagai tiada bertulang. Tangisnya pecah dalam pelukan istri tersayang.

"Tuhan... mohon maaf atas dosaku, khilafku, kesalahanku,  penentanganku, aku bersujud kepadaMu!"

Belum usai permohonanya, ketika berhentilah detak jantungnya. Berhentilah nafasnya. Putuslah nyawa dalam do'anya. Matilah dia dalam pelukan istri tercintanya.

Suminah menjeriti kepergianya. Tangisnya bagaikan derasnya hujan.


Alampun kembali berduka.
Menggamit tubuh mereka dalam keremangan senja.
Menghantar gulita menyelimuti tubuh-tubuh mereka.

Sabtu, 22 September 2018

Amarah Namaku

Namaku Amarah Bensikwi, nama pemberian almarhumah Ibuku 30 tahun yang lalu. Ibuku meninggal ketika aku masih bayi, karena sakit yang dideritanya. Bapakku juga meninggal, tak lama setelah kepergian Ibuku. Sepeninggal mereka, aku diasuh dan dibesarkan oleh Nenekku. Mungkin terdengar seperti sebuah nama yang aneh, tetapi kandungan kenangan dalam nama itu sangatlah berkesan di hatiku. Ketika kutanyakan perihal nama itu, selalu jawaban Nenek membuatku tertawa terbahak - bahak. 


Kata Nenek, semasa muda Ibuku adalah penggemar sinetron pada jaman itu. Dia dan teman - teman perempuan sebayanya, tidak pernah sehari pun melewatkan tontonan gratis itu. Meskipun mereka harus berjalan satu kilometer, untuk dapat pergi menontonya.


Satu - satunya pemilik televisi saat itu adalah Babah Cui, pedagang sembako kaya raya keturunan tionghwa. Rumahnya diujung Desa Manyar Pitu ini, di depanya adalah jalan aspal satu - satunya menuju Kecamatan Karang Adem.


Juga satu - satunya rumah yg sudah dialiri listrik, menyalur secara pribadi dari Kota Kecamatan yang berjarak lima kilometer. Konon katanya dulu, biaya menyalurnya saja seharga dua ekor sapi dewasa.


Pada jam penayangan sinetron, oleh Babah Cui televisi dipindahkan ke teras Tokonya. Para penonton sudah duduk rapi di atas tikar yang mereka bawa dari rumah, berdesak - desakan ingin bisa menonton lebih dekat. Kata Pakdhe (uwak) Kardi kakak kandung Ibuku, orang yang menonton bisa sampai 50 orang. Tua muda, Pria Wanita, bahkan Anak - anak, dan Bayi dalam gendongan ibunya. Tetapi menurut hemat Pak Modin (ulama Desa), sebaikya penonton dipisah antara Pria dan Wanita. Jadilah mereka dipisahkan, dengan karung bekas yang dijahit memanjang.


Adegan demi adegan pun mereka tonton dengan seksama, meskipun hampir semua penonton adalah buta huruf, bahkan tidak mengerti Bahasa Indonesia. Jika tampil pemeran wanita yang cantik, para penonton pria bersuit - suit... ada yang berteriak menanyakan nama sang artis, 


" Bah Cui, itu siapa namanya ? " Babah Cui pun akan menjawabya dengan sabar,


 " Yang ini yha... ini Tamara Blesinsky... " nama yang disebut Babah Cui memang benar, tetapi jadi terdengar lain di telinga para penonton yang berisik itu,


" Siapa ?, Tambara Bensikwi ? "


" Bukan..., Ambara Benswiki... ? "


" Waduh... dasar budheg (tuli), Babah bilang namanya Amarah Benkwiki... " kata seseorang, yang agak terdepan tempat duduknya. Nah, nama itulah yang ikut di amini oleh ibuku, terpatri dalam ingatanya.


Ibu bertemu Bapakku juga di tempat ini, Bapak orang dari Desa Manyar Kuncen tetangga Desaku. Bapak dan teman - temanya, selalu mengantar Ibu dan teman - temanya pulang ke rumah seuaai menonton. Lambat laun, mereka pun saling jatuh cinta. Bapak melamar Ibuku tahun 1985, dan menikahinya kemudian di tahun yang sama. Maka lahirlah aku di tahun 1986, di tanggal 25 bulanya November. Seorang bayi perempuan, yang cantik dan menggemaskan. Itu akuuuu...


Begitu sudah ada kepastian yang lahir perempuan, maja setelah 5 harinya diselenggarakanlah tradisi pemberian nama. Itulah pertengkaran pertama antara Bapak dan Ibuku, yang selama mereka berumah tangga tidak pernah terjadi. Mereka saling ngotot akan memberikan nama untukku, di dalam fikiran mereka tentu sudah mempersiapkan satu nama yang indah, untukku.


Tamu undangan berdatangan, hampir semua orang diundang. Kira - kira ada 70 orang yang datang, kecuali Pak Lurah yang berhalangan. Di depan para undangan, Baoak memberikan sambutan


" Saudara sekalian, jadilah saksi perkataanku..., anak pertamaku ini ku beri nama Tambara Bensikwi... "  kata Bapak di depan para undangan. Ibubtiba - tiba keluar dari dapur, menyerukan pendapatnya,


" Tidak..., namanya adakah Amarah Benkwiki... " Bapak terkejut dengan kejadian itu, tapi dia tidak mau menyerah begitu saja, dia menjawab dengan keras pada Ibu


" Tidak !, namanya tetap Tambar  Bensikwi ! "


" Tidak !, namanya Amarah Benkwiki..." teriak Ibu dengan marah, membuat Pak Modin berdiri menengahi pertengkaran itu


" Sudah... sudah... bagaimana kalau bayi ini Kita namai Siti Aminah..., bagaimana... setujuuu ? ! "


" Huuuuuu !!! " teriak para undangan, mengolok Pak Modin yang tidak bisa menyelesaikan masalah.


" Baiklah, kita ambil jalan tengahnya saja. Namanya yang depan dari bapaknya, yang belakang dari ibunya... bagaimana ? "


" Setujuuu... ! " teriak yang hadir penuh kelegaan dan kegembiraan,


" Baiklah, siapa nama depanya, Tir (nama bapakku Satir) ? " tanya Pak Modin kepada Bapak


" Tambar, Pak Modin " jawab Bapak,  sambil menoleh pada Ibuku,


" Bagaimana Sum (nama Ibuku Suminah) ? " tanya Pak Modin,


" Tambar... Tambar... kamu kira anak ini laki - laki ? " keheningan pun kembali menyelimuti suasana, di tempat itu...


"Nama depanya adalah Amarah... nama belakangnya, sesuai keinginan bapaknya yaitu Bensikwi...jadi nama anak perempuanku ini adalah Amarah Bensikwi !!! " konon Ibu sambil berteriak, saat menyebutkan namaku untuk yang pertama kali. 


Hadirin yang sebelumnya tampak kurang bersemangat, mengikuti perdebatan Rumah Tangga itu pun bersorak riang. Mereka saling bersalaman, berpelukan karena bahagia, bahkan Pak Modin sampai meneteskan air mata. Perdebatan itu, konon berlangsung selama dua jam.


Nenek dan para Istri tetangga, sampai kelupaan tidak menyuguhkan apapun kepada para tamu. Karena itu, mereka menjadi amat bergembira... ketika Pak Modin menyatakan perselisihan itu berakhir.


Maka segala hidangan pun semua dikeluarkan, segala makanan dan minuman yang biasanya untuk selamatan bayi. Dalam sekejap, makanan pun tandas... hanya tersisa dedaunan, dan tulang bekulang ayam yang berserakan.


Jadi semenjak malam itu, namaku adalah Amarah Bensikwi. Sebuah nama yang tidak mengandung makna apapun, tetapi merupakan nama yang paling bersejarah dalam hidupku. Nama yang memberiku banyak keberuntungan, karena diberikan dengan oenuh perjuangan.


Aku tumbuh menjadi sosok yang kuat, pekerja keras, dan berjiwa pejuang. Perjuanganku pun berhasil, sekarang aku menjadi Dokter Kepala di Puskesmas Karang Adem. Aku menikah dengan Dono Kasino Indro (korban pemberian nama juga)... teman sepermainanku dulu. Suamiku menjadi Camat di Kecamatan Karang Adem, dan dikaruniai dua orang anak, Satir Putra Manyar 5 tahun yang sulung, dan adik perempuanya Sumina Putri Manyar 3 tahun. Kami hidup berbahagia,,, di tanah kelahiranku tercinta.


#TantanganODOP3

#Onedayonepost

#odopbatch6

#fiksi


Nganjuk, 23 September 2018




Menuntun Hati

kepada siapa engkau bertanya, maka itulah jawabanya
bertanyalah satu hal kepada angin, engkau akan menerima jawaban sejuta
karena angin melintasi apapun, baik yang nyata atau fatamorgana
takkan terhentikan, meski prahara segenap rasa

kepada siapa engkau mengadu, maka inilah hakikatnya
mengadulah kepada batu karang, dan dia membisu diterjang badai
dalam semadi yang dalam, tiada tergoyahkan alam
kebisuan bukanlah solusi, membuatmu semakin gundah

kepada siapa engkau berdo'a, dan kekecewaan datang merundung
berdoalah kepada gunung, tidak lain hanya berasakan murung
setiap masalah menggantung, jika amarah tiada terbendung
kau takkan mati dengan dada membusung, karena diliputi rasa bingung

maka belajarlah untuk mengerti, akan sifat tuan sang gusti
menjauhinya engkau mati, mendekatinya akan abadi
tanpa sekat dia menuntun hati, dan jiwa jiwa suci kelak azali

Nganjuk, 23 September 2018
menuju kedamaian abadi

Permintaan Terakhir Erlita

Ini adalah berkah, seperti pepatah Inggris dream come true, mimpi yang jadi kenyataan. Bagaimana tidak, Erlita Ciicheweassoygebhoyy Cemunguutz (nama akun Facebook) itu mengajakku kopdar (bertemu) hari Minggu ini.

Erlita, adalah wanita yang baru saja Ku kenal di sosmed Facebook. Seorang janda cerai mati, yang memiliki seorang anak masih balita. Umurnya baru 26 tahun, dan tinggal di kawasan Porong Sidoarjo. Bahkan kemarin, dia sudah mengirimkan alamat rumahnya dan alamat pertemuan Kami.

Dua bulan yang lalu Aku meminta pertemanan denganya, setelah Aku tahu dia juga berteman dengan sahabatku. Permintaan pertemananku di confirmasi-   nya, dan kamipun mulai mengobrol tentang banyak hal di mesenger. Bahkan, hampir setiap ada kesempatan, Aku selalu menelponya atau membuat video call dengannya.

Di mataku, Erlita adalah sosok wanita yang sempurna. Wajahnya cantik, kulitnya putih, rambutnya panjang sepantat, dan cukup langsing untuk ukuran ibu - ibu yang sudah melahirkan. Dia cukup manja, suaranya lembut dan merdu, dan tawanya itu sungguh bagai lagu sang biduanita... 

Setelah beberapa hari berkomunikasi denganya, tumbuhlah benih - benih cinta di hatiku. Semakin hari semakin berkembang, bahkan seperti perasaan bujang tujuhbelasan di usiaku yang ke-48 tahun ini. Aku sungguh - sungguh jatuh cinta padanya, dan aku harus mengungkapkanya. Maka segera kutelepon dia, sebentar menunggu... akhirnya diterimalah panggilanku,

"Hallo... Assalamualaikuum Mas Win," terdengar suara lembutnya di telingaku,

"Waalaikumusalaam, Erlita. Apa khabar?"

"Aku baik Mas, bagaimana khabarmu?"

"Aku juga baik saja, mau ngomong sesuatu nih... Kamu ada waktu?"

"Emh... Kelihatanya serius banget ya, Mas? Oke, katakan saja, aku juga lagi santai kok "

"Begini... eh... kita kan sudah cukup waktu saling mengenal, diantara waktu yang cukup itu Aku merasakan sesuatu yang aneh di hatiku,"

"Aneh bagaimana, Mas ?! " kudengar nada bicaranya meninggi, "Apa Kamu tidak suka berteman denganku?"

"Bukan begitu maksudku, Er. Dengarkan dulu kelanjutan kataku, jangan dipotong begitu,"

" Baiklah, lanjutkanlah,"

" Sepertinya, Aku sudah jatuh cinta padamu, Er" sunyi... tidak terdengar lagi suaranya, akupun segera memastikanya lagi,

"Erli..., kamu masih mendengarkan?"

"Iya Mas"

"Kamu tersinggung dengan ucapanku? Atau kamu marah mendengar keterus teranganku?"

"Tidak Mas, Aku tidak marah pun tidak tersinggung. Aku hanya kaget, Kamu mengungkapkan perasaanmu secepat itu padaku,"

"Jadi... Bagaimana Er?"
tiba - tiba jantungku berdebar sangat kencang, aku takut mendengar suara penolakanya,

"Apa mas Win tidak akan menyesal mencintai Aku, seorang janda beranak satu,"
terdengar isakan dari suaranya, aku terkejut mendengarnya,

"Jangan menangis Er, Aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Bahkan jika Kamu siap, tahun ini Aku ingin menikahimu" sunyi kembali, sayup isakan itu terdengar di telingaku, Aku kehabisan kata... sehingga tak sepatah katapun yang keluar dari bibirku,

"Baiklah, hari Minggu depan Kita ketemuan ya, Mas?" terdengar suara Erlita menjadi serak karena tangisnya, Aku mengangguk senang... Seakan Erlita bisa melihat kegiranganku,

"Baiklah... Dimana kita bertemu?"

"Akan kukirim lewat mesenger ya, Mas,"

Itulah sekelumit percakapan yang terjadi seminggu yang lalu, dan hari ini adalah waktu yang kami janjikan.

***

Pagi - pagi sekali, Aku sudah terbangun dari tidur. Tidak seperti biasanya, karena ini adalah hari paling spesial dalam hidupku. Oh Erlita, pujaan hatiku, tunggu kakanda datang ya sayang... seperti orang gila, aku berkata pada cermin di kamar mandiku.

Selesai mandi, segera kupersiapkan apa yang harus kubawa. Siapa tahu, setelah melihatku Erlita langsung menawariku menginap di rumahnya. Wkwkwk (tertawa jahat nan mesum)

Tempat pertemuan Kami adalah di Bungurasih (terminal Surabaya), 190 km dari rumahku di Nganjuk, dan hanya 10 km dari rumah Erlita. Aku menganggap adil saja pilihan pertemuan yang diberikanya, kan dari sana bisa langsung meluncur ke Kenjeran (obyek wisata pantai di Surabaya), wkwkwk (tawa jahat dan mesum lagi).

Dua jam perjalanan menggunakan bus terasa begitu lama, sepanjang perjalanan tak henti ku bayangkan wajah cantik Erlita. Sungguh seperti tertimpa bulan, jika dapat memiliki dia seutuhnya.

Jam 09:45 bus yang kunaiki memasuki Terminal Bus Purabaya, aku segera memastikan kedatanganya. Ternyata, dia sudah datang setengah jam yang lalu. Sungguh, type wanita yang sangat disiplin sekali.

Setelah turun dari bus, aku segera meneleponya,

"Alhamdulillaah..., Aku sudah sampai Er... Kamu dimana?"

"Alhamdulullaah Mas, aku ada di sebelah selatan terminal... Di depan Masjid," terdengar suara Erlita sungguh berbeda, tidak seperti suaranya yang biasa aku dengarkan. Tapi mungkin, karena bercampur bising suara kendaraan. Mungkin karena perasaanku saja.

Aku segera melayangkan pandangan ke sekitaran tempat yang dia tunjukkan. Karena memang, aku turun dari bus sebelum melewati Masjid terminal itu. Seharusnya, mencari orang seistimewa Erlita adalah sangat mudah. Erlita berambut sangat panjang, dan dari ratusan orang yang telah kulihat... tak satupun yang tampak seperti ciri - cirinya,

"Aku tepat di selatanmu, Er. Karena, tadi aku turun sebelum tempat penurunan penumpang," ku coba menjelaskan, sembari tetap mencari keberadaanya.

"Mas Win pakai baju warna apa ? Aku melihat seseorang dengan tas carrier memakai t-shirt putih apa itu Sampean?"


Reflek aku menoleh ke kiri, ke arah utara, pandanganku terantuk pada seorang wanita berjilbab yang berjalan ke arahku, kulihat diapun sedang menelepon

"Iya betul, Kamu audah menemukanku " kataku girang jsntungku berdegup kencang

"Cepatlah kesini, sudah pegel nih kaki... Dari sini kita nanti ke cafe depan terminal itu"

"Aku sudah disini, Mas" tersentak kaget aku, karena wanita berjilbab merah itu sudah berdiri tepat di sampingku

"Sampean siapa, Mbak?" tanyaku diantara keterkejutanku,

"Aku Erlita, Mas,"
bertambah terkejutku mendengar jawaban wanita itu.
Seorang wanita separuh baya, mungkin sekitar 40 tahun umurnya. Dan dia mengaku sebagai Erlita, aku takkan tertipu... Meskipun wanita itu membawa handphone miliknya. Aku sangat mengenali wajah Erlita, karena kami sering saling video call. Dan ini bukan Erlita, siapa wanita ini ???.

Seperti membaca kebingungan di wajahku, wanita itu segera menggamitku, mengajakku menepi dari lalu-lalang orang. Sementara kebingunganku semakin menjadi-jadi, karena wanita itu bersikap akrap sekali. Kamipun duduk di pinggiran trotoar bersandingan, entah mengapa sikapnya membuatku merasa nyaman.Walaupun jantungku semakin berdetak keras.

"Aku ibunya Erlita, Mas Win... Erlita yang memintaku menemuimu... " tiba - tiba wanita itu meneteskan air mata, dan tak sanggup meneruskan peekataanya

"Ada apa, sampai dia meminta Ibu menemuiku? Apakah Erlita sakit? Bisa saja dia batalkan pertemuan ini, Bu"

"Erlita sudah meninggal , Mas Win. Hari Jum'at yang lalu dia kecelakaan, tertabrak motor tepat di depan runah kami. Lukanya sangat parah... Dia tidak tertolong. Tetapi, menjelang ajalnya... dia berpesan kepadaku... Untuk menyampaikan salam terakhirnya, Erlita sangat mencintaimu Mas... " dengan terbata Ibu Erlita mencoba menyelesaikan ceritanya. Aku tersentak, bagdi mendengar petir di siang hari.

"Erlita... meninggal, Bu?!" tak terasa air mataku pun mulai menetes, terbayang wajah ceria Erlita yang centil dan manja

"Aku membaca pesan whatsapp dan mesenger di handphone milik Erlita ini, dan mencoba menunaikan janjinya Mas,"

"Sebelum hari na'as itu, dia bercerita padaku... Akan dilamar kekasihnya hari Minggu ini. Bahkan diapun bilang, kekasihnya seumuran dengan bapaknya. Tetapi kami, aku dan bapaknya... akan merestui siapapun pilihanya, karena dia baru sembuh dari depresi karena ditinggal meninggal suaminya, yang juga mengalami kecelakaan"

Seperti orang tak tahu malu, aku meraung - raung di tepi trotoar itu. Entah berapa lama aku menangis, ketika membuka mata... Aku sudah berada di ruangan Klinik Terminal, ditunggui oleh Ibunya Erlita disampingku

"Menginaplah di rumah kami mas Win, barang semalam atau dua. Temuilah Kanaya, anak semata wayang Erlita. Dia sudah diajari memanggilmu, Papa Win"
Akupun kembali menangis sejadinya, seraya memanggil nama Erlita...

"Erlita... Erlitaa... Erlitaaa... tunggu aku di pintu syurga sayaaang"

Nganjuk, 22 September 2018

Kita Kumpulan Pejuang

sudah berapa lama engkau tak pernah memandang langit malam
sehingga tak tahu rembulan yang tertutup awan hitam
atau gemintang yang kehilangan satu kerlipnya
karena engkau asyik menundukkan wajahmu ke tanah
membawa kesedihanmu kemana pun engkau pergi
mengapa engkau kalah dari unggas malam yang ceria
walaupun hanya melihat alam yang gelap gulita

sayang waktu takkan menunggu kesedihanmu ini
matahari akan tetap terbit dengan berseri setiap pagi
tidak akan ada yang menunggumu bersedih hati
jadi kenapa tangis itu tetap engkau piarai
dan engkau menjadi golongan orang yang merugi

dongakkan kepalamu sayang
betapa hari depan masih jauh terbentang
segala luka didada cepatlah buang
hidup ini bukan hanya untuk bertopang
kita harus bergerak menerjang menyerang
menerobos hari depan cerlang cemerlang
kita ini adalah kumpulan para pejuang
untuk semua keluarga kita yang tersayang

Nganjuk, 22 September 2018

Semangat Dan Ghairahku

kupandangi fotomu di kamarku
kukagumi bayangmu di hatiku
beginilah rasanya dilanda rindu
padamu seakan kau disampingku

kasihku dan sayangku dan cintaku
kan ku bawa selama hidupku
karena ku sangat memujamu
paras ayumu serya senyum dan tawamu
adalah semangat serta ghairahku

bahagialah kasih meski jauh dariku
tersenyumlah sayang dalam penantianmu
aku pasti kembali membawakan cintaku untukmu
setialah ku pinta darimu

Nganjuk, 22 September 2018
Winarto Sabdo - Pulau Harapan

Puan Beragama

duhai aku lah jatuh cinta kepadanya
perempuan yang menunduk dengan malunya
kala jalang tatapan ini coba meraba paras wajahnya
dia menghindar dari pandangan mata

hanya seulas senyum di sudut bibirnya berbicara
meminta maaf atas perlakuan kakunya pada kakanda
wahai wanita yang terjaga dari laparnya mata
bersembunyi dalam hijab dan tatakrama

siapakah dinda sungguh anggun berbusana
bercahaya wajahnya tiada tampak gulita
betapa ku telah sangat memendam rasa
menyayangimu sungguh tiada tara

jikalalau angin mampu berbicara
ku tutipkan salam kasih asmara
padamu juhai jelita puan beragama
salam cinta nun dari sedalam jiwa

Nganjuk, 22 September 2018
Winarto Sabdo - Pulau Harapan

Hakikat Cinta

siapa mampu menipu hati
jika di dalamnya satu cinta bersemi
ia tersenyum wajahnya berseri
menganggap dunia milik sendiri

siapa pula mampu menutupi nurani
ketika kecewa dan terhianati
tangis berderai sepanjang hari
baiknya hidup memilih mati

andai mereka tahu cinta sejati
bukan dalam senyum indah sekali
bukan dalam tangis tiada terperi
dalam sujudnyalah kebenaran hakiki

Nganjuk, 22 September 2018
Winarto Sabdo - Pulau Harapan

Rabu, 19 September 2018

Kembalilah Ke Jalan Ilah

hai kau yang pongah
yang terlalu membanggakan wajah
apa kau kira hati ini akan kalah
bertekuk lutut dan menyerah

bagiku kau hanya masalah
korban kemunafikan yang parah
melukai hatimu berdarah bernanah
hidupmu penuh duka dan amarah

menatapmu aku meludah
bagai melihat seonggok sampah
sisa dari ribuan orang penjamah
harga diri yang tlah hilang terjarah

kembalilah ke jalan ilah
agar hidupmu tercurahi berkah
tinggalkan dunia hitam jangan mandah
hanya padanyalah kau berserah

Nganjuk, 19 September 2018
Winarto Sabdo - Pulau Harapan

Selasa, 18 September 2018

Normal Itu Membosanlan

Suminem menghempaskan tubuh letihnya di sofa ruang tamu rumahnya, seharian ini dia berkutat dengan aktifitas yang membosankan. Membantu kedua orang tuanya berjualan di Pasar, dari mulai Shubuh hingga jam sembilan pagi. Dia pulang, hanya untuk menyiapkan makan siang untuk kedua orang tuanya itu.
Suminem memang anak tunggal, dia tinggal bersama orang tuanya. Lulusan D4 Keperawatan, tetapi orang tuanya melarang dia untuk mendapatkan pekerjaan. Entah karena orang tuanya tidak ingin Suminem meninggalkan mereka, atau karena dia dipersiapkan menjadi penerus usaha kedua orang tuanya.

Sebenarnya, beberapa kali Suminem merengek agar diijinkan mencari pekerjaaan. Tetapi kedua orang tuanya kekeh tetap melarangnya, apalagi ibunya sering sakit - sakitan belakangan ini. Dengan sangat terpaksa, Suminem pun menuruti kehendak orang tuanya itu. Menjalani aktifitas ini, dengan separuh hati. Pagi pergi ke pasar, agak siang pulang ke rumah, siang hari ke pasar lagi, dan pulang ketika ba'da isya... bahkan untuk bertemu bekas teman sekolahnya dulu pun, hampir jarang terjadi. Suminem yang dulu gokil, sekarang tak lebih seperti upil di kegelapan hidung.

Hidup ini terasa sangat normal bagi Suminem, dan itu sungguh sangat menbosankan dirinya. Dia berpikir, jika terus memaksakan kenyamanan yang membosankan ini... dia bisa gila. Atau mencoba menjadi gila sekali waktu, agar tidak normal selalu ?

Gadis 20 tahun itu meraih kantong plastik berwarna hitam, dan nengeluarkan tiga keping DVD bajakan yang dibelinya di pasar tadi. Tersenyum dia membaca judul album di DVD itu : Jaranan turonggo mudho ( semacam kesenian Kuda Lumping), Suminem memang menyukai Kesenian yang atractive dan sakral itu sejak kecil. Kemudian dibacanya keping kedua. Album Terpopuler Nella Kharisma - Bojo Galak (pesanan Ayahnya), dan keping terakhir The Best of Metallica, entah apa yang terfikir di benaknya saat dia membelinya.

Suminem pun tersenyum, dia mengingat sesuatu, sebuah meme yang dikirim teman facebook yang juga tetangganya, Dita Uky Rafi namanya

" NORMAL ITU MEMBOSANKAN, KADANG KITA PERLU SEDIKIT GENDENG "

begitu bunyi meme yang diingatnya. Kemudian tatapan matanya beralih, ke arah kepingan du tanganya itu. Yes, satu rencana hebat tiba - tiba sudah berputar di kepalanya.

Suminem bergegas menutup pintu depan dan menguncinya, menutup semua gorden disekitar ruang itu. Melepaskan kerudungnya, dan mengurai rambut panjangnya yang indah tergerai. Belum cukup, dia mengambil sapu lantai dari dapur rumahnya, akan dijadikan pengganti gitar yang sesungguhnya. Persiapan selesai, dan Suminem mencoba bercermin melihat penampakanya yang sekarang. Senyum lebar tersungging dari bibirnya, karena merasa puas dengan penampilanya yang terlihat garang. Emh... masih kurang garang, disambarnya kacamata Reyban milik Ayahnya di atas meja. Yes, this a rocker style... bathin Suminem puas.

Kemudian dia berjalan, menuju serangkaian media elektronik yang ada di ruangan itu. Dinyalakanya televisi flat 24 inchi nya itu, menyalakan surround speaker active nya, memasukkan keping DVD ke dalam DVD Player, dan track pertama muncul And Justice for All.

Suminem mempersiapkan dirinya, menatap layar Televisinya dengan tajam, karena ini adalah lagu Karaoke. Dengan Remote, dia memperbesar Volume Speaker Active nya ketika Intro dari lagu itu mulai terdengar, suaranya sangat menggelegar. Terbawa alunan cadas Metallica, dia mengibas - ngibaskan rambutnya sampai menutup wajahya, dan mulai berteriak (menyanyi),

" Halsop jastis painidgrin, "
(halls if justice painted feeen)

"mani tolking, "
(money talking)

"pawewops heaset yodo,"
(power wolves hearset your door"

"heatem stolking"
(hear them stalking)

bunyi instrument yang menghentak, membuat Suminem larut dalam suasana Rock yang ganas.

Sementara di luar rumah Suminem, puluhan orang tetangga, orang yang hendak pergi ke sawah, orang yang mau pergi ke pasar, bahkan beberapa Pegawai Negeri, tampak berkumpul berkerumun dengan wajah penuh keheranan.

" Siapa di dalam sana, Pak " tanya orang berseragam Pegawai itu

" Kalau dari suaranya, sepertinya itu Suminem anak Pak Winarto, warga Saya di RT sini " yang ditanya ternyata Pak RT

" Apa tidak sebaiknya Kita peringatkan dia, Pak. Ini sangat mengganggu sekali, suara musiknya kenceng sekali, pekak telinga saya " kata Bu Ningnong tetangganya,

"Bener Bu, mana lagunya hewas - hewes begitu ," timpal Bu Nyinyir geram
"Bakar rumahnyaaa... !!!" tiba - tiba terdengar nada provokative dari tengah kerumunan, semua orang memandang sinis pada sang provokator... yang dipandangi langsung ngeloyor pergi.

Kerumunan itu akhirnya beringsut mendekati pintu rumah itu, sebagian berada disetiap jendela rumahnya. Tanpa dikomando, mereka segera mengetuk pintu dan jendelanya,

"Hoooiii Sum, matikan musiknya ! " teriak Pak RT keras - keras, tak ada jawaban dari dalam rumah

"Mbaaaakkk !!, tolong musiknya dikecilin dooong, berisik niiihhh... !! " teriak Bu Jalang sang Juara berteriak tingkat Kecamatan, tetap tidak ada respon dari Suminem

" Bakar rumahnyaaa... !!!" suara itu terdengar lagi, kembali semua orang menatapnya dengan marah... orang itupun kembali ngeloyor pergi.

Suminem tentu tidak bisa mendengar semua teriakan dan kehebohan di luar rumahnya, karena di telinganya terpasang headset yang terhubung ke DVD Player. Tingkahnya semakin tak terkendali, saat interload lagu itu menghentak sebelum masuk ke Refferent

"jastisis los"
(justise is lost)

"jastisis raep"
(justice is rape)

"jastisis gon"
(justice is gone)

"puling yorstring"
(pulling your string)

"yeeeaaaaaahhh... !!!" teriakan Suminem terdengar sangat keras, semua yang berkumpulpun kaget dan lari tunggang - langgang.

"Dia kesurupan, Pak Eko ! "

" Mungkin sudah tidak waras, Dia !! "

" Panggil saja orang tuanya, Pak RT ! "

" Bakar....., " sebelum selesai orang itu bicara, beberapa tendangan dan pukulan bersarang di tubuhnya, orang itupun lari terbirit - birit meninggalkan tempat itu sambil meringis kesakitan.

Ternyata, sudah ada yang mengabari Ayah dan Ibunya. Pak Winarto dan istrinya, dengan terbungkuk - bungkuk meminta maaf kepada semua orang, bergegas menuju pintu rumahnya. Setelah beberapa kali panggilan tidak mendapat jawaban, Pak Winarto segera mengeluarkan kunci cadangan dari dalam saku celananya.

Ketika pintu itu terbuka, semua orang teramat sangat terkejut melihat pemandangan yang terlihat di dalamnua. Mereka melihat Suminem dengan rambut yang awut - awutan, memegang sapu bergaya gitaris, sedang berjingkrak - jingkrak di atas meja ruangan itu. Bu Winarto pun tak dapat menguasai emosinya, dan jatuh pingsan dalam pelukan Suaminya. Bu Ningnong juga pingsan di pelukan Pak Eko, Bu Nyinyir ikutan pura - pura  pingsan, tetapi orang di sekitarnya langsung menjauh, takut tertimpa Gorilla bengkak.

Suasana di rumah itu menjadi heboh, dan Suminem baru menyadari kekacauan itu, setelah Ayahnya berteriak di depan wajahnya :

" Bocaaah... geeendeeeng !!!, matikaaaan musiiiknyaaaa !!! "

Suminem pun bergegas mematikan musiknya, dan baru menyadari kesalahanya. Ia pun berlari dan berkaca di cermin yang ada dekat ruangan itu, betapa kagetnya dia dengan penampakan dirinya. Matanya berkunang - kunang, kepalanya seakan berputar - putar, dan akhirnya dia pingsan. Samar - samar dia seperti melihat meme dari sahabatnya itu, sudah berubah tulisanya :

NORNAL ITU MEMBOSANKAN, TAPI GENDENG ITU MENAKUTKAN.

Nganjuk, 20 September 2018
Winarto Sabdo - Pulau Harapan

Selamat Tinggal Asmara

betapa aku berusaha membencinya
membuang yang terindah bersamanya
melupakan kenangan manisnya
menghilangkan bekas jejaknya

tak ada yang tersisa secuilpun juga
bahkan ingin kuhapus bayang wajahnya
mengabaikan indah namanya
mengusir segalanya tentang dia

apalah gunanya saat hati kehilangan cinta
apa faedahnya saat jiwa kehilangan rasa
hanya rasa sakit yang ditinggalkanya
membusuk dalam cerita yang terluka

selamat tinggal dahanasmara
terima kasih pernah mengukir gelora asa
meski kini harus hancur tiada rupa
dahulu kita pernah punya bahagia

Nganjuk, 18 September 2018
Winarto Sabdo - Pulau Harapan

Senin, 17 September 2018

Terima Kasih Sayang

aku tak pernah memuji kecantikanmu
tapi engkau tahu aku menyayangimu
keromantisan bukan hanya dalam kata
tetapi hati nuranilah penuntunya

aku tak pernah mencumbu tubuhmu
tapi engkau merasa aku mendekapmu
kemesraan bukan hanya dengan sentuhan
tetapi rasa yang menghantarkanya

tak pernah kau bertanya
sebesar apa aku mencintaimu
tak pernah kau menuntut
seluas apa pengorbananku

dan engkau masih setia menungguku
menghormati segala keputusanku
terima kasih sayang pengertianmu
aku sangat mengagumimu

Nganjuk, 17 September 2018
Winarto Sabdo - Pulau Harapan

Minggu, 16 September 2018

Pejantan Pulau Harapan

pejantan itu memandang sekelilingnya
tampak lengang tak seperti biasanya
dua pejantan telah meninggalkan pulaunya
tinggal dia pejantan jua

gerombolan betina diujung sana menatapnya
dua penjaga selalu waspada mengawasinya
setiap gerak gerik fan ucapanya
bahkan setiap tarikan dan hembus nafasnya

pejantan itu sedang menjaga harapanya
didadanya terukir mimpi dan cita cintanya
bersama betina yang disayanginya
kelak akan bersama tunai tugas jewajibanya

ah pejantan satu - satunya
hanya bisa berharap pada penguasanya
semoga tidak ada lagi yang meninggalkanya
hidup rukun damai selamanya

Nganjuk, 17 September 2018
Winarto Sabdo

#mengiring_pejantan_yang_meninggalkan_pulau

Salah Faham

"Hai Ky, nanti malam ada Community gak?" suara Dita diseberang sana, terdengar dari speaker handphone ku. Sengaja kupasang loudspeaker menerima panggilanya, karena saat itu aku sedang merapikan kamar.

"Eh emang kenapa?, Tumben nanyain Community?" tanyaku keheranan. Dita itu adalah type gadis rumahan, rutinitasnya tidak lebih dari kuliah dan dirumah. Mengajaknya keluar diluar rutinititas itu adalah kemustahilan, jadi kuper itu sudah pasti, bahkan julukan housekuper sudah disandangnya sejak bangku SMA.

Aku dan Dita memang berteman sejak SMA, dia teman sekelasku di SMA NON UNGGULAN. Sekolah yang hanya memiliki 3 kelas, yaitu kelas X, kelas XI, dan kelas XII, dengan 6 orang Guru dan Satu Kepala Sekolah merangkap jadi Pengajar juga.
Dita adalah satu-satunya anak yang tidak terlibat dalam kegiatan Ekstrakurikuler apapun di Sekolah. Bahkan dia menangis meraung-raung saat Party kelulusan, karena seragam kesayanganya dicoret-moret dengan cat semprot, oleh teman-teman lainya.

Dan sekarang tib-tiba dia menanyakan tentang Community, yaitu acara berkumpulnya komunitas - komunitas budaya diseputaran Kabupaten Nganjuk, biasanya diadakan dadakan di tempat - tempat tertentu.

"Ukyyyyy! Kok diem, lagi bengong ya ???! "
suara Dita menyadarkanku dari lamunan

"Enggak Dit, aku lagi membereskan kamar ini..."

"Gimana, ada gak?"

"Emh, kalau dari grup WA, sepertinya phoemsnga (Komunitas Puisi Mganjuk) akan perform di Warung Senggol tuh Dit, kamu mau ikut?"

"Boleh, jemput aku ya?"

"Eh serius loh ???"
aku sangat terkejut dengan jawaban Dita, aku sambar hape yang sebelumnya kuletakkan diatas springbed itu.

"Heh, jangan main-main Dit. Kamu beneran mau datang du acara phoemsnga???"

"Iya bawel, cepetan ganti baju, pakai jacked biar gak kedinginan!"

"Tapi Dit, ini bener kamu kan? Bener Dita Dyah Saraswati kan???"

"Iya nduuuud, ayo buruan.... sebelum aku berubah keinginan nih" terdengar sepertinya Dita sudah ingin merajuk.

"Eh iya Dit, tunggu im coming!"

Akupun segera mengenakan jacked, menyambar kunci kontak sepeda motorku yang sudah terparkir rapi di teras rumahku. Menemui kedua orang tuaku, untuk meminta ijin dan do'a restu. Dan seperti biasa, mereka akan memberikan saran, petuah, wejangan, serta nasehat, juga warning kepadaku.

Sepeda motorpun kupacu, melewati jalan pedesaan yang berdebu. Desaku memang bersebelahan dengan desa tempat tinggal Dita, itu sepuluh kilometer dari pusat kota Nganjuk. Sebentarpun sampailah aku di rumah sahabat berkacamata itu, eh dia sudah langsung menghambur duduk dibelakangku

"Ayo buruan Ky!"

"Eh... aku mau pamit ke Ayah Ibumu dulu kali?!"

"Ukkky... jalan saja sekarang, cepetan!" reflex aku mengikuti permintaan Dita, berboncengan menuju Kota Nganjuk.

Sepanjang perjalanan, Dita hanya diam. Bila aku bertanya, dia menjawbnya "Nanti!", ada apa dengan sahabatku ini?

Tibalah di Warung Senggol, tempat berkumpulnya segala macam Komunitas. Tetapi terlihat sepi, belum tampak tanda-tanda akan adanya show perform malam ini. Aku memesan 2 gelas capucinno dan 2 menu jamur crispy, sebelum mengambil duduk disebelah Dita yang tampak tidak beghairah.

"Kamu kenapa sih, Dit. Kenapa tiba-tiba berubah begini?"
Dita memandangku, aku teekejut melihat butiran bening disudut matanya.

"Kamu menangis, Dit. Ada apa sebenarnya? Ceritakan padaku sekarang!" tanyaku cemas

"Ayah dan ibuku akan bercerai,  Ky. Ayahku memergoki ibu sedang berboncengan dengan Pak Winarto kemarin malam. Mereka bertengkar hebat tadi, mereka saling menyalahkan, dan akhirnya sepakat akan bercerai" Dita mengakhiri ceritanya dalam isakan.

Mas Narto sang penjaga warung melihat ke arah kami, wajahnya tampak sangat penasaran. Hampir saja dia keluar menghampiri, kalau saja aku tak memberinya isyarat.

"Astaghfirullaah...!!! Orang tua itu berulah lagi? Bulan lalu dia membuat gempar seisi desa,  karena diajak menikah gadis 18 tahun. Sekarang, malah selingkuh dengan ibu sahabatku? Sungguh tidak ada kapoknya! Dasar, duda mata keranjang!"  tiba-tiba tersulut emosiku,  mendengar cerita yang sedang menangis itu. Terbayang wajah Pak Winarto yang paspasan, yang sudah menduda tiga kali... tapi masih suka boncengin istri orang.

Tapi tunggu?! sepertinya aku mengingat sesuatu???

"Tunggu Dit, bukannya Pak Win itu pekerjaanya memang membonceng orang-orang?'

"Maksudmu, Ky?" Dita menatapku dengan ekspresi penuh tanda tanya.

"Dia kan tukang ojek???!!!" kami berpandang-pandangan, seakan menjadi kompak untuk mengambill langkah selanjutnya.
Bersamaan, kami melompat dari kursi... dan berlari menuju tempat parkir sepeda motor. Mas Narto mengejar kami sampai tempat parkir

"Uky, bagaimana pesanannya ini?"

"Bagi saja sama komunitas yang akan perform malam ini, Mas. Lagi buru-buru ini, bye"

"Oke, aku masukkan di tagihanmu ya?"
kata mas Narto, kubalas dengan mengacungkan jempol tanganku.

Yaa Alloh, ayah Dita sudah salah faham fengan pak Winarto di tukang ojek itu, karena memang mungkin ayah Dita belum megetahuinya. Karena, memang dia bekerja di Kalimantan... lima bulan sekali dia baru pulang. Dan kami akan meluruskan kesalah fahaman ini, semoga berhasil.

Nganjuk, 17 September 2018
Winarto Sabdo - Pulau Harapan
#TANTANGANODOP2
#onedayonepost
#odopbatch6
#fiksi

Pahala Itu Mudah

Tidak seperti biasanya, Kardi tidak langsung bergegas pulang. Biasanya, ia selalu menjadi yang pertama meninggalkan Mushola, bahkan sebelum Imam selesai membacakan do'a.
Kejadian seperti ini menjadi perhatian Pak Sudar, sang Imam Mushola. Sering Kardi diberikan nasehat dan petuah, tentang pentingnya mengikuti dzikir dan do'a setelah sholat berjamaah. Tapi dasar bengal, Kardi tak sekalipun terlihat melakukan nasehat beliau. Belakangan terungkap, Kardi tidak ingin terlewat film anak-anak, yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi kesukaanya.
Tetapi hari ini, mengapa Kardi mau mengikuti dzikir dan do'a bersama, bahkan sampai hampir habis orang di mushola, dia masih tampak duduk disana.

Karena penasaran dengan kejadian ini, akupun beringsut duduk didebelahnya. Menyadari keberadaanku, dia tampak terkejut, sekilas kemudian diapun tersenyum.

"Kenapa kamu tidak segera pulang, selepas sholat berjama'ah seperti biasanya, Di?" tanyaku padanya, kembali dia tersenyum

"Tak ada apa-apa, Kang" dia mampak memaksakan senyumannya.

"Jangan bohong kamu, Di" sergahku dengan cepat.

"Iya Kang, memang tidak ada apa-apa kok, Kang"

"Sudah ceritakan saja, jangan malu - malu. Siapa tahu, Kang Warto bisa membantumu"

Kardi menatap tajam kepadaku, terlihat senyum seperti ejekan kepadaku.

"Benarkah Kang Warto bisa membantu keresahanku ini, jika aku bercerita?"

"Insyaalloh, Di. Mulailah bercerita," aku terus meyakinkanya.

"Begini Kang, tadi siang Bapakku menjual televisi satu-satunya dirumah Kami. Uang hasil penjualanya, akan dipakai membawa berobat Adikku ke Puskesmas Kecamatan. Jadi, mulai hari ini Kami tidak memiliki televisi lagi. Bolehkah, setiap selesai sholat maghrib berjamaah aku menonton dirumah Kang Warto?"

Aku tersenyum, sambil mengusap punggung bocah 9 tahun itu.

"Boleh saja Di, tapi janji ikut dzikir dan do'a sebelum menonton ya?"

"Iya Kang, Kardi mau!" bocah itu langsung melesat pergi, setelah menyalami dan mencium tanganku. Rona kegembiraan terpancar dari wajah kecilnya, kebahagiaan yg terlihat dari bola matanya.
Subhanallah, ternyata hal sepele seperti inipun mendatangkan pahala. Oh indahnya berbagi.

Nganjuk, 17 September 2018
Winarto Sabdo - Pulau Harapan

#TANTANGANODOP2
#onedayonepost
#odopbatch6
#fiksi

16 September 2018

dibawah terik 33 derajat celcius
diatas naungan awan cumulus
sungguh panasnya bagai direbus
tetapi kegiatan ini bersifat harus
meski tenggorokanpun dahaga dan haus
berjalan barisan pawai beratus - ratus
tampak ceria dengan perasaan tulus
berbondong lautan manusia memandang serius
tampak antusias menunggu tanpa berwajah ketus
mereka bersorak ketika melihat performa bagus
mereka serempak memberika aplause
apalagi jika ditampilkan performa circus atau atraksi debus
mereka terpesona bagai terbius
aku ada diantara rombongan pawai yang terbagus
menjadi mayoret tak kurus
banyak yang mengajakku selfie dengan khusus
akupun tidak memasang wajah kardus
walau dalam hatiku derita terus - menerus
sepanjang jalan kubaca taddarus
membaca ayat kursy tiada terputus
semoga pawai ini tidak afa yang mampus

Nganjuk, 16 September 2018
Winarto Sabdo - Pulau Harapan

Sabtu, 15 September 2018

Salah Tembak (Bagian II Tamat)

Bella semakin lekat memandang wajahku, menelisik setiap kerutanya. Ah, gadis ini terlalu sempurna untuk sanggup kutatap. Terlampau cantik, jika hanya untuk mendengar omong kosongku. Bagaimana ini, tiba - tiba jantungku berdetak keras, degupnya hampir terdengar di telingaku.

" Mas, tadi mau bertanya apa ? "
suara Bella membuyarkan lamunanku, tetapi aku tak sanggup melawan tatapan matanya.

" Iya, tapi janji...Bella jangan marah, atau salah faham ya ? "
pertanyaan dijawab dengan pertanyaan, itu karena kepanikanku tiba - tiba muncul. Terlihat wajah Bella semakin tampak keheranan, tetapi dia tersenyum. dan berkata

" Kenapa aku harus marah , mas  ,tanyakan saja, selama aku bisa menjawabnya, "

oh ini sungguh sangat menegangkan, tak terasa keringat mulai bermunculan di keningku. Tidak, aku harus tegar. Didepan Bella, aku harus tunjukkan sikap Ksatria.

" Emh...begini, Bella. Apakah kamu sudah punya Kekasih ? "
terbata - bata ku ajukan pertanyaan itu, sambil menatap wajah pujaanku itu.

" Oh...begitu ?, aku tidak mempunyai kekasih Mas. enapa menanyakan hal itu ? "
kali ini Bella tak lagi dapat menutupi perasaan terkejutnya, tetapi dia tetap menatap mataku dengan tegar,

" Karena aku jatuh cinta padamu, Bella. Sejak korespondensi kita dulu, sebetulnya aku sudah menyelipkan perasaan itu, dengan pyisi dan sajak yang aku kirimkan padamu. Dan ketika bertemu denganmu sejam yang lalu, sejak menatap wajah cantikmu, mendengar merdu suaramu, menikmati renyah canda tawamu, aku sudah tidak dapat menahan diriku lagi Bella. Maukah engkau menjadi Kekasihku ? "

Keterkejutan Bella semakin menjadi, rona wajahnya memerah, entah apa yang ada dalam fikiranya.

" Mas Win, aku memang tidak mempunyai kekasih ..tetapi aku sudah punya Suami. Itu suamiku, yang duduk dipojok cafe , "
jawab Bella seraya menunjuk ke satu titik di pojok tempat itu. Akupun nengikuti kemana arah telunjuknya, dan kulihat seseorang pria melambaikan tangan kearahku. Seseorang dengan seragam Polisi, berpangkat Perwira. Ya Alloh...bagai terbanting aku, jika membandingkan diriku denganya

" Dia yang mengantarku kesini, Mas. Sengaja tidak kuperkenalkan padamu, karena dia tidak menginginkanya, bla. .bla...bla "
aku tak dapat mendengar kata - kata Bella selanjutnya. Tiba - tiba kepalaku terasa pusing, pandanganku berkunang - kunang, nafasku tersenggal, kemudian

" Grompyaaang !!! " aku terjatuh dengan muka menghantam meja, lamat - lamat kudengar jerit Bella,
" Astaghfirulloh....Mas Win kenapa ?!, bangun...banguuun mas !, adhuh tolooong...dia pingsan...!!! "
sebelum aku benar - benar tidak mengingat apapun, masih sempat aku mendesah

" Owalaaaahhh, salah tembaaakkk..."

Nganjuk, 17 September 2018
Winarto Sabdo - Pulau Harapan

Jumat, 14 September 2018

Melawan Gendruwo (Bagian I)

Karsono yang duduk dibelakangku tiba-tiba menepuk bahuku, karena terkejut aku menghentikan laju sepeda motorku,

"Ada apa, Kar?"

"Kelihatanya kita tersesat Kang, kita sudah melewati jalan ini dua kali. Kang Siman lihat rumah kecil dibawah pohon beringin itu, kita sudah melewatinya sebanyak dua kali"

Setengah celingukan, aku mencari rumah yang dimaksud Karsono. Ah itu, sebuah rumah kecil terbuat dari bambu, di samping sebuah pohon beringin tua yang sangat lebat daunya. Seingatku, sekitar tempat itu hanya gopakan kebo (kubangan kerbau) saja.

"Kenapa bisa tersesat ya, Kang. Kita sudah sering melewati jalan ini kan?"

Karsono turun dari boncengan motor, dan berjalan mendekati lengan kiriku.

"Apakah, kamu pernah melihat rumah kecil itu sebelumnya Kar?"

"Seingatku belum pernah, Kang. Sepertinya, rumah itu baru didirikan," kata Karsono dengan suara bergetar.

Aku dan Karsono memang mendapat tugas dari Kades di.Desaku, untuk meminta nasehat Ki Winarto Sabdo dari Dusun Jurang Kadut. Desaku sedang mendapat gangguan, dari sosok mahluk halus yang bernama Gendruwo. Mahluk sebangsa Jin itu, beberapa hari ini berulah di desaku. Sering menampakkan diri, setelah Barongan Pring (rumpun bambu) yang mungkin jadi tempat tinggalnya, ditebang warga untuk Pembangunan Desa.

Wargapun resah, karena Gendruwo ini sangat usil. Dia suka sekali menggoda wanita yang sedang sendirian di rumah, atau sedang tidur sendirian. Kemarin, istri Pak RT ditepuk pantatnya di dapur rumahnya. Istri Pak Bejo yang ditinggal jaga Siskamling, diremas payudaranya saat tertidur. Belum termasuk kontak motor, remote control, atau handphone yang tiba - tiba menghilang dari tempatnya. Pendek kata, desaku sedang di terror mahluk halus yang konon seperti Gorilla itu.

Biasanya, untuk sampai dusun Jurang Kadut tidak lebih dari setengah jam saja bersepeda motor dari desaku. Tapi nyatanya, kami sudah dua jam lebih berputar-putar di tempat ini, dan belum sampai juga.

Belum hilang rasa heran Kami, ketika terdengar suara berat dan parau dari belakang kami berada,

"Kalian mau pergi kemana, anak muda?"
bersamaan kami menoleh ke arah suara itu, Karsono terpelanting jatuh karena terkejut dengan kemunculan orang asing tersebut

Seorang Kakek-kakek berbaju gelap, menyangga tubuhnya dengan sebilah tongkat dari bambu berwarna hitam. Wajahnya sangat aneh, sudah sangat keriput, tetapi ditumbuhi kumis dan jenggot hitam yang sangat lebat. Aku tak bisa melihat gerak bibirnya, tapi bisa mendengar suaranya yang berat dan parau itu.

Tiba-tiba saja tercium aroma sangit, seperti ubi, atau kentang yang terbakar hangus. Bulu kuduk pun berdiri seketika, tanda ketakutan mulai menghinggapi hatiku. Tangan Karsono yang memeggang pundaku pun terasa gemetarnya, aku menoleh wajah sahabatku itu di keremangan malam, terlihat sangat ketakutan.

Kakek itu mengibaskan tangannya, dan seketika terang benderanglah suasana di sekitar tempat itu. Tidak seterang siang hari, tapi juga tidak segelap malam hari. Dan sungguh aneh, tiba-tiba perasaan takutku menghilang, Karsono pun sudah mulai melepaskan cengkeramanya di pundakku.

"Kalian mau kemana, selarut ini?" suara itu masih terdengar sama, namun tidak semenakutkan suara pertamanya tadi,

"Kami hendak ke Dusun Jurang Kadut , Kek. Maafkan ketidak sopanan kami, saya Siman dan teman saya itu Karsono. Kakek ini siapa?" tanyaku sembari menelungkupkan kedua tangan di dada, sebagai isyarat meminta maaf sembari turun dari sepeda motorku.

"Tidak usah sungkan anak muda, panggil saja Mbah Enggot, itu namaku," baru aku menyadari, walaupun tubuhnya agak membungkuk, tetapi tubuh Mbah Enggot sebenarnya lebih tinggi dan lebih besar dari tubuhku.

"Jika kalian hendak ke Dusun Jurang Kadut, maka kalian sudah tersesat jauh, nak" katanya dengan tanpa senyum do wajahnya.

Aku dan Karsono terkejut mendengar keterangan Mbah Enggot, bagaimana mungkin kami tersesat?, jalan menuju Dusun Jurang Kadut ini sudah sering kami lewati sebelumnya.

"Tapi, bukankah jalan menuju ke sana hanya ini satu-satunya , Mbah?" tanya Karsono sambil bersedekap karena mulai kedinginan, hal sama yang aku rasakan saat ini.

"Nanti akan Mbah ceritakan, tapi jangan di tempat ini. Mampirlah ke gubugku, kita berbincang lagi di sana,"

"Oh, jadi itu rumah Mbah Enggot ya?" tanya Karsono, yang wajahnya tiba-tiba berseri mendengar tawaran dari Mbah Enggot.

"Iya, rumah di bawah pohon Beringin itulah rumahku. Ayo kita ke sana, letakkan saja kendaraanmu itu di sini" bagai kerbau dicocok hidung, kami berdua menuruti saja ajakanya.

Kami berjalan beriringan, Mbah Enggot di depan, kami mengikutinya dari belakang. Bau ubi hangus itu semakin menusuk hidung, saat kami mulai mendekati rumah, atau tepatnya gubug itu.

Mbah Enggot membukakan pintu itu, kemudian kami dipersilahkanya masuk.
Di dalam gubug itu tak ada satupun penerangan, tetapi ruangan itu tampak seterang suasana di luar tadi. Tidak ada kursi, kamipun dipersilahkan duduk di lantai tanah yang dingin.

"Dlajah! Ada tamu Nduk, kemarilah sebentar untuk menemui mereka!"

"Siapa yang Mbah panggil?" tanyaku

"Dlajah anakku, Nak"

Mbah Enggot menengok salah satu pintu ruangan, mungkin dapur, dan menyuruh seseorang keluar menemui kami.
Sebentar kemudian seorang gadis keluar dari pintu ruangan itu, Karsono kembali terpelanting karena saking terkejutnya. Seorang gadis berkulit agak hitam, wajahnya seperti laki-laki arab, juga tubuhnya tinggi dan besar, rambutnya kribo tetapi panjang terurai. Dia tersenyum pada kami, kamipun membalas senyumnya. Payudaranya besar dan padat berisi, sebagian menyembul dari balik kemben yang dikenakanya. Aku menoleh wajah Karsono yang tampak terpesona dengan Dlajah, karena memang type wanita seperti inilah Favoritnya.Dia pun kembali ke dalam ruangann itu, setelah sebelumnya masih sempat mengerlingkan mata pada Karsono.

Dan rupanya Mbah Enggot pun mengerti isi hati Karsono, dia menyuruhnya membantu Dlajah di dapur. Sudah kuduga, Karsono pasti hanya sebentar bisa menahan hawa nafsunya. Karena dari tempatku duduk ini, aku sudah mendengar bunyi bibir beradu, lenguhan, rintihan lembut Dlajah, dan dengusan nafas Karsono yang penuh ghairah. Bocah edan !!!, makiku dalam hati. Kenapa tidak merasa sungkan sedikitpun, pada sang Tuan Rumah.

"Biarkan mereka, aku tahu isi hati mereka masing-masing. Sekarang nikmatilah makanan yang disajikan Dlajah ini, Nak," kata-kata Mbah Enggot tiba-tiba menyadarkanku dari lamunanku. Lamunanku, sedang membayangkan cumbu rayu Karsono dan Dlajah di dalam ruangan itu.

"Eh iya, Mbah " jawabku terbata, karena tiba-tiba di depanku sudah tertata rapi makanan yang lezat-lezat, juga minuman kopi yang masih mengepul uapnya.
Darimana datangnya semua ini? Apakah Dlajah yang mengantarkanya?
Ah tidak, tidak ada siapapun yang mengantarkan makanan dan minuman ini. Lalu, darimana ini semua ?. Ah sudahlah, tidak mungkin kakek baik ini akan mencelakaiku.

Aku mengambil sebuah Onde-onde yang sangat besar, mungkin tiga kali lebih besar dari biasanya. Terasa masih hangat, ini benar-benar baru keluar dari penggorengan. Hampir saja aku menggigitnya, ketika terdengar suara menggelegar menghardikku,

"Jangan dimakan!!!" qku menoleh ke pemilik suara itu, terlihat Ki Winarto Sabdo sedang berdiri gagah dengan kuda-kudanya. Asap putih tiba-tiba mekingkupi tempat itu, serta angin yang sangat kencang bertiup.

"Buang yang kau pegang itu, lalu kemari cepat!" kembali terdengar seruan keras Ki Winarto Sabdo atau Ki Bawuk itu.

Aku melihat apa yang kupegang, dan terkejut

"Hah!!!... tai Kebo?!"
akupun segera membuangnya dengan jijik, lalu mengusapkan tangaku di rerumputan.
Baru aku menyadari, rumah Mbah Enggot telah menghilang. Aku melihat Karsono tergeletak di rerumputan, dengan hanya mengenakan celana dalamnya.

"Biarkan dia di sana dulu, sekarang kesini bantu Aki!"

akupun mendekati Ki Bawuk yang pandanganya nanar terarah pada pohon beringin besar itu. Orang tua itu, ternyata sedang mengadu kekuatan ghaib dengan sesuatu yang di atas pohon angker itu.

"Pakai ini," perintah Ki Bawuk sambil memberikanku sebuahTashbih dari kayu cendana, "Kalungkan di lehermu!"

Aku segera mengalungkan tashbih itu, dan astaghfirullaahal adziim aku dapat melihat alam ghoib.
Di dahan pohon beringin itu aku melihat sesosok mahluk hitam, besar, kedua matanya bersinar merah, berbulu di sekujur tubuhnya. Siapakah mahluk ini ?, tanyaku dalam hati,

"Dia itu Gendruwo, atau Genderuwa, di Pewayangan didebut Gandarwa. Salah satu jenis Jin yang sangat usil juga berbahaya,"  seperti mengerti isi hatiku Ki Bawuk bercerita padaku, seraya tetap mewaspadai gerakan mahluk yang di atas pohon itu, "Hampir saja dia mencelakaimu, kue yang hampir kamu makan itu tadi tai kebo (kotoran kerbau), dan yang terlihat seperti kopi panas itu adalah ceren gupakan (air comberan dari kubangan), beruntung aku datang semua itu masuk perutmu"

sungguh tiba-tiba perutku menjadi mual mendengar cerita Ki Bawuk, jadi sejahat itu si Gendruwo itu pada manusia?.

Sekonyong-konyong, Ki Bawuk membuat gerakan memukul. Aku mendengar erangan Gendruwo itu, seakan menahan sakit yang luar biasa. Sekejap kemudian, mahkuk itu terjatuh ke tanah dengan suara yang berdebum, Sebentar berkelojotan, sebelum kemudian lenyap dari pandanganku.
Terlihat Ki Bawuk sangat keletihan, setelah berdo'a senenak dia kemudian menyapukan telapak tanganya ke wajahnya.

"Kemana Gendruwonya, Ki?" tanyaku seraya mencari dengan mataku, di pepohonan dan tempat gelap lainya,

"Dia sudah kembali ke alamnya, semoga dia tidak pernah datang lagi kemari"

Ki Bawuk memberiku isyarat untuk memeriksa kondisi Karsono, yang aku sendiri sudah tidak mengingatnya. Bocah Gemblung itu meringis kesakitan ketika kubangunkan, bibirnya membengkak ... entah dia baru menciumi apa,

"Kar, bangun!" teriakku lirih di telinganya, "Pakai bajumu, itu sudah ditunggu Ki Bawuk" demi mendengar nama lekaki tua itu, Karsono segera melompat bangun, celingukan mencari pakaiannya, mengenakanya dengan tergesa. Kemudian, dengan setengah masih membopongnya, kami menghadap Ki Bawuk. Mencium tanganya, dan duduk bersila di depan orang sakti itu.

"Malam ini, menginaplah kalian di rumahku. Aku akan memberi kalian bekal yang banyak, agar kalian mampu menyelesaikan masalah di desa kalian," kata lelaki tua itu. Kedua tangannya berputar-putar do atas kepala kami, sambil mulutnya terus merapalkan mantra.

"Baiklah Mbah, kami akan ke sana" kataku, sambil berusaha membangunkan tubuh Karsono.

"Duduklah bersila kembali, aku akan memindahkan tubuh kalian dari sini. Kita akan ke rumahku bersama-sama, pejamkan kedua mata kalian!" kata Ki Bawuk denhan tegas, kami pun mengikuti perintahnya. (Bersambung)

Nganjuk, 21 September 2018

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...