Rabu, 18 September 2019

Sekilas Tentang Kesenian Wayang Kulit

Wayang Kulit (untuk selanjutnya disebut wayang) dikenal sejak zaman prasejarah, yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Nusantara (Indonesia) pada saat itu memeluk kepercayaan, berupa pemujaan roh nenek moyang; yang disebut Hyang atau Dhanghyang (danghyang/danyang) yang diwujudkan dalam bentuk upacara dan kebudayaan.

Wayang merupakan seni tradisional yang terutama berkembang di pulau Jawa, tetapi juga dikenal di tempat lainnya diseluruh dunia. Pertunjukan Wayang Kulit Infonesia telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Pertunjukan wayang disetiap masing-masing negara, memiliki teknik dan gayanya sendiri. Dengan demikian, wayang Indonesia merupakan buatan orang Indonesia asli yang memiliki cerita, gaya, dan dalang yang luar biasa. Ada versi wayang yang dimainkan oleh orang dengan memakai kostum, yang dikenal sebagai Wayang Orang (sandiwara), dan ada pula wayang yang berupa sekumpulan boneka (wayang golek) yang dimainkan oleh seorang Dalang. Cerita yang dikisahkan dalam pagelaran wayang, biasanya berasal dari kisah Mahabharata dan Ramayana.

Kesenian wayang sendiri awalnya sangat kental dengan ajaran Hindu, dengan epik Ramayana dan Mahabarata. Tapi seiring masuknya Islam yang dibawa oleh saudagar dari Arab, Gujarat, dan Cina, telah banyak perubahan yang terjadi pada pewayangan. Perubahan dalam sistem pewayangan Jawa secara baku, terutama dilakukan oleh para Walisongo. Hal ini dikarenakan; wayang (pada saat itu) dijadikan sebagai media dakwah, dalam menyebarkan ajaran agama Islam.

Sebelum Walisongo menggunakan wayang sebagai media dakwah, mereka (para Wali) sempat berdebat mengenai adanya unsur-unsur yang bertentangan dengan aqidah (doktrin keesaan Tuhan dalam Islam). Selanjutnya para Wali melakukan berbagai penyesuaian, agar lebih sesuai dengan kaidah dalam ajaran Islam.

Bentuk wayangpun diubah. Yang awalnya berbentuk menyerupai manusia, menjadi bentuk yang baru. Perwajahannya dirubah menjadi tampak miring, leher dibuat memanjang, serta beberapa perubahan lainnya. Salah satu yang mendorong adanya perubahan dalam kesenian wayang adalah Raden Patah, pendiri dan Sultan pertama kerajaan Demak.

Beliau meminta para Wali, agar mengubah beberapa aturan dalam pertunjukan wayang. Atas dasar itulah, para Wali akhirnya secara gotong-royong melakukan sejumlah besar perubahan.

Wayang Beber karya Prabangkara (zaman Majapahit) yang dahulunya berbentuk seperti manusia asli, dimodifikasi sedemikian rupa dari kulit kerbau yang ditipiskan, penampilannya dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, dan diapit dengan penguat (agar mudah dipegang) dari bahan tanduk Kerbau atau Sapi.

Perubahan lain yang dilakukan raden Patah adalah, menambahkan tokoh Gajah dan wayang Pramponan. Selain itu, Sunan Bonang menyusun strutur gramatikanya, Sunan Prawata menambahkan tokoh Buto (raksasa), Kera, dan juga menambahkan skenario cerita di dalamnya. Sedangkan Sunan Kalijaga mengubah sarana pertunjukan, yang awalnya dari kayu diganti dengan batang pisang. Ada pula penambahan Blencong (lampu penerangan), Kotak Wayang, Cempala (pengatur ritme, berupa kayu untuk memukul kotak), dan Gunungan.

Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya, tentu disisipkan unsur-unsur moral keislaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka, juga beberapa tokoh lainnya. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.

Dalam sejarahnya, para Wali berperan besar dalam pengembangan pewayangan di Indonesia. Sunan Kalijaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Bahkan para Wali di tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian.

Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain yaitu “Mana yang Isi (Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) serta mana yang harus dicari (Wayang Golek)”.

Disamping menggunakan wayang sebagai media, para Wali juga melakukannya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya lainnya, contohnya melalui penciptaan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, Gamelan, dan lakon Islami.

Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca Syahadat, diajari Wudhu’, Shalat, dan sebagainya. Sunan Kalijaga adalah salah satu Walisongo, yang tekenal dengan minatnya berdakwah melalui budaya, dan kesenian lokal. Beliau menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk, sebagai sarana dakwah. Sunan Kalijaga jugalah pencipta (perancang model) dari baju takwa, perayaan Sekaten, Grebeg Maulud, Layang Kalimasada (dalam pewayangan), sebuah lakon wayang Petruk Jadi Ratu (raja). Lanskap pusat kota berupa Kraton, Alun-alun dengan dua Beringin (kembar) serta Masjid Jami' dalam lingkupnya,  diyakini sebagai karya beliau.

(Selesai)

Diolah dari beberapa sumber baca (buku), dan tulisan lain dalam pembahasan yang sama di internet.

 

 

Kamis, 12 September 2019

Pengertian Prosa: Ciri-Ciri, Jenis, dan Contoh Prosa

Pengertian Prosa: Ciri-Ciri, Jenis, dan Contoh Prosa

Pengertian Prosa Adalah
Apa yang dimaksud dengan prosa? Pengertian Prosa adalah suatu karya sastra yang bentuknya tulisan bebas dan tidak terikat dengan berbagai aturan dalam menulis seperti rima, diksi, irama, dan lain sebagainya.

Arti tulisan di dalam prosa bersifat denotatif atau tulisan yang mengandung makna sebenarnya. Walaupun terkadang terdapat kata kiasan di dalamnya, hal tersebut hanya berfungsi sebagai ornamen untuk memperindah tulisan dalam prosa tersebut.

Secara etimologis, kata prosa diambil dari bahasa Latin “Prosa” yang artinya “terus terang”. Sehingga pengertian prosa adalah karya sastra yang digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta.

Ciri-Ciri Prosa

Kita dapat mengenal suatu karya sastra dari karakteristiknya. Adapun ciri-ciri prosa adalah sebagai berikut:

1. Bentuknya Bebas

Seperti yang dijelaskan pada pengertian prosa di atas, bentuk prosa tidak terikat oleh baris, bait, suku kata, dan irama. Umumnya bentuk prosa adalah rangkaian kalimat yang membentuk paragraf, misalnya dongeng, hikayat, dan lainnya. Prosa dapat disajikan dalam bentuk tulisan maupun secara lisan.

2. Memiliki Tema

Setiap prosa pasti memiliki tema yang menjadi dasar dalam cerita dan merupakan pokok bahasan di dalamnya.

3. Mengalami Perkembangan

Prosa selalu mengalami perkembangan karena dipengaruhi oleh perubahan yang ada di masyarakat.

4. Terdapat Urutan Peristiwa

Biasanya di dalam prosa terdapat alur cerita yang menjelaskan urutan peristiwa. Alur peristiwa tersebut ada yang berbentuk alur mundur, maju, atau campuran.

5. Terdapat Tokoh di Dalamnya

Seperti halnya karya sastra lain, di dalam prosa terdapat tokoh, baik itu manusia, hewan, ataupun tumbuhan.

6. Memiliki Latar

Di dalam prosa terdapat latar pada masing-masing kejadian, baik itu latar tempat, waktu, dan suasana.

7. Terdapat Amanat

Di dalam prosa mengandung amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca atau pendengarnya sehingga dapat mempengaruhi mereka.

8. Pengaruh Bahasa Asing

Pada prosa bisa dipengaruhi oleh bahasa asing, misalnya bahasa Jepang, atau bisa juga tidak terpengaruh.

9. Nama Pengarang

Setiap prosa tentu ada yang mengarangnya. Namun, nama pengarang tidak selalu dipublikasikan.

Jenis-Jenis Prosa

Secara umum prosa dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu prosa lama dan prosa baru. Mengacu pada pengertian prosa, adapun jenis-jenis prosa adalah sebagai berikut:

A. Prosa Lama

Prosa lama adalah jenis prosa yang tidak atau belum dipengaruhi oleh kebudayaan luar dan biasanya disajikan secara lisan. Beberapa yang termasuk dalam prosa lama adalah:

1. Hikayat

Bentuk prosa lama yang sifatnya fiktif yang mengisahkan tentang kehidupan peri, dewi, pangeran, puteri, dan raja-raja yang mempunyai kekuatan gaib.

Contoh; Hikayat Hang Jebat, Hikayat Raja Bijak

2. Sejarah (Tambo)

Bentuk prosa lama yang menceritakan peristiwa sejarah dan sesuai fakta. Di dalamnya juga terdapat silsilah raja-raja.

Contoh; Sejarah Melayu oleh Tun Sri Lanang (1612).

3. Kisah

Bentuk prosa lama yang menceritakan mengenai perjalanan, pengalaman, atau petualangan seseorang di jaman dahulu.

Contoh; Kisah Raja Abdullah Menuju Kota Mekkah.

4. Dongeng

Bentuk prosa lama yang berisi cerita khayalan masyarakat di jaman dahulu. Dongeng memiliki beberapa bentuk, yaitu;

Mitos (myth), dongeng yang menceritakan kisah-kisah gaib. Contoh; Ratu Pantai Selatan, Batu Menangis, dan lain-lain.Legenda, dongeng yang menceritakan tentang asal-usul terjadinya suatu peristiwa atau tempat. Contoh; Legenda Danau Toba, Legenda Tangkuban Perahu, dan lainnya.Fabel, dongeng yang tokoh di dalam adalah binatang. Contoh; Si Kancil dan Buaya, dan lain-lain.Sage, dongeng yang menceritakan tentang kisah kepahlawanan, kesaktian, atau keberanian seorang tokoh. Contoh; Patih Gadjah Mada, Calon Arang, Ciung Winara, dan lainnya.Jenaka atau Pandir, dongeng yang menceritakan tentang perilaku orang bodoh, malas, cerdik, dimana penyampaiannya dengan humor. Contoh; Lebai Malang, Pak Belalang, dan lainnya.

5. Cerita Berbingkai

Bentuk prosa lama dimana cerita di dalamnya terdapat cerita lagi yang disampaikan oleh tokoh di dalamnya.

Contoh; Cerita Berbingkai Seribu Satu Malam.

B. Prosa Baru

Prosa baru adalah jenis prosa yang telah mengalami perubahan akibat pengaruh kebudayaan barat. Beberapa yang termasuk dalam prosa baru adalah:

1. Novel

Bentuk prosa baru yang di dalamnya terdapat cerita yang panjang mengenai kehidupan tokoh di dalamnya, dan bersifat fiktif atau non-fiktif.

Contoh; Novel Laskar Pelangi, Ave Maria dan lainnya.

2. Cerpen

Bentuk prosa baru yang di dalamnya terdapat kisah tokoh utamanya, konflik serta penyelesaiannya yang ditulis secara ringkas dan padat.

Contoh; Keluarga Gerilya oleh Pramoedya Ananta, Robohnya Surau Kami oleh A. A. Navis.

3. Roman

Bentuk prosa baru yang di dalamnya terdapat kisah hidup seseorang secara menyeluruh, mulai dari lahir hingga meninggal.

Contoh; Layar Terkembang oleh Sultan Takdir Ali Syahbana.

4. Riwayat

Jenis prosa baru berupa tulisan yang menceritakan mengenai kisah hidup seseorang yang menginspirasi.

5. Kritik

Jenis prosa baru berupa tulisan dimana isinya merupakan tulisan yang memberi alasan atau menilai hasil kerja orang lain.

6. Resensi

Jenis prosa baru berupa tulisan yang berisi rangkuman atau ulasan suatu karya (buku, seni, film, musik, dan lainnya). Di dalam resensi berisi pendapat dari sudut pandang penulis mengenai kelebihan dan kekurangan suatu karya.

7. Esai

Bentuk tulisan yang isinya adalah opini atau sudut pandang pribadi mengenai suatu hal yang menjadi topik utama di dalam tulisan tersebut.

Itulah penjelasan ringkas mengenai pengertian prosa, ciri-ciri prosa, jenis-jenis dan contoh prosa. Semoga artikel ini bermanfaat dan menambah pengetahuan kamu.

Dikutip dari berbagai sumber, berdadarkan hasil pencarian Google.

Rabu, 04 September 2019

Takkan Ada Cinta Lama

Panorama gunung Pandan tampak begitu indah dari kejauhan, sekilas penampilannya seperti seorang raksasa yang sedang tertidur dengan pulasnya. Banyak legenda yang menceritakan penampakan gunung di Kecamatan Rejoso, Nganjuk itu, terutama tentang dongeng Gunung Pandan yang konon adalah kuburan Raden Hanoman (salah satu tokoh dalam epik Ramayana). Penampakannya yang terlihat seperti gundukan besar memanjang, menyerupai sebuah makam. Dan berbagai kisah mistis-mistis lain didalamnya, yang selalu mengundang rasa penasaran dalam relung kalbuku.

Entah, mengapa setelah hampir tigapuluh tahun lamanya, perasaan rindu untuk bisa kembali datang ke sana terasa begitu kuat. Dahulu, menjelajahi hutan di lerengnya menjadi kebiasaanku di masa muda. Menyusuri setapak di bawah lerengnya, diantara hamparan pohon jati yang rimbun, dimana kelebatan daunnya mampu menghalangi sinar matahari mencapai lantai hutan.

Tentu kisah ini pasti juga akan sampai kepada kisah asmara di masalaluku, dengan salah seorang gadis gunung yang sangat cantik jelita, Supeni, kembang desa Bendosewu saat itu.

Sekitar pukul sepuluh pagi, ketika motor trailku tiba di ujung desa. Di samping sebuah warung kecil kuparkirkan sepedamotor, di tempat yang terlindung dari paparan sinar mentari. Kemudian dengan perlahan kulangkahkan kaki menuju pintu warung, lalu mengucapkan salam kepada pemilik warung, dan beberapa orang yang terlihat ada di sana.

"Kulonowun!"

"Monggo!" terdengar balasan salam, dari semua yang ada di sana.

Kemudian aku beranjak untuk menjabat tangan pada dua orang tamu warung, dan kepada seorang wanita setengah baya pemiliknya.

"Ini dulu warung Mak Yati ya kan, Yu (kakak)?" tanyaku kepada pemilik warung.

"Iya, dulu ini memang warung beliau. Orangnya sudah meninggal sepuluhtahun yang lalu, saya meneruskan usahanya," jelas pemilik warung, "Sepertinya saya belum pernah melihat, atau bertemu dengan Sampeyan (bahasa Jawa halus untuk kamu), tapi sepertinya kenal betul dengan mertua saya?"

"Nama saya Kasmijan, Yu. Saya dari desa Talang, dulu saya sering datang kemari ketika Mak Yati masih ada."

"Kasmijan?! Dulu yang sering kesini, membawa bibit Lamtoro Gung (petai)?!" seorang yang sepantaran denganku, tiba-tiba menukas pembicaraan dengan ekspresi bertanya-tanya.

"Eh iya, Kang. Sampeyan siapa, ya?"

Orang itu berdiri dari tempat duduknya, kemudian memindahkan dirinya duduk disampingku.

"Aku Tarmidi, Jan! Anaknya Mbah Jodikromo, ingat?!" kata Tarmidi girang, dan saat dia tersenyum aku langsung mengingatnya.

"Ya, aku ingat kamu Di! Aku langsung teringat pada codet di bibirmu itu, saat tadi kamu tersenyum. Hahaha!" kamipun berangkulan, saling menepuk-nepuk bahu masing-masing.

"Kenapa kamu sudah tampak setua ini, Di? Hampir semua rambut di kepalamu, sudah berwarna putih."

"Jangan meledek! Rambutmu pun pasti sudah sepertiku ini, tetapi kamu menyemirnya kan?!"

"Hahaha!"

"Kalian sudah saling kenal?" tanya pemilik warung kepada heranan.

"Tentu sudah lama aku mengenalnya, Nem. Dia adalah teman baikku di masalalu, yang terbaik bahkan." jawab Tarmidi, dengan raut bangga di wajahnya.

"Nem, siapa?" tanyaku.

"Nama pemilik warung ini Sakinem, dia menantu dari almarhumah Mak Yati. Istrinya Wagiran, kamu masih ingat dia?" jawab Tarmidi, kali ini ada kesan kesedihan pada raut wajahnya.

"Wagiran Sudrun (bodoh)?" jawabku.

"Hahaha! Ternyata kamu masih mengingatnya, sudah hampir 30 tahun yang lalu."

"Kenapa Kang Wagiran dipanggil Sudrun, Kang?" tanya Yu Sakinem.

"Hahaha! Dia bukan hanya sudrun, bahkan sinting! Suatu hari dia pulang dari hutan, sambil membawa 3 ekor anak Macan Kumbang," Tarmidi menghentikan ceritanya, seperti srdang berusaha masuk ke dalam kisah kenangan itu, "malam harinya, orangtua macan itu datang mengambil paksa anak-anaknya. Rumah Wagiran diobrak-abrik, sampai hampir roboh oleh kedua macan itu. Untunglah pada malam itu, kedua orangtua dan Wagiran sedang tidak ada di rumahnya, karena sedang menghadiri acara pernikahan salah seorang kerabatnya di desa lain."

"Apa?! Kang Wagiran belum pernah menceritakannya ini, selama menjadi suamiku. Tolong ceritakan tentang hal itu ya, Kang Tarmidi!"

"Akan kuceritakan, tapi jangan kamu diamkan saja tamu kita seperti ini. Buatkan secangkir kopi, atau segelas teh manis untuknya!"

Yu Sukinem tampak sangat terkejut, karena melupakan hal itu. Memandangku dengan tersenyum dan menunduk malu, seakan memintaku untuk mengatakan sesuatu padanya.

"Teh manis saja, Yu!" seruku, sambil mengangguk padanya.

Dengan cepat tubuh wanita itu menghilang ke arah ruang dapur warung, yang terpisah oleh gedheg (dinding dari anyaman bambu) itu. Tetapi sebelumnya dia meninggalkan satu permintaan ke arah Tarmidi, "berceritalah dengan agak nyaring ya, Kang!"

"Iya, iya!."

*****

Bendoasri tahun 1988, saat baru saja lulus dari SMA. Teman-teman mengajakku mengadakan camping, dan berkegiatan sosial di desa itu. Kami akan menyumbangkan beberapa dus Mi Instan, beberapa puluh bibit Ayam, dan beberapa pakaian bekas layak pakai. Dan aku bawakan mereka seratus bibit lamtoro gung, dalam wadah polybag.

Desa itu sungguh sangat terpencil, akses menuju ke sana sangatlah sulit. Sebetulnya jarak dari kota Kecamatan tidaklah terlalu jauh, tetapi karena prasarana jalan yang memprihatinkan, jadilah tempat itu seperti terkucil nun jauh di lereng perbukitan.

Kami hanya pergi bertujuh dalam rombongan itu, bersama Satir, Tarjono, Sipan, Tarimin, Kardiman, Toha, dan aku sendiri. Mereka semua adalah teman sekelasku di SMA, tapi hanya Sipan yang rumahnya sedesa denganku.

Rencana camping yang sedianya hanya dua hari, tiba-tiba molor menjadi seminggu. Ini terjadi karena beberapa hal, selain karena pertimbangan kenyamanan, juga karena beberapa orang dari kami sudah terjerat cinta lokasi dengan para gadis desa di sana. Aku juga termasuk yang memilih tinggal lebih lama, dan memutuskan untuk tidak pulang.

Hati memang seluas samudera, akann sangat sulit menemukan titik mana yang membuatku jatuh cinta. Cinta aneh yang melibatkan perasaan terdalamku, kepada seorang gadis penggembala kambing bernama Supeni.

Seperti biasa setelah melakukan aktifitas di pagi hari, mandi di sendang (telaga), mencuci baju di pancuran, akupun segera kembali ke tenda. Tidak seperti pagi itu, aku dibuat terkejut dengan kehadiran seirang gadis penggembala kambing yang tampak sedang kebingungan.

"Sedang apa, Dik?" tanyaku, setelah meletakkan cucian dan peralatan mandiku di samping tenda.

"Mencari seekor anak Kambingku, Mas." jawab gadis itu lirih, menunduk malu tanpa berusaha menatap wajahku.

"Memang dia lari ke arah sini?"

"Iya, Mas. Eh, tidak tahu. Mungkin ke sini, beberapa tempat sudah kudatangi."

"Boleh aku ikut membantu mencari kambingmu itu, Dik?"

Dia tampak terkejut, dengan tidak sadar atas keterkejutannya itu dia menatap wajahku. Barulah kusadari, gadis ini sangat cantik. Sekilas orang yang memandang kecantikannya, pasti tidak akan percaya dia hanya seorang gadis desa biasa.

"Mas?! Kenapa menatapku seperti itu?!" tanyanya tergagap, dan itu sudah cukup membuatku salah tingkah tak karuan.

"Eh, anu. Bagaimana? Boleh aku membantu, mencari anak kambingmu yang hilang?"

"Jangan, Mas. Aku tidak ingin merepotkanmu, Mas. Biarlah, aku akan mencarinya seorang diri."

"Jangan! Hutan ini sangat luas, phon-pohonnya sangat lebat, belum lagi jika nanti kamu bertemu dengan Macan Tutul, Macan Kumbang, Babi, Ular, atau hewan berbahaya lainnya!"

"Hihihi!" Supeni terbahak mendengar nada khawatirku, lalu dia membungkam mulutnya sendiri karena tak ingin terdengar gelaknya, "aku kan lahir dan besar di tempat ini, masakan aku tidak mengetahui itu semua?"

"Eh, iya." Wajahku pun memerah mendengar jawaban katanya, tak terasa akupun menirukan dia membungkam bibirku sendiri. Kami akhirnya tergelak bersama.

(Draft)

Senin, 02 September 2019

Pahlawan Alumnus 88

"Bener-bener nggak masuk akal!" kataku sambil marah-marah, di sepanjang jalan pulang sekolah menuju rumah. Keputusan yang konyol, sepanjang jalan hidupku sebagai siswa teladan (telat datang pulang duluan), menurutku.

Terus memikirkan hal itu sampai tiba di rumah, hingga di dalam hati seakan aku berdialog dengan diriku sendiri.

Padahal kalo dipikir-pikir, sebesar apa sih kesalahanku? Masih tergolong dibatas kewajaran kan? Bagiku apa yang kulakukan itu adalah hal yang benar. Membela kaum yang lemah, tertindas, dan teraniaya (baca: kaum.memprihatinkan).

Orang-orang yang seharusnya, dan sepantasnya mendapat uluran tangan dewa dariku. Soalnya aku tahu, selain termasuk golongan kurang mampu (berfikir), mereka juga bernyali tikus, tidak punya keberanian, maupun keterampilan apa-apa. Mereka hanya pelajar lemah, yang tidak berdaya, dan kurasa aku wajib menolong, karena menyangkut masa depan mereka.

Tapi jujur saja, aku juga termasuk dalam kelompok mereka. Bedanya, aku punya nyali dan mental baja, bukan orang yang mudah ditindas. Akhirnya aku mencuri daftar nilai ulangan kelas, dan membuangnya. Itu, adalah perbuatan paling mengerikan. Bagai ibutiri,  siap merebus para pelajar yang sulit memahami hitung-hitungan.

Mungkin hanya aku yang berani melakukannya di kelas ini, atau bahkan di satu sekolahan. Itu adalah sebuah rekor paling bernyali bagiku, karena aku yakin; sampai lima, atau sepuluh tahun kedepan pun belum ada yang akan bernyali mengalahkannya.

Memang selain sebagai solidaritas membantu sesama, itu juga dalam rangka penyelamatan diriku sendiri. Siapa coba yang nggak pusing, tiap latihan atau ulangan nilaiku tidak pernah lebih dari tiga. Itupun kalau aku berhasil melirik kertas jawaban bintang kelas, yang duduk berseberangan bangku denganku.

Tapi tenang, yang lemah itung-itungan di kelas ini bukan cuma aku seorang. Ada banyak teman lainnya yang dapat nilai lebih parah dariku. Sebenarnya, kelompok lemah (golongan tidak mampu itung-itungan) hampir tiga perempat dari jumlah murid di kelas ini. Jadi kalau jumlah muridnya empat puluh orang, berarti yang matematikanya jeblok... sekitar tiga puluh orang.

Makanya setiap ulangan tiba, bukan cuma aku yang susah---satu kelas pun turut gelisah. Sebab semuanya tahu, bagimana cara perhitungan nilai di rapor. Semua nilai ulangan dan latihan selama ini ditotal, terus dibagi berapa kali ulangannya.

Pokoknya kalau aku itung-itung sendiri, nilai raporku kemungkinan dua koma enam. Sebab beberapa kali ulangan dapet nol besar banget, sampai guruku biasanya bilang, "Makan tuh, telur dadar!"

Dua koma enam (2,6), pasti emakku miris mendengarnya. Anak tunggalnya yang menuntut ilmu setiap hari, pagi berangkat sekolah dibuatin sarapan, dikasih sangu (uang jajan), tiap bulan dibayari SPP, cuma dapet nilai segitu.

Aku tidak bisa membayangkan gimana malunya emakku itu, apalagi kalau ngambil rapor, dia selalu duduk di bagian paling depan. Walaupun pastinya akan dipanggil belakangan, karena huruf awal namaku adalah W.

Ah  itu masih mending, lagi. Yang lebih gawat adalah, dua koma enam masih ditambah lagi sama nilai ulangan umum terus dibagi dua. Kalau ulangannya dapet nilai tinggi, kalau dapet nol lagi? Abis deh, dua koma enam dibagi dua, jadi satu koma tiga. Ini artinya, nilai matematikaku di rapor satu koma tiga?

Emakku pasti histeris teriak-teriak.

"Gusti! Owalah Le (panggilan anak lelaki), mending kamu ngarit (menyabit rumput) saja di sawah sana. Sekolah tinggi begini, tapi gak pinter. Mendingan emakmu, ngitung apapun bisa! Kamu cuma ngitung pakai kertas saja, ora bisa!"

Yah, mungkin (kurang lebih) omelannya seperti itu, seperti yang dialami oleh anak tetanggaku, yang mengalami hal yang sama denganku tahun kemarin.

Tapi setelah kupikir-pikir, semua ini tidak seratus persen murni kesalahanku. Ada faktor lain yang melatarbelakanginya, yaitu guru tua yang udah keriput, dan nafasnya tersengal.

Guru matematikaku itu sudah tua, tiap mengajar paling suka nembang (menyanyi lagu Jawa) sendiri. Dengan lagu yang sama, nada minor dan nada mayor tidak beda. Biramanya sama tinggi, disertai rintik-rintik bau jengkol yang membasahi mukaku saat mengkritikku. Saking seringnya nembang, sampai-sampai aku hafal banget tuh lagu---ora jelas!

Murid malas!
Apa kamu tidak pernah belajar, di rumah?
Ulangan nilai nol terus, kalau  guru nerangin tidak diperhatikan!
Bagaimana mau dapet nilai bagus, kalau belajar aja gak serius?
Mau jadi apa kamu?!

Menurutku itu lagu cuma reff doang, kalau denger syair yang super dahsyat itu kepalaku pasti langsung pusing. Kayaknya itu guru waktu sekolah nggak belajar seni musik deh, soalnya kalau dia belajar, pasti dia juga ngerti ngatur alur nadanya, kapan harus tinggi kapan harus rendah, nggak semuanya tinggi.

Akhirnya pas hari itu, rencana besarku dimulai. Rencana itupun mempunyai banyak dukungan, dari berbagai penjuru sudut kelas 1C. Bukan cuma dari (halaqoh lemah otak) di kelasku, tapi kelas yang lainnya juga sama. Mungkin juga ada dukungan non partai dari sekolah PGRI, atau Tsanawiyah, kuharap itu tidak pernah terjadi.

Matematika, selalu bikin pusing para penuntut ilmu. Dan yang kepilih untuk tugas besarku ini adalah teman-teman, yang biasa nongkrong di warung pojok sekolah.

Logikanya atau hanya fikiranku saja, kalau daftar nilai milik guru itu aku buang, maka catatan nilai semua murid selama ini akan hilang. Kalau menurut pegawai sipil, ini namanya pemutihan.

Awalnya pekerjaan ini berjalan mulus, buku absensi nilai itu berhasil kucuri dari ruang staf di kantor sekolah, dan kubuang ke kali dekat belakang sekolah. Dan dengan keyakinan hakiki, sampai kiamat pun kertasnya gak bakalan dapat diketemukan. Karena sudah kusobek-sobek sampai menjadi serpihan kecil, yang jumlahnya lupa gak kuitung. Yang pasti banyak, berhamburan mengikuti aliran sungai yang deras itu.

Kupikir, perbuatan itu akan aman-aman saja. Ternyata hari Sabtu aku dipanggil ke ruang guru, di sana aku dicerca pertanyaan dari berbagai corong, yang akhirnya bermuara ke gendang telingaku.

Dari mulai cuma pertanyaan biasa, sampai luar biasa. Dari ocehan kayak yang terdengar bagai geledek di masa kemarau, yang pada akhirnya sampai kepada satu keputusan. Aku diskorsing, selama satu minggu.

Teman-temanku yang ikut dalam misi tim "The koclok" itu, harusnya ikut bertanggung jawab juga. Sebab mereka termasuk orang yang terlibat langsung, dalam pencurian dokumen itu. Mereka memang tidak turun langsung dalam pencurian buku nilai, tapi hanya mengawasi keamanan saja. Waktu aku menyelinap ke kantor guru, ketika para guru itu sedang mengadakan rapat.

*****

Tapi aku bukanlah tipe orang yang suka ngumpet di belakang, kalau ada masalah. Dengan sifat kesatria, di hadapan para hakim, jaksa, dari guru-guru itu, aku mengaku dengan tegas. Aku jelaskan proses kejadiannya, yang apa adanya itu. Termasuk juga menyampaikan alasanku, kenapa mencuri daftar nilai tersebut. Dan aku juga menyatakan, bahwa tidak ada orang lain yang ikutserta dalam misi konyol ini. Hanya aku seorang, yang menjadi pelaku tunggal.

Kalau dipikir-pikir, aku bisa mengambil pelajaran dari kejadian ini. Aku jadi tahu, bagaimana sikap orang-orang di sekitarku. Kalau sudah begini, jangankan teman (yang ikut misi kemarin), teman sekelas, bahkan tetangga kelas (yang juga ikut merasakan berkah dari hilangnya daftar nilai itu) tidak ada yang peduli. Mereka seolah tutup mata dan telinga, bahkan menutup hidung juga. Mereka tidak mau tau, dan tidak ingin berbagi merasakan kesusahan yang sedang menimpaku.

Mungkin harus berbesar hati, juga berbesar jiwa. Ada kalanya, pemeran utama harus mengalami masa suram dalam pejalanan hidupnya. Ini pelajaran yang harus aku terima, untuk menyongsong masa depan yang lebih suram (sepertinya). Mau sukses bagaimana lagi, coba? Kalau jalan untuk nuntut ilmu saja malah distop begini? Tidak diijinkan mengikuti pelajaran, selama seminggu. Pasti jadi lebih bodo, kan?

Aku pulang meninggalkan halaman sekolah dengan kepala tegak, tidak mau tertunduk lemah dan sedih. Sebab aku tahu (dari setiap jendela kelas) murid-murid yang termasuk golongan otak lemah itu, sedang mengiringi kepergianku dari kelasnya masing-masing. Berdiri memagar memadati pinggiran lapangan, dan aku lewat di depan mereka (fantasiku saja).

Aku menarik napas dan menahannya, dada lebih kubusungkan lagi ke depan. Gaya jalanku juga kubuat sewibawa mungkin. Mata lurus ke depan, rahang mengatub, kedua pipi melembung, dan mulut sedikt gue manyunin (mulutku memang manyun).

Dari arah samping kiriku kubayangkan ada seseorang bersuara, "Kepada... Pahlawan revolusioner Sekolah Menengah Pertama Negeri Rejoso... Hormaaaattttt.... grakk!!"

Aku berpikir siapa yang memberi komando super konyol itu---pasti Suhanto, atau Sumarno, mungkin juga Wardi (yang kutahu sejak awal bercita-cita menjadi tentara) merekalah yang ikut bergabung dalam modus kemarin itu.

Serempak mereka memberi aba-aba, pada anak-anak yang berbaris mengiringi kepergianku siang itu. Indiah segera memimpin murid putri, menyanyikan koor Mars Pahlawan Bangsa.

Lebih dari itu, mereka pasti akan selalu mengingat siapa pahlawan sekolah ini. Di karier, juga masa depan mereka nantinya. Siapa pahlawan yang telah menyelamatkan nilai rapor mereka, dari ocehan bapak dan ibu mereka. Siapa yang berperan penting, dalam kenaikan kelas pada akhirnya.

Hanya satu orang yang akan mereka ingat yaitu aku, Winarto.

Biarpun diskors, aku tidak akan sedih. Aku bukan orang yang menyesali nasib, duduk galau di lantai, menangis meraung-raung seperti anak kecil. Aku adalah orang yang hebat, aku pemberani, pembela kaum lemah.

Telah berjasa, penyelamat kaum telmi (telat mikir), juga setia kawan. Murid terhebat dari murid hebat lainnya, walaupun pada akhirnya dengan semua yang aku banggakan itu membuatku diskorsing!

Yang jadi permasalahanku saat itu adalah, bagaimana cara ngomong sama emakku. Perempuan yang sudah melahirkan, membesarkanku dengan kedua tangannya seorang diri. Bagaimana reaksinya, kalau mendengar aku diskors?

Jika tidak mengaku pun dia pasti juga akan curiga, kalau aku tidak berangkat sekolah pada pagi harinya. Ini juga, bukan waktu libur panjang kenaikan kelas. Pasti aku akan diberondong pertanyaan-peetanyaan, yang pasti sepanjang gerbong kereta api. Belum lagi  mendengar dakwahannya tentang sekolah SR (sekolah rakyat), yang dibanggakannya itu.

Sesungguhnya pun, aku tidak pernah betah tinghal di rumah. Karena setiap hari, setiap waktu, setiap detik, harus selalu mendengar siraman qolbu, dari seorang emak milenial di rumah ini (bava: cerewet). Bahkan setiap aku melakukan hal kesalahan yang terkecil saja, gagang sapunya pasti ikut menyertai iringan (suara khas) radio rusak yang dimilikinya.

Sepertinya, aku harus cari jalan untuk menghabiskan waktu satu mingguku. Ini sangat wajib, kalau aku mau aman dari emakku itu. Mungkin yang harus aku lakukan, refreshing buat mendinginkan otakku yang ganas, karena lingkungan belakangan ini. Tempat mana yang cocok ya? Beijing? Belanda? Atau Ndrenges, ya?

Dari beberapa pilihan yang ada, rasanya tidak ada yang cocok buatku. Maklum, kan masih pelajar. Ahh... jadi malu sendiri. Baru ingat kalau masih pelajar, sombong-sombong pakai mau ke luar negeri segala.

Jangankan ke luar negeri, berangkat sekolah yang jaraknya 1 kilometer saja aku jalan kaki, karena gak punya sepeda. Apalagi udah dua minggu ini aku gak dikasih uang jajan, gara-gara disangka merebut permen lolipop anak tetanggaku yang masih umur lima tahun.

Konyol sih kedengarannya, tapi itu hanya bagi orang yang tidak tahu permasalahan aslinya, termasuk emakku sendiri. Sebenarnya aku tidak merebut lolipop itu, tetapi anak kecil itu sendiri yang memberikannya.

Tetapi, anak kecil itu kemudian menangis sampai termehek-mehek? Karena jempol kakinya terinjak kakiku, setelah permen darinya itu kuemut-emut

Nah, orang yang lewat dan sepintas melihat kejadian, disangkanya aku merebut permen punya anak kecil itu.

Itulah kesialan beruntun yang kualami, setelah berasa menjadi pahlawan di sekolahku (31 tahun yang lalu).

Dan bagi kalian alumni SMP Negeri Rejoso tahun1988, masih ingatkah akan kejadian itu? Pasti tidak! Karena aku mengarang cerita ini.

Selesai.

Melawan Lupa Tentang PRRI/PERMESTA

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) merupakan gerakan perjuangan menentang kebijakan pemerintah pusat yang dijalankan oleh Soekarno dan kroni-kroninya.

Dalam lintasan sejarah Indonesia, kehadiran PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) tak bisa dipisahkan dari keberadaan PDRI (Pemerintah Darurat Revolusioner Indonesia). Kedua peristiwa ini bagai mata rantai yang saling melengkapi.

PDRI dibentuk pada 19 Desember 1948 di Bukit Tinggi, Sumatera Barat oleh Syafruddin Prawiranegara. Ihwal terbentuknya PDRI bermula ketika Belanda melancarkan agresi kedua dengan menduduki ibukota negara, yang saat itu berada di Yogyakarta. Ketika itu Belanda juga berhasil menawan Presiden Soekarno, dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Beberapa jam sebelum ditawan, Soekarno menyurati Syafruddin selaku Menteri Kemakmuran RI, yang saat itu sedang menjalankan tugas di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Surat itu berisi mandat kepada Syafruddin agar segera membentuk PDRI.

Tanpa ada hambatan, sehari setelah itu, negara darurat pun terbentuk. Namun Syafruddin dan kawan-kawan terus diburu Belanda, yang tidak senang dengan berdirinya pemerintahan baru itu.

Roda pemerintahan terpaksa digerakkan dengan cara bergerilya, di hutan-hutan Sumatera Barat. Upaya Syafruddin menyelamatkan bangsa dari ketiadaan pemerintahan, boleh dikatakan berhasil. Melalui pemancar radio di Koto Tinggi, PDRI telah membukakan mata internasional, untuk tetap mengakui kedaulatan Republik Indonesia.

Setelah agresi militer Belanda berhenti, Soekarno dan Hatta pun dibebaskan. Setelah Dewan PBB mengakui kedaulatan Indonesia. Muhammad Natsir lalu datang ke Payakumbuh, membawa Syafruddin kembali ke Yogyakarta; untuk mengembalikan mandat pemerintahannya kepada Soekarno.

Setelah 10 tahun PDRI berlalu, pada tanggal 15 Februari 1958 Letnan Kolonel Achmad Husein mendeklarasikan berdirinya PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang berpusat di Padang, Sumatera Barat. Gerakan ini mendapat sambutan hangat dari para pejuang di wilayah Sulawesi, di mana pada tanggal 17 Februari 1958 mereka menyatakan mendukung PRRI.

Ikhwal pertentangan ini terjadi; dipengaruhi oleh tuntutan pemberlakuan otonomi daerah yang lebih luas, bukan tuntutan pembentukan negara baru, maupun pemberontakan. Tetapi lebih merupakan protes, mengenai bagaimana konstitusi dijalankan.

Bibit-bibit konflik tersebut mulai terjadi setelah dikeluarkannya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom; yaitu Provinsi Sumatera Tengah, yang mencakup wilayah provinsi Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang. Namun, protes tersebut yang harus ditumpas dengan kekuatan senjata.

Pengerahan kekuatan militer dalam penumpasan pemberontakan PRRI, adalah show of force terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia.

Semua tokoh PRRI adalah para pejuang kemerdekaan Indonesia, pendiri dan pembela NKRI. Pada waku Rapat Penguasa Militer Pusat pada tanggal 27 April 1957 di Istana Negara Jakarta, dalam pidatonya Achmad Husein mengatakan:

"Saya menjelaskan latar belakang terbentuknya dewan-dewan tersebut (Dewan Banteng di Sumatera Barat, Dewan Gajah di Medan, Dewan Garuda di Sumatera Selatan, dan Dewan Manguni di Manado). Sebagai seorang petugas negara dan sebagai TNI sejati yang ingin bertanggung-jawab bersama masyarakat, dalam rangka usaha untuk menyelamatkan nusa dan bangsa. Saya tidak dapat mengesampingkan fakta-fakta, yang tumbuh dan hidup di sekeliling saya. Bersumber pada pengalaman pahit, selama sebelas tahun dalam melaksanakan apa yang dinamakan demokrasi. Penyalahgunaan demokrasi yang meningkat kepada politieke verwording, dan verwording van het partijwezen, yang memang diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang oleh sistem-sistem sentralisme.

Tidak dapat disangkal; bahwa sistem sentralisasi mengakibatkan birokrasi yang tidak sehat, stagnasi dalam segala lapangan pembangunan daerah, sehingga mengakibatkan seakan-akan seluruh rakyat menjadi apatis dan kehilangan inisiatif. Apalagi adanya unsur-unsur, dan golongan-golongan yang tidak bertanggung-jawab, yang hendak memaksakan kemauan mereka yang tidak sesuai dengan alam pikiran Rakyat Indonesia, yang demokratis, dan bersendikan ketuhanan.

Keadaan yang seperti itulah pada umumnya menjadi latar belakang, dan sebab musabab dari tumbuhnya gerakan daerah di Sumatera Tengah, serta daerah-daerah lain. Jelaslah bahwa perjuangan atau gerakan-gerakan tersebut bersumber dari tujuan yang suci ke arah pembinaan suatu masyarakat yang adil, makmur dan berwatak, seperti berbahagia di bawah pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat; di mana terkandung unsur-unsur persamaan, bukan saja dalam lapangan politik dan hukum, tetapi juga persamaan dalam lapangan ekonomi, sosial, dan kebudayaan.

Pada tempatnya kiranya pemimpin negara berterima kasih kepada gerakan-gerakan rakyat di daerah-daerah, yang ingin mencegah pembelotan cita-cita Proklamasi 1945, yang disebabkan oleh usaha tidak jujur dari pemimpin-pemimpin yang berkuasa di masa lalu.

Tetapi alangkah kecewanya saya mendengar reaksi-reaksi dari beberapa pemimpin dan golongan di ibu kota ini, seakan-akan gerakan-gerakan yang timbul di daerah itu adalah suatu kesalahan besar. Saya menolak keras dan tegas segala provokasi dan propaganda palsu yang dilancarkan oleh siapa pun yang mencap perjuangan suci rakyat di daerah-daerah sebagai gerakan separatisme, agen imperialisme, dan nama-nama lain.

Apabila kita boleh berkata tentang penghianatan, maka sejarahlah yang telah dan akan menentukannya. Tetapi yang pasti pada masa silam, daerahlah yang telah menyelamatkan kelanjutan hidup pemerintahan Negara Republik Indonesia. yang ada sekarang ini, dengan diselamatkannya Pemerintah Darurat Republik Indonesia pada masa revolusi tengah bergejolak.

Saya sendiri sebagai Ketua Daerah berusaha menemui berbagai tokoh-tokoh terkemuka, seperti Bung Hatta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Bung Sjahrir, Halim dari PSI, Moehammad Natsir dari Masyumi, dan K.H. Dahlan dari NU. Malah Bung Hatta dua kali mengunjungi Sumatera Tengah untuk meninjau dan melihat sendiri pembangunan-pembangunan yang tengah dilaksanakan. Ia menganjurkan agar pembangunan dilanjutkan terus.

Diakui atau tidak, hingga akhir tahun 1957, kondisi Indonesia sudah mengkhawatirkan. Infiltrasi komunis di pemerintahan dan masyarakat sudah sampai ke titik tertinggi, dan kekuatan komunis di Jawa sudah membahayakan. Apalagi tingkah laku Bung Karno makin menyuburkan PKI."

1. Awal Gerakan
Sejumlah perwira aktif dan perwira pensiunan mantan anggota Divisi IX Banteng di Sumatera Tengah menggagas pembentukan Dewan Banteng di Jakarta pada 21 September 1956. Gagasan itu didorong oleh kenyataan bahwa setelah kemerdekaan nasib para prajurit dan masyarakat yang menetap di luar pulau Jawa jauh dari kesejahteraan, padahal mereka adalah para pejuang yang bertaruh nyawa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1945-1950. Kondisi yang ada di Sumatera mereka pandang jauh berbeda dibanding pembangunan di pulau Jawa, padahal sumber devisa terbanyak saat itu berasal dari pulau Sumatera.

Hal lain yang menimbulkan ketidakpuasan mereka adalah munculnya ide NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) yang digagas oleh Soekarno tahun 1956. Dan perlakuan pemerintah pusat terhadap Komando Divisi IX Banteng.

Divisi IX Banteng adalah suatu divisi dalam Angkatan Perang Republik Indonesia, yang dibentuk pada masa Perang Kemerdekaan tahun 1945-1950 melawan kolonialis Belanda, dan membawahi teritorial Sumatera Tengah yang terdiri dari Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau serta Jambi sekarang ini. Divisi IX Banteng mempunyai pasukan yang cukup banyak karena adanya Sekolah Pendidikan Opsir di Bukit Tinggi, bahkan salah satu pasukannya yaitu Resimen 6 dianggap sebagai pasukan terbaik di Sumatera.

Penciutan Divisi Banteng dilakukan dengan mengirim pasukan-pasukannya ke berbagai daerah diantaranya ke Jawa Barat, Aceh, Ambon dan lain-lain. Salah satu pasukan Divisi Banteng yaitu Batalyon Pagaruyung mengalami nasib yang lebih menyedihkan dibanding batalyon lainnya. Seusai bertugas di Ambon, lima dari delapan kompinya dipindahkan dan dilebur ke dalam Divisi Siliwangi, Jawa Barat sehingga menyebabkan terputusnya hubungan dengan divisi induknya yaitu Divisi Banteng di Sumatera Tengah. Penciutan itu berlanjut terus sehingga akhirnya menyisakan satu brigade. Brigade yang kecil itu masih menyandang nama Brigade Banteng yang dipimpin Letnan Kolonel Achmad Husein. Selanjutnya brigade itupun diciutkan lagi sehingga hanya berbentuk resimen yaitu Resimen Infanteri 4 yang kemudian dilebur ke dalam Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan (TT I BB) yang berkedudukan di Medan. Achmad Husein-pun hanya menjadi Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB.

Perlakuan pemerintah pusat yang memecahbelah batalyon-batalyon, dan pembubaran Divisi IX Banteng menimbulkan rasa sakit hati para perwira-perwira, dan anggota pasukan lainnya dari Divisi Banteng yang telah berjuang mati-matian dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Pertemuan para perwira yang pertama di Jakarta pada 21 September 1956, kemudian dilanjutkan dengan pertemuan kedua di Padang pada tanggal 20-24 November 1956. Pertemuan tersebut dihadiri tidak kurang dari 612 perwira aktif dan pensiunan yang berasal dari Divisi Banteng yang telah dibubarkan itu. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang situasi sosial, politik dan ekonomi rakyat Sumatera Tengah yang dianggap memprihatinkan. Pertemuan itu akhirnya menghasilkan beberapa keputusan dalam bentuk tuntutan.

Pada tanggal 20 Desember 1956 dibentuklah suatu dewan untuk mewujudkan hasil-hasil pertemuan yang kedua itu. Dewan itu dinamakan "Dewan Banteng", yang tetap mengambil nama dari Divisi Banteng yang telah dibubarkan. Dewan Banteng tidak hanya didukung oleh para perwira militer mantan anggota Divisi Banteng, tetapi juga oleh semua partai politik yang ada di Sumatera Tengah kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan Dewan itu juga didukung oleh semua elemen masyarakat Sumatera Tengah, seperti ulama, kaum intelektual, pemuda, kaum adat, sehingga melahirkan semboyan ketika itu yang berbunyi: "Timbul Tenggelam Bersama Dewan Banteng".

Namun dalam pendiriannya Dewan Banteng tetap mengakui Pemerintahan Republik Indonesia dibawah Presiden Soekarno, dan Perdana Menteri Djuanda, serta Jenderal A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Adapun tuntutan Dewan Banteng adalah:

a. Pemberian dan pengisian otonomi luas bagi daerah-daerah dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta pemberian perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang wajar, layak dan adil.

b. Dihapuskannya sistem sentralisme yang dalam kenyataannya mengakibatkan birokrasi yang tidak sehat dan juga menjadi pokok pangkal dari korupsi, stagnasi pembangunan daerah, hilangnya inisiatif dan kegiatan daerah serta kontrol.

c. Pembentukan kembali Komando Pertahanan Daerah dalam arti teritorial, operatif dan administratif yang sesuai dengan pembagian administratif dari Negara Republik Indonesia dewasa ini dan merupakan komando utama dalam Angkatan Darat.

d. Ditetapkannya eks. Divisi IX Banteng Sumatera Tengah sebagai kesatuan militer yang menjadi satu korps dalam Angkatan Darat.

Pada tanggal 20 Desember 1956, Letkol Achmad Husein merebut kekuasaan Pemerintah Daerah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo, dengan dalih gubernur yang ditunjuk Pemerintah tidak berhasil menjalankan pembangunan daerah dengan baik.

Pada tanggal 22 Desember 1956, dua hari sesudah terbentuknya Dewan Banteng, Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan juga mengumumkan pembentukan Dewan Gajah di Medan, dan menyatakan melepaskan diri dari pemerintahan PM Djuanda, serta mengaku wilayah teritorialnya dalam keadaan Darurat Perang (SOB).

Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I (TT-I) Bukit Barisan yang menjabat Menteri Luar Negeri PRRI melihat bahaya komunis mengintai Sumatera Utara. Perkebunan-perkebunan raksasa yang saat itu berada di bawah pengawasannya rawan untuk disusupi komunis. Sebab, para buruh merupakan ”ladang emas” bagi mereka untuk digarap. Para buruh yang sudah terasuki paham komunis ini mendirikan organisasi bernama SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Organisasi ini bertugas melumpuhkan usaha perkebunan, transportasi, dan pelabuhan di Belawan, Sumatera Utara, sehingga pemasukan negara terhambat dan pemerintah mengalami kesulitan ekonomi. Rencana berikutnya, mereka akan menuntut kekuasaan.

Maludin Simbolon membentuk Divisi Pusuk Buhit dibantu oleh Mayor Boyke Nainggolan yang diangkat sebagai penasehat. Boyke merupakan putera dr. F.J. Nainggolan, mantan Menteri Kesehatan Negara Sumatera Timur. Sikap Kolonel Maludin Simbolon ini mendapat reaksi keras dari pemerintah pusat dengan memerintahkan KSAD Jenderal A.H. Nasution untuk memecatnya dan menggantinya dengan Letnan Kolonel Djamin Ginting.

Pada Maret 1958 Mayor Sinta Pohan menghalangi pengembangan pelabuhan Samudra, dan lapangan terbang Pinang Sori di Sibolga, Tapanuli Tengah. Ia mendapat dukungan dari Mayor Sahala Hutabarat selaku Komandan Resimen IV. Letkol Jamin Gintings lalu menskorsing mereka, tapi mereka justru keluar dari TNI dan bergabung dengan PRRI. Di samping itu Mayor Boyke Nainggolan, Wakil Kepala Staf Komando Daerah Militer (Kodam) TT I/BB malah mengultimatum Panglima TT I/BB Jamin Gintings agar turut membelot. Akibat imbauannya tidak dihiraukan, pada 16 Maret 1958 sekira pukul 03.00 pagi Mayor Boyke Nainggolan bersama pasukannya menyerang lapangan terbang Polonia, dibantu oleh Mayor Sinta Pohan dengan dukungan 12 truk pasukan. Mereka menahan pejabat militer yang tak mau bergabung.

Pada pertengahan bulan Januari tahun 1957 di Sumatera Selatan Letnan Kolonel Barlian juga membentuk Dewan Garuda, demikian juga pada 17 Februari 1957 Letkol Herman Nicholas Ventje Sumual mendirikan Dewan Manguni di Manado. Di Padang, Achmad Husein juga menuntut pembubaran Kabinet Juanda, dan mengusulkan Bung Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk kabinet nasional. Untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi, pemerintah pusat mengadakan musyawarah nasional pada September tahun 1957. Kemudian Musyawarah Nasional Pembangunan pada November 1957, yang bertujuan mempersiapkan pembangunan di daerah secara integral.

Di tengah kemelut yang demikian, pada 21 Februari 1957, Soekarno menyampaikan pidato tentang konsep Demokrasi Terpimpin yang disiarkan langsung oleh RRI ke seluruh Indonesia. Bukan meredakan keadaan, pidato ini justru menambah ketegangan politik negara. Pro dan kontra di tengah masyarakat tak terhindarkan. Masyumi dan Partai Katholik secara jelas menolak konsep ini. NU, PSII, Parkindo, IPKI, dan PSI menolaknya samar-samar. Sedangkan PNI dan PKI menjadi partai yang paling gigih mendukung konsep ini. Paling disayangkan dari keadaan-keadaan di atas adalah sikap Soekarno yang telah bulat dan yakin bahwa satu-satunya solusi atas seluruh persoalan bangsa adalah Demokrasi Terpimpin.

2. Berdirinya PRRI
Akibat tuntutan dari Dewan Banteng tidak mampu dipenuhi oleh pemerintah pusat. Hal ini mengakibatkan Dewan Banteng tidak lagi mengirimkan penghasilan daerah Sumatera Tengah ke Pemerintah Pusat, tetapi dipakai untuk pembangunan daerah. Bahkan Dewan Banteng juga melakukan barter hasil-hasil alam Sumatera Tengah dengan pihak luar negeri. Seluruh dana yang didapat dari hasil bumi itu digunakan untuk pembangunan daerah.

Hanya dalam beberapa bulan saja terlihat hasil yang nyata berbeda dengan keadaan sebelumnya, bahkan pembangunan di Sumatera Tengah di bawah Dewan Banteng dianggap sebagai yang terbaik di Indonesia pada waktu itu.

Apa yang dilakukan Dewan Banteng tersebut membuat hubungan daerah Sumatera Tengah dengan pemerintah pusat semakin menegang. Puncak dari ketegangan itu berujung pada terbentuknya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI. Pada waktu rapat raksasa di Padang, Letkol Achmad Husein selaku pimpinan mengeluarkan ultimatum yang isinya agar Kabinet Djuanda menyerahkan mandatnya kepada presiden dalam waktu 5 X 24 jam, dan presiden diminta kembali kepada kedudukan konstitusionalnya. Ia juga menuntut agar pemerintah pusat membersihkan kabinetnya dari unsur-unsur PKI. Ultimatum ini ditolak oleh pemerintah pusat, bahkan Achmad Husein dan kawan-kawannya dipecat dari Angkatan Darat.

Pada tanggal 15 Februari 1958, Letkol Achmad Husein mengumumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia di Padang. PRRI lalu membentuk kabinet dan Syafruddin Prawiranegara sebagai perdana menteri. Gerakan ini mendapat dukungan dari para tokoh elit politik pusat dari Partai Masyumi dan PSI. PRRI lalu membentuk kabinet yang terdiri dari:

Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan,
Mr. Assaat Dt. Mudo sebagai Menteri Dalam Negeri, Dahlan Djambek sempat memegangnya sebelum Mr. Assaat sampai di Padang,
Kol. Maludin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri,
Burhanudin Harahap sebagai Menteri Pertahanan dan menteri kehakiman,
Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran,
Muhammad Sjafei sebagai Menteri PPK dan Kesehatan,
J.F. Warouw sebagai Menteri Pembangunan,
Saladin Sarumpaet sebagai Menteri Pertanian dan Perburuhan,
Muchtar Lintang sebagai Menteri Agama,
Saleh Lahade sebagai Menteri Penerangan,
Ayah Gani Usman sebagai Menteri Sosial,
Kolonel Dahlan Djambek sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi setelah Mr. Assaat sampai di Padang.

Kolonel Maludin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri PRRI, pernah dibujuk oleh agen rahasia Amerika Serikat CIA (Central Intelligence Agency) agar PRRI meledakkan mau instalasi pertambangan minyak Caltex di Riau. Namun saran tersebut ditolak oleh Maludin, karena jika diledakkan akan ada alasan bagi Amerika Serikat untuk mendaratkan marinirnya ke Indonesia, karena usaha mereka di diganggu. Ia juga mengatakan bahwa ia tidak menghendaki Indonesia mengalami seperti yang terjadi antara Korea Utara dan Korea Selatan atau 'balkanisasi' negara dan bangsanya. Mengenai hal ini diungkap jelas dalam buku Payung Bangun: " Kolonel Maludin Simbolon Liku-Liku Perjuangan dalam Pembangunan Bangsa."(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, hal. 256-257).

3. Berdirinya PERMESTA
Di Makassar, Letkol H.N. Ventje Sumual bersama rekan seperjuangannya pada 2 Maret 1957 memproklamirkan berdirinya Piagam Perjuangan Semesta. Piagam tersebut ditandatangani antara lain oleh Letkol H.N. Ventje Sumual, Letkol Sjamsoedin Koernia (ayah Sjafri Sjamsoedin mantan Panglima Kodam Jaya), Mayjend Andi Matalatta (ayah penyanyi senior Andi Meriem Matalatta), Kolonel Daniel Julius Somba, Mayor Dolf Roentoerambi, Mayor Eddy Gagola, dan Kapten Wim Najoan. Gerakan ini meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia Timur serta mendapat dukungan dari tokoh-tokoh Indonesia Timur. Ketika itu keadaan Indonesia sangat rawan dan hampir seluruh pemerintahan di daerah diambil alih oleh militer. Selain itu mereka juga membekukan segala aktivitas Partai Komunis Indonesia, serta menangkap kader-kader PKI.

Keadaan semakin genting tatkala diadakan rapat di gedung Universitas Permesta di Sario Manado yang menghadirkan para tokoh militer, politik, dan kaum cendikiawan. Dalam rapat tersebut dibicarakan tentang pemutusan hubungan dengan pemerintah pusat. Kolonel D. J. Somba,  Panglima Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah memberikan gambaran tentang perkembangan di Sumatera dan keputusan agar dibentuknya PRRI. Selanjutnya ia memberikan sebuah pernyataan, "Permesta di Sulutteng menyatakan solidaritas dan sepenuhnya mendukung pernyataan PRRI. Oleh sebab itu, mulai saat ini juga Permesta memutuskan hubungan dengan Pemerintah Republik Indonesia, Kabinet Djuanda."

Seketika para peserta rapat berdiri dan menyambutnya dengan pekik, "Hidup PRRI! Hidup Permesta! Hidup Somba!" Setelah itu rapat diskors 30 menit untuk menyusun teks pemutusan hubungan dengan pusat oleh tiga orang yaitu Kolonel D. J. Somba, Mayor Eddy Gagola, dan Kapten Wim Najoan. Setelah selesai menyusun teks pemutusan hubungan degan Pemerintah Pusat, rapat dilanjutkan dan teks tersebut dibacakan kepada para hadirin. Respon peserta rapat sangat antusias, dengan ramai mereka mendengungkan pekik, "Hidup Permesta! Hidup PRRI! Hidup Somba-Sumual!" Setelah itu Mayor Dolf Roentoerambi bertanya kepada hadirin, "Bagaimana, saudara-saudara setuju?" Serentak menjawab, "Setuju! Setuju!"

Kembali suasana yang sangat ramai dari para hadirin. Setelah rapat tersebut, Kolonel D. J. Somba selaku pimpinan Kodam Sulawesi Utara dan Tengah mengadakan rapat di Lapangan Sario, Manado. Ia membacakan teks pemutusan hubungan dangan Pemerintah Pusat yang isinya: "Rakyat Sulawesi Utara dan Tengah termasuk militer, solider pada keputusan PRRI dan memutuskan hubungan dengan Pemerintah RI."

Hari itu juga pemerintah pusat kemudian mengumumkan pemecatan dengan tidak hormat atas Letkol H.N. Ventje Sumual, Mayor D.J. Somba, dan kawan-kawannya, dari Angkatan Darat. Saat itu pula para pelajar, mahasiswa, pemuda, dan ex-KNIL mendaftarkan diri untuk menjadi pasukan dalam Angkatan Perang Permesta. Bagi mereka yang telah mendaftar, langsung diberi latihan di Mapanget. Pada tahun 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado. Di sini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas dengan keadaan pembangunan mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga mengetahui bahwa mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self determination) yang sesuai dengan sejumlah persetujuan dekolonisasi. Di antaranya adalah Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville dan Konferensi Meja Bundar yang berisi mengenai prosedur-prosedur dekolonisasi atas bekas wilayah Hindia Timur.

Pergolakan ini pun terus berlanjut dan semakin menuju terjadinya Perang Saudara. Ketika itu Republik Indonesia, yang baru berdiri kurang lebih 10 tahun setelah pengakuan kedaulatan, benar-benar berada di ujung tanduk. Keutuhan Negara Republik Indonesia sangat membahayakan akibat maraknya terjadi pemberontakan karena ketidakpuasan dan ketidakcocokan terhadap kepemimpinan Soekarno, mulai dari DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), pemberontakan Andi Azis di Makassar, dan Republik Maluku Selatan.

Selain itu, di dalam tubuh pemerintahan RI banyak terjadi pergolakan politik terutama dengan silih bergantinya kabinet seiring dengan penerapan Demokrasi Terpimpin. Di sisi lain, hubungan Dwi Tunggal Soekarno dan Hatta mengalami keretakan. Hal ini terjadi akibat kedekatan Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia yang selalu memusuhi Hatta. Akhirnya dengan berat hati, Hatta mengundurkan diri dari jabatan sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia di kala suasana negara yang kritis.

Akibat pemutusan hubungan Permesta dengan pusat, Kota Manado menjadi sangat mencekam. Kegelisahan meghantui setiap penjuru Manado. Warga seakan tak bisa tenang untuk sesaat pun karena khawatir akan adanya serangan dari Pemerintah Pusat yang diperkirakan tak lama lagi akan datang menyerbu daerah yang dikuasai Permesta.

Banyak masyarakat Manado yang mengungsi ke luar kota untuk menghindari Perang Saudara yang tampaknya akan menjadi sebuah kenyataan, Di lain pihak juga dukungan terhadap Permesta semakin besar. Dengan masuknya Kolonel Alexander Evert Kawilarang mantan Panglima Kodam III/Siliwangi kelima dan Panglima Tentara dan Teritorium I Bukit Barisan pertama, setelah berhenti sebagai Atase Militer RI pada Kedubes RI di Washington DC, Amerika Serikat, ia berhenti dari dinas militer dengan Pangkat Brigadir Jenderal. Selanjutnya pulang ke Sulawesi Utara untuk bergabung dengan Permesta. Disana ia mendapat jabatan sebagai Panglima Besar/Tertinggi Angkatan Perang Revolusi PRRI dan Kepala Staf Angkatan Perang APREV (Angkatan Perang Revolusi) PRRI, dengan pangkat Mayor Jenderal dan selanjutnya ia menjadi Panglima Besar Permesta.

4. Operasi Militer
Pemerintah Pusat menganggap gerakan PRRI harus segera ditumpas dengan kekuatan senjata. Lantas pemerintah pusat melakukan operasi gabungan yang terdiri dari Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Operasi pun dilancarkan sebagai berikut:

1. Operasi Tegas dengan sasaran Riau, operasi ini bertujuan untuk merebut daerah perminyakan di Riau. Meski PRRI memiliki basis terkuat di Sumatera Barat dan Sumatera Utara, penunjukan Riau sebagai sasaran dinilai tepat. Pasalnya, posisi Riau cukup strategis karena berbatasan dengan jalur lalu lintas laut internasional. Menguasai Riau akan menutup kemungkinan pemberontak melarikan diri melalui selat Malaka. Selain itu Caltex (perusahaan minyak raksasa multi nasional asal Amerika Serikat), telah lama beroperasi di Riau.
Duta Besar AS Howard Jones didampingi pejabat tinggi Caltex menemui Perdana Menteri Juanda di Jakarta. Kedua tamu ini khawatir keselamatan warga dan investasi Amerika di Riau. Mereka mengisyaratkan ancaman. Armada Laut AS yang berpangkalan di Pasifik dan kesatuan militer Inggris di Singapura bersiaga di perairan Riau. Pasukan marinir AS akan diturunkan bila pemerintah Indonesia tak mampu mengamankan wilayahnya.

Operasi ini tergolong skala besar karena melibatkan kekuatan inti dari semua angkatan mulai dari AD, AL, AU, termasuk Kepolisian. Sebagian besar armada laut dan pesawat terbang dikerahkan. Abdul Haris Nasution yang berpangkat Letnan Jenderal berkedudukan sebagai ketua Gabungan Kepala Staf (GKS). Adapun yang menjadi komandan operasi ialah Letkol AD Kaharudin Nasution, Wakil I Letkol AU Wiriadinata, dan Wakil II Mayor AL Indra Subagyo. Selain pasukan reguler, pasukan elite masing-masing matra dikerahkan. Satu kompi RPKAD (kini Kopassus), dua kompi Pasukan Gerak Tjepat (PGT, kini Paskhas AU), dan Korps Komando (KKO) AL. Dalam operasi di Riau, satuan-satuan Brimob diturutsertakan di bawah pimpinan Komisaris Polisi Sutjipto Danukusumo. Penerjunan dan pendaratan pasukan diberangkatkan dari Tanjung Pinang, ibukota Riau Kepulauan. Pasukan RPKAD dari komando Kangguru pimpinan Letnan II Benny Moerdani, menyita sekira 80 truk yang ditinggalkan di landasan lapangan terbang. Setelah digeledah, truk-truk tadi membuat kebutuhan logistik berupa persenjataan dan uang.

2. Operasi 17 Agustus pimpinan Kolonel Ahmad Yani dengan sasaran Padang. Pasukan khusus dari Banteng Raiders dan KKO menjadi pasukan andalan yang dipersiapkan untuk menggempur pusat konsentrasi musuh dari darat dan laut. KRI Pati Unus pun dipersiapkan untuk membombardir Kota Padang sekaligus untuk mendaratkan pasukan dari laut. Meskipun Komando Pasukan Katak (Kopaska) belum resmi berdiri di tahun 1958, namun beberapa perwira Angkatan Laut dan RPKAD sudah disekolahkandi Amerika Serikat. Satuan pasukan tempur bawah air ini pun memiliki peran tingg dalam menumpas PRRI di Padang.
Malam 17 April 1958, pasukan inilah yang melumpuhkan penjagaan pantai pasukan PRRI di Kota Padang. Sehingga satu batalyon yang dipimpin oleh Kolonel Achmad Yani melenggang masuk ke kota ini. Ia berhasil menduduki Padang dalam waktu 6 jam. Setelah itu baru masuk ke Bukittinggi dan Payakumbuh, hingga akhirnya menguasai wilayah Sumatera bagian tengah sampai ke Riau dan Sumatera Utara.

3. Operasi Bukit Barisan di bawah pimpinan Letkol Jamin Gintings dilancarkan pada tanggal 7 April 1958. Jamin Gintings mendatangkan bantuan dari luar teritorialnya. Ada Yon Infantri Siliwangi, satu kompi Pasukan RPKAD dan satu kompi PGT/AURI. Selama dua minggu, pasukan Jamin Gintings beserta Batalyon 137 bergerak dari Sidikalang, via Dolok Sanggul, Siborong-borong, Tarutung, hingga Sibolga. Sementara itu pasukan Batalyon 133 Siliwangi pimpinan Mayor Raja Sahnan bergerak dari Rantau Parapat, via Kota Pinang, Gunung Tua, Panyabungan hingga ke Bukit Tinggi di Sumatera Barat. Hingga 27 April 1958 akhirnya Boyke dan pasukannya menyerah kepada pasukan Batalyon 137. Semua wilayah yang sempat diduduki Boyke seperti Lapangan Udara Pinang Sori kembali dikuasai Kodam TT I/BB. Jakarta mengirimkan pasukan payung yang diterjunkan di Medan untuk mendukung pasukan Jamin Gintings, sehingga pasukan yang setia pada Maludin mundur menghindari pertempuran ke utara Medan, lalu melanjutkan Balige, Tapanuli Tengah. Selanjutnya, Maludin dan pasukan yang loyal kepadanya kemudian melanjutkan perlawanan secara bergerilya, dan berkoordinasi dengan kekuatan PRRI lainnya di bawah Letkol Achmad Husein di Bukit Tinggi. Selain di Medan, pemerintah pusat juga menerjunkan pasukan payung dan melakukan pendaratan pasukan dari laut di Palembang dan Padang, untuk secara efektif menguasai kota-kota pusat perlawanan PRRI di Sumatera tersebut.
Pada tanggal 27 Juli 1961, Maludin Simbolon bersama staff dan pasukannya "Divisi Pusuk Buhit" menyerahkan diri secara resmi kepada Panglima Kodam II, Letkol. Manaf Lubis di Balige, Tapanuli. Dengan demikian rencana Maludin Simbolon dan kawan-kawan untuk merebut Sumatera Timur dan Tapanuli berhasil digagalkan.

4. Operasi Sadar di bawah pimpinan Letkol Dr. Ibnu Sutowo yang merupakan Panglima TT-II Sriwijaya dengan sasaran Sumatera Selatan.

Di masa penumpasan ini, kesempatan PKI untuk membalas dendam terhadap PRRI yang selama ini memusuhi mereka terbuka lebar, apalagi setelah Kolonel Pranoto diangkat menggantikan Kolonel Ahmad Yani sebagai Panglima Kodam III dan Komandan Operasi 17 Agustus.

Syafrudin Bahar, dalam Kaharoeddin Gubernur di Tengah Pergolakan, 1998, memaparkan bagaimana Pranoto mengerahkan sekitar 6.341 OKR (Organisasi Keamanan Rakyat) dan OPR (Organisasi Pemuda Rakyat) untuk menyerang PRRI. Jumlah ini hampir setara dengan sembilan batalyon tentara. Kenyataannya OKR menjelma menjadi Pemuda Rakyat yang dijadikan ujung tombak PKI melakukan berbagai teror, intimidasi, dan tindakan brutal. Banyak korban berjatuhan di Sumatera Barat yang semuanya adalah pendukung PRRI. Kebiadaban kian menjadi-jadi dengan ikutnya Mayor Latif sebagai Perwira Seksi I/Intelijen, Letnan Untung (kelak memimpin kudeta G30S/PKI) sebagai Komandan Kompi, dan anggota Biro Khusus Komite CC-PKI, Djajusman. Jadilah penumpasan PRRI sebagai ajang balas dendam menghabisi mereka yang dulu gencar menuntut pembubaran PKI. Pendukung PRRI yang tidak lari ke hutan sering ditemukan dalam karung tanpa kepala atau mata. Di Matur Mudik, tentara pelajar yang dijemput malam oleh OPR banyak yang tak pernah kembali lagi.

Di Mahek Suliki, anggota PRRI yang bersiap kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi ditembaki hingga tewas. Di desa Lariang, Bonjol Pasaman, Kolonel Dahlan Djambek yang bersiap turun gunung memenuhi panggilan pemerintahan Soekarno pada 13 September 1961 diberondong sampai tewas. Pada 29 Mei 1961 Achmad Husein menyerahkan diri dan berakhirlah pemberontakan PRRI. Presiden Soekarno mengeluarkan Keppres Nomor 449/1961 tentang pemberian amnesti umum kepada semua orang yang terlibat dalam PRRI/Permesta untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi sebelum 5 Oktober 1961. Seluruh tokoh yang terlibat dengan PRRI menyerahkan diri. Namun, amat disayangkan, selepas kembali ke pangkuan NKRI, mereka ditangkap dan dipenjarakan. Muhammad Natsir mantan Perdana Menteri Indonesia kelima dan Menteri Penerangan kedua sekaligus salah seorang ulama besar Indonesia yang ikut mendamaikan perseteruan antara PRRI dan pemerintah juga dituduh pro terhadap PRRI, ia ikut dipenjara dari tahun 1962-1966 bersama dengan Syafruddin Prawiranegara dan Burhanudin Harahap. Perlu diketahui pula bahwa saat itu dunia dalam suasana Perang Dingin. Seperti halnya saat ini, pihak Amerika Serikat sering memberi bantuan pesenjataan terhadap negara yang sedang kacau. Namun pihak pemerintah tetap memandang bahwa Muhammad Natsir dan tokoh lainnya adalah pemberontak dan antek Amerika Serikat. Muhammad Natsir dan Syafruddin Prawiranegara melakukan gerakan ini bukan atas dasar kepentingan Amerika Serikat dalam melawan komunisme. Tapi mereka yakin berdiri di atas kebenaran dan menegakkan keadilan. Keyakinan tersebut memperlihatkan rasa tanggung jawab atas amanah yang diberikan Tuhan ke pundak mereka. Audrey Kahin mengatakan, “Natsir and Sjafruddin had never lost the belief that their struggle would ultimately be successful. Both were intensely devout and retained a strong faith in the justice of their cause."

Untuk menumpas gerakan Permesta di Sulawesi, pemerintah pusat melalui KSAD Mayor Jenderal A.H. Nasution melakukan persiapan guna melakukan operasi militer terhadap kedudukan Permesta di Sulawesi. operasi ini di sebut Operasi Militer IV dengan pimpinan Letkol Bardosono dengan rincian sasaran Sulawesi Utara bagian Tengah pada bulan Maret 1958. Palu dan Donggala telah direbut oleh APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) dan Pasukan Mobile Brigade, di bawah pimpinan Kapten Frans Karangan. Dikabarkan bahwa akhir Maret 1958, Permesta mendapatkan bantuan gerombolan Jan Timbuleng (Pasukan Pembela Keadilan/PPK) juga turut bergabung gerombolan pemberontak lainnya, kurang lebih 300 orang dari satu kelompok (Sambar Njawa) yang dipimpin Daan Karamoy serta bekas istri Jan Timbuleng, Len Karamoy sebagai komandan pasukan, menawarkan diri untuk melatih sebuah laskar wanita untuk Permesta (PWP).

Pada 13 April 1958 pesawat-pesawat milik AUREV menyerang lapangan udara Mandai, Makassar, serta tempat tempat lainya seperti Ternate, Balikpapan dan Donggala dan serangan yang paling fatal adalah serangan terhadap Kapal Hang Tuah yang sedang bersandar di pelabuhan Balikpapan enyebabkan Kapal tersebut tenggelam. Pada tanggal 18 mei 1958 dilakukanlah Operasi Mena II di bawah Komando Letkol. KKO Huhnholz untuk merebut lapangan udara Morotai di sebelah utara Halmahera.

Soedomo selaku Kepala Staf memerintahkan untuk berlayar ke Pulau Tiaga di lepas Pantai Ambon dengan di dukung Pesawat P-51 Mustang dan B-26 serta Pasukan Gerak Cepat, Pasukan Angkatan Darat dan Gabungan Marinir. Lalu Datanglah serangan dari Allen Pope menggunakan Pesawat B-26 Invader. Sebelumya ia telah menyerang Ambon setelah terbang dari Mapanget. Seketika pun Allen Pope menukikan pesawatnya untuk menyerang kedudukan Pasukan APRI. Melihat tanda bahaya, para awak yang berada di dalam kapal dengan serentak melakukan tembakan balasan. Hampir seluruh pasukan yang ada di dalam kapal melakukanya. Mulai dengan penangkis udara, senapan serbu, senapan otomatis, senapan infanteri bahkan pistol.

Di sisi lain bantuan untuk pemerintah pusat pun datang dari penerbang bernama Ignatius Dewanto dengan menggunakan Pesawat kopkit P-51. Dewanto langsung memacu pesawatnya dan lepas landas untuk membantu iring-iringan ALRI yang diserang. Tetapi dia tidak menemukan B-26 AUREV. Ferry Tank (Tangki bahan bakar cadangan) dilepas di laut. Lalu terlihatlah konvoi kawan-kawanya yang diserang B-26 milik AUREV buruannya. Dengan cepat ia mengejar Dewanto lalu mengambil posisi di belakang lawan. Roket ditembakkan namun, berkali-kali lolos, disusul dengan tembakan 6 meriam 12,7 karena jaraknya lebih dekat, memungkinkan ia dapat mengenainya lebih besar.

Dewanto yakin tembakannya mengenai sasaran. Lalu semua awak yang berada di dalam kapal melihat pesawat milik AUREV itu terbakar lalu terlihatlah dua buah parasut yang jatuh, ada yang jatuh di sebuah pohon, serta luka terhempas karang. Kedua orang itu adalah Allen Pope dan Harry Rantung, Pope adalah seorang penerbang bayaran asal Amerika Serikat yang sedang melakukan tugas untuk membantu Permesta. Akibat melemahnya kekuatan Permesta di udara, menyebabkan APRI dengan mudah menguasai setiap Wilayah yang semula diduduki Permesta. Kemudian Pasukan RPKAD bersiap untuk menyerang Mapanget namun mengalami kegagalan serta menewaskan Miskan, seorang Prajurit dan Sersan Mayor Tugiman.

Pada tahun 1960 Pihak Permesta Menyatakan kesediaanya untuk berunding dengan pemerintah pusat. Perundingan pun dilangsungkan Permesta diwakili oleh Panglima Besar Angkatan Perang Permesta, Mayor Jenderal Alex Evert Kawilarang serta pemerintah pusat diwakili oleh Kepala Staf Angkatan Darat Nicolas Bondan. Dari perundingan tersebut tercapai sebuah kesepakatan yaitu bahwa pasukan Permesta akan membantu pihak TNI untuk bersama-sama menghadapi pihak Komunis di Jawa. Pada tahun 1961 Pemerintah Pusat melalui Keppres 322/1961 memberi amnesti dan abolisi bagi siapa saja yang terlibat PRRI dan Permesta tetapi bukan untuk itu saja bagi anggota DI/TII baik di Jawa Barat, Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan juga berhak menerimanya.

Sesudah keluar keputusan itu, beramai-ramai banyak anggota Permesta yang keluar dari hutan-hutan untuk mendapatkan amnesti dan abolisi. Seperti Kolonel D.J. Somba, Mayor Jenderal A.E. Kawilarang, Kolonel Dolf Runturambi, Kolonel Petit Muharto Kartodirdjo, dan Kolonel Ventje Sumual beserta pasukannya menjadi kelompok paling akhir yang keluar dari hutan-hutan untuk mendapatkan amnesti dan abolisi. Pada tahun itu pula Permesta dinyatakan bubar. Setelah PRRI/PERMESTA jatuh, kedudukan PKI semakin menguat. Sebagian tokoh militer yang ikut menumpas perjuangan PRRI/PERMESTA pada tanggal 30 September 1965 akhirnya terbunuh secara mengenaskan di tangan PKI.

Disarikan dari berbagai sumber.

KECERDASAN ITU BUKAN INTELETUALITAS

Perampok berteriak kepada semua orang di bank, ketika mereka melakukan perampokan siang itu, ”Jangan bergerak! Semua uang di bank ini, adalah milik negara! Hidup Anda adalah milik Anda!” semua orang di bank, kemudian tiarap karenanya.

Hal ini disebut mind changing concept (merubah cara berpikir). Semua orang (perampok) berhasil merubah cara berpikir, dari cara yang biasa menjadi cara yang kreatif.

Salah satu nasabah yang sexy mencoba merayu perampok, tetapi malah membuat perampok marah dan berteriak,  "Yang sopan ya, Mbak! Ini perampokan, bukan perkosaan!”

Hal ini disebut being professional (bertindak profesional). Fokus hanya pada pekerjaan, sesuai prosedur yang diberikan.

Setelah selesai merampok bank dan kembali ke markas persembunyian, perampok muda yang lulusan MBA dari universitas terkenal berkata, kepada perampok tua yang hanya lulusan SD, ”Bang, sekarang kita hitung hasil rampokan kita.”

”Dasar bodoh! Uang yang kita rampok sangat banyak, tentu akan sangat repot untuk menghitungnya. Kita tunggu saja berita di televisi, pasti akan disebutkan mengenai jumlah uang yang kita rampok.”

Hal ini disebut experience (pengalaman). Pengalaman hidup lebih berguna, daripada selembar kertas ijazah dari universitas.

Sementara di Bank yang dirampok, sang Manager berkata kepada Kepala Cabangnya, untuk segera melaporkan perampokan itu kepada Polisi. Tetapi kepala cabang berkata, ”Tunggu dulu, Pak. Kita ambil dulu 10 milyar untuk kita bagi dua, nanti totalnya kita laporkan sebagai uang yang dirampok.”

Hal ini disebut swim with the tide (ikuti arus). Mengubah situasi yang sulit, menjadi keuntungan pribadi.

Kemudian kepala cabangnya berkata, ”Alangkah indahnya, jika terjadi perampokan setiap bulan.”

Hal ini disebut killing boredom (menghilangkan kebosanan). Kebahagiaan pribadi, jauh lebih penting dari pekerjaan Anda.

Keesokan harinya berita di televisi melaporkan, uang 100 milyar dirampok dari bank tersebut. Perampok menghitung uang hasil perampokan, dan sangat murka, “Kita susah payah merampok cuma dapat 20 milyar, orang bank tanpa usaha dapat 80 milyar. Lebih enak jadi perampok yang berpendidikan, rupanya!”

Hal ini disebut sebagai knowledge is worth as much as gold (pengetahuan lebih berharga daripada emas).

Dan di tempat lain manajer dan kepala cabang bank tersenyum bahagia, karena mendapat keuntungan dari perampokan yang dilakukan orang lain.

Hal ini disebut sebagai seizing opportunity (berani mengambil risiko).

Selamat mencermati kisah diatas. Meski mengandung humor, namun ada beberapa point yang bisa kita tangkap dari kejadiannya.

Apakah anda bisa melihat, mengapa bangsa ini selalu ribut?

Kisah Perampokan diatas, adalah representing, segala sesuatu yg terjadi di Negara ini.

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...