Selasa, 25 September 2018

Anis Si Camar

"Aniiis! Kesini cepat!!" Haji Kabul memanggil anak gadisnya, yang sedang bermain handpbone di bawah pohon mangga. Yang dipanggil cuek saja, tidak segera berdiri... hanya menoleh dan menyahut, "Apa sih, Bah? Baru juga sampai... Sudah dipanggil ini,"

Haji Kabul pun beranjak dari tempatnya semula, sedikit tergesa dia mendatangi anaknya.

"He bocah gemblung! Kamu habis bikin onar lagi, ya?!" belum juga sampai ke tempat anaknya, mulutnya sudah kembali menghardik anak semata wayangnya itu.

"Onar apaan, Bah?" kali ini Anis menatap langsung mata ayahnya.

"Onar apa? Onar apa?... Kamu habis berkelahi lagi di pasar, kan?!"

"Itu bukan berkelahi, Bah. Aku lagi menolong penumpang yang kecopetan," sanggah Anis, sambil masih menatap wajah ayahnya, "Emang, siapa yang ngasih tahu Abah?"

"Haji Faruk... Yang jual kelontong di pasar itu, dia bilang orang yang kamu hajar itu... Sekarang masuk Puskesmas!" Haji Kabul, menggaruk kepala gundulnya dengan perasaan gemas, "Astaghfirullaahaladziim... Kenapa kamu jadi sebadung ini, Nak? Dulu semasa Ibumu masih hidup, tingkahmu tidak seperti ini,"

Anis tiba-tiba berdiri tepat di depan muka ayahnya, memandang ayahnya dengan pandangan marah.

"Abah jangan bawa-bawa nama Umi lagi, dia meninggal juga karena kesalahan Abah!" berkata begitu, Anis bergegas menuju moge (motor gede) yang terparkir di dekatnya. Sebentar kemudian, sepeda motor itu sudah meraung-raung dengan kerasnya... Meninggalkan rumah itu, menuju ke arah bukit. Tinggalah, Haji Kabul dengan perasaan marah dan kecewanya. Suara moge itu perlahan menghilang, bayangan tubuh anaknya pun sudah tak terlihat lagi.
***
Ternyata, Anis tidak benar-benar mengarahkan motornya menuju bukit. Di sebuah warung dia berhenti, warung Mak Kasiyah si Rondho Royal (jajanan dari singkong, yang dalamnya berisi gula jawa). Warung Mak Kasiyah memang bukan warung satu-satunya di desanya, tetapi warung yang paling ramai iya. Warung di ujung desa itu, adalah tempat berkumpulnya Anis dan teman-temannya... Sesama tukang ojek.

Sampai di sana, ia disambut dengan celoteh para sahabatnya, seperti layaknya anak buah menyambut Boss.

"Ini dia jagoan kita datang," kata Mahfud sambil bersikap mempersilahkan duduk padanya.

"Mak ! Kopi pahit untuk Boss Camar!" teriak Badrun si keribo

"Aku juga, Mak! Kopi mukacina! (mocachino)" Edrik si kerempeng ikut memesan

"Hahaha!" merekapun tergelak bersama, kecuali Camar yang hanya tersenyum kecut. Dan teman-temannya menyadari itu, mereka segera mengerubutinya dengan penasaran. Camar adalah gadis yang ceria, biasanya.

"Ada apa, Mar? Lecek bener wajahmu ?"

"Dimarahi Abah lagi?"

"Atau... Peristiwa di pasar tadi, jadi urusan besar?" silih berganti, temannya mencari tahu, tentang kecemberutanya itu.

"Sudahlah, kalian ambil pesanan kalian sana... Aku mau ke bengkel Bogang dulu, benerin rem motor," berkata begitu, Anis atau Camar meninggalkan warung Mak Kasiyah, "Pesanan mereka aku yang bayar, Mak!"

"Iya! Iya!" sahut Mak Kasiyah.
Sepeninggal Camar, teman-temannya belum berhenti bertanya, tentang kemurungan sahabatnya itu. Anis atau Camar, memang bekerja sebagai tukang ojek. Satu-satunya tukang ojek perempuan di Kecamatanya. Dia juga dikenal sebagai Jawara Wanita, didikan dari almarhum Pamanya... Haji Kardun Si Kebal dari Gunung Renteng (nama desa Anis).
Sebagai tukan ojek... Dia hanya mau mengantarkan Wanita dan Anak Kecil saja, pemuda, Pelajar, dan Bapak - bapak adalah bagian teman-temannya.

***

Entah mengapa, pertengkaran dengan ayahnya tadi menjadi fikiranya. Camar memang berubah semenjak kepergian Ibunya. Di dalam fikiranya, selalu menyalahkan ayahnya atas kematian ibunya. Camar lupa, bahwasanya... Jodoh, rejeki, dan kematian, adalah mutlak urusan Allah. Dan dia baru menyadari itu, perasaan bersalah seketika menyelimuti hatinya.

Dipacunya sepeda motor itu melintasi jalan desa, debu beterbangan memenuhi sepanjang jalan. Camar semakin berdebar, ketika kendaraanya semakin mendekati halaman rumahnya. Dari kejauhan, ia melihat ayahnya sedang memberi makan ayam-ayamnya. Sepeda motor dia parkir di baqah pohon mangga, kemudian berlari ke arah ayahnya... menubruk kakinya, memeluk kakinya diiringi tangisanya,

"Abah... Maafkan Anis, Bah. Selama ini, anis telah menyakiti hati, Abah,"
walaupun terkejut dengan peristiwa yang tidak diduganya itu, Haji Kabul dapat memaklumi situasi tersebut. Dia membelai kepala anaknya, dan berkata

"Abah maafkan, Nak. Abah sudah memaafkanmu, sejak awal kamu membenci Abah," Haji Kabul menarik tubuh Anis dalam pelukanya, "Sudah, lupakanlah semuanya... Abah hanya meminta satu hal saja padamu, kembalilah jalankan Shalat lima waktumu... Hanya itu"

Anis mengangguk pasti, ya... dia akan menjalankan hal baik, yang dahulu selalu diajarkan mendiang ibunya. Menjalankan Ibadah, mengaji, taddarus, pergi ke Masjid, yang selama ini dia tinggalkan.

"Tetima kasih, Abah" bisiknya lirih, mereka pun berpelukan memasuki rumah... Penuh kasih dan cinta.

Nganjuk, 26 September 2018
Postingan Pengganti :
#TIDAK_ADA_LAGI_YANG_DAPAT_KUKATAKAN

4 komentar:

makopako mengatakan...

Abah...betapa sosok seperti beliau ini selamanya jadi panutan kita-kita orang muda yang nanti juga menua. Keren kak. Suka ceritanya

Winarto Sabdo mengatakan...

terima kasih sudah berkunjung...ini cerpen dadakan cos yg postingan pertama diminta mengganti sm pj...alhamdulillaah lancar jaya...terima kasih kunjunganya

FathinFar mengatakan...

Galak yaa ayahnya 😢

Winarto Sabdo mengatakan...

displin itu mah... terima kasih sudah mampir...

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...