Selepas menjalankan Sholat Isya di kamarnya, Fathim segera berjalan menuju teras depan. Sudah tampak di sana Ki Jogoboyo, Nyi Jogoboyo, dan Pawestri. ki Jogoboyo duduk bersila menghadap meja, tampak dua cangkir porselen dan semangkuk besar singkong rebus di atas meja. Nyi Jogoboyo sedang menganyam sebuah tikar, sementara Pawestri tampak sedang merangkai manik-manik. Ruangan itu hanya bercahayakan sebuah ublik, pelita dari minyak kelapa yang berapi kemerahan.
Menyadari kedatangannya, Ki Jogoboyo melambaikan tangan padanya.
"Duduklah di sini, Nduk. Katanya, kamu akan menanyakan sesuatu padaku," lelaki 50 tahun itu menatapnya wajahnya sambil tersenyum, senyum yang mirip seperti senyum almarhum papanya.
"Aku sudah menyeduhkanmu teh hangat, Nduk. Itu, di cangkir sebelah Bapa-mu" berkata Nyi Jogoboyo sambil telunjuknya mengarah ke meja kayu itu. Fathim mengangguk berterima kasih, kemudian beranjak duduk di samping meja kecil itu.
"Baju-baju sampean juga sudah aku ambil dari jemuran... sudah kulipat juga, kutaruh di samping tas, Mbakyu" kata Pawestri di sela lincah tangan kecilnya merangkai manik.
"Astaghfirulloh... aku sampai melupakan kewajibanku, terima kasih ya Cah Ayu," jawab Fathim yang tiba-tiba memerah mukanya, bagai sudah terkuak satu lagi sifat burukya. Dia melihat lelaki itu tersenyum simpul, membuatnya menjadi semakin malu saja.
"Sudahlah, mulai saja pertanyaanmu Nduk" katanya, Fathim pun mengangguk.
"Ki, sebenarnya Banjar Paseban itu apa?" tanyanya, "Komunitaskah? Atau sebuah Koloni?"
"Banjar Paseban hakekatnya adalah sebuah wilayah, yang didiami oleh Kaum Paseban... hampir menyerupai koloni, karena di sini juga terdapat sistem pemerintahan. Tetapi, kami juga merupakan Desa Khusus di Kecamatan ini. Kami memiliki Struktur Kepemerintahan Desa, punya Kepala Desa, Sekretaris Desa, juga aparatur Desa lainnya... kamu sudah bertemu mereka sebelum kemari" kata Ki Jogoboyo membuka percakapan, sambil menyuruhku dengan tangannya memungut hidangan di meja... seperti yang dilakukannya. Aku pun mengambil sepotong singkong rebus, dan menyuapkan ke mulutku.
"Kaum Paseban itu adalah sekumpulan orang, yang mengasingkan diri dari dunia luar. Mereka dulu datang ke wilayah ini dengan berbagai tujuan, yang terbanyak memang karena ekonomi... saat pembangunan Banjar Paseban ini, kami datangkan ratusan orang untuk pengerjaanya. Setelah selesai pengerjaan, mereka malah memilih menetap disini membawa serta keluarga mereka. Yang bertujuan untuk lebih mendekat pada Yang Maha Esa juga banyak" imbuhnya,
"Dahulu mereka pun datang dengan berbagai agama, berbagai keyakinan dan kepercayaan. Sebelum pada akhirnya, mereka memutuskan untuk mengikuti kepercayaan kami Sabdo Jati"
"Seberapa luas wilayah ini, Ki? Kemarin, kakang Kebo Kenongo sudah bercerita sedikit saja padaku" Fathimah dengan wajah yang bersungguh-sungguh menanyakan itu.
"Secara keseluruhan... sekitar 10.000 hektar, seukuran empat desa di luar sana. Dulunya tempat ini adalah kebun teh yang sudah tidak produktif, dan hutan yang mengelilinginya dulu adalah sisa Bedhol Deso. Banjar Paseban dibagi menjadi lima Perdukuhan... Dukuh Pamijil di sebelah timur, Dukuh Pamudha di sebelah selatan, Dukuh Pawredha di sebelah barat, Dukuh Pralaya di sebelah utara, dan Dukuh Paseba di pucuk bukit ini. Nama perdukuhan itu juga menyimbolkan siklus kehidupan manusia, ketika masih di dalam kandungan, kelahiran, menjadi pemuda, menjadi tua, dan meninggal. Di Dukuh Paseba para Panuntun berdiam, dan juga... disanalah kediaman Ki Panuntun Agung, juga letak Paseban.Agung" mulut lelaki tua itu dengan lancar menjawab pertanyaan, diantara kecapan mulutnya yang mengunyah makanan.
Sesekali, diseruputnya kopi pahit dari cangkir porselen di depannya. Fathim pun melakukan hal yang sama, menyeruput teh tawarnya dengan nikmat.
"Ki Jogoboyo, sebelumnya saya mohon maaf... apakah Anda benar akan menjawab, semua keingintahuan saya?" tanya Fathim, yang mulai melihat keseriusan di wajah ayah angkatnya itu.
"Iya, Nduk. Aku akan menjawab semua pertanyaanmu, semua keingin tahuanmu, apapun semampuku menjawabnya... hanya jika itu menyangkut Keyakinan dan Kepercayaan kami, nanti aku antarkan kamu menghadap Ki Panuntun Agung," lelaki tua itu mulai menjumput sejenis tembakau dari tempatnya, lalu mulai melintingnya di selembar klobot (daun jagung yang dikeringkan). Dengan lihai dia melintingnya, menjadi lintingan yang mengerucut.
Seperti sudah mengerti apa yang harus dilakukan, Pawestri yang duduk di samping Fathim segera beranjak. Mengambil sebatang kayu yang terbakar ujungnya, dari beberapa kayu sisa pembakaran yang masih berasap di pawuan (perapian dari tanah liat). Kayu membara itu pun disodorkannya pada ayahnya, yang langsung menyulut lintingannya... disedotnya kuat-kuat lintingan itu, sehingga asap memenuhi rongga mulutnya... sebelum dia menghembuskannya dengan kuat ke udara. Segera saja ruangan itu sudah dipenuhi asap putih, dari sigaret yang sedang dinikmati Ki Jogoboyo. Fathim sudah ingin menutupi hidungnya dengan ujung jilbabnya, ketika terdengar suara lelaki itu menegurnya.
"Hiruplah asapnya, Nduk. Ini bukan seperti rokok yang kamu kenal di ngare (wilayah di luar banjar). Cobalah, kamu akan merasakan manfaatnya... percayalah" begitu kata salah satu Pamomong (pamong) Kaum Paseban iru. Dan Fathim pun mencobanya, ajaib... asap itu tidak berbau asap rokok. Mungkin yang dilinting itu bukan rajangan tembakau seperti rokok pada umumnya. Seakan mengetahui keheranan anak angkatnya, lelaku itupun berkata,
"Ini adalah racikan herbal dari beberapa dedaunan dan akar-akaran, yang sengaja diperuntukkan untuk lintingan ini. Kamu sudah merasakan efeknya, Nduk?"
"Iya , Ki. Tiba-tiba nafasku menjadi longgar, di dada terasa segar... keringat mulai keluar dai pori-poriku, badan serasa ringan. Jangan-jangan sampean sedang menghisap ganja ya, Ki?" terperanjat Fathim demi merasakan sensasi asap yang dihirupnya itu. Lebih terperanjat lagi adalah orang tua itu.
"Hahahahahaa!" Ki Jogoboyo tertawa dengan kerasnya, semua yang ada di ruangan itu nampak terkejut. Nyi Jogoboyo yang sejak awal hanya diam pun ikut terkejut, dia menghentikan jemarinya yang sedang menganyam sebuah tikar. Dengan mata agak melotot, dia memandang suaminya itu.
"Kakang! Kenapa tertawa seperti itu? Nanti terdengar Nyi Kunti, dia akan kesini... menanyakan yang tidak-tidak!" kata Nyi Jogoboyo, sambil memandang tajam wajah suaminya.
"Eh maaf, Nyi. Anakmu ini menuduhku menghisap ganja... (hahahaha)!" Ki Jogoboyo tertawa lagi, kali ini dia sambil membungkam mulutnya sendiri Pawestri dan Nyi Jogoboyo pun tersenyum-senyum memandanginya. Hanya Fathim yang seakan tidak tergoda, dengan kelucuan yang baru saja terjadi itu. Dia penasaran sekali dengan kata-kata ibu angkatnya tadi.
"Siapa Nyi Kunti itu, Ki?" tanyanya dengan serius, dan suasana pun tiba-tiba menjadi senyap. Semua menatap ke arah Fathim, seakan ingin memastikan... benarkah itu yang ingin dia ketahuinya.
"Baiklah... aku akan mengajak Fathim berjalan-jalan sebentar, Nyi. Ajaklah Pawestri tidur bersamamu dulu " mereka mengangguk sambil tersenyum, tanpa membantah sedikit pun. Nyi Jogoboyo membereskan anyaman tikarnya, Pawestri pun tak kalah gesit merapikan ruangan itu. Bergantian mereka mendatangi Fathim, memeluknya dengan erat dan mencium pipinya. Itu adalah kebiasaan di Banjar Paseban, memeluk dan mencium pipi setiap menjelang perpisahan. Fathim pun sudah merasa nyaman, dengan kebiasaan itu.
"Semoga tidak terjadi apa-apa pada dirimu ya, Nduk" bisik Nyi Jogoboyo di telinga Fathim, sambil mencium kedua pipinya. Dia memeluk tubuh wanita, yang sudah dianggapnya seperti pengganti mamanya itu, "Insyaalloh, Nyi" jawabya lembut.
"Semoga selalu diberikan keselamatan ya,, Mbakyu" bisik Pawestri diantara pelukkannya, dia memeluk tubuh gadis kecil itu dengan lebih erat... melayangkan beberapa kali ciuman, di pipinya dengan penuh kasih sayang. Dia memang sudah sangat akrab dengan gadis 15 tahun itu, menganggapnya seperti adiknya sendiri.
Sementara itu, Ki Jogoboyo telah beranjak dari tempat duduknya. Berjalan keluar, menghentikan langkah kakinya di bawah pohon nangka. Dia menoleh ke belakang, melihat ke arah anak angkatnya yang sedang memasang sepatunya.
"Cepatlah sedikit, Nduk," katanya, "Malam ini, kita akan berjalan agak jauh" berlari kecil Fathim menghampiri tempat ayah angkatnya, "Mari, Ki. Sebenarnya kita akan kemana, larut malam begini?" tanyanya sembari berjalan mengiringi langkah lelaki tua itu. Yang ditanya malah menyedot lintingan, sedotan tetakhir... karena setelah itu dia membuangnya ke tanah, dan menginjak dengan terompahnya.
"Kamu kan ingin tahu siapa Nyi Kunti, kita akan mendiami kediamannya di Dukuh Palaya... di dekat pekuburan.
Langkah mereka mengarah ke Timur, hampir melewati paregolan njawi ketika lelaki itu bersuit dengan nyaringnya. Tampak seseorang berlari tergesa menuju arah mereka. Malam itu bulan sedang bersinar tetang, sehingga Fathim bisa melihat laki-laki itu mendekat.
"Rahayu, Ki!" serunya sambil memeluk dan mencium tangan Ki Jogoboyo.
"Rahayu, Ngger Gagak Riwis. Dengan siapa engkau di paregolan?"
"Bersama Kakang Wregul Kandhas, dan Adhi Kebo Kenongo Ki" jawab yang ditanya. Fathim tiba-tiba merasakan debar aneh didanya, ketika orang itu menyebut nama penjaganya itu.
"Panggil Kebo Kenongo kesini!" perintah Ki Jogoboyo, orang utu pun bergegas pergi setelah sebelumnya menghaturkan sembah.
Kakang Kebo Kenongo, sosok pria yang seharian ini menghiasi angannya. Yang semalaman, membuatnya sulit memejamkan mata. Lelaki tampan yang selalu, bayangan wajahnya mengikuti kemanab un langkahnya. Dia sedang melamun, hingga tudak menyadari kedatangan lelaki yang dipujanya itu.
"Rahayu, Ki!" lelaki itu memeluk erat tubuh gurunya itu, mencium tanganya dengan oenuh hormat. Memerah wajah Fathim, karena tiba-tiba terdengar suara lelaki utu menyapa dirinya.
"Rahayu, Mbakyu!" berkata begitu, Kebo Kenongo sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di dada.
"Alhamdulillah... rahayu, Kakang" jawabnya hampir tak terdengar telinganya sendiri. Tiba-tiba saja tubuhnya gemetar, tak mampu memandang wajah lelaki itu.
"Ada apa, Bapa Guru memanggilku?" tanya Kebo Kenongo denhan sikap hormatnya.
"Malam ini kami akan ke Dukuh Pralaya, berangkatlah terlebih dahulu kesana. Sampaikan salamku untuk Gagak Rikatan, minta dia menyiapkan Uba Rampe" kata gurunya, Kebo Kenongo tampak sangat terkejut dengan kata-kata gurunya.
(BERSAMBUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar