Sabtu, 02 Februari 2019

Senja Itu Malaikatku (Bagian II)

Ismi sungguh-sungguh merasa sangat ketakutan, bukan karena kegelapan yang menjadi tempat Walimin memarkirkan becaknya. Tetapi, seratus meter dari jalan itu adalah tempat dia dan suaminya mengalami kecelakaan yang merenggut nyawa suaminya.

"Kang! Kamu sedang apa di tempat itu? Aku takut. Kang!" teriaknya keras, ketika dia melihat nyala lampu mobil dari kejauhan. Anida pun mulai kurang nyaman dengan suasana tempat itu, dia mulai merengek pada ibunya.

"Mak, kita dimana?"

"Sabar ya, Sayang. Pakdhe Walimin menyuruh kita menunggunya disini." rayu Ismi pada Anida, seraya tetap memandang nanar pada lampu mobil yang semakin mendekat itu.

Memorinya segera menyajikan kembali, kepada saat-saat naas bersama suami dan anaknya itu. Tubuh Ismi langsung gemetaran, keringat mengucur deras dari keningnya, dia membayangkan mobil dari kejauhan itu melaju kencang menuju ke tempatnya duduk di jok becak itu. Dia tidak melihat air muka Anida yang tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan ibunya, seperri ingin ikut menjerit tetapi si kecil itu tidak melakukannya.

"Kaaaaang!" teriak Ismi dicekam kepanikan yang luar biasa ketika mobil itu melintas dengan kencang di jalanan samping mereka, sampai dia tidak menyadari kedatangan Walimin di dekatnya.

"Ada apa sih, Is?" kata lelaki itu yang terlihat mendekap bungkusan kresek seukuran buah nangka yang besar, Ismi langsung memeluk tubuh Walimin dengan gemetaran. Tubuh Anida yang berada di antara pelukan itu mulai menangis, memanggil-manggil ibunya.

"Emak! Emak!"

Ismi segeea menyadarinya, dibelailah rambut anaknya dengan lembut, dikecupinya pipi anaknya, sehingga tangis si kecil itu pun terhenti. Walimin tersenyum melihat pemandangan yang berlimpahan kasih sayang itu, dalam hatinya berkecamuk memikirkan kata-kata Ismi sebelum ke tempat ini tadi.

"Aku ketakutan, Kang!" terdengar gemetar suara Ismi, Walimin segera mwmbelai rambut Ismi dan rambut Anida seraya menenangkannya.

"Tidak ada apa-apa, Is. Bawa bungkusan ini, dan mari kuantarkan kamu pulang. Kasihan Anida, udara malam semakin dingin."

"Mari, Kang." jawab Ismi, seraya menerima bungkusan kresek dar Walimin itu.

****

Sesampai di kontrakan Ismi melarang Walimin segera pulang, seperti biasanya dia akan menyeduhkan kopi pahit untuk leleki baik hati itu setelah menidurkan Anida.

Begitu kopi telah siap, Ismi segera mengantarkannya ke tempat Walimin duduk di lantai teras rumahnya. Di kontrakan itu memang tidak tersedia kursi duduk, kamarnya oun hanya seukuran tiga meter persegi. Selesai mengantarkan kopi, Ismi pamit akan mandi dulu.

"Kang, titip awasi Anida dulu ya, Aku mau mandi." katanya seraya tertatih dengan kruknya yang sudah lapuk. Walimin mengangguk dalam senyuman, sambil meniup-niup kopi dalam gelas itu. Menyeruputnya dengan nikmat, setelah seharian berkutat dengan aktifitasnya yang melelahkan.

Hanya beberapa menit Ismi mandi dan berhias seadanya, lalu dengan tertatih menuju tempat Walimin menunggunya. Setelah mandi wajah Ismi terlihat lebih cantik dari penampilannya tadi, rambut panjangnya diurai sampai menyentuh lantai saat dia duduk.

Walimin bukannya tidak pernah mengagumi kecantikan wanita pincang itu, bahkan setiap hari dia selalu bangga ada dia di atas becaknya. Sesungguhnya, Walimin pun jatuh hati kepada Ismi. Tetapi perbedaan usia mereka sangat jauh, dia sudah 60 tahun, sedangkan Ismi baru menginjak 30 tahun. Oleh karena itu dia hanya berani menjadi pengagum Ismi saja, dia tidak tega mengajak hidup bersama pada wanita yang seusia almarhumah anak sulungnya itu.

"Kang, Walimin. Sebenarnya, apa isi buntalan ini? Inikah kejutan untuk aku dan Anida, itu?" tanya Ismi sambil menatap kedua bola mata Walimin, mencoba mencari keseriusan dari wajah keriputnya.

"Iya, bukalah!"

Dengan perlahan-lahan, Ismi mengurai simpul yang menjerat sesuatu dalam bungkusan itu. Bungkusan itu sama sekali tidak terasa berat, karena itu dia sangat sulit menebak apa isi di dalamnya.

Dan ketika semua simpul yang mengikat bungkusan itu terbuka, maka tampaklah apa isinya. Ismi terkejut dengan apa yang dilihatnya, mulutnya tercekat tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

"U... u... ang?!" Ismi terbata menyebutkan apa yang dilihatnya di dalam bungkusan itu.

"U... ang... yang... ba... nyak, Kang!" serunya lagi, sambil mengeluarkan satu persatu uang yang sudah diikat rapi dalam gepokan itu. Denga gemetaran tangannya Ismi teeus mengeluarkan gepokan dwmi gepokan uang itu, menumpuknya di antara duduknya dan duduknya Walimin.

"Sudah kuhitung semuanya, Is. Ada 135 juta, hasil tabunganku selama ini ditambah sisa penjualan tanah warisanku di desa," kata Walimin sembari menyeruput kopi terakhirnya,"Ambilah semuanya itu untuk kebutuhanmu dan Anida."

Ismi semakin gemetaran tubuhnya mendengar kata-kata lelaki di depannya itu, kedua matanya berkaca-kaca memandangi wajah tua yang tersenyum tulus memandanginya.

"Tetapi kenapa, Kang? Ini adalah sisa harta kekayaanmu, Kang, mwngapa kamu memberikannya padaku begiti saja?"

"Karena aku tahu, kamu sangat membutuhkannya. Utang-utangmu untuk biaya perawatan di rumah sakit waktu kecelakaan itu, dan biaya penguburan suamimu belum kamu lunasi. Bayar kontrakan ini untuk 10 tahun kedepan, biar tidak menjadi beban pemikiranmu setiap bulannya. Dan aku ingat, kamu pernah bercita-cita ingin memiliki usaha kecil-kecilan sambil membesarkan Anida. Maka uang ini lebih kamu butuhkan, daripada aku."

"Tidak, Kang! Aku, tidak mau menerima begitu saja uang pemberianmu ini!" Walimin terkejut dengan perubahan sikap Ismi yang tiba-tiba itu, dia memandangi wajah Ismi dengan seksama.

"Kenapa, Is?"

"Ini adalah uang Kang Walimin, hasil tabungan Kang Walimin. Kang Walimin tiba-tiba menjadi dermawan, padahal sama sepertiku... Kang Walimin juga termasuk orang susah, orang miskin, orang tidak berpunya! Satu lagi, Kang Walimin bukan siapa-siapaku!" Ismi tiba-tiba menjadi histeris, sambil beringsut menjauhi tumpukan uang itu.

"Aku akan menikahimu, Is!" kata Walimin dengan tegas,"Ini adalah mahar yang akan kuberikan untuk menikahimu, bukan uang yang kuberikan dengan sia-sia!"

Seketika tangis Ismi pecah, air matanya berderai tak mampu dia menahannya lagi. Dengan merangkak berat dia mencoba mendekati tempat duduk Walimin, berhenti hanya satu meter saja dari lelaki yang masih tampat cukuo tenang menghadapi situasi itu.

"Ucapkan sekali lagi, Kang! Kamu akan menikahi, aku?!" tanya Ismi sambil tetapbdengan linangan air mata dikedua pipinya.

"Iya, Is. Aku akan menikahimu, kita akan membesarkan Anida bersama-sama... " Walimin belum sempat menyelesaikan kata-katanya, ketika pelukan Ismi tiba-tiba sudah bersarang di tubuhnya.

Wanita itu menangis dengan histeris di pelukan lelaki yang berhati malaikat itu, sebuah tangis bahagia mendengar kata-kata yang penuh anugerah baginya itu. Walimin hanya bisa membelai rambut panjang Ismi dengan lembut, lalu membisikkan kata-kata lembut di telinga wanita pujaannya itu.

"Maukah kamu menikah denganku, Is?"

"Iya, Kang! Aku bersedia menjadi istrimu, Kang. Aku akan abdikan jiwa dan ragaku untuk melayanimu, akunakan menjadi separuh nyawamu Kang."

****

Setelah menikah, mereka menempati kontrakan baru yang dekat dengan jalan raya. Anida pun sudah bersekolah di SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) di dekat mereka berjualan. Rumah tangga mereka berjalan dengan rukun dan damai, tidak sekali pun mereka terlihat terlibat satu percekcokan. Sementara itu Anida juga tumbuh semakin besar dan dewasa, prestasinya yang luar biasa di bidang pendidikan, membuatnya selalu mengantongi beasiswa dari pemerintah setiap tahunnya. Sejak SMP Anida sudah masuk ke sekolah umum, diterima secara khusus di SMP terfavorit di kota itu walaupun berkursi roda.

Selepas SMA Anida mendapat beasiswa di Tokyo university Jepang, disana dia mengambil jurusan Robotic. Dia juga mengajukan diri menjadi relawan untuk percobaan Medical Anatomy Robotic (MAR), yaitu pembuatan sendi robotik untuk membantu memulihkan kemampuan berjalan, pada pasien yang lumpuh akibat kecelakaan. Dan selama dua tahun percobaan, akhirnya Anida dan timnya berhasil membuat tubuhnya berjalan seperti manusia normal lainnya. Anida mendapat penghargaan atas kesediaannya mengenakan sendi robotic di tubuhnya, dan diangkat sebagai duta MAR ke seluruh dunia. Sudah empat tahun ini Anida belum bisa pulang mengunjungi orangtuanya, karena harus keliling dunia.

Ismi dan Walimin hanya bisa bersyukur dalam senyum bahagia mereka, mendengar kesuksesan-kesuksesan yang diraih anak sematawayang mereka itu. Mereka bahagia dengan kehidupan ini, mereka selalu menyukuri hidup yang sedang mereka jalani ini dalam do'a dan rasa terima kasih.

****

"Sudah semua dikemasi, Is? tanya Waliman kepada Istrinya.

" Hanya tinggal aku yang belum kamu naikkan ke atas becak, Kang." jawab istrinya dengan senyum menggoda.

"Kok minta dinaikkan? Biasanya kan naikbturun sendiri?" tanya Walimin dari atas sadel becaknya yang siap berangkat.

"Karena ini adalah hari ulang tahun ke-15 pernikahan kita, Kang. Aku pengen sekali-kali kamu gendong naik ke atas becak, Kang" jawab sang istri seperti ingin merajuk pada suaminya. Walimin pun turun dari sadel becaknya sambil tersenyum, berjalan perlahan ke arah istrinya yang berlagak merajuk itu. Lalu tanpa berkata sepatah kata pun segera membopong tubuh istri tercintanya itu, tidak menuju ke jok becak. Tetapi langsung dibawanya berjalan menuju kontrakan mereka, yang hanya berjarak 10 meter dari lapak berjualan mereka.

"Lhoh, mau dibawa kemana aku ini?" tanya Ismi sambil menggelayut manja di bahu suaminya. Sang senja yang berhati malaikat.

"Ke surga! Kasur juga!" jawab suaminya dengan singkat.

"Iiiih... nakal! Nakal! Nakal!"

(Tamat)

2 komentar:

Lisa Lestari mengatakan...

Asyeeekkk happi ending. Seneng bacanya.

Winarto Sabdo mengatakan...

sebenernya mau aku bikin endingnya dramatic noir... tentang kehilangan yang sesungguhnya... tp kok kebentur pd opini pembaca nantinya... pasti aku dibilng 'tidak berperasaan' thanks

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...