Kamis, 14 Maret 2019

Resensi Fiesta Karya Ernest Hemingway

Judul: Fiesta
Penulis: Ernest Hemingway
Penerjemah: Rahmani
Penyunting: Rh. Widada, Rika Iffati Farihah
Penerbit: Bentang Pustaka

Adalah Jake Barnes sebagai tokoh utama. Seorang veteran Amerika dan kemudian menjadi seorang jurnalis. Temannya, Robert Cohn, petinju amatir, baru saja menerbitkan novelnya yang pertama. Dan seperti penulis pada umumnya, kesulitan untuk menuliskan novel berikutnya. Mereka sama-sama mencintai perempuan bernama Brett Ashley, yang gemar berganti pasangan dan mencintai banyak lelaki. Dia tertarik juga dengan seorang matador yang masih muda berumur sembilan belas tahun, Pedro Romero.

Fiesta telah benar-benar dimulai, dan itu akan berlangsung siang malam selama tujuh hari. Mereka terus menari, terus minum, dan keramaiannya terus berlangsung. Segala macam kejadian itu hanya dapat terjadi selama fiesta. Akhirnya, segalanya menjadi tampak semu dan sepertinya tidak akan menimbulkan kesan apa-apa. Tampaknya tidak tepat bila membayangkan akan ada kesan istimewa selama fiesta berlangsung. Selama fiesta itu kau akan merasa, meskipun fiesta sedang senyap, bahwa kau perlu berteriak agar perkataanmu dapat didengar. Perasaan yang sama juga terjadi jika kau akan melakukan apa saja.. (hlm. 273)

Adu Banteng atau corrida de toros adalah kebudayaan khas orang Spanyol. Mereka biasa menyelenggarakannya pada bulan April di Sevilla, kota ketiga terbesar di Spanyol, ibu kota Provinsi Andalusia. Adu banteng merupakan pertarugan antara manusia (matador) dan banteng dalam satu arena, plaza de toros. Menjadi matador merupakan lambang kegagahan di Spanyol. Adu banteng adalah seni, way of life, kekejaman, mata pencaharian dan terkadang digunakan untuk bisnis. La lidia adalah seninya.

Asal mula adu banteng berasal dari sejarah mengorbankan kerbau jantan pada zaman Yunani sampai Roma kuno dan kemudian mengalami evolusi sewaktu mencapai Spanyol. Pada abad ke-18, King Carlos III melarangnya, tapi tidak lama karena kemudian penerusnya segera menghidupkannya lagi. Pada abad ke-19 sekolah matador didirikan di Seville dan sekaligus dengan peternakan banteng unggul toro bravo. Biasanya dipertandingkan tiga banteng dengan tiga matador.

Death in the Afternoon sebuah buku tentang adu banteng, diterbitkan pada 1932. Hemingway telah menjadi seorang penggemar adu banteng setelah menyaksikan fiesta Pamplona pada 1925, dan mengarang fiksinya dalam The Sun Also Rises. Dalam Death in the Afternoon, Hemingway secara panjang lebar membicarakan metafisika adu banteng: praktik ritualnya, bahkan hampir merupakan agama. Dalam tulisan-tulisannya tentang Spanyol ia dipengaruhi oleh empu Spanyol Pío Baroja (ketika Hemingway memperoleh Penghargaan Nobel, ia pergi mengunjungi Baroja, lalu di tempat tidur kematiannya, secara khusus ia mengatakan bahwa ia berpendapat Baroja lebih berhak untuk penghargaan itu daripada dirinya).

Dalam novel semi auto biografis ini, tampak jelas bahwa Hemingway dengan detail menggambarkan tentang adu banteng. Beberapa kalimat yang menggambarkan hal tersebut:
Tak seorang pun pernah benar-benar menikmati hidupnya kecuali para matador. (hlm. 14)

Selama pemain adu-banteng itu ada di wilayahnya maka dapat dikatakan dia akan aman. Tiap kali dia memasuki wilayah banteng maka bahaya besar menghadangnya. (hlm. 386)

Jika kau peduli pada pemain yang berhadapan dengan banteng, sungguh tidak enak menontonnya. (hlm. 395)

Romero mengambil telinga banteng itu dari saudara lelakinya dan mengangkatnya tinggi ke arah Presiden. (hlm. 402)

Mereka sengaja melepas bantengnya keluar kandang satu demi satu. Di dalam kurungan ada lembu-lembu jantan yang menyambut banteng-banteng itu dan mencegah banteng-banteng itu agar tidak berkelahi, dan banteng itu akan mengejar-ngejar lembu jantan dan lembu jantannya lari berputar-putar seperti perawan tua yang berusaha menuangkan banteng-banteng itu. (hlm. 232)

…Ketika banteng berikutnya keluar kandang, ketiganya, dua banteng dan seekor lembu jantan, berdiri bersama, kepala mereka saling bersisian, tanduknya menghadap banteng yang baru saja masuk arena…. (halaman 247)

Sekilas membaca buku ini pasti kita terpaku pada percintaan para tokohnya ataupun seputar adu banteng. Bila kita membacanya dengan teliti, kita bisa menemukan makna semiotika representasi dari adu banteng tersebut. Contohya saja, Robert Cohn diibaratkan seperti lembu jantan; “Kukira kamu senang menjadi lembu jantan, Robert.” Atau pada kalimat; “Mereka berbahaya hanya jika sendirian, atau hanya ada dua atau tiga yang bersama-sama.” Tertulis pada halaman 248.

Untuk menuntaskan buku yang merupakan tulisan panjang seorang Ernest Hemingway ini, saya menghabiskan waktu dua hari (dengan keterbatasan pandangan mata kiriku yang katarak).

Semua negara hanyalah film seperti di bioskop, seperti juga Perancis. Ini ulasan akhir seorang Ernest Hemingway.

Kelebihan:
Ditulis dengan gaya penyampaian Western, bisa memperkaya gaya tulisan kita.

Kekurangan:
Aku hanya bisa membaca ebooknya, ini adalah perjuanangan bagi Pria 47 tahun yang mata kirinya mulai terserang katarak.

Sebagai buku bacaan yang berat (gaya bahasa dan alur konfliknya), ini adalah salah satu bacaan yang sangat penting untuk seorang penulis.

#RCO
#readingchallangeodop
#LevelAkhir
#Tantangan2
#ResensiBukuErnestHemingway

Tidak ada komentar:

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...