Rabu, 08 Mei 2019

Kolak

"Kalian pasti sudah tahu yang namanya Kolak, bukan?" tanya Mbah Kidir, diantara kuliah shubuhnya pagi itu.

"Tahu, Mbah!" jawab jama'ah, yang kesemuanya adalah murid padepokan yang diasuhnya.

"Kolak, makanan satu ini mungkin sangat sederhana, tapi ia adalah yang paling terkenal saat puasa. Kolak bisa dibikin kapan pun, tapi waktu yang pas untuk menyantapnya tetap adalah ketika buka puasa," kata Kiai Sepuh itu, "Paduan kuah yang manis, serta isiannya yang mantap, membuat suasana buka puasa makin tak terlupakan."

Semua murid kecilnya mengangguk, diantaranya ada yang memahami, ada juga yang setengah mengantuk mendengarkan wejangannya.

"Kolak memang cuma penganan kecil, tapi kalau kita telusuri lebih dalam ternyata punya sisi lain."

"Sisi lain bagaimana, Mbah?" tanya Kipli, satu-satunya santri dari Papua. Mbah Kidir tersenyum, sambil memandangi bocah korban kekerasan politik di tanah kelahirannya itu.

"Ya, kolak nyatanya tak hanya enak rasanya, tetapi juga menyimpan berbagai filosofi yang sangat mendalam tentang hidup dan kehidupan."

Kipli mengangguk kecil, tetapi sesungguhnya dia merasa belum mendapat jawaban dari pertanyaannya itu. Mbah Kidir melanjutkan tausiahnya.

"Mungkin kalian tidak pernah menyangka sebelumnya, tapi inilah makna-makna terpendam dari setiap sendok kolak yang kita makan:

Kalau ditelusuri dari sisi sejarahnyanya, kolak ini akan mencatut nama para wali. Ya, beliau-beliau itu yang memperkenalkan makanan ini. Tujuannya selain menawarkan khazanah kuliner baru, juga ingin masyarakat belajar nilai dari makanan ini.

Kolak banyak yang mengatakan berasal dari kata khala yang artinya adalah kosong. Kalau diterjemahkan secara penuh, intinya adalah kita sebagai manusia harus selalu bertaubat selagi hidup agar bisa kosong, kosong akan dosa. Kematian dengan kekosongan dosa menurut para wali adalah sebaik-baiknya kematian.

Kolak ada yang mengatakan berasal dari kata Khala, ada pula yang bilang berasal dari Kholaqo. Kata-kata ini berasal dari bahasa Arab yang bisa diturunkan menjadi kata Kholiq atau Khaliq yang artinya adalah mencipta. Nah, dari sini juga bisa diambil satu makna filosofisnya.

" Artinya bagaimana, Mbah?" si Paung santri daro Batak ikutan bertanya.

"Ya, secara tersirat kolak menganjurkan penikmatnya untuk selalu mendekatkan diri kepada Tuhan, Sang Pencipta. Tak hanya itu, istilah ini juga ada yang mengartikan agar kita selalu mendoakan mereka yang telah meninggal." jawab Mbah Kidir lembut.

"Tetapi, Mbah. Di tanah kelahiranku, kami tidak memakan kolak, Mbah. Apa sajakah bahan untuk membuatnya, itu?" tanya Kipli.

'Berbicara soal bahan yang ada di dalam kolak, kita biasanya akan menemui banyak jenis makanan. Tapi, yang pasti selalu ada adalah ubi. Ubi bisa dibilang adalah yang paling identik dengan kolak. Ibarat rumah, kolak adalah pondasi. Tak bisa tidak ada. Tak hanya sebagai bagian yang selalu ada, ubi dalam kolak ini juga punya filosofinya sendiri."

Menurut orang Jawa, ubi masuk dalam jenis-jenis makanan Polo Pendem atau yang tumbuh di bawah tanah. Artinya, ketika kita menyantapnya, maka harus ingat jika suatu saat kita pasti akan seperti mereka. Dalam artian dikubur di dalam tanah. Para wali menganjurkan adanya pertaubatan di setiap sendok kolak yang kita makan. Pasalnya, kematian mungkin saja akan datang semudah kita menyendok kolak ke dalam mulut.

Tak cuma ubi, pisang juga bahan yang mesti ada dalam kolak. Tapi, tak semua pisang bisa pas dimasukkan sebagai salah satu bahan kolak. Dari sekian banyak, mungkin hanya jenis kepok yang paling mantap. Nah, tentang pisang satu ini, siapa sangka jika ia juga punya nilai filosofisnya sendiri.

"Semua ado pilsapinya ya, Mbah?" pertanyaan Paung sontak membuat para jamaah santri lainnya tergelak. Mbah Kidir hanya tersenyum simpul.

"Kepok pada pisang kepok merujuk kepada istilah kapok. Kapok adalah bahasa Jawa yang artinya adalah menyesal atau jera. Artinya setiap kali kita menyantapnya, harus selalu ingat untuk jera akan dosa dan tidak lagi dengan gampang melakukan hal-hal yang membuat kita berdosa."

"Kalau santan, Mbah? Sejak mondok disini, setiap ada penyajiaan Kolak pasti diberi santan kelapa. Kenapa, Mbah?" tanya Kipli lagi.

"Santan adalah bagian yang juga tak kalah penting dalam kolak. Ia adalah pelebur semua bahan-bahan karena bertugas sebagai kuah. Santan menurut orang Jawa juga mengandung sebuah makna filosofis yang sangat dalam," jawab Mbah Kidir, sambil menggeser tubuhnya bersandar ke dinding Masjid, "Santan dalam bahasa Jawa disebut santen. Jika ditelusuri, kata-kata ini adalah kependekan dari sepunten yang artinya adalah permohonan maaf. Jadi, ketika kita menyisipi kuah kolak yang manis itu, ingatlah juga akan kesalahan dan meminta maaf kepada orang yang pernah kita salahi."

Semua santri mengangguk kembali dengan penuh semangat, di arah timur ufuk mulai menghadirkan fajar pagi.

"Inilah makna filosofis dari sepiring kolak yang selalu kita santap. Siapa yang menyangka, dari makanan sesederhana itu ada makna yang begitu mendalam. Ini bukan ilmu ngawur ya, melainkan benar-benar ada filosofinya seperti apa yang sudah tertulis di atas."

Setelah selesai memberikan tausiahnya, Mbah Kidir segera mengajak semua jama'ah berdo'a: semoga puasa di tahun 1440 Hijriyah ini, dapat dilakukan dwngan tanpa halangan sesuatu apapun. Aamiin.

#Day3
#RWCOdop2019
#onedayonepost

Tidak ada komentar:

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...