Jumat, 14 Juni 2019

Marijan bin Sastro Kateno

Wasih terdiam duduk di sebuah bangunan bata pembatas jembatan, dari sungai yang melingkari desa kecilnya itu. Mata kecilnya menatap ke jalanan aspal di depannya, dimana berbagai macam kendaraan bergantian melaluinya. Bukan tanpa sebab bocah kelas lima SD itu melakukan semuanya, dia sedang menunggu kedatangan ibunya dari kota Surabaya tempatnya bekerja.

Setahun sekali dia pulang sebelum puasa, sebulan berkumpul dengannya dan juga Mbahdok (neneknya), untuk menjalani puasa bersama. Mereka akan sahur dan berbuka bersama, Wasih sangat menyukai masakan orangtua yang tinggal satu-satunya itu. Kue-kue dari kota yang banyak macamnya, dalam wadah kaleng yang beraneka rupa bentuknya. Hanya setahun sekali dia dapat merasakan makanan-makanan yang lezat-lezat itu, sekembali ibunya dari bekerja di kota Surabaya.

Sehari-hari Mbahdok hanya akan memasak; sayur bening, sayur asem, atau lalapan daun mengkudu. Terkadang, Mbah juga memberinya kulup daun pepaya yang sangat pahit rasanya, meskipun begitu Wasih tidak merasa terpaksa memakan semuanya. Karena Mbahdok menasehatinya, setiap makanan itu anugrah. Rasa pahit pada sayuran atau lalapan, itu semua adalah obat bagi kesehatan.

Puasa baru akan dimulai nanti malam, Pak Guru Agama Islam berkata: malam ini sudah melaksanakan Tarawih, dan sahur yang pertama untuk puasa pertama pada pagi harinya. Tapi hati Wasih mulai gelisah, tidak seperti biasa ibunya belum datang menjelang puasa pertama seperti ini. Biasanya, seminggu sebelumnya dia sudah ada di rumah.

Bunyi klakson mobil yang hendak masuk ke jalanan menuju desanya nyaring terdengar, membuat bocah kecil yang dikuasai lamunan itu tersentak kaget. Dengan tergesa tubuh kecilnya melompat kesisi jalan, memberi kesempatan mobil itu untuk melaluinya. Tetapi mobil itu malah tidak bergerak, Wasih menduga siapapun yang di dalamnya sedang membicarakan dirinya. Wasih hanya menduga, karena pandangannya bisa menembus keburaman kaca kendaraan itu.

Seorang yang berkerudung mengenakan kacamata sedang berbicara dengan sopir mobil itu, sesekali dia menunjuk kepada dirinya. Hal ini membuat hati hati gadis kecil itu mulai meragukan keberaniannya, jangan-jangan mereka ingin berbuat jahat padanya.

Kaca kiri depan mobil itu terbuka, seorang wanita berkerudung merah turun darinya. Berjalan menuju tempat Wasih, yang mulai berdiri dengan gemetaran. Ketika tinggal dua, atau tinggal tiga langkah lagi dari wanita berkacamata hitam itu, Wasih sudah bersiap-siap melarikan dirinya sekuat tenaga. Namun sebuah suara yang teramat dirindukannya itu terdengar, dari wanita yang berkerudung merah.

"Wasih! Kesini, nak." kata wanita itu, yang bersuara sangat mirip dengan suara ibunya.

Wasih tidak menjawab, rasa bingung dan ketakutan, masih menguasai raga dan perasaannya. Tetapi dalam hatinya berangsur mengakui, wanita ini tidak mungkin berniat ingin mencelakainya. Dia ingin menjawab sapaan itu, tetapi tiba-tiba menjadi gagap, sehingga lupa caranya berkata-kata.

'Wasih, kamu tidak mengenali Ibu?" wanita itu tiba-tiba sudah berjongkok didepan tubuh gemetarnya, memegang lembut kedua bahunya. Tetapi Wasih belum juga mengenali siapa wanita itu, dan seseorang pria tiba-tiba ikut berjongkok di dekat tubuh gemetarnya.

"Kamu belum melepaskan kacamatamu, Mah!" katanya, sembari memukulkan lembut sikunya ke tubuh wanita yang tampak sangat terkejut dengan teguran itu.

"Astaghfirullah, aku lupa Pah." bersamaan dengan itu dia menggeser kacamatanya, menyesak di rambut di atas keningnya.

Wasih meskipun meragukan daya ingatnya, tetapi nalurinya sebagai anak segera tahu siapa wanita itu.

"Ibu!" jerit gadis kecil itu dengan segenap perasaan, yang segera memeluk leher wanita itu sekuat-kuatnya. Emosi yang teramat sulit diterjemahkan anak sekecil Wasih, membuatnya pingsan dalam dekap kerinduannya. Diiring jerit ibu yang memeluknya dengan erat, dan wajah ketakutan pria yang menyertainya itu.

*****
Entah berapa lama Wasih pingsan, saat dia terjaga sudah berada di bilik kecilnya. Disampingnya, ibu tercinta tampak sembab di kedua matanya. Selama Wasih pingsan, dia selalu menangis tiada hentinya.

"Ibu?" Wasih membuka suaranya, "Siapa Bapak yang bersama Ibu tadi?"

Ibunya tetsenyum, tangan kirinya menyibakkan helai rambut dari kening anaknya. Dia mencium lembut kening bocah itu, sehingga dua tetes airmata menetesi wajah anakmya.

"Dia sekarang yang akan menjadi Ayahmu. Ibu dan Om Tio sudah menikah di Surabaya, mulai sekarang dia adalah Ayahmu."

Wasih tersenyum, meskipun dia tidak mengerti ucapan ibunya. Dia hanya ingat satu hal, setahun lalu Ibunya sudah berjanji membawakannya sebotol sirop untuk berbuka puasa.

"Ibu tidak lupa membawakan kami sirop kan, Bu?"

"Tidak sayang, ibu selalu mengingat permintaanmu," Ibunya justru memandang aneh kepada Wasti, "Malah ibu yang curiga, kamu yang sudah lupa dengan nama sirop pesananmu itu?"

"Tidak, Bu. Aku selalu mengingat-ingatnya setiap hari, namanya sama dengan nama almarhum Kakek."

"Apa namanya, sayang?"

"Sirop Marijan bin Sastro Kateno, Bu."

Jawaban Wasti ternyata membuat ibunya terbahak-bahak, sehingga ayah baru, dan Mbahdok sampai berlarian masuk ke dalam kamarnya.

"Ada apa, Mah? Kenapa kamu tertawa sekeras itu?' tanya ayah barunya kaget, sambil mengguncang bahu ibunya dengan keras.

" Tidak ada apa-apa, Pah. Mamah hanya kaget, mendengar Wasih salah menyebutkan merek sirop yang diinginkannya." terang Ibu pada suaminya.

"Emang, Wasih ingin sirop apa?" tanya Om Tio, sambil memegang tangan gadis kecil itu.

"Sirop Marijan bin Sastro Kateno, Om." jawab Wasih ragu.

"Itu nama Mbah Kung (kakek), kenapa dijadikan nama sirop?" protes Mbahdok, yang disambut gelak tawa mereka semua. 

Jadi selama ini, Wasih menghafalkan nama almarhum Kakeknya, agar ingat dengan merek sirop, yang diinginkannya sejak setahun yang lalu itu. Nama kakeknya adalah Marijan bin Sastrokateno.



#Day2
#RWCOdop2019
#onedayonepost

Tidak ada komentar:

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...