Petasan (Opini)
Oleh: Winarto Sabdo
Entah dimana atau kapan tepatnya, pertama kali aku mendengar kata Petasan. Pada masa kecilku, kami menyebut bubuk mesiu bersumbu dalam sebuah lintingan itu sebagai Mercon (merconan dalam dialeg Jawa, adalah bermain petasan pada masakini).
Bicara petasan, kami sudah memainkannya sejak kelas 1 SD sekitar tahun 1980an. Ketika itu petasan adalah hal wajib yang harus dilakukan setiap anak laki-laki, sebagai uji nyali serta keberanian bersikap.
Anak laki yang tidak berani menyulut sumbu petasan, langsung mendapatkan tambahan nama Wati dibelakangnya. Sementara yang menutupi telinganya ketika petasan meledak, kami sebut dengan banci.
Petasan dijual bebas di toko atau warung kelontong, bahkan aku ingat seorang penjual sayur kelilingpun menjualnya. Karena itu, tidak siang atau malam bunyi petasan menguasai langit desa kami. Khususnya pada malam-malam takbiran, hari-hari biasanya jarang.
Berbakai bentuk dan ukuran petasan pernah aku sulut, dari yang terkecil bernama 'Lombok Impling' hingga 'Sreng Thor' yang meledak diudara. Bahkan saat itu aku sudah mengenal 'Napal' (Minyak Tanah yang dimasukkan dalam botol dan disumpal dengan sumbu mampat. Cara meledakkannya adalah, dengan disulut sumbunya dan dilemparkan ke media yang keras), efeknya bukan hanya bisa meledak... teyapi bisa membakar sebuah rumah. Satu lagi, kami juga membuat 'Blanggur'. Gas elpiji yang dimasukkan kedalam balon, kemudian dibungkus berlapis kertas koran yang dibentuk bersumbu.
Bahkan di Masjid Jami' di Kota Kabupaten Nganjuk juga menggunakan 'Blanggur' ini, yang disulut diatas menara masjid. Bunyi ledakannya dimaksudkan untuk menandai waktu berbuka puasa tiba, yang bisa terdengar dari sampai radius 10km.
Tetapi, akhirnya Pemerintah melarang petasan itu menjelang tahun 2000an. Setelah munculnya gerakan Islam Radikal, yang meledakkan bom dengan dalih Mujahid. Bersamaan dengan itu, pembuatan, atau penggunaan petasan dilarang di seluruh Indonesia.
Oleh karena itulah (mungkin), generasi yang lahir setelah tahun 2000 menjadi cemen (lemah dan lembek). Mentalnya belum terlatih dengan kekerasan yang nyata, sehingga gampang terpengaruh dengan bujuk dan rayuan. Apalagi yang berhubungan dengan Agama, mereka sangat rentan dibujuk rayu. Entahlah, aku sendiri adalah dari golongan yang tidak lebbayatun. Yang mereka sebut sebagai Islam Liberal, hanya karena ikut mengaminkan bahwa berkerudung itu tidak wajib hukumnya. Halah, mboh.
#RWCOdop2019
#onedayonepost
#Day28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar