Jumat, 14 Juni 2019

Day29

Asal Mula Kadhipaten Sangkaling
Oleh: Winarto Sabdo

Dia dinamai Hilal, karena lahir tepat ditanggal 1 bulan Kamariyah. Diiringi lolongan anjing, dan segala rupa suara hewan di tengah malam kelahirannya. Saat itu kemarau panjang meretakkan tanah di persawahan, disertai mengeringnya tanaman-tanaman karena kekurangan air. Binatang ternak yang mengurus karena kekurangan makanan segar, beberapa hewan liar tergeletak dipinggir jalan karena kekurangan makanan.

Seluruh desa dilanda kepanikan yang luar biasa oleh kelahirannya, mereka ketakutan dengan munculnya Hilal kecil itu. Menurut beberapa tetua, anak yang dilahirkan bersamaan dengan munculnya bulan baru itu sangat berbahaya. Kejadian dari cerita leluhur juga kisah dongeng masalalu, begitu kuat melekat dalam fikiran mereka.

Kelahiran Doryudhana Raja Astinapura, kelahiran Raja Subali Raja Goa Kiskendha, kelahiran Jagal Abilawa sang Atheis, dan juga beberapa Raja Tanah Jawa lainnya, yang sama waktu kelahirannya dengan Hilal, semua hanya melahirkan kekacaubalauan dan pertumpahan darah.

Kiai Mat Kusen sesepuh desa, dan beberapa tetua lainnya berdepakat menghadap Ki Kamatjati, Lurah yang juga Ayah dari Hilal. Ki Lurah Kamatjati yang sudah berumur 70tahun itu menikahi Sariningsih, putri tunggal Begawan Adicoro dari Gunung Angker yang saat itu masih berumur 20tahun. Setahun pernikahan, Sariningsih pun hamil anak pertama keduanya. Karena dari 10kali pernikahannya terdahulu, Ki Lurah tidak mendapatkan keturunan.

"Assalamu'alaikum, Ndoro Lurah!" seru Kiai Mat Kusen, ketika tiba di Pendopo Kelurahan bersama tetua lainnya.

"Waalaikumusalaam, silakan duduk Kiai dan lainnya." sambut Ki Lurah hangat.

Mereka akhirnya terlibat dalam perbincangan yang teramat serius, bahkan hingga saling beradu argumentasi tentangnya. Semua adalah dengan satu tujuan, untuk membahas keberadaan Hilal di desa mereka. Terlihat Sriningsih yang menangis sesenggukan disamping suaminya, sambil menggendong buah hatinya dengan erat didekapannya. Akhirnya, mereka sepakat akan mengirim Hilal ke Padepokan Angker milik kakeknya.

*****

Duapuluh tahun kemudian, Hilal sudah menjadi pemuda yang sangat tampan. Tubuhnya tinggi, dengan otot-otot yang muncul dari kesehariaanya yang berat. Ketampanan dari wajah dan penampilannya, sanggup membuat para gadis desa tergila-gila. Para pengantin wanita muda langsung minta cerai suaminya, jika melihat ketampanannya. Bahkan para ibu muda tidak segan mengucapkan cinta kepadanya, saat Hilal turun ke desa untuk membeli bekal untuk kepentingan padepokan Kakeknya.

Ketika itu Ki Lurah Kamatjati baru saja terbunuh, seorang pembunuh bayaran menghabisinya disebuah pasarasehan. Kiai Mat Kusen yang mencoba membantu dari serangan sekelompok orang itu, harus kehilangan tangan kanannya oleh sabetan pedang lawannya. Nyai Lurah berhasil melarikan diri ke hutan, didampingi dua orang pembantunya Ki Suweg dan Nyi Suweg hingga sampai ke padepokan ayahnya. Sementara itu Ki Adicoro kakek Hilal, melarangnya turun gunung untuk menuntut balas. Kakek sepuh itu hanya berkata, agar cucunya itu menunggu waktu yang tepat untuk melakukannya.

Pagi itu, ketika Begawan Adicoro sedang memberikan nasehat dan petuah kepada para cantriknya (muridnya), datanglah rombongan dari Desa Satrumaling yang dipimpin oleh Kiai Mat Kusen. Mereka segera diterima oleh Kakek dan cucunya itu, di sanggar Patemon.

"Begitulah, Kakang Resi. Suasana desa Sangka Pameling saat ini, kekacauan dimana-mana, banyak yang bersembunyi di hutan karena ketakutan, karena kelakuan kejam Lurah Sudomolo yang sekarang menguasai desa." kata Kiai Mat Kusen mengakiri ceritanya.

"Sudah menjadi kehendak Yang Diatas, adhi. Sekarang, apa maksud kalian datang beramai-ramai kemari?" tanya Resi Adicoro kepada mereka.

"Kami mohon bantuan Kakang Resi, untuk menumpas gerombolan Ki Sudomolo yang kejam itu!"

Sang Resi hanya mengelus jenggot putihnya, kemudian melirik cucu kesayangannya.

"Ngger (nak), inilah waktumu untuk mendharma baktikan tenagamu pada tanah kelahiranmu!"

"Saya siap, Kakek Guru!" jawab pemuda itu dengan mantap, yang disambut hamdalah para rombongan Kiai Mat Kusen.

Atas pertimbangan Sang Resi, para rombongan tidak diperkenankan ikut Hilal menyerang desa. Mereka hanya bisa mematuhinya, sambil tidak lupa mengiringi do'a untuk keberhadilan pemuda itu.

Ketika senja memerah di ufuk barat, berangkatlah pemuda itu menuju desa kelahirannya. Didampingi dua sosok Jin, yang bisa berubah menjadi Macan Gembong dan Singa Lodro. Hanya dalam beberapa saat saja, desa Sangka Pameling dapat dikuasainya. Ki Sudomolo dan seratus begundalnya, dapat ditumpas habis tanpa sisa.

Semua warga desa mengelu-elukan keberhasilan pemuda itu, menganggapnya berkah yang tiada ternilai harganya. Yang berdiam diri dalam hutan segera kembali pulang, termasuk Kiai Mat Kusen, dan Kakek yang mengajak serta Ibunya ke desa itu.

Penduduk desa akirnya bersepakat, untuk menjadikan pemuda tampan itu menjadi Lurah baru Desa Sangka Pameling. Yang dikemudian hari, menikahi Putri tunggal Adipati Dhadhakmerah yang kecantikannya melebiho kecantikan seorang Bidadari Kayangan.

Desa Sangka Pameling inilah, yang dikemudian hari berganti nama menjadi Kadhipaten Sangkaling. Tercatat dalam sejarah negeri, sebagai salah satu Kadhipaten yang gemahripah loh jinawi, tototentrem kertoraharjo (adil makmur, tentram, dan damai sejahtera).

-Tamat-

#RWCOdop2019
#onedayonepost
#Day29

Tidak ada komentar:

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...