Jumat, 14 Juni 2019

Day8

Rumah, hanyalah benda tidak bergerak yang tidak bisa berubah dengan sendirinya. Karena waktu hanya mengelupaskan cat di dindingnya, atau memudarkan bekas sapuan pelitur di kayunya. Akan tetap seperti itu, selama dia mampu mempertahankan eksistensi atau keberadaannya.

Yang tidak akan tergantikan di dalamnya adalah kenangan, suatu kejadian yang akan selalu tertanam dalam ingatan penghuninya. Seseorang yang pernah menjadi salah satu bagian, dari tujuan rumah itu dulu diciptakan. Para bekas penghuninya, yang pernah melindungkan dirinya dalam dekapan serta rasa nyaman di dalamnya. Dari terik matahari yang membakar, hingga dingin yang membekukan. Rumah juga melindungi mereka dari gangguan binatang buas atau hewan beracun, yang bisa saja mengancam jiwa penghuninya. Itulah sesungguhnya fungsi sebuah rumah, tetapi ini tidak berlaku untuk sebuah rumah Sunduk Sate (tusuk sate) yang terbengkalai di tengah Desa Kalisat.

Mbah Paino Ketua RT tertua di desa itu, yang juga pemangku jabatan dimana rumah itu berada pernah bercerita.

"Dulunya rumah itu milik Ndoro Jumeno, seorang pedagang hasil bumi yang kaya raya. Dia mempercayakan transaksi jual beli usahanya kepada Pak Sakino, seorang bekas perampok yang dijadikannya seorang Mandor."

Lambat laun gaji besar dari tuannya terasa kurang, karena kehidupanya yang berfoya-foya. Menghambur-hamburkan uang gajinya untuk bermain perempuan, atau mabuk-mabukan dengan para kaum Bajingan. Lambat laun dia mulai berani memakai uang usaha tuannya, yang menyebabkannya dipecat dan diusir keluar dari perkongsian.

Mandor Sakino sangat tidak berkenan dengan pengusirannya dari kerja itu, dan dia mengancam akan menuntut balas pada tuannya. Dendam mandor itu akirnya tertunaikan, ketika negeri ini dilanda gonjang-ganjing politik tahun 1965. Sakino membuat kesaksian palsu kepada Pasukan Hitam, bahwa dia pernah melihat bendera Palu Arit terpasang di kamar bekas tuannya itu.

Tanpa ampun lagi, keluarga pedagang itupun ditumpas habis Pasukan Bercadar Hitam. Kepala Ndoro Jumeno ditebas samurai tanpa pengadilan, juga kepala istri dan kedua kepala anak gadisnya turut mereka tebas. Karena mereka keluarga Komunis, halal darahnya untuk ditumpahkan. Akhirnya, hak kepemilikan atas rumah itu jatuh kepada Sakino. Yang langsung dijualnya juga kepada seorang pedagang China bernama Babah Chong, yang kesehariaannya berjualan kain di pasar kecamatan.

Entah apa yang terjadi dengan rumah itu, satu persatu keluarga Babah Chong meninggal dengan tidak wajar. Limei anak tertuanya, ditemukan meninggal menggantung diri. Adiknya Lingsi, secara bersamaan juga ditemukan tewas tenggelam di sumur belakang rumah. Istri Babah Chong pun menjadi gila, dia menikam dada suaminya yang sedang tertidur sampai mati. Wanita itupun akhirnya juga meninggal, dengan menusukkan pisau yang masih berlumuran darah suaminya ke dadanya.

Penduduk desa akhirnya menguburkan mereka bersama, dalam sebuah lubang di belakang rumah itu. Semenjak tahun itulah rumah ini kosong, tidak ada yang berani menempatinya lagi. Bahkan walaupun setiap bulan rumah dan lingkungannya dibersihkan, serta dilakukan pengecatan berulang-ulang. Tidak ada satupun yang berani menempati rumah terkutuk tersebut, bahkan kru sebuah Televisi yang ingin mengungkap rahasia rumah itu kocar-kacir. Semua host, bintang tamu, dan cohost yang mengaku murid dari Sunan Kalijogo pun tunggang langgang tidak karuan.

Karena itulah, rumah angker itu disayembarakan. Siapapun yang betah menempati rumah itu selama satu bulan, maka sertifikat rumah dan pekarangan akan diberikan.

Anis Hidayati seorang praktisi supranatural asal Banyuwangi pernah mengikuti sayembara itu, hanya satu jam didalamnya sudah tunggang langgang. Lalu ada Eny Siswanti pendekar putri dari Kabupaten Pati, juga hanya sejam saja sudah keluar dengan tubuh menggigil. Kemudian Ki Wali Min dari Solo, sang penguasa Ilmu Panglimunan itu lari berhamburan dengan wajah pucat penuh ketakutan.

Bulan-demi bulan berganti tahun, selama itu juga banyak para pendekar dan pakar supranatural yang coba menaklukkan rumah terkutuk itu. Inilah daftar keikut sertaannya (yang aslinya tersimpan dalam arsip Kelurahan Desa Kalisat).

1. Nyi Yulia Ahkam Sandhi dari Jatisari
2. Lutfi Yulianto Iyan si Pendekar Tebu Ijo
3. Muhammad Septian Wijaya si Pendekar Janda (Jawa Sunda)
4. Dwi Septiyana si Pendekar Kimia Jaya
5. Benik Al Arif si Pendekar Ayat Kursi
5. Ziana Lu'il Adha si Cucu Pendekar Anjuk Ladang
6. Zen si Jurus Komputerisasi
7. Novarina Dian Wardani si Pendekar Geli Ulat Bulu
8. Eka Amelia si Pendekar Syair Berghairah
9. Suden Basayev Pendekar Pena Berupiah
10. Nining Purwanti si Pendekar Wonogiri
Semuanya menyerah, menghadapi penghuni rumah angker itu.

Hingga suatu hari, datanglah sang Cerpenis kacangan si Raja Slengekan Winarto Sabdo. Dia merasa tertantang bukan karena tebalnya keimanan, atau karena tingginya ilmu yang dimilikinya. Sebagai seorang Bonek (Bondo Nekat) sang sudah bergelar Kawak Awu (senior), lelaki 48 tahun dari Kecamatan Rejoso itu mendaftarkan diri untuk mengusir para lelembut di dalam rumah itu.

Panitia sempat meremehkannya, tetapi para pengikutnya; Bonari Nabonenar, Yuditeha, Pangerang P. Muda, Asma Nadia Liyana, dan juga Hiday Nur R, semua meyakinkan panitia akan kemanpuan duda beranak lima itu.

Akhirnya, dengan terpaksa panitia mengijinkannya. Dengan perjanjian, jika setelah mengikuti sayembara menjadi gila... resiko ditanggung peserta dan pendukungnya. Semua berteriak setuju!.

Pukul sembilan malam, peserta kacangan itu dijinkan mempersiapkan dirinya. Winarto Sabdo bukannya mulai membentengi diri dengan jampe-jampe, malah asyik berkaraoke lagu 'Rasa Sayang Sayange'. Melihat kejadian itu, para penonton mulai mengadakan taruhan. Yang memprediksi cah gemblung itu hanya bertahan 10 menit atau kurang, sepertiga dari jumlah ratusan orang yang menonton mengatakan dia akan lari tunggang langgang. Karena tidak ada yang memasang lebih kecil dari sepuluh menitan, akhirnya Winarto Sabdo menjadi musuh tunggal. Nilai uang taruhan sebanyak hampir semilyar, dibawanya masuk ke dalam rumah dengan sebuah karung goni bekas beras jatahan.

Panitia dan kru televisi nasional juga internadional memulai peliputan, sedikit wawancara, dan menshot langkah kaki Novelis Koclok itu masuk ke dalam rumah. Semua yang menyaksikan menahan nafas (karena ada penonton yang kentut diam-diam), serta beberapa orang tampak pingsan karena kebauan.

Duda kesepian itupun perlahan masuk ke dalam rumah berhantu itu, semua penonton menahan nafasnya lagi. Hingga pintu rumah itu benar-benar tertutup dari dalam, suanapun sunyi senyap. Reporter tivi yang mencoba membuat laporan pandangan mata langsung terdiam ketakutan, setelah beberapa orang secara bersamaan meneriakinya, "Diam!".

Sepuluh menit, duapuluh menit, tigapuluh menit, hingga tembus satu jam. Duda Koclok itu masih bertahan di dalam, membuat seseorang penonton meneriaki panitia yang ketakutan.

" Coba tengok ke dalam, jangan-jangan si goblok itu sudah di makan setan!"

Salah seorang kameramen tivi, menyahut perkataan orang itu.

"Tenang saja, Pak. Dia sedang main gaple dengan para setan di dalam, tuh lihat mereka lagi asyik mabuk-mabukan!"

"Apa?!" teriak sebagian besar penonton.

"Terang saja gak digangguin setan, dia mengikuti kesukaannya setan!" teriak beberapa orang yang merasa jengkel, "Gak seru, ah! Ayo kita pulang!"

Hanya butuh sepuluh menit saja, semua penonton meninggalkan lokasi uji kenekadan itu. Termasuk para kru televisi, dengan tergesa kembali ke hotelnya masing-masing. Meninggalkan panitia yang kebingungan, antara ikutan bubar atau ikutan main gaple di dalam. Para panitia baik yang menang, merekapun akhirnya pergi juga dari lokasi uji kenekatan.

"Percuma nungguin setan, lagi kumpul sama setan! Kita pulang saja!" gerutu mereka, sambil menggotong peralatan.

Kemudian, tidak ada saksi mata lagi yang bisa menceritakan. Habis dah ceritanya.

-TAMAT-

#RWCOdop2019
#onedayonepost
#Day8

Tidak ada komentar:

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...