Rabu, 04 September 2019

Takkan Ada Cinta Lama

Panorama gunung Pandan tampak begitu indah dari kejauhan, sekilas penampilannya seperti seorang raksasa yang sedang tertidur dengan pulasnya. Banyak legenda yang menceritakan penampakan gunung di Kecamatan Rejoso, Nganjuk itu, terutama tentang dongeng Gunung Pandan yang konon adalah kuburan Raden Hanoman (salah satu tokoh dalam epik Ramayana). Penampakannya yang terlihat seperti gundukan besar memanjang, menyerupai sebuah makam. Dan berbagai kisah mistis-mistis lain didalamnya, yang selalu mengundang rasa penasaran dalam relung kalbuku.

Entah, mengapa setelah hampir tigapuluh tahun lamanya, perasaan rindu untuk bisa kembali datang ke sana terasa begitu kuat. Dahulu, menjelajahi hutan di lerengnya menjadi kebiasaanku di masa muda. Menyusuri setapak di bawah lerengnya, diantara hamparan pohon jati yang rimbun, dimana kelebatan daunnya mampu menghalangi sinar matahari mencapai lantai hutan.

Tentu kisah ini pasti juga akan sampai kepada kisah asmara di masalaluku, dengan salah seorang gadis gunung yang sangat cantik jelita, Supeni, kembang desa Bendosewu saat itu.

Sekitar pukul sepuluh pagi, ketika motor trailku tiba di ujung desa. Di samping sebuah warung kecil kuparkirkan sepedamotor, di tempat yang terlindung dari paparan sinar mentari. Kemudian dengan perlahan kulangkahkan kaki menuju pintu warung, lalu mengucapkan salam kepada pemilik warung, dan beberapa orang yang terlihat ada di sana.

"Kulonowun!"

"Monggo!" terdengar balasan salam, dari semua yang ada di sana.

Kemudian aku beranjak untuk menjabat tangan pada dua orang tamu warung, dan kepada seorang wanita setengah baya pemiliknya.

"Ini dulu warung Mak Yati ya kan, Yu (kakak)?" tanyaku kepada pemilik warung.

"Iya, dulu ini memang warung beliau. Orangnya sudah meninggal sepuluhtahun yang lalu, saya meneruskan usahanya," jelas pemilik warung, "Sepertinya saya belum pernah melihat, atau bertemu dengan Sampeyan (bahasa Jawa halus untuk kamu), tapi sepertinya kenal betul dengan mertua saya?"

"Nama saya Kasmijan, Yu. Saya dari desa Talang, dulu saya sering datang kemari ketika Mak Yati masih ada."

"Kasmijan?! Dulu yang sering kesini, membawa bibit Lamtoro Gung (petai)?!" seorang yang sepantaran denganku, tiba-tiba menukas pembicaraan dengan ekspresi bertanya-tanya.

"Eh iya, Kang. Sampeyan siapa, ya?"

Orang itu berdiri dari tempat duduknya, kemudian memindahkan dirinya duduk disampingku.

"Aku Tarmidi, Jan! Anaknya Mbah Jodikromo, ingat?!" kata Tarmidi girang, dan saat dia tersenyum aku langsung mengingatnya.

"Ya, aku ingat kamu Di! Aku langsung teringat pada codet di bibirmu itu, saat tadi kamu tersenyum. Hahaha!" kamipun berangkulan, saling menepuk-nepuk bahu masing-masing.

"Kenapa kamu sudah tampak setua ini, Di? Hampir semua rambut di kepalamu, sudah berwarna putih."

"Jangan meledek! Rambutmu pun pasti sudah sepertiku ini, tetapi kamu menyemirnya kan?!"

"Hahaha!"

"Kalian sudah saling kenal?" tanya pemilik warung kepada heranan.

"Tentu sudah lama aku mengenalnya, Nem. Dia adalah teman baikku di masalalu, yang terbaik bahkan." jawab Tarmidi, dengan raut bangga di wajahnya.

"Nem, siapa?" tanyaku.

"Nama pemilik warung ini Sakinem, dia menantu dari almarhumah Mak Yati. Istrinya Wagiran, kamu masih ingat dia?" jawab Tarmidi, kali ini ada kesan kesedihan pada raut wajahnya.

"Wagiran Sudrun (bodoh)?" jawabku.

"Hahaha! Ternyata kamu masih mengingatnya, sudah hampir 30 tahun yang lalu."

"Kenapa Kang Wagiran dipanggil Sudrun, Kang?" tanya Yu Sakinem.

"Hahaha! Dia bukan hanya sudrun, bahkan sinting! Suatu hari dia pulang dari hutan, sambil membawa 3 ekor anak Macan Kumbang," Tarmidi menghentikan ceritanya, seperti srdang berusaha masuk ke dalam kisah kenangan itu, "malam harinya, orangtua macan itu datang mengambil paksa anak-anaknya. Rumah Wagiran diobrak-abrik, sampai hampir roboh oleh kedua macan itu. Untunglah pada malam itu, kedua orangtua dan Wagiran sedang tidak ada di rumahnya, karena sedang menghadiri acara pernikahan salah seorang kerabatnya di desa lain."

"Apa?! Kang Wagiran belum pernah menceritakannya ini, selama menjadi suamiku. Tolong ceritakan tentang hal itu ya, Kang Tarmidi!"

"Akan kuceritakan, tapi jangan kamu diamkan saja tamu kita seperti ini. Buatkan secangkir kopi, atau segelas teh manis untuknya!"

Yu Sukinem tampak sangat terkejut, karena melupakan hal itu. Memandangku dengan tersenyum dan menunduk malu, seakan memintaku untuk mengatakan sesuatu padanya.

"Teh manis saja, Yu!" seruku, sambil mengangguk padanya.

Dengan cepat tubuh wanita itu menghilang ke arah ruang dapur warung, yang terpisah oleh gedheg (dinding dari anyaman bambu) itu. Tetapi sebelumnya dia meninggalkan satu permintaan ke arah Tarmidi, "berceritalah dengan agak nyaring ya, Kang!"

"Iya, iya!."

*****

Bendoasri tahun 1988, saat baru saja lulus dari SMA. Teman-teman mengajakku mengadakan camping, dan berkegiatan sosial di desa itu. Kami akan menyumbangkan beberapa dus Mi Instan, beberapa puluh bibit Ayam, dan beberapa pakaian bekas layak pakai. Dan aku bawakan mereka seratus bibit lamtoro gung, dalam wadah polybag.

Desa itu sungguh sangat terpencil, akses menuju ke sana sangatlah sulit. Sebetulnya jarak dari kota Kecamatan tidaklah terlalu jauh, tetapi karena prasarana jalan yang memprihatinkan, jadilah tempat itu seperti terkucil nun jauh di lereng perbukitan.

Kami hanya pergi bertujuh dalam rombongan itu, bersama Satir, Tarjono, Sipan, Tarimin, Kardiman, Toha, dan aku sendiri. Mereka semua adalah teman sekelasku di SMA, tapi hanya Sipan yang rumahnya sedesa denganku.

Rencana camping yang sedianya hanya dua hari, tiba-tiba molor menjadi seminggu. Ini terjadi karena beberapa hal, selain karena pertimbangan kenyamanan, juga karena beberapa orang dari kami sudah terjerat cinta lokasi dengan para gadis desa di sana. Aku juga termasuk yang memilih tinggal lebih lama, dan memutuskan untuk tidak pulang.

Hati memang seluas samudera, akann sangat sulit menemukan titik mana yang membuatku jatuh cinta. Cinta aneh yang melibatkan perasaan terdalamku, kepada seorang gadis penggembala kambing bernama Supeni.

Seperti biasa setelah melakukan aktifitas di pagi hari, mandi di sendang (telaga), mencuci baju di pancuran, akupun segera kembali ke tenda. Tidak seperti pagi itu, aku dibuat terkejut dengan kehadiran seirang gadis penggembala kambing yang tampak sedang kebingungan.

"Sedang apa, Dik?" tanyaku, setelah meletakkan cucian dan peralatan mandiku di samping tenda.

"Mencari seekor anak Kambingku, Mas." jawab gadis itu lirih, menunduk malu tanpa berusaha menatap wajahku.

"Memang dia lari ke arah sini?"

"Iya, Mas. Eh, tidak tahu. Mungkin ke sini, beberapa tempat sudah kudatangi."

"Boleh aku ikut membantu mencari kambingmu itu, Dik?"

Dia tampak terkejut, dengan tidak sadar atas keterkejutannya itu dia menatap wajahku. Barulah kusadari, gadis ini sangat cantik. Sekilas orang yang memandang kecantikannya, pasti tidak akan percaya dia hanya seorang gadis desa biasa.

"Mas?! Kenapa menatapku seperti itu?!" tanyanya tergagap, dan itu sudah cukup membuatku salah tingkah tak karuan.

"Eh, anu. Bagaimana? Boleh aku membantu, mencari anak kambingmu yang hilang?"

"Jangan, Mas. Aku tidak ingin merepotkanmu, Mas. Biarlah, aku akan mencarinya seorang diri."

"Jangan! Hutan ini sangat luas, phon-pohonnya sangat lebat, belum lagi jika nanti kamu bertemu dengan Macan Tutul, Macan Kumbang, Babi, Ular, atau hewan berbahaya lainnya!"

"Hihihi!" Supeni terbahak mendengar nada khawatirku, lalu dia membungkam mulutnya sendiri karena tak ingin terdengar gelaknya, "aku kan lahir dan besar di tempat ini, masakan aku tidak mengetahui itu semua?"

"Eh, iya." Wajahku pun memerah mendengar jawaban katanya, tak terasa akupun menirukan dia membungkam bibirku sendiri. Kami akhirnya tergelak bersama.

(Draft)

Tidak ada komentar:

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...