Rabu, 18 September 2019

Sekilas Tentang Kesenian Wayang Kulit

Wayang Kulit (untuk selanjutnya disebut wayang) dikenal sejak zaman prasejarah, yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Nusantara (Indonesia) pada saat itu memeluk kepercayaan, berupa pemujaan roh nenek moyang; yang disebut Hyang atau Dhanghyang (danghyang/danyang) yang diwujudkan dalam bentuk upacara dan kebudayaan.

Wayang merupakan seni tradisional yang terutama berkembang di pulau Jawa, tetapi juga dikenal di tempat lainnya diseluruh dunia. Pertunjukan Wayang Kulit Infonesia telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Pertunjukan wayang disetiap masing-masing negara, memiliki teknik dan gayanya sendiri. Dengan demikian, wayang Indonesia merupakan buatan orang Indonesia asli yang memiliki cerita, gaya, dan dalang yang luar biasa. Ada versi wayang yang dimainkan oleh orang dengan memakai kostum, yang dikenal sebagai Wayang Orang (sandiwara), dan ada pula wayang yang berupa sekumpulan boneka (wayang golek) yang dimainkan oleh seorang Dalang. Cerita yang dikisahkan dalam pagelaran wayang, biasanya berasal dari kisah Mahabharata dan Ramayana.

Kesenian wayang sendiri awalnya sangat kental dengan ajaran Hindu, dengan epik Ramayana dan Mahabarata. Tapi seiring masuknya Islam yang dibawa oleh saudagar dari Arab, Gujarat, dan Cina, telah banyak perubahan yang terjadi pada pewayangan. Perubahan dalam sistem pewayangan Jawa secara baku, terutama dilakukan oleh para Walisongo. Hal ini dikarenakan; wayang (pada saat itu) dijadikan sebagai media dakwah, dalam menyebarkan ajaran agama Islam.

Sebelum Walisongo menggunakan wayang sebagai media dakwah, mereka (para Wali) sempat berdebat mengenai adanya unsur-unsur yang bertentangan dengan aqidah (doktrin keesaan Tuhan dalam Islam). Selanjutnya para Wali melakukan berbagai penyesuaian, agar lebih sesuai dengan kaidah dalam ajaran Islam.

Bentuk wayangpun diubah. Yang awalnya berbentuk menyerupai manusia, menjadi bentuk yang baru. Perwajahannya dirubah menjadi tampak miring, leher dibuat memanjang, serta beberapa perubahan lainnya. Salah satu yang mendorong adanya perubahan dalam kesenian wayang adalah Raden Patah, pendiri dan Sultan pertama kerajaan Demak.

Beliau meminta para Wali, agar mengubah beberapa aturan dalam pertunjukan wayang. Atas dasar itulah, para Wali akhirnya secara gotong-royong melakukan sejumlah besar perubahan.

Wayang Beber karya Prabangkara (zaman Majapahit) yang dahulunya berbentuk seperti manusia asli, dimodifikasi sedemikian rupa dari kulit kerbau yang ditipiskan, penampilannya dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, dan diapit dengan penguat (agar mudah dipegang) dari bahan tanduk Kerbau atau Sapi.

Perubahan lain yang dilakukan raden Patah adalah, menambahkan tokoh Gajah dan wayang Pramponan. Selain itu, Sunan Bonang menyusun strutur gramatikanya, Sunan Prawata menambahkan tokoh Buto (raksasa), Kera, dan juga menambahkan skenario cerita di dalamnya. Sedangkan Sunan Kalijaga mengubah sarana pertunjukan, yang awalnya dari kayu diganti dengan batang pisang. Ada pula penambahan Blencong (lampu penerangan), Kotak Wayang, Cempala (pengatur ritme, berupa kayu untuk memukul kotak), dan Gunungan.

Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya, tentu disisipkan unsur-unsur moral keislaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka, juga beberapa tokoh lainnya. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.

Dalam sejarahnya, para Wali berperan besar dalam pengembangan pewayangan di Indonesia. Sunan Kalijaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Bahkan para Wali di tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian.

Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain yaitu “Mana yang Isi (Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) serta mana yang harus dicari (Wayang Golek)”.

Disamping menggunakan wayang sebagai media, para Wali juga melakukannya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya lainnya, contohnya melalui penciptaan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, Gamelan, dan lakon Islami.

Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca Syahadat, diajari Wudhu’, Shalat, dan sebagainya. Sunan Kalijaga adalah salah satu Walisongo, yang tekenal dengan minatnya berdakwah melalui budaya, dan kesenian lokal. Beliau menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk, sebagai sarana dakwah. Sunan Kalijaga jugalah pencipta (perancang model) dari baju takwa, perayaan Sekaten, Grebeg Maulud, Layang Kalimasada (dalam pewayangan), sebuah lakon wayang Petruk Jadi Ratu (raja). Lanskap pusat kota berupa Kraton, Alun-alun dengan dua Beringin (kembar) serta Masjid Jami' dalam lingkupnya,  diyakini sebagai karya beliau.

(Selesai)

Diolah dari beberapa sumber baca (buku), dan tulisan lain dalam pembahasan yang sama di internet.

 

 

Tidak ada komentar:

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...