Senin, 27 Agustus 2018

30 Tahun Penantian

Partinem menutup perlahan pintu kamarnya, untuk kesekian kalinya ia kecewa dengan keputusan Ibunya.
Seorang pria baru saja menemui Ibunya, seorang duda cerai mati yg memiliki anak perempuan berusia 10 tahun ingin melamarnya.

Dia masih ikut mendengarkan, ketika Lelaki itu menceritakan perihal kisahnya di hadapan Ibunya. Partinem sudah hampir bersorak riang ketika Ibunya memandang kepadanya, seakan menunggunya memberi persetujuan Lamaran pria itu.

Tetapi tidak, ibunya telah mengambil  keputusan sepihak seperti biasanya. Lamaran pria itu ditolak Ibunya, yg tidak menginginkan memiliki menantu duda.

Partinem memang bukan gadis belia lagi, usianya sudah 46 tahun walaupun dia masih perawan. Sudah 5 kali kisah cintanya kandas dihadapan Ibunya, semua mantan kekasihnya tidak ada yg membuat hati Ibunya berkenan. Satu persatu pria pergi dari harapan dan cita-citanya, menyisakan kehampaan dan jiwa yang tertekan. Menjadikannya pribadi yang pemurung dan penutup, hari-harinya penuh dengan rasa ketidak percayaan.

Sudah 15 kali Ibunya menolak lamaran para pria yg bersungguh-sungguh ingin mempersuntingnya, itu sudah cukup sebagai tanda warning untik parabpria yang masih ingin mempersuntingnya. Partinem ingat salah satu orang yg ingin melamarnya marah-marah, dan bersumpah akan menyantet keluarganya, menutup jodohnya, dan segala sumpah serapah lainnya. Gegara Ibunya menolak pinangannya kepada Partinem.

Lamunanya seketika buyar berantakan, ketika pintu kamarnya diketuk Ibunya dari luar.
"Nem, kamu lagi ngapain di dalam kamar? Anak perawan jam segini sudah mengunci diri di dalam kamar. Bersihkan itu gelas bekas suguhan tamu, dan itu temenmu si wartawati sudah menunggumu di depan!"

"Iya Mak, aku segera keluar", jawab Partinem seraya membetulkan gerai tambut panjangnya yg indah sepantat itu.

Setelah selesai dengan gelas-gelas itu, tergesa Ia menghampiri teman yg sudah menantinya di kursi teras depan.

Musini adalah teman karibnya sejak Sekolah Dasar hingga SMP, dia tidak melanjutkan sekolahnya karena 'harus' menjalani pernikahan dini. Ibu Partinem menyebutnya Wartawati karena sifatnya yg selalu ingin tahu. Anaknya sekarang sudah 3 Orang, dan hidup bahagia dgn Keluarganya.

"Piye Nem, lamaran Pria tadi diterima Emakmu apa tidak?", tanya Musini sambil memegang lembut rangan Partinem. Yang ditanya tersenyum kecut, sambil mengangkat kedua bahunya.

" Ditolak lagi, Mus"

"Emang Emakmu nyari Menantu yg seperti apa sih, ini gak cocok, itu gak cocok, begini gak mau, begitu gak suka, kelamaan kamu kempot nanti Nem!" Musini bersungut-sungut sendiri.

"Sudah biarkan saja Mus, memang belum ketemu jodohku kali" Partinem mencoba untuk tersenyum, tapi dalam hatinya membenarkan keresahan Sahabatnya itu.

"Sudah malam, Nem. Aku pamit aja, kasian si bungsu mungkin sedang mencariku sekarang." Musini melepaskan genggaman ditangan sahabatnya itu, seraya menggerutukan sesuatu dengan bahasa yang hanya bisa dimengertinya sendiri.
Partinem segera menutup pintu depan rumahnya, kemudian membanting tubuh kecilnya ke atas kasur di kamarnya. Air matanya berlinang membasahi sepreinya, kesedihannya tiba-tiba tumpah sejadi-jadinya.

****

Partinem bergegas-gegas mempercepat langkah kakinya, ia takut teman-temannya sudah berangkat menuju belik ( pancuran air yg keluar dari celah bebatuan ) tempat biasa mereka mencuci pakaian, sayuran, dan mencuci beras, atau sekedar ngangsu (mengambil air untuk keperluan memasak di rumah).

Beruntunglah Partinem, teman-temannya masih menunggunya di bawah pohon Randhu yg lebat daunnya. Dia melihat Musini dgn ketiga anaknya, ada Sukesi yg tengah hamil muda, juga Sukemi adik Sukesi, dan seseorang yg lama tak dilihatnya Karsiyem yg baru pulang dari Kota, bekerja jadi pembantu seorang China.

"Adhuh, ini perawan! Bangun jam segini, makanya sulit ketemu jodoh!" semprot Musini menyambutnya dengan sewo, karena anak bungsunya sudah mulai rewel dan merengek-rengek. Yang disewotin malah ketawa-tawa riang,

"Sudahlah, ayo cepetan naik. Sebentar lagi para pria akan datang mengambil air, gagal kita mencuci badan!" kata Karsiyem sambil berjalan di samping Partinem, yg lain menyusul di belakangnya dengan ributnya

"Kamu kapan datang Yem?" tanya Partinem pada sahabatnya, Karsiyem tersenyumnkecil mendengar pertanyaan itu.

"Semalam nem, dijemput Kang Ngalimin suamiku."

"Kamu akan tinggal lama di desa, atau hanya sambang keluargamu saja, Yem?" tanya Partinem lagi, dan Karsiyem menghela nafas panjang seraya menundukkan wajah ayunya.

"Aku gak balik ke Kota lagi, Nem."

"Kenapa?"

"Kang Ngalimin memintaku merawat anak-anak, karena Kang Ngalimin akan mencoba peruntungannya di Kalimantan bersama tetangga yg lain."

"Ooohh..."

Tiba-tiba saja Sukesi sudah ada di samping Partinem dan berkata dengan beebisik-bisik padanya.

"Kamu sudah dengar kalau Kang Sakijan pulang, Nem?"

"Kang Sakijan? Kapan pulangnya? Aku belum mendengarnya!"

"Dua hari yg lalu, tapi dia masih di rumah mertuanya."

" Bukankah, istrinya telah meninggal tiga bulan yg lalu?", tanya Partinem penuh semangat.

" Iyaaa...bla.  bla...bla...."

Partinem sudah tak dapat mendengar lagi kata-kata sahabatnya itu, karena ia sudah dikuasai lamunan tentang sosok pria bernama Sakijan itu. Masa lalunya yang indah, pernah dilaluinya bersama pria itu. 

****

Partinem sudah selesai medandani tubuhnya, tetapi dia seakan belum begitu yakin dengan penampilanya. Berkali-kali dia memeriksa sapuan bedak diwajahnya, menyisir rambut panjangnya yg dibiarkanya tergerai di punggungnya, Malam ini dia telah membuat janji bertemu dengan Sakijan, cinta pertamanya 30 tahun yg lalu.Sukesi telah menyampaikannpesan darinya, sore tadi.

Sakijan adalah pria pertama yang mencium pipinya, yang pertama membelai rambutnya, yang pertama memeluk pinggangnya, yang pertama meremas payudaranya, orang pertama yang menyentuh kewanitaannya. Kenangan indah itu dalam terpatri di sanubarinya, sosok itu pernah menjadi segalanya di hatinya.

Partinem memang sangat mencintai Lelaki itu sepenuh hatinya, tetapi sayang Ibunya tidak merestui hubungan mereka. Sampai akhirnya, Sakijan menikahi gadis tetangga desa karena kekecewaan yang dalam pada Ibunya.

****

Dibawah pohon Trembesi disamping gubug kecil di ladang itu, Partinem menunggu dengan gelisah. Menunggu seseorang yg dulu pernah mengisi hari-harinya, yang sekarangpun masih menghiasi mimpi-mimpinya.Orang yang sangat dirindukannya, orang yang selalu menghiasi setiap mimpi tidurnya.

Dari kegelapan Orang yg dinantinya datang, terdengar suaranya menyapa.

"Sudah lama menungguku, Nem?"


" Tidak Kang, baru saja...." Partinem menjawabnya dengan terbat-bata, tiba-tiba tubuhnya gemeteran.

Lelaki itu sudah ada disampingnya, dan langsung memeluk tubuh Partinem yg semakin gemetaran. Melayangkan ciuman, dan kecupan di sekujur wajahnya.

" Aku kangen kamu, Nem. Aku masih sangat mencintaimu....", kata Sakijan di telinga Partinem, sambil semakin bernafsu mencumbu Partinem yang kelojotan. 

Partinembpun larut dalam gelora rindu itu, bahkan dia mandah saja ketika Sakijan menggendong tubuhnya dan membaringkannya di gubug itu. Dan Partinem hanya mampu memejamkan matanya, ketika jemari tangan kekasihnya itu gencar menjelajahi setiap lekuk tubuhnya. Dia melenguh, merasakan kenikmatan-kenikmatan yang dulu pernah menghilang dari perasaannya.Dia sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi, apa yang seharusnya terjadi berpuluh tahun yg lalu.

Malam semakin larut, mereka semakin ganas bergelut. Rembulan yang menyinarkan cahaya purnama, memandangi mereka yang tengah asyik menjelajahi samudera asmara. Berpacu dengan nafsu nan menggebu, menuju kenikmatan yang selalu ditunggu. Hingga pada satu titik, terdengar jerit lirih dari bibir Partinem... jerit 30 tahun penantian.

(Tamat)

5 komentar:

Indys mengatakan...

Bagus, tapi hati2 dipemilihan kata agak vulgar...

Semuanya Tentang Andaikata mengatakan...

siaaaappp...

Unknown mengatakan...

Musini bertamu anak2 lha mau mandi anak 3 piye to.Koreksi lagi dech

Semuanya Tentang Andaikata mengatakan...

iyoooo

ummuarrahma@gmail.com mengatakan...

Banyak typo Yasa.. tapi ceritanya asik mengalir sederhana tapi enak alurnya.

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...