Sabtu, 22 September 2018

Amarah Namaku

Namaku Amarah Bensikwi, nama pemberian almarhumah Ibuku 30 tahun yang lalu. Ibuku meninggal ketika aku masih bayi, karena sakit yang dideritanya. Bapakku juga meninggal, tak lama setelah kepergian Ibuku. Sepeninggal mereka, aku diasuh dan dibesarkan oleh Nenekku. Mungkin terdengar seperti sebuah nama yang aneh, tetapi kandungan kenangan dalam nama itu sangatlah berkesan di hatiku. Ketika kutanyakan perihal nama itu, selalu jawaban Nenek membuatku tertawa terbahak - bahak. 


Kata Nenek, semasa muda Ibuku adalah penggemar sinetron pada jaman itu. Dia dan teman - teman perempuan sebayanya, tidak pernah sehari pun melewatkan tontonan gratis itu. Meskipun mereka harus berjalan satu kilometer, untuk dapat pergi menontonya.


Satu - satunya pemilik televisi saat itu adalah Babah Cui, pedagang sembako kaya raya keturunan tionghwa. Rumahnya diujung Desa Manyar Pitu ini, di depanya adalah jalan aspal satu - satunya menuju Kecamatan Karang Adem.


Juga satu - satunya rumah yg sudah dialiri listrik, menyalur secara pribadi dari Kota Kecamatan yang berjarak lima kilometer. Konon katanya dulu, biaya menyalurnya saja seharga dua ekor sapi dewasa.


Pada jam penayangan sinetron, oleh Babah Cui televisi dipindahkan ke teras Tokonya. Para penonton sudah duduk rapi di atas tikar yang mereka bawa dari rumah, berdesak - desakan ingin bisa menonton lebih dekat. Kata Pakdhe (uwak) Kardi kakak kandung Ibuku, orang yang menonton bisa sampai 50 orang. Tua muda, Pria Wanita, bahkan Anak - anak, dan Bayi dalam gendongan ibunya. Tetapi menurut hemat Pak Modin (ulama Desa), sebaikya penonton dipisah antara Pria dan Wanita. Jadilah mereka dipisahkan, dengan karung bekas yang dijahit memanjang.


Adegan demi adegan pun mereka tonton dengan seksama, meskipun hampir semua penonton adalah buta huruf, bahkan tidak mengerti Bahasa Indonesia. Jika tampil pemeran wanita yang cantik, para penonton pria bersuit - suit... ada yang berteriak menanyakan nama sang artis, 


" Bah Cui, itu siapa namanya ? " Babah Cui pun akan menjawabya dengan sabar,


 " Yang ini yha... ini Tamara Blesinsky... " nama yang disebut Babah Cui memang benar, tetapi jadi terdengar lain di telinga para penonton yang berisik itu,


" Siapa ?, Tambara Bensikwi ? "


" Bukan..., Ambara Benswiki... ? "


" Waduh... dasar budheg (tuli), Babah bilang namanya Amarah Benkwiki... " kata seseorang, yang agak terdepan tempat duduknya. Nah, nama itulah yang ikut di amini oleh ibuku, terpatri dalam ingatanya.


Ibu bertemu Bapakku juga di tempat ini, Bapak orang dari Desa Manyar Kuncen tetangga Desaku. Bapak dan teman - temanya, selalu mengantar Ibu dan teman - temanya pulang ke rumah seuaai menonton. Lambat laun, mereka pun saling jatuh cinta. Bapak melamar Ibuku tahun 1985, dan menikahinya kemudian di tahun yang sama. Maka lahirlah aku di tahun 1986, di tanggal 25 bulanya November. Seorang bayi perempuan, yang cantik dan menggemaskan. Itu akuuuu...


Begitu sudah ada kepastian yang lahir perempuan, maja setelah 5 harinya diselenggarakanlah tradisi pemberian nama. Itulah pertengkaran pertama antara Bapak dan Ibuku, yang selama mereka berumah tangga tidak pernah terjadi. Mereka saling ngotot akan memberikan nama untukku, di dalam fikiran mereka tentu sudah mempersiapkan satu nama yang indah, untukku.


Tamu undangan berdatangan, hampir semua orang diundang. Kira - kira ada 70 orang yang datang, kecuali Pak Lurah yang berhalangan. Di depan para undangan, Baoak memberikan sambutan


" Saudara sekalian, jadilah saksi perkataanku..., anak pertamaku ini ku beri nama Tambara Bensikwi... "  kata Bapak di depan para undangan. Ibubtiba - tiba keluar dari dapur, menyerukan pendapatnya,


" Tidak..., namanya adakah Amarah Benkwiki... " Bapak terkejut dengan kejadian itu, tapi dia tidak mau menyerah begitu saja, dia menjawab dengan keras pada Ibu


" Tidak !, namanya tetap Tambar  Bensikwi ! "


" Tidak !, namanya Amarah Benkwiki..." teriak Ibu dengan marah, membuat Pak Modin berdiri menengahi pertengkaran itu


" Sudah... sudah... bagaimana kalau bayi ini Kita namai Siti Aminah..., bagaimana... setujuuu ? ! "


" Huuuuuu !!! " teriak para undangan, mengolok Pak Modin yang tidak bisa menyelesaikan masalah.


" Baiklah, kita ambil jalan tengahnya saja. Namanya yang depan dari bapaknya, yang belakang dari ibunya... bagaimana ? "


" Setujuuu... ! " teriak yang hadir penuh kelegaan dan kegembiraan,


" Baiklah, siapa nama depanya, Tir (nama bapakku Satir) ? " tanya Pak Modin kepada Bapak


" Tambar, Pak Modin " jawab Bapak,  sambil menoleh pada Ibuku,


" Bagaimana Sum (nama Ibuku Suminah) ? " tanya Pak Modin,


" Tambar... Tambar... kamu kira anak ini laki - laki ? " keheningan pun kembali menyelimuti suasana, di tempat itu...


"Nama depanya adalah Amarah... nama belakangnya, sesuai keinginan bapaknya yaitu Bensikwi...jadi nama anak perempuanku ini adalah Amarah Bensikwi !!! " konon Ibu sambil berteriak, saat menyebutkan namaku untuk yang pertama kali. 


Hadirin yang sebelumnya tampak kurang bersemangat, mengikuti perdebatan Rumah Tangga itu pun bersorak riang. Mereka saling bersalaman, berpelukan karena bahagia, bahkan Pak Modin sampai meneteskan air mata. Perdebatan itu, konon berlangsung selama dua jam.


Nenek dan para Istri tetangga, sampai kelupaan tidak menyuguhkan apapun kepada para tamu. Karena itu, mereka menjadi amat bergembira... ketika Pak Modin menyatakan perselisihan itu berakhir.


Maka segala hidangan pun semua dikeluarkan, segala makanan dan minuman yang biasanya untuk selamatan bayi. Dalam sekejap, makanan pun tandas... hanya tersisa dedaunan, dan tulang bekulang ayam yang berserakan.


Jadi semenjak malam itu, namaku adalah Amarah Bensikwi. Sebuah nama yang tidak mengandung makna apapun, tetapi merupakan nama yang paling bersejarah dalam hidupku. Nama yang memberiku banyak keberuntungan, karena diberikan dengan oenuh perjuangan.


Aku tumbuh menjadi sosok yang kuat, pekerja keras, dan berjiwa pejuang. Perjuanganku pun berhasil, sekarang aku menjadi Dokter Kepala di Puskesmas Karang Adem. Aku menikah dengan Dono Kasino Indro (korban pemberian nama juga)... teman sepermainanku dulu. Suamiku menjadi Camat di Kecamatan Karang Adem, dan dikaruniai dua orang anak, Satir Putra Manyar 5 tahun yang sulung, dan adik perempuanya Sumina Putri Manyar 3 tahun. Kami hidup berbahagia,,, di tanah kelahiranku tercinta.


#TantanganODOP3

#Onedayonepost

#odopbatch6

#fiksi


Nganjuk, 23 September 2018




13 komentar:

putririsdiani89.blogspot.com mengatakan...

Bagus ceritanya :)

Yeti Nuryeti mengatakan...

Ceritanya keren pak..., suka banget endingnya.

amieopee mengatakan...

keren bapak, ide cerita yang unik tapi merasuk dalam jiwa..

ummuarrahma@gmail.com mengatakan...

Keren bikin penasaran. Cuma masih ketemu beberapa typo pak😍✌.

Winarto Sabdo mengatakan...

terima kasih krisarnya...jangan kapok mampir yaaa

Winarto Sabdo mengatakan...

terima kasih @yetiODOP sudah memberi kesan cerpen ini... jangan kapok mampir yaaa...

Winarto Sabdo mengatakan...

ceileee... sampai segitunya... trtima kasih @ameeODOP atas kunjunganyaaa... maaf belum bisa BW...

Winarto Sabdo mengatakan...

@rahmaODOP kalau ketemu typo tlg bilangin... jangan suka main ke tulisan pak win yaaa... terima kasih sudah mampir....

Sekolah kehidupan mengatakan...

Say sampai membayangkan kejadian pas udur-uduran nama. Pak Modinnya sampai meneteska air mata. Keren...

Unknown mengatakan...

Cerita yg menarik. Gaya penyampaiannya pun kreatif, lucu...

Unknown mengatakan...

Cerita yg menarik. Gaya penyampaiannya pun kreatif, lucu...

Winarto Sabdo mengatakan...

hai @endahODOP...ih njlimet banget bacanya...terima kasih sudah BW ke warungku...

Winarto Sabdo mengatakan...

eh @imasODOP... masa sih segitunya? Terima kasih sudah memberi kesan... mampir lagi yaaa

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...