Rabu, 10 Oktober 2018

Mbah Setu Dan Sebatang Handphone

Namanya adalah Mbah Setu, usianya sekitar 75 tahun. Dia tinggal di tengah hutan, bersama istri tercintanya Mbah Sakem yang berusia 70 tahun. Atas kebaikan hati para Penjaga Hutan di wilayah itu, Mbah Setu dan keluarganya boleh bertempat tinggal, dan diperkenankan menggarap lahan di sela-sela tanaman hutan. Itu pun dengan syarat, dia harus mau ikut membantu... memelihara pohon Jati muda, yang ditanam okeh pihak PERHUTANI.

Pohon jati yang dirawatnya itu sudah seukuran bedug, dan tinggi besar menjulang ke angkasa. Karena dia sudah berdiam di situ, sejak dia diusir oleh warga desanya 40 tahun lalu... karena dicurigai memiliki Ilmu santet. Dia dan istri tercintanya memilih tinggal di sana, di tengah hutan dan jauh dari desa tempat kelahirannya. Makan dari hasil panenan, yang mereka tanam di sela pepohonan. Mbah Setu dan istrinya adalah sosok yang ulet, mereka tidak merasa berkekurangan... meski pun mereka sudah terisolasi puluhan tahun lamanya. Mereka membuat nasi jagung dari tanaman jagungnya, dengan peralatan uang sederhana... hasil karyanya sendiri. Dan membuat lauk dari tanaman yang ada, bermacam sayuran yang ditanamnya.

Sering dia menukarkan hasil kebunnya dengan bumbu dapur, kepada petugas Polisi Hutan yang sengaja mengunjunginya. Tetapi memang, kedatangan petugas itu tidak bisa ditentukan. Kadang sebulan, kadang dua bulan sekali, bahkan jika musim penghujan... hampir tak seorangpun dari petugas itu yang mengunjunginya. Sepanjang musim itu mereka terpaksa makan apa saja yang ada. Tetapi sungguh, mereka adalah keluarga yang berbahagia. Mbah Setu memanggil istrinya Bune (Ibunya), sedang Mbah Sakem memanggil suaninya Pakne (Bsosknya). Walaupun, mereka tidak dikaruniai seorang anak pun. Mereka memposisikan diri sebagai Bapak dan Ibu siapapun.
***
Suatu hari Mbah Setu agak terlalu jauh meninggalkan gubugnya, menyusuri jalan setapak... yang sebenarnya adalah bekas tapak kakinya, berpuluh tahun melintasiya. Dia berjalan ke arah luar hutan, mengarah ke jalan beraspal... jalan yang membelah hutan tempat tinggalnya, yang menghubungkan Kabupatennya dan Kabupaten tetangga. Sebelum sampai di jalanan aspal langkahnya terhenti, dia melihat kira-kira 20 meter di depannya... terlihat beberapa orang Pria. Seorang Polisi, seorang Polisi Hutan, seorang mengenakan kopyah hitam mungkin seorang petinggi... karena kedua orang polisi itu, bersikap sangat hormat dan santun kepadanya. Terlihat juga beberapa orang mengenakan helm proyek, ada yang berwarna kuning, putih, juga berwarna biru. Sementara, di pinggir aspal jalan raya... terparkir 4 kendaraan, satu diantaranya mobil patroli Polisi. Mbah Setu mengamati mereka tanpa mereka menyadarinya, dia bersembunyi di rerimbunan alang di bawah sebuah pohon Mahoni. Siapa mereka? Mau apa mereka berkumpul di tepi hutan sepagi ini? Pertanyaan berkecamuk di dada lekaki tua itu.

Beberapa saat setelah yang berkumpul itu masuk ke dalam mobil masing-masing, dan meninggalkan pjnggiran hutan itu... dia pun kembali berjalan.

Diseberang jalan aspal itu adalah tujuan perjalanannya pagi ini, ke tempat dimana dia dapat menemukan tanaman Gadung (sejenis umbi dari tumbuhan merambat, yang beracun dimakan jika tidak benar cara mengolahnya). Bulan-bulan begini tanaman itu sudah waktunya di panen, dia memanennya setahun yang lalu. Ada seorang Polisi Hutan yang selalu dengan senang sekali membarternya, setelah Mbah Sakem mengolahnya menjadi bahan siap makan. Bayangan bakal mendapat bumbu dapur yang banyak, menari-nari dalam angannya. Terbayang juga senyuman di wajah istrinya, waktu membungkuskan bekalnya tadi.

"Semoga mendapat gadung yang banyak ya, Pakne" kata istrinya sambil tersenyum.

Nasi jagung, dengan lauk kulup gambas (rebusan labu muda), dan sambel terasi kesukaannya. Pasti hari ini dia akan mendapat hasil yang banyak, karena istrinya mendo'akanya selalu.

Langkahnya sudah hampir mendekati jalanan aspal itu, ketika tiba-tiba matanya melihat sebuah benda tergeletak di rerumputan, Dengan tergesa dia menghampiri benda tersebut, diamatinya dengan kebingungan... benda yang baru kali ini dia melihatnya. Benda itu dipungutnya, hatinya masih begitu takjub melihat keindahan benda itu. Dia menduga, pastilah benda itu milik salah seorang tadi yang tercecer. Perasaannya bimbang, antara meninggalkan benda itu... atau membawanya pulang. Tetapi hatinya memutuskan untuk membawanya pulang, kelak jika ada petugas yang mengunjungi gubugnya... dia akan meyerahkanya.

Mbah Setu tidak tahu, benda yang ditemukannya itu adalah sebuah Handphone. Setelah mengantongi benda tersebut (handphone), dia kembali berniat meneruskan  langkahnya. Ketika tiba-tiba benda di kantongnya itu bergetar dan bersuara nyaring,

"Pak! Ada telpon Pak!... Pak! Ada telpon Pak!" (bunyi nada panggil/ringtone)

Mbah Setu sangat terkejut, sampai jatuh berguling di rerumputan. Dengan cepat dia merogoh kantongnya, dan membuang handphone yang masih bersuara itu.

"Pak! Ada telpon Pak!"

Dia memasang kuda-kuda, sambil mengamati dengan seksama yang bersuara itu. Tiba-tiba suara dari benda itu berhenti, juga sudah tidak terlihat bernyala lagi. Tetapi Mbah Setu belum beranjak dari tempatnya memasang kuda-kuda, matanya pun masih menatap tajam handphone itu. Nafasnya terengah, karena rasa terkejutnya belum hilang. Lelaki tua itu masih menunggu, kali ini dia sudah duduk bersila... sambil mulutnya berkomat-kamit, membaca mantra. Beberapa menit tidak terjadi apapun pada benda itu, diapun berdiri... berjalan mendekatinya. Dengan sikap waspada, dia coba mengulik benda itu dengan sebatang ranting kering. Tidak terjadi apapun, tetapi dia ragu apakah akan memungutnya kembali.  Baru saja tangannya terulur untuk mengambil, tiba-tiba benda itu bersinar lagi... bergetar dan bersuara lagi,

"Pak! Ada telpon Pak!"

"Pak! Ada telpon Pak!"

"Pak! Ada telpon Pak!"

Demgan reflex Mbah Setu melompat ke belakang, menjauhi benda bersuara itu. Kembali memasang kuda-kuda pencak silatnya... seraya menoleh ke kanan kiri, dengan kewaspadaan seorang Jawara sejati.

"Siapa Kamu! Tunjukkan wujud aslimu!" teriaknya sambil mengelilingi benda tersebut, tidak ada yang menjawab tantagannya. Perlahan nyalinya menciut, dia merasa mantra pengusir hantunya tidak mempan lagi. Dia mulai berjalan beringsut, menuju ke samping sebuah pohon jati yang besar. Lalu dia duduk di rerumputan, masih dengan memandangi benda tersebut.
Tak terasa, keringat mulai mengucur diseluruh tubuh tuanya. Bermenit-menit benda itu tidak mengeluarkan suaranya lagi, seribu tanda tanya berkecamuk di hatinya. Mungkin benda itu berisi jin atau setan. Mungkin benda itu tak ingin disentuhnya. Mungkin benda itu tak sudi dimasukkan kantongnya yang bau itu. Mungkin benda itu sedang memanggil pemiliknya, karena yang dia fahami dari suara itu hanya kata "Pak" saja. Mungkin benda itu adalah anak dari benda serupa, yang mungkin lebih besar dari benda itu sendiri.

Sepuluh menit berlalu, tidak ada tanda-tanda benda setelapak tangan itu akan memanggil "Bapaknya" lagi. Mungkin dia sudah tertidur, karena kekelahan memanggil-manggil bapaknya. Setelah merasa benda itu sudah aman, Mbah Setu pun memberanikan diri mendekatinya. Dengan sigap dia melompat, dan menerkam benda itu dengan sekuat tenaga. Tanpa berfikir panjang lagi, diikatnya benda itu ke ujung ranting yang dibawanya dengan erat. Kudian dengan hati-hati mulai berjalan, dia memegang ranting itu seperti seorang pemancing. Berjalan menuju ke rumahnya, karena semangatnya untuk mencari gadung tiba-tiba lenyap.

Sepanjang jalan menuju rumahnya, hatinya dipenuhi kebimbangan. Apakah suatu keputusan yang tepat, membawa benda asing ini ke gubugnya. Bagaimana jika istrinya nanti ketakutan? Bagaimana jika jin yang ada di dalam benda itu merasuki istrinya? Bagaimana jika keputusannya membawa benda itu pulang, adalah seperti membawa pulang permasalahan saja?. Berulang kali pertanyaan itu berkecamuk di hatinya, hingga tak terasa langkahnya sudah memasuki halaman rumahnya. Istrinya yang sedang memetik sayur, terkejut dengan tingkah suaminya itu.

"Pakne! Ada apa?! Mengapa berjalan seperti itu???"  terdengar ada kecemasan di dakam teriakan itu, Mbah Setu memasang jari telunjuknya diletakkan di bibirnya... memberi isyarat istrinya untuk tidak bersuara. Dengan lambaian satu tangannya, dia memanggil istrinya untuk mendekat. Yang dipanggil pun datang mengendap-endap, mengikuti instruksi isyarat tangan suaminya. Berdua dengan saling berpegangan tangan, mereka pun masuk ke dalam gubugnya. Meletakkan ranting dan yang terikat handphone itu di meja. Kemudian Mbah Setu mengajak Mbah Sakem menjauh, sambil berbisik dengan suara tertahan,

"Ambilkan air minum, Bune,"

"Kamu kenapa, Pakne? Tubuhmu sampai gemetaran dan berkeringat begini?" tanya istrinya sambil mengangsurkan sebuah kendi pada suaminya, "Dan mana hasil pencarianmu hari ini?"

"Aku tidak bisa mencari gadung setelah menemukan benda ini, tenagaku habis terkuras untuk mendiamkan benda ini"

"Ini benda apa, Pakne? Kelihatannya sangat bagus... boleh aku menyentuhnya?"

"Jangan Kamu sentuh benda itu, dia itu hidup... bisa bersuara dan memanggil bapaknya"

Mbah Sakem menjadi semakin penasaran, dia tidak mendengarkan nasehat suaminya. Tiba-tiba saja dia sudah berdiri di samping meja, melepaskan ikatan benda itu dari ranting. Ketika tiba-tiba benda itu menyala, bergetar dan berputar  di atas meja... dan bersuara dengan kerasnya.

"Pak! Ada telpon Pak!"

Mbah Sakem menjerit ketakutan, berlari memeluk tubuh suaminya dengan gemetar.

"Pergi! Jangan ganggu keluarga Kami!" teriak Mbah Setu dengan marah

"Pak! Ada telpon Pak!"

Mbah Sakem semakin keras saja jeritanya, kain lusuhnya basah karena dia terkencing-kencing karena takutnya. Mbah Setu meraih sebatang kayu pengganjal pintu gubugnya, bermaksud akan memukulkannya pada benda itu.

"Diamlah! Atau Aku akan menghancurkanmu dengan kayu ini!"

"Pak! Ada telpon Pak!" benda itu tetap beesuara, seakan berjalan mendekati pinggir meja karena getarannya. Mbah Setu semakin marah, benda itu mengindahkan peringatannya. Maka dengan bersikap menyerang, dia bermaksud menghancurkan benda laknat itu.

"Hiiiiiaaaaaattt... !!!"
Tetapi terdengar suara keras dari luar gubugnya, yang menahannya dari gerakan menghancurkan benda itu,

"Assalamu' alaikuum... !"

Mbah Setu menoleh ke arah sumber suara, melalui pintu gubugnya yang terbuka. Dia melihat beberapa orang berdiri di sana, ada Pak Winarto si Polisi Hutan, satu orang Polisi, dan satu lagi lelaki gemuk berkopyah yang dilihatnya di pingguran hutan tadi pagi. Tergopoh suami istri itu pun keluar, menemui para tamunya.

"Walaikumusalaam!" jewab Mbah Setu dan Mbah Sakem hampir bersamaan, "Ada apa gerangan Bapak-bapak ini berkunjung ke gubug Kami?" imbuhnya lagi. Pak Winarto berjalan mendekati tubuh lelaki tua itu , seraya berkata kepadanya,

"Mbah, ini Pak Camat... dan ini Pak Kapolsek. Pak Camat baru saja tadi pagi kehilangan handphone, tepat di dekat jalan setapak... di dekat jakan raya, yang biasanya Mbah Setu lewati untuk memanen gadung," Pak Winarto memandang wajah lelaki, yang tampak kurang memahami perkataannya itu, sepertinya dia tidak memahami kata-katanya

"Apa Pak? Hapon?" tanya kakek itu kebingungan.

"Apa Sampeyan menemukan. benda seperti ini, Mbah?" berkata begitu Polisi Hutan itu, mengeluarkan sebatang gawai dari kantong celananya. Demi melihat benda itu, suami istri itu pun menjerir bersamaan. Seperti biasa, Mbah Setu langsung memasang kuda-kudanya. Tiga orang tamu itu tidak kalah terkejutnya, mereka pun mundur satu langkah bersamaan. Seperti ada sesuatu yang teringat, Pak Win segara mendatangi Mbah Setu berdiri... tentu setelah dia kantongi kembali gawainya.

"Bagaimana, Mbah. Apa Sampeyan menemukan benda itu?" tanyanya dengan lembut, seraya menepuk pundak pendekar renta itu.

"Tidak seperti itu, Pak. Tetapi mirip seperti itu," jawab Mbah Setu sambil menutup kuda-kudanya. Pak Camat ikut neringsut mendekati mereks, dan mulsi berkata juga si kakek nenek.

"Itu handphone Saya, Mbah. Didalamnya... tersimpan data-data penting, dan nomer-nomer penting para Pejabat Negara," katanya kemudian. Mbah Sakem yang lebih faham duluan dari suaminya, segera menunjuk ke arah meja di dalam gubugnya. Dengan tergesa Pak Winarto segera masuk, untuk mengambil benda dimaksud.Ketika benda itu sampai ke tangan pemiliknya, tiga orang itu pun bersama mengucap Alhamdulillah.

"Untung Mbah menemukan hape Saya ini. kalau orang lain yang menemukan... pasti sudah lienyap entah kemana. Terima kasih ya ,Mbah..." berkata seperti itu,  Pak Camat sambil memberikan lima lembar uang ratusan ribu. Mbah Setu menerima uang itu keheranan, sudah 40 tahun dia dan istrinya tidak melihat uang. Dan memang, selama itu pula dia dan istrinya... tidak pernah lagi memegang uang, apalagi mempergunakannya. Apalagi dia tahu, uang yang diberikan Pak Camat itu adalah tanda terima kasih... karena dia telah menemukan benda milik Pak Camat. Mbah Setu mengembalikan uang itu, tetapi Pak Camat tidak mau menerimanya. Maka, terjadilah saling angsur-mengangsur uang diantara mereka berdua.

Pak Winarto segera menengahinya, Pak Camat diajaknya menjauh dari Mbah Setu... kemudian dia berkata sesuatu kepadanya. Pejabat Pemerintah itu mengangguk-angguk, kemudian mendatangi lelaki tua dan isrrinya itu. Mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam, sekalian berpamitan kepadanya.

Setelah mereka pergi dengan membawa si hapon itu, barulah mereka merasa lega. Si Kakek langsung menggoda istri tercintanya.

"Owalaaah... Kamu ngompol, hanya karena si hapon ya, Bune?" ledeknya, yang merasa langsung memukul bahu suaminya dengan lembut. Berdua mereka kemudian masuk ke dalam gubug, sayup-sayup masih terdengar suara si kakek, "Buatkan Aku kopi ya, Bune".

Seminggu setelah kejadian itu, keluarga Mbah Setu dikejutkan dengan kedatangan beberapa orang berseragam. Mereka adalah beberapa orang SATPOL PP Kecamatan, yang masing-masing menangguk barang di pundak mereka. Ada Pak Winarto diantara mereka, yang menerangkan tentang kedatangan mereka.

"Ini semua adalah utusan Pak Camat, Mbah. Beliau mengirimkan sembako ini... sebagai ucapan rasa terima kasihnya" terangnya, "Beras 1 kwintal, mibyak goreng 50 liter, gula 20 kilogram, ada juga perlengkapan bumbu dapur... juga Beliau mengirimkan salamnya"

Mbah Setu hanya bisa ternganga dalam puji syukurnya , tidak menyangka Alloh memberinya rejeki yang banyak melalui Pak Camat. Ini gara-gara si hapon yang memberinya berkah, semoga semua ini barokah. Mbah Setu dan istri pun sangat berterima kasih, mereka melakukan sujud syukur bersama-sama di tanah. Alhamdulillaah.

*Naskah ini sudah dikirimkan ke redaksi@mojok.co (tabloid online berhonor), pada tanggal 2 Desember 2018.

Link: www.mojok.co (denhan keterangan pernah dipublish di komonitas ODOP)

#KelasFiksi

#ODOPBatch6

#TantanganKirim.ArtikelKeMediaMassa

5 komentar:

ummuarrahma@gmail.com mengatakan...

Banyak typo ya pakdhe, ceritanya lucu tapi apik. Orang yg tulus membantu di zaman sekarang memang tidak seperti orang dulu.

Winarto Sabdo mengatakan...

iya sangat lumayan untuk penulus katarak ya Ummu... tetima kasih krisarnya...

Nurul Hidayah mengatakan...

Lho bukan aku lho yang bilang,

Nurul Hidayah mengatakan...

Lho bukan aku lho yang bilang,

Betty Clever mengatakan...

Hp kok sebatang Beh, emang dia rok*k ya heheh

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...