Selasa, 09 Oktober 2018

Nafas Terakhir

“Ya Allah sungguh perih penyakit yang kau titipkan pada hamba-Mu yang lemah ini” desahku pelan sambil tetap meneruskan mengetik dimeja kerjaku, sebisa mungkin kutahan rasa sakit ini dan terlihat baik di depan teman-teman kerjaku, agar tak ada yang mengetahui bahwa aku sedang berjuang melawan rasa sakit ini.

Namaku Sabian, saat ini aku bekerja disalah satu perusahaaan penerbit buku... sebagai salah satu penulis yang dianggap berbakat. Tiba-tiba telepon disampingku berdering, itu Manager yang memanggilku agar segera ke ruangannya.
Namun langkah kakiku, entah mengapa terasa berat dan sulit untuk digerakkan.

Masyaallah Bian, Wajahmu kok pucat sekali?" kata Alex teman kerjaku dengan wajah cemas.

“Aku baik-baik aja kok, Lex. Sukron ya” jawabku sambil terus mencoba berjalan.Namun, rasa sakir itu tiba-tiba datang lagi... rasa sakitnya hampir membuatku menjerit kesakitan. Tidak tertahan lagi, aku terjatuh di lantai... semua menjadi gelap.

Perlahan-lahan kubuka mataku, seberkas cahaya pun masuk melalui kornea mataku. Suasana ruangan ini sudah tak asing lagi, ya ini rumah sakit... kulihat Alex dengan wajah yang masih berkeringat. Kemungkinan, dia yang membawaku kesini. Aku memanggilnya, dan memintanya untuk tidak mengatakan perihal penyakitku kepada siapapun. Termasuk istri serta anakku, dan Alex hanya mengangguk setuju.

Dengan langkah gontai aku mengetuk pintu rumahku. Kutarik nafas dalam-dalam dan bersiap-siap, mendapat omelan Istriku lagi. Namun malam itu sepertinya berbeda, suasana rumah tampak ramai, hingga untuk ketiga kalinya aku mengetuk pintu... barulah dibukakan oleh Tessa anakku. Diapun menyambutku dengan tersenyum, kemudian dia mencium tanganku. Akupun mengucapkan salam lalu masuk, pas diruang tamu istriku langsung bangkit ketika melihatku. Dia begitu tenang tak ada sedikitpun tanda bahwa dia akan mengomeliku.
“Kok telat pulang, Mas?” tanyanya lembut
“Baru selesai ngerangkum novel ke-5,  Sayang, Makanya aku telat” ucapku berbohong. Istriku masih terlihat tenang dan tersenyum, 'Lain kali, kasih kabar dulu dong, Mas. Oh iya, ini ada Mega sahabat lamaku. Dia datang ke sini berwisata,  dan menyempatkan bertemu denganku," ucap Istriku. Akhirnya terjawabkenapa dia setenang itu, aku pun berpaling dan kaget melihat wanita itu. Ya dia Mega Alusianita, sosok masa laluku yang sampai saat ini belum bisa kulupakan. Diapun sama kagetnya melihatku, buru-buru Aku menunduk dan mengatupkan kedua tanganku, demi menyapanya

“Selamat malam, Mas Bian” kata Mega sambil mengulurkan tangannya, kamipun berjabatan tangan dengan erat.

“Kalian sudah saling kenal rupanya, kenal di mana? Kok kalian gak pernah cerita padaku?" tanya istriku Dina terkejut, "Eh, kamu tampak pucat ada apa, Mas?”tegur Dina setelah sesaat menatap wajahku.

“Aku baik-baik aja, Sayang” kurasakan sesuatu yang hendak meleleh, kusentuh hidungku dan kaget... karena aku kembali mimisan. Kututup hitungku lalu pergi kekamar, menuju kamar mandi. Setelah kubuka pakaianku, langsung menyiram kepalaku yang terasa panas. Kudengar pintu kamar mandi diketuk dan itu adalah Tessa. Setelah yakin darah tak keluar lagi, aku mengenakan baju mandi yang tergantung dipintu kamar mandi. Ketika kubuka pintu kamar mandi, Tessa telah menyambut di depanku.

“Kenapa Yah? Apa Ayah sakit?”seraya meraba keningku,"Ya Allah, Ayah. Badan Ayah panas sekali. Ma! Mama!" teriaknya kemudian. Berlari kecil Dina menghampiri kami.

"Ada apa, Tes?"

"Ayah sakit Ma, badannya panas sekali" Dina pun menpelkan tangannya di dahiku.

"Iya Mas, badanmu panas sekali"

“Mungkin karena kecapekan kerja saja, Sayang”

“Ya sudah, kamu istirahat saja ya, Mas. aku temani Mega dulu”

Aku mengganti pakaian mandi, dengan piyama. Menunaikan salat isya dalam doa tak henti-hentinya, memohon agar Allah tetap memberiku ketegaran...  dan kesabaran. Selesai sholat, aku pun beranjak ke meja tulisku dan meraih buku diaryku. Kutulis semua curahan hatiku... tetapi tidak tentang Mega. Bertahun-tahun sudah aku berusaha melupakannya, namun sangat sulit. Akupun sadar, saat ini tak boleh berharap padanya, karena sudah ada Dina disampingku.

Semalaman aku tertidur dengan, gelisah. Kepalaku terasa mau pecah, sakitnya luar biasa. Tetapi Dina juga tertidur dengan nyenyaknya, mungkin terlalu letih dengan aktifitasnya. Setelah sarapan. bersama, aku pamit pada Dina... untuk kembali bekerja, karena novelku yang akan segera diterbitkan. Aku belum selesai mengetik, ucapan terima kasihku. Novel yang kuberi judul Suami Beraroma Surga.

Sampai di kantor, Alex buru-buru menyambutku.

"Bian... kenapa tidak istirahat dulu saja di rumah, kamu sudah benar-benar sehat?"

" Iya, Lex. Hari ini kan ada meeting... mengenai peluncuran novel terbaruku, masa aku tidak menghadirinya?"

"Iya, tapi muka kamu pucat sekali..."

"Tidak apa Lex, terima kasih perhatianmu"

Kami pun segera menuju ruang meeting, sepanjang perjalanan aku sudah mulai tidak nyaman dengan kondisiku. Alhamdulullah, novelku mendapat bintang lima dari editor... ini permulaan yang bagus untuk perjalanan novelku. Selesai meeting, aku kembali ke ruang kerjaku bersama Alex... dia tahu aku sedang bersedih karena penyakitku ini. Tiba-tiba Aku terjatuh menabrak pintu ruang kerjaku. Ya Allah sakit itu kembali terasa, tubuhku mengigil kedinginan. Sayup-sayup kudengar Alex berteriak panik, mataku berkunang-kunang dan semuanya gelap.

Pasti aku pingsan lagi, dan pasti Alex dengan ambulan perusahaan juga yang membawaku kesini. Aku coba menertawakan kondisiku ini, aku sudah ingin membuka mataku... ketika tiba-tiba kudengar, pintu ruang tempatku dirawat ini terbuka.

"Assalamualaikum, Nyonya" terdengar suara seorang pria, dan siapa yang dipanggilnya Nyonya?

"Waalaikumusalaam, dokter," itu suara Dina istriku, akupun ingin membuka kelopak mataku... tetapi kenapa tidak bisa kulakukan? Kucoba memanggil nama istriku, tetapi kenapa tidak terdengar suaraku? Apa yang terjadi dengan tubuhku ini?

"Sebenarnya, apa yang diderita suami Saya ini, dokter" tanya Dina, suaranya terdengar serak karena isakannya.

“Pak Bian mengidap kanker otak stadium 4, Nyonya. Penyakit ini belum ditemukan obatnya, sama dengan yang diderita Olga Syahputra dulu. Kita hanya bisa berharap pada keajaiban, atau mujizat atas kesembuhannya" kata sang dokter itu terdengar jelas di telingaku. Kangker otak? Stadium 4? Belum ada obatnya? Olga Syahputra? Sakit di kepala ini kembali terasa, tetapi kali ini bahkan berteriak pun aku tak bisa. Yaa Alloh... rintihku dalam hati. Perlahan pandanganku mengabur, bahkan kini aku tidak bisa lagi merasakan lidahnya. Kenapakah tubuhku ini? Aku terus berusaha menggerak-gerakkan tubuhku, tetapi semua hanya sia-sia saja. Selarik do'a pun aku panjatkan,

" Ya Alloh... jika ini adalah akhir kehidupanku di dunia ini, aku rela Kau ambil nyawaku ini. Tetapi Aku memohon padamu yaa Alloh... peliharalah mereka yabg kutinggalkan, lindungilah mereka, Cukupkanlah rizky mereka, anugerahkanlah selalu kebahagiaan di hati mereka. Jagalah keimanan mereka, dan kelak bila tiba saatnya... kumpulkanlah  mereka bersamaku kembali. Yaa Alloh... ampunilah dosaku, dan segala kekhilafanku. Hanya padamu Aku memohon. Aamiin"

Tiba-tiba cahaya putih melingkupi segala ruangan itu, lebih terang dari cahaya Matahari. Dari dalamnya, keluarlah beberapa sosok yang seperti manusia... wajahnya bercahaya, tersenyum padaku.

"Bangkitlah hai Sabian, ikutlah denganku... karena sudah tiba waktunya, engkau menghadap pada-Nya" katanya lembut, seraya menarik kedua tanganku untuk berdiri... terjaga dari ranjang rumah sakit itu. Aku pun mandah saja, kuikuti apa pun yang di katakannya. Tiba-tiba tubuhku melayang, sehingga Aku bisa melihat pemandangan di bawahnya. Kulihat dokter dan perawat, mencopoti semua selang yang masih menempel di tubuhku. Kulihat Dina istriku, dan Tessa anakku menangis berpelukan. Aku tak mendengar tangis mereka, tetapi dapat kurasakan kesedihan di hati mereka. Maafkan Aku sayang... hanya itu yang bisa aku ucapakan, sebelum semua menjadi hening dan hilang.

1 komentar:

ummuarrahma@gmail.com mengatakan...

Wah sedih banget bacanya. Bagus kisahnya, ada romansa nya juga. Sayangnya agak terganggu dengan banyak ... Terus ada yg typo, spasi nya terlewat, dan beberapa tanda baca yang kurang pas.

Kapan bisa nulis fiksi ya saya😂

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...