Senin, 26 November 2018

Ndaliyem

Pucuk pohon cemara, serasi meliuk dengan angin yang membelainya. Berderak, berderit. Bagai menggambarkan rasa sakit, dan jiwa yang menjerit. Semburat jingga senja menyebarkan warna keemasan, kepada hamparan lapang rerumputan sabana membentang. Di langin terdengar kepak para burung, berisik menuju sarang.

Ndaliyem menikmati senja dalam penantian, ujung kedua matanya sembab memandang penuh kerinduan. Setiap kendaraan yang lalu-lalang, ditatapnya dengan bimbang. Mungkin salah satunya akan berhenti dibawah bukit tinggi menjulang, menurunkan tubuh suami tercintanya pulang dari perantauan. Karena begitu teramat sangatnya dia menyimpan kangen hati, pada dia yang meninggalkan dirinya sembilan tahun lamanya. Yang berucap kepadanya, mencari nafkah di kota nun di seberang cakrawala. Seratus duapuluh satu kilometer jaraknya, dari desa tercinta tempat kelahirannya. Dulu tujuh bulan kandungannya, sekarang sudah sembilan tahun tiada kabarnya. Dalam resah ia bertanya, pada angin kembara yang menbelaii tubuhnya. Namun tak secuilpun kabar atau berita, memuaskan keingintahuannya.

Ndaliyem ingin bercerita, jika suaminya duduk menghadapkan kakinya ke hadapannya. Dia akan memberitahukannya, dia telah melahirkan seorang putri yang cantik jelita. Dia telah memberikan nama kepadanya Amanda, dari nama Samannya dan Ndaliyemnya. Tetapi Amanda hanya bertahan sembilan tahun saja bersama Tuhan mengambilnya nyawa putri tunggalnya, kembali padaNya dengan penyakit malaria. Hancur perasaannya, kesedihannya tiada terkira, telah menghilangkan akal sehatnya. Menjadi gila, sebab tak kuat menanggung derita mendera. Menghujam ulu hatinya, jiwa raganya.

Dia hanya ingat untuk menunggu suaminya datang, di lereng bukit itu setiap pagi dan senja. Berharap dalam do'a satu yang dia bisa. Tuhan, kembalikan Kang Saman tercinta. Agar dia mendapatkan murka dari yang tercintanya, karena tak sanggup mempertahankan nyawa anaknya. Senja berganti malam, Ndaliyem pulang ke rumahnya. Pikirannya hampa. Tetapi bibirnya tersenyum. Karena ingat esok masih ada pagi. Dia akan kembali menunggunya di bukit ini, selamanya.


(Tamat)

4 komentar:

Nychken Gilang mengatakan...

Mantaaap nih

CARITA mengatakan...

issshh, mak jleb

Winarto Sabdo mengatakan...

yaaah... tepar dong kang... wkwkwk

Winarto Sabdo mengatakan...

belum mantul ya bang... wkwkwk

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...