Minggu, 18 November 2018

Raden Surosentono (Bagian II)

Raden Surosentono Demang Arjoso, menyetujui untuk melaksanakan perintah Kanjeng Jimat... membantu Kadhipaten Madiun, menumpas gerombolan Pandanwangi. Didampingi sahabat baiknya Ki Corong, yang juga orang kepercayaannya. Bersama Demang Anjuk, juga Demang Ngronggot, pagi-pagi sekali mereka meninggalkan Desa Talang. Menyerahkan Kademangan kepada dua orang Pamomong (Pamong), Kamituwo (Kepala Dusun) Kaligandhu... Ki Joyomertono, dan anak sulung Ki Corong yang menjadi Kamituwo Wedegan bernama Kromojoyo.

Raden Surosentono dan rombongan tidak mengikuti jalur yang ada, untuk mencapai Kadhipaten Purboyo. Tetapi, mereka memilih dalan peteng (jalur tersembunyi), dari Desa Talang mereka mengarah ke utara. Menuju hutan Sambikerep, ke barat sampai Dukuh Bendo tempat dulu pimpinan ampak-ampak Gunung Pandan berasal.

Di tempat itu, rombongan langsung menuju Padepokan Gunung Pandan. Mereka ditemui langsung oleh Ki Sutonoyo, Ayah Mertua dari Ki Bendosewu, dan Guru dari Padepokan Gunung Pandan. Juga disambut oleh Sukesi si Pandanayu, seorang pendekar wanita... putri dari Ki Bendo, dan juga cucu Ki Sutonoyo. Mereka semua bersikap baik terhadap rombongan Raden Surosentono, sama sekali tidak terlihat dendam dalam sikap mereka. Bahkan, mereka menyumbangkan ide kepada Raden Surosentono. Ditawarkannya, putra kembar Pandanayu untuk turut bergabung dengan rombongan mereka.

Bambang Warsono yang tua, dan Bambang Warsito adalah adik kembarnya. Kedua pemuda 15 tahun itu, dianggap sudah mumpuni untuk mendharma bhaktikan tenaganya. Mereka, walaupun masih muda teruna... tetapi sudah menyandang gelar Jadhug (pilih tanding/sakti), dalam berbagai macam ilmu kanoragan. Pertimbangan lainnya adalah, karena mereka adalah keponakan kandung dari Pandanwangi. Secara khusus, keduanya membawa pesan dari Ki Sutonoyo... untuk merayunya kembali ke jalan yang benar. dan menghentikan segala tindak keonaran yang ditimbulkannya.

Pada akhirnya, Raden Surosentono menyetujui mereka bergabung. Mereka mendapat restu dari Ki Sutonoyo, sebelum akhirnya melanjutjan perjalanan kearah barat. Melewati Dukuh Lemahabang, masuk ke Kademangan Caruban. Terus memacu kuda-kuda mereka memasuki kawasan hutan Kademangan Saradan, dan pada malam harinya menginap di wilayah Kademangan Dalopo. Disinilah, Raden Surosentono mengutus Demang Anjuk dan Demang Ngronggot menghadap Adipati Ronggo Prawiro Sentiko (Bupati Madiun), dan beliau mengucapkan terima kasih. Juga memberikan cincin khusus, sebagai tanda memjadi utusan Kadhipaten yang sah. Ba'da Shubuh berjamaah yang dipimpin Raden Surosentono, mereka kembali meneruskan perjalanan ke arah barat. Tidak tersebut, dimana saja mereka singgah. Dan pada saat menjelang Maghrib, mereka telah tiba di wilayah Kademangan Gerih. Dari beberapa orang yang mereka tanyai, ternyata gerombolan Pandanwangi bermarkas di Alas Ketonggo (hutan ketangga).

Alas Ketonggo, konon adalah kawasan yang sangat angker. Banyak dihuni bangsa Jin, dan bermacam-macam hantu yang berbahaya. Jika Alas Purwo (di Banyuwangi) adalah hutan jantan, maka Alas Ketonggo adalah hutan betinanya. Sungguh, dari cerita orang-orang... itu adalah hutan yang sangat berbahaya,'Jalmo moro jalmo mati, sato moro sato mati' (manusia masuk mati, hewan masuk mati). Tetapi, hal ini tidak menyiutkan nyali Raden Surosentono... bahkan, tidak tampak wajah ketakutan diraut wajah Bambang Warsono juga Bambang Warsito.

Rupanya, kedatangan mereka sudah diketahui terlebih dahulu oleh gerombolan Pandanwangi. Perjalanan rombongan itu, mereka cegat di pinggir hutan Ketonggo di pagi harinya. Pandanwangi si pemimpin gerombolan, adalah wanita yang berumur 45 tahunan. Berkulit putih, berwajah cantik, berambut panjang terurai, dan mengenakan jubah berwarna hijau menyala sebagai identitasnya. Di bekakangnya, ada seratus lagi pengikutnya... tetap bertahan di punggung kudanya masing-masing. Sambil berteriak-teriak, dan mengacung-acungkan senjata mereka. Tombak, Panah, Pedang, Golok, tidak ketinggalan dipinggang setiap mereka terselup sebilah keris.

"Siapa kalian!" teriak Pandanayu dengan pongah, sambil menuding ke arah rombongan dengan pedang peraknya. Raden Surosentono melompat dari punggung kudanya, diikuti oleh Ki Corong di sampingnya. Kemudian si kembar pun mengikuti, hanya Demang Anjuk dan Demang Ngronggot yang tidak ikut turun. Mereka bertugas mengawasi teman-temannya, sambil mempersiapkan busur dan anak panah di genggaman mereka.

"Assalamu'alaikum, Nyai!" ucap Raden Surosentono, dengan memasang sikap menghormat pada lawan bicaranya.

"Jangan berbasa-basi! Segera jawab pertanyaanku, siapa Kisanak sekalian!" Pandanwangi menjawab dengan culas, masih tetap menunjuk dengan pedang peraknya dari punggung kuda.Beberapa anak buahnya mencoba mendekati tempat Demang Arjoso dengan sikap bermusuhan, tetapi dengan isyarat tangannya... Pandanwangi menyuruhnya kembali, merapat dalam barisan gerombolan.

"Assalamu'alaikum, Nyai Pandanwangi!" Demang Arjoso, kembali mengucapkan salam dengan penuh hormat. Pandanwangi menjadi salah tingkah, dia mengerti arti salam itu... dia juga seorang Muslimah, dia tahu sedang didoakan baik dalam uluk salam itu. Hatinya bimbang, akankah menjawab salam dari lelaki berjubah biru bersorban putih itu. Belum sempat memutuskan untuk menanggapi salam Raden Surosentono, tiba-tiba si kembar berjalan mendekati Pandanwangi di atas kudanya. Dua pengawalnya langsung menghadangnya, dengan kalungan pedang di leher mereka masing-masing. Kembali Pandanwangi menghardik anak buahnya untuk menjauh, kemudian menatap lekat kedua wajah pemuda tanggung di bawahnya. Raut wajah keduanya, seperti tidak asing dalam ingatannya.

"Assalamu'alaikum, Budhe!" seru kedua kembar bersamaan, yang disapa menunjukkan wajah yang terkejut. Dalam ketidak sengajaan, dia menjawab salam mereka.

"Waalaikumusalaam! Siapa kalian? Mengapa memanggilku Budhe?!"

"Aku Bambang Warsono, dan ini adikku Bambang Warsito. Sebenarnya, kami adalah saudara kembar. Kami ini putra dari Ki Pokak dan Nyi Pandanayu,..." belum usai memberikan penerangan, tiba-tiba wanita itu sudah melompat turun dari punggung kudanya. Sebuah kepiawaian meringankan tubuh yang sangat sempurna, bahkan kedua kembar sampai tidak menyadarinya.

"Jadi,  kalian adalah keponakanku?" wajah cantiknya hampir menyentuh wajah kedua kembar, ketika dia memeriksa dengan teliti wajah-wajah keponakannya,"Apakah Ibumu, mengirimkan kalian untuk bergabung dengan Budhemu ini?" tanyanya, sembari melompat kembali ke atas punggung kudanya. Lagi-lagi, pemandangan itu membuat decak kagum orang yang melihatnya.

"Tidak, Budhe. Kami diutus Kakek Buyut Sutonoyo, untuk mengajak Budhe kembali pulang ke Padepokan Gunung Pandan..." lagi-lagi belum selesai berkata-kata, terdengar hardikan dari Pandanwangi.

"Kurang ajar! Dasar! Manusia-manusia tidak mempunyai hati! Anak dan Ayahnya mati dibantai, malah mengirimkan anak cucu mereka menuju kebinasaan!" berkata begitu, Pandanwangi mengibaskan tangan kanannya. Raden Surosentonoo menyadari gerakan tenaga dalam itu, yang langsung sigap menyambar kedua pemuda itu. Membawanya menjauh dari incaran pukulan maut itu, sebuah pohon besar yang tadi di belakang si kembar berdiri hancur berantakan.


(Bersambung)

#TantanganHistiricalFiksi

#ODOOBatch6

#KelasFiksi



2 komentar:

Wakhid Syamsudin mengatakan...

Oke makin seru ini. Tokohnya banyak banget sampai bingung saya, Pakde. Tapi detail kampung2nya keren ya.

Winarto Sabdo mengatakan...

padahal nama-nama anak buah Pandanwangi mau ku absen ini... Warok Simpen, Nggotosuro, Dhadhakjarak, Simomanis, Prabawandu, Keboklimis, Degloktralala... dll. tapi karena sampean sdh bingung, lebih baik tidak usah saja yaaa... hehehehe

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...