Kamis, 27 Desember 2018

Cintaku Seteguh Tugu Portugis

"Hallo, Mas. Sudah sampai mana perjalananya?" terdengar suara Habibah di speaker gawaiku, perlahan aku menoleh ke luar jendela bus yang kutumpangi. Kubaca sebuah papan nama di sebuah masjid, ternyata sudah sampai di Pecaron.

"Sudah sampai Pecaron, Sayang," jawabku setelah pasti nama tempatnya,"Kamu menungguku di Panarukan?"

"Bukan, Mas. Turun saja di, depan Hotel Pasir Putih Permai" jawab kekasihku itu dengan jelas dan tegas, dan itu sungguh membuat dadaku berdebar-debar. Kenapa dia menyuruhku turun di depan sebuah Hotel?, dadaku semakin berdegup tak karuan.

"Maaf, Sayang. Kenapa menungguku di depan hotel? Apakah kita akan meng... ?" belum selesai aku bertanya, Habibah sudah memotong pembicaraanku.

"Bukaaaan! Astaghfirulloh, Mas Siman! Aku tunggu di depan hotel, karena aku membawa sepeda motor. Dari sini lebih dekat menuju desaku, lewat jalan persawahan di belakang desaku. Kalau dari Panarukan harus memutar jalan, bisa satu jam sampainya" aku tersenyum malu mendengar dia bercerita, malu karena bayanganku yang mesum tentang suasana kamar hotel yang indah. Dan itu dibantahnya langsung, aku kan jadi merasa konyol karenanya.

"Oh... begitu ya, sayang. Baiklah, ini sudah memasuki desa Pasir Putih. Sebaiknya, aku segera maju ke depan memberitahu tempat turunku pada kondektur." setelah mengucap salam dan mematikan percakapan, aku langsung berjalan merayap ke depan. Memberitahu kondektur, sebelum dia mempersilakanku mendekati pintu keluar.

Bus itu berhenti di seberang jalan Hotel itu, seseorang yang amat kurindukan sudah menyambutku dengan riang gembira. Mencium tangan kananku, aku pun membalas mencium tangan kananya. Dia segera menunjukkan dimana memarkir sepeda motor miliknya, dan mengambil tas carrier di punggungku.

Petlahan-lahan sepeda motor matic itu kubawa dengan santai, meninggalkan kawasan pasir putih. Kemudian sampailah di kawasan kecamatan Besuki, mengarah ke utara. Memasuki jalan pedesaan, menyusuri jalan di pinggiran sungai Sampeyan yang asri. Disekitarnya tetlihat ijo royo-royo (hijau menghampar), tanaman padi yang luas sepanjang mata memandang.

Habibah yang hari itu menjadi guideku (pemanduku), adalah satu-satunya rujukanku mengenali tempat itu.Ketika tiba-tiba pandanganku terantuk pada sesosok bangunan berbentuk tugu, di tengah-tengah area persawahan disamping sebuah desa. Itulah desa Peleyan (bahasa Madura yang artinya Pilihan), desa kelahiran kekasihku ini.

"Apa kita bisa mendekati tugu itu, sayang?" tanyaku pada Habibah.

"Iya, nanti Mas. Kita ke rumahku dulu, kebetulan Kakak tertuaku sedang melakukan penelitian tentang tugu itu juga. Dia adalah dosen di Universitas Negeri Jember" jawab Habibah. Aku mengangguk setuju, dan langsung memacu sepeda motor menuju rumahnya.

Keluarga Habibah sangat familiar denganku, walaupun baru sekali ini aku berkunjung. Kakak tertuanya Mas Edy Burhan sangat senang mengenalku, ketika dia tahu aku seorang penulis. Selepas sholat Dhuhur, kami bertiga... aku, Habibah, dan Mas Edy pergi mengunjungi Tugu Portugis itu. Cukup beesepeda motor, karena bwnda itu terletak persis di pinggiran desa.

Tugu setinggi tiga meter itu tersembunyi di belakang rumah warga desa Peleyan Panarukan, dikelilingi area pertanian padi yang subur menghijau. Orang kampung setempat menamainya Tugu Portugis.

Berujung lancip, tugu ini dipercaya sebagai satu-satunya peninggalan Portugis di Kecamatan Panarukan, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Letaknya di sisi timur Sungai Sampeyan, Dusun Peleyan Barat, Desa Peleyan, Panarukan.

Jangan berharap ada papan penunjuk jalan menuju tugu ini. Kalau saja aku tidak berkunjung ke rumah kekasihku, mana mungkin aku tahu ada peninggalan sejarah seperti ini. Mungkin bisa juga tahu dari Internet, atau bertanya kepada warga sekitar untuk menemukan lokasi tugu ini. Letaknya sekitar 2 m kilometer ke utara, dari monumen 1.000 KM Anyer-Panarukan.

"Tugu ini sering didatangi orang dari luar kota, Mas. Kebanyakan adalah peneliti, atau dari mahasiswa sejarah" kata Habibah sambil terus menggandeng tanganku, aku memandangnya dan mengangguk.

"Kata Bapakku, tugu ini sudah ada sejak beliau kecil. Orang tua Bapak bercerita, katanya tugu ini dibuat orang Portugis,” sambung perempuan yang sudah hampir satu tahun ini kupacari, aku senang dia ternyata sangat mendukung profesiku.

Kondisi tugu itu memprihatinkan. Bopeng di mana-mana. Warna putihnya lusuh, dan dikepung ilalang di pinggirnya. Dari bagian yang bopeng, aku bisa melihat batu bata yang tersusun berukuran tebal dan besar. Tidak ada informasi yang tertulis di tugu ini.

Menurut Mas Edy, tugu itu satu-satunya peninggalan Portugis yang tersisa di Panarukan. Portugis datang dan mendirikan bandar dagang di sisi timur Sungai Sampeyan pada abad ke-16 (1700M)

Sungai Sampeyan adalah sungai terbesar di Situbondo yang bermuara langsung ke laut Panarukan.

"Dulu Sungai Sampeyan lebih dalam, sehingga kapal-kapal besar bisa masuk,” kata Mas Edy, sambil menunjuk sungai dalam perkiraannya.

Mas Edy menjelaskan, Pelabuhan Panarukan dulu menjadi satu-satunya pelabuhan besar di ujung timur Jawa. Panarukan sudah dikenal sejak era Majapahit. Puncaknya, ketika Raja Hayam Wuruk memilih Panarukan sebagai tempat pertemuannya dengan raja-raja dari timur.

Selain membangun bandar ekonominya di Pelabuhan Panarukan, Portugis menjadikan Panarukan sebagai pusat misionaris di ujung timur Jawa. Sejumlah gereja Katolik sempat didirikan di daerah yang dulunya pusat Kerajaan Blambangan ini. Karena ada ekspansi Islam dan perebutan kekuasaan, gereja-gereja tua akhirnya dihancurkan.

Menurutnya lagi, besarnya nama Panarukan pada masa silam membuat Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels memilihnya sebagai ujung Jalan Raya Pos, jalan sepanjang seribu kilometer yang dibangun dari Anyer (Banten). Daendels tahu betul Panarukan berpotensi besar sebagai daerah pertahanan dan ekonomi.

“Komoditas-komoditas penting dari ujung timur Jawa bisa dikirim lewat Panarukan.” katanya mengakhiri percakapan, karena tiba-tiba serombongan cewek yang rata-rata berwajah oriental datang.

Sembilan orang cewek dengan hanya mengenakan shirt, dan memakai hotpant berwarna-warni. Guide mereka membimbing untuk menyalami kami, dan menerangkan bahwa mereka adalah wisatawan dari Jepang.

Mungkin diantara mereka ada yang keponakan Maria Osawa (Miyabi), atau kemenakan Anri Suzuki (Aki). Tiba-tiba aku tersenyum geli, karena teringat dua bintang film dewasa itu. Habibah mencubit perutku keras sekali, aku sengaja tidak berteriak walaupun terasa sakit sekali.

"Apa sih, Yang?!" tanyaku sambil memelototinya, Habibah malah tambah lebar matanya memelotiku.

"Lagi bayangin wajah gadis-gadis Jepang itu, ya! Sampai senyum-senyum begitu?!"

"Ah, tidak!"

"Bohong, ya?! Mas jahat sekali ya, padahal ada aku disampingmu"

"Tidak, sayang. Aku tidak sedang membayangkan siapapun, aku kan tipe cowok setia. Setahun kita pacaran, sekalipun tidak pernah membohongimu kan?" kataku sambil menggenggam kedua tangannya, Mas Edy langsung ngeloyor pergi, mengangkat tangan kanannya sambil menggelengkan kepalanya.

"Aku tunggu di rumah ya, Man!" serunya.

"Iya, Mas!" jawabku masih dengan memegangi tangan kekasihku.

"Sayang, kamu jangan menuduhku membayangkan cewek lainnya. Bagiku, engkaulah yang tercantik, yang terbaik, yang sempurna"

"Bohong!" jawab Habibah malu-malu, naga-naganya dia minta dipeluk. Aku pun menarik tubuhnya dalam pelukanku, seperti biasa dia mandah saja.

"Cintaku padamu seteguh Tugu Portugis, Sayang. Tak lekang oleh waktu, tetap berdiri kokoh dalam kesetiaan cinta!" bisikku di telinganya

"Ih, Mas Siman! Merayuku di persawahan... aku kan malu!" serunua sambil mempererat pelukannya, wajahnya menengadah menatap wajahku. Sehingga aku dapat melihat, keinginan yang terpancar dari mata bulatnya yang lucu itu. Maka kudekatkan bibirku ke arah bibirnya, hampir saja terlumat bibir itu. Tapi tiba-tiba, terganggu oleh kegaduhan yang terjadi dari kerumunan wisatawan Jepang itu.

"Oh, this so sweet!" terdengar teriakan provokasi dari kerumunan wisatawan itu. Dan tiba-tiba suasana menjadi riuh, cewek-cewek Jepang itu serentak menyerbu kami. Mereka meminta foto bersama, dan beberapa kali foto selfie. 

"Cekrek!"

"Cekrek!"

Hororoto kono! Kodo-kodo sukamoto!

Tamat.

2 komentar:

ummuarrahma@gmail.com mengatakan...

Banyak banget tipo pakdhe..... Cek ulang deh hehehehe
Ceritanya bagus banget sih tapi endingnya kok kurang oke sih.

Winarto Sabdo mengatakan...

sudah ku revisi tipografi dan endingnya ini...

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...