Saat perjalanan menuju Padepokan Ilmu Kasunyatan, pernah Ki.Bawuk dan.para muridnya kesulitan mendapatkan makanan. Pada saat itu bertepatan dengan paceklik melanda seluruh negeri, kekeringan terbentang meluas dimana-mana. Kemarau panjang tiada terbantahkan, telah membuat kesengsaraan pada kehidupan rakyat semuanya.
Akhirnya perjalanan rombongan orang-orang lapar itu, memasuki sebuah dusun kecil yang sepi. Hanya tampak beberapa rumah bambu beratap ilalang, tetapi tidak terlihat kesibukan sebagaimana mestinya sebuah perdusunan. Ketika itu, seluruh rombongam sudah teramat sangat kelaparan. Sudah dua hari perut mereka tidak dihampiri makanan, selain dari air putih dan pucuk-pucuk dedaunan.
Bermaksud meminta air untuk minum di sebuah rumah, sang pemilik malah mengundang mereka semua untuk mampir. Petani yang baik hati itu, hanya tinggal memiliki persediaan satu takar beras saja.Dan memberikannya dengan tulus, untuk bisa sekedar menjadi pengganjal lapar.
Ki Bawuk banyak mengucapkan terima kasih kepada petani itu, dan memerintahkan Jokowi muridnya... untuk membuat bubur encer, yang sekiranya cukup untuk mereka semua. Segera, Jokowi dan Jokothir saudara seperguruannya itu berbagi tugas. Jokowi mempersiapkan alat memasak, sementara Jokothir dan beberapa orang murid lain mencari air dan kayu bakar.
Setelah semua alat memasak, air, dan kayu bakar tersedia. Jokowi segera memulai memasak di dapur, tepat di belakang rumah petani itu. Sementara itu, sambil menunggu masaknya bubur itu. Ki Bawuk, mengajar murid lainnya di halaman rumah. Sementara, Jokowi melaksanakan tugasnya seorang diri di dapur. Mencoba mencari akal, bagaimana caranya membuat bubur dengan setakaran beras... menjadi makanan, yang cukup dimakan 20 orang. Akhirnya, dia memperbanyak air di dalam kuali itu hampir seukuran kuali iti sendiri.
Bubur itu mulai mendidih. Karena terlalu banyak kandungan airnya, bubur itu pun meluap keluar dari kuali. Meluber dan tertumpah. Jokowi berfikir, bubur yang mulai tertumpah itu akan terbuang sia-sia. Maka dia pun segera mengambil mangkok, dan menampung tumpahan bubur itu ke dalamnya. Dia merasa sayang, jika bubur itu tidak termakan. Karena, walaupun dia sudah mengencerkan buburnya sedemikian rupa, dia belum yakin itu akan cukup untuk Sang Guru, Pak Petani, dan 17 saudara seperguruannya. Jokowi rela hanya memakan bubur yang meluber, dengan harapan itu akan mengurangi jatah bubur yang tersisa.
Ketika Jokowi sedang menikmati bubur tumpahannya, Ki Bawuk datang untuk melihat... apakah bubur yang dimasak Jokowi sudah masak, atau kalau-kalau muridnya itu masih membutuhkan bantuan lainnya. Betapa kecewanya hati Sang Guru, melihat Sang Murid tengah memakan bubur yang dimasaknya dengan lahap. Seakan dia tidak memperdulikan, lapar yang sama... yang dialami saudara seperguruannya, juga gurunya. Ki Bawuk teramat sangat kecewa dengan kelakuan Jokowi, murid terbaiknya, yang terpandai, yang dianggapnya paling memahami tatakrama. Tetapi malah dengan liciknya, berani mendahuluinya, memakan bubur dengan sembunyi-sembunyi, bahkan sebelum meminta ijin darinya.
Jokowi tidak berusaha membantah, ketika Ki Bawuk memarahinya. Mengatakan dia lancang, licik, dan tidak memiliki tatakrama. Rasa hormatnya kepada Sang Guru, membuatnya tidak berani menyangkal kata-kata gurunya itu. Oleh sebab itu Ki Bawuk merasa keheranan, dia memperhatikan dengan seksama raut wajah murid kebanggaannya itu. Dalam hatinya juga mulai ragu, mana mungkin murid terbaiknya itu melakukan tindakan tercela seperti yang dituduhkannya. Maka dengan lembut dia bertanya,"Jokowi muridku, apakah ada sesuatu yang ingin engkau sampaikan padaku, Le? Yang sebenar-benarnya, yang sejujur-jujurnya?."
Setelah menghaturkan sembah dan penghormatannya, Jokowi mulai menceritakan kejadian yang sesungguhnya.Ki Bawuk pun terkejut dengan cerita dari murid kinasihnya itu, dia mulai menyadari kesalah fahamannya. Dengan jiwa besar, Sang Guru Agung itu pun meminta maaf kepada muridnya. Dia telah salah sangka menilai muridnya, hanya karena dia menyaksikan sepotong kecil peristiwa... dari keseluruhan peristiwa utuh, yang terjadi di dapur itu beberapa saat lalu.Ki Bawuk memeluk muridnya itu dengan erat, lalu menerintahkannya membawa kuali bubur itu ke halaman rumah.
Disela-sela keriuhan para muridnya berbagi makanan, Ki Bawuk memberikan pelajarannya.
"Kadang, kita hanya cukup mendengar dari orang lain dan mempercayainya. Tetapi, saat mendengarnya sendiri kita makah tidak percaya. Melihat dengan mata kepala sendiri pun, jika hanya sebagian dari yang seharusnya kita lihat... itu belum cukup, bahkan sangat berbahaya untuk membuat kesimpulan.Seorang yang waskitha, tidak menyimpulkan sesuatu yang dilihatnya, sebelum menemukan hakiikat dari yang disaksikannya tersebut."
Jokothir merasa aneh dengan pengajaran gurunya itu, maka dia segera menanyakannya.
"Kenapa, guru tiba-tiba menceritakan ini kepada kami? Apa yang terjadi, dan belum kami ketahui?" tanyannya. Sang Guru tersenyum dalam kebijaksanaannya, lalu menjawabnya dengan sunggingan senyum.
"Aku, baru saja memarahi Jokowi karena kesalah fahamanku. Dan aku sudah menyadari kesalahanku itu, meminta maaf kepadannya "
"Guru adalah seorang yang paling bijaksana, bahkan guru juga adalah Penasehat Khusus Kanjeng Adipati Anjuk Ladang. Bagaimana bisa, seorang yang sangat bijaksana seperti Panjenengan (bahasa Jawa untuk Kamu dengan bahasa Halus) melakukan kekeliruan?" tanya Pujiastutik murid perempuannya. Sang Guru kembali tersenyum."Muridku! Seorang Rosul, seorang Nabi, seorang Guru, seorang Bijaksana sekali pun, mereka tidak serta merta terlahir sempurna. Ada sebuah laku yang harus dilewati, yang harus dilakoni, banyak ilmu yang harus tetap dipelajari. Mengetahui dirinya bersalah, dan berani mengireksi diri itu belum menjadi kesalahan. Bersalah tetapi tidak mau mengakui kesalahan, itulah kesalahan yang sesungguhnya" semua murid tertegun, mendengar penerangan gurunya yang rendah hati itu.
"Muridku, suatu saat kalian akan menjadi seirang pemimpin. Menjadi tetua, yang dihormati banyak orang. Menjadi orang besar, besar dalam arti yang sesungguhnya. Bukan hanya harus mampu membawa kemaslahatan ummat, tetapi besar juga berarti harus tetap belajar setiap hari. Mawas diri, nenyelami diri sendiri. Berani mengakui kesalahan, juga berani meminta maaf... terrhadap rakyat terkecil sekalipun."
Sang Guru menutup pengajaran dengan do'a memulai makan, hebatnya... dari kuali yang kecil itu keluar berpuluh-puluh mangkok bubur. Yang tidak hanya cukup membuat semua rombongan merasa kekenyangan, bahkan sisa bubur daoat dibagikan kepada seluruh penduduk dusun. Tamat.
(TAMAT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar