Sebenarnya, ini bukan artikel fiksi. Karena aku melakukan riset dan observasi mendalam tentang tulisan ini. Mendatangi tempat-tempat yang jauh dari keramaian dan hingar bingarnya kota, ke pelosok-pelosok hutan, lembah dan, pegunungan. Rencananya sih begitu, tapi tidak jadi aku lakukan. Karena kesibukanku yang lain, menjadi pelukis tembok amatiran sdang menghadapi deadline.
Tulisan ini berawal, dari obrolan di 'Warung Mak Yah' yang sedang viral di beberapa media pemberitaan nasional. Warung kopi di sudut kota Nganjuk itu menjadi viral, karena pelayan cantiknya adalah mantan pemain sinetron dan FTV. Rencanaku memang mendengar obrolan di warung itu, tapi kuurungkan, karena tidak ada kendaraan tumpangan menuju kesana.
Nah, yang kudengar adalah obrolan di warung 'Mbah Las' yang terletak tepat di belakang rumahku. Bukan warung mantan artis sinetron, atau pemeran FTV. Tapi kisah hidupnya, jika disinetronkan pasti akan banyak menguras air mata. Karena itu, dianjurkan untuk tidak sambil memotong bawang merah saat melihat sinetron.
Di warung Mbah Las pagi itu, terlihat agak banyak pembelinya. Jam segitu, memang waktunyan orang memanjakan diri. Para buruh tani sedang sepi job, karena musim panen baru saja selesai. Para pencari kayu bakar tidak berani pergi ke hutan, karena himbauan tentang bahaya banjir dan tanah longsor. Nah hal terbaik yang bisa mereka lakukan adalah, bertemu kawan-kawan lama di warung yang sederhana ini. Ngobrol kesana-kemari, diakhiri dengan gelak canda tawa ria mereka. Itu adalah obat awet muda, kata mereka.
Ketika aku mulai duduk diantara mereka, aku tertarik dengan tema pembicaraan yang sedang berlangsung. Membahas masalah perkawinan atau pernikahan, yang mereka alami pada jaman dahulu kala. Antara tahun 1940.
"Aku dulu, dinikahkan orang tuaku dengan istri pertamaku, saat usiaku masih 17 tahun" kata Mbah Pin yang berusia sekitar 75 tahun membuka pembicaraan.
"Emangnya siapa istri pertamamu, Kang?" tanya Pakdhe To yang merasa tertarik, dengan cerita Mbah Pin.
"Orang desa sebelah, masih 13 tahun umurnya. Aku ingat, dia menangis meraung-raung waktu ijab kabul dilaksanakan. Sampai harus digendong kesana kemari, sama Bapak mertuaku."
"Hahaha!" kami semua yang mendengarnya, tertawa terpingkal-pingkal karenanya
"Tapi, Mbah. Masa umur 13 tahun sudah dinikahkan?" tanyaku penasaran, apa benar begitu? Usia 13 tahun jaman sekarang, palingan baru kelas 6 SD.
"Iya, Le. Bahkan usia segitu, ada yang sudah menjanda dua kali" jawab Mbah Dun dengan wajah serius dan menatapku,"Kalau tidak segera dinikahkan, nanti siapa yang membantu orangtua mereka membesarkan adik-adik mereka? Biasanya, hanya anak sulung yang dinikahkan seusia itu, kalau anak kedua atau ketiga biasanya agak lebih tua sedikit."
Kulihat Mbah Pin menganggukkan kepala, tanda menyetujui perkataan Mbah Din. Pakdhe To dan Mbah Las pun seakan mengiyakan.
"Anak seusia itu, apa paham masalh rumah tangga Mbah?" tanyaku pada Mbah Pin, kakek tua itu tersenyum setelah meneguk sedikit air kopinya dar cangkir.
"Kamu jangan salah, pada jaman itu anak-anak tidak bersekolah. Waktu mereka hampir sebagian besar berada di sekeliling rumah, ibu atau neneknya mengajarkan memasak, menganyam tikar, mencuci baju, dan membersihkan rumah, untuk anak perempuan. Sedangkan untuk anak laki-laki, adalah tugas bapak atau kakek, mengajarkan membuat kerajinan,. memelihara ternak, mencari pakan ternak, berladang atau bekerja di sawah" Mbah Pin menjelaskan secara panjang lebar, sambil menerawang kembali masa lalu.
"Aku dulu sudah jadi pangon (memelihara ternak orang lain, dengan upah bagi hasil) sejak umur 9 tahun, umur 13 tahun sudah punya Sapi sendiri. Waktu dinikahkan, Sapiku sudah 3 ekor. Karena itu, walaupun menikah muda aku tidak membebani orangtua." imbuhnya lagi.
"Tidak seperti anak jaman sekarang, dari menikah sampai beranak pinak tetap 'merepotkan' orangtuanya!" kata Mbah Din sambil melirik pada Pakdhe To, yang dilirik pun jadi salah tingkah.
"Jadi, Mbah Pin, Mbah Dun, Mbah Las, dan Pakdhe To, dulu menikah tanpa pacaran?" tanyaku penasaran, disambut gelak tawa mereka bersama-sama.
"Hahahaha!"
"Orang Jawa itu romantisnya lain, Le. Tidak seperti tampak di sinetron-sinetron itu, mrngobral janji, mengobral kata cinta" jawab Mbah Dun pelan,"Tanyakan saja Mbah Kas, dia dulu juga menikah di usia dini. Sampai sekarang tetap hidup rukun, sampai bercucu bercicit."
"Iya, Le. Aku dulu menikah dengan Mbah Kas ( suami Mbah Las), ketika itu umurku 14 tahun. Ibuku hanya bilang aku akan dinikahi seorang pemuda dari sebelah desa, siapa pemuda itu juga aku tidak tahu."
"Kamu, tidak meraung-raung waktu dinikahkan?" goda Mbah Dun.
"Tidak, lah. Karena setiap malam sebelum tidur, ibuku selalu bercerita tentang seputar pernikahan dan mengelola rumah tangga. Untungnya, suamiku juga tinggal di rumahku setelah pernikahan. Jadi aku bisa langsung bertanya pada ibu, saat kesulitan melakukan sesuatu."
"Pertama bertemu Mbah Kas, apa langsung tumbuh perasaan cinta Mbah?" tanyaku padanya.
"Cinta? Hahaha! Aku malah sebel sama Mbah Kas muda, katanya baru berumur 17 tapi kok berewokan? Hahaha! Aku sampai protes sama ibuku, karena menyangka aku dinikahkan dengan bapak-bapak!"
"Hahahaha!" semua tertawa dengan riuhnya, hanya Mbah Kas yang kulihat tersipu-sipu.
"Lhah! Jadi kalian semua dulu menikah, tanpa dilandasi 'cinta' sama sekali?" tanyaku kepada semua yang ada, mereka tampak tidak menunjukkan wajah kaget dengan pertanyaanku itu.
"Jawab pertanyaan Cah Gemblung ini, Dun!" kata Mbah Pin pada sahabat masa kecilnya itu, yang ditunjuk mengangguk setuju.
"Begini... justru pernikahan orang Jawa di masalalu itu, sarat dengan cinta dan kasih sayang. Apa buktinya?
1. Mereka menikah karena dijodohkan, bukan karena pilihan sendiri. Mereka menerima perjodohan itu dengan sabar dan patuh, karena mereka cinta dan sayang kepada kedua orangtuanya.
2. Mereka menerima jodoh yang belum mereka kenal sebelumnya, tinggal serumah sebagdi suami istri. Itu adalah bentuk pengabdian yang istikhomah, yang didasari cinta kepada ajaran budaya dan agama.
3. Mereka yang dijodohkan utu, sejatinya sedang membina rasa cinta dan kasih sayang bersama. Karena, orang Jawa berprinsip Tresno Jalaran Soko Kulino (cinta tumbuh karena kebiasaan). Bagaimama, sudah paham kamu?" kata Mbah Dun, diakhiri dengan pertanyaan untukku.
"Sudah faham sebagian, Mbah. Yang Ttersno Jalaran Soko Kulino saja yang belum faham, aku"
"Dasar bocah Gemblung, kalau yang ini biar Mbah Kas saja yang menjawab. Langsung kepada pelakonnya sendiri, yang memulai berumah tangga dimulai dengan 'sebel' itu."
"Hahahaha!"
Mbah Kas yang ketiban sampur (tiba-tiba mendapat giliran) jadi mendumel, saat itu baru saja dia menyelesaikan menggoreng pisang.
"Baiklah, aku ceritakan sambil istirahat. Ini goreng pisangnya, silakan habiskan... tapi jangan lupa bayar!"
"Hahahaha!"
Kami pun segera mencomot satu persatu pisang goreng yang masih panas itu, mencuilnya sedikit demi sedikit ke dalam mukut.
"Tinggal sekamar dengan lawan jenis yang baru kita kenal, itu butuh nyali yang sangat luar biasa. Sebelumnya, kami mengobrol di ruangan tengah dengan seluruh keluarga. Bapakku, Ibuku, Nenek Kakekku, Suamiku, dan aku memangku adik terkecilku.
Kami mengobrol tentang apa saja, bercanda bersama, tertawa bersama, sambil menikmati hidangan singkong rebus dan kopi pahit. Jam demi jam tidak ada yang meninggalkan ruangan itu, terlalu sayang melewatkan kebersamaan yang asyik itu. Sampai akhirnya, ibuku mengusir aku dan suamiku untuk segera pergi ke kamar tidur. Tentu saja, itulah ketegangan kedua yang aku rasakan setelah ketegangan waktu ijab kabul kemarin.
Aku dan suamiku pun tidak bida menolak lagi, beriring-iringan kami berjalan menuju tempat tidur. Aku berjalan di depan sumiku, yang tampak juga masih malu-malu.
(bersambung)
6 komentar:
Seru pak... penasaran duh, lanjuttt...
ceritanya mengalir banget pakde, enak dibacanya
Seru Pak Win. Penasaran sama episode selanjutnya...
banyak ceritanya ini... tunggu deh, terima kasih sudah mengunjungi warungku...
karena ini sebenarnya cerita nyata... tapi aku fiksikan dengan perubahan tokoh dannalur ceritanya. terima kasih.
aku bertanggung jawab kok... pasti ada lanjutannya...
Posting Komentar