"Setelah sampai di kamar yang remang-remang itu, tiba-tiba suamiku memegang kedua tanganku. Dengan lembut dia berkata, *Kita langsung tidur saja ya, Dik. Aku sudah sangat mengantuk, suasananya juga masih rame*. Aku mengangguk, dalam seribu rasa heran. Karena yang terjadi tidak sesuai dengan cerita Ibuku, dimana suamiku akan mengajakku bermesraan"
"Tidak jadi malam pertamanya, Las?" tanya Pakdhe To sedikit kurang jelas, karena dimulutnya penuh dengan kunyahan pisang goreng.
"Ya tidak lah, suamiku tertidur cepat. Aku yang akhirnya kancilen (tidak bisa tidur), karena siang harinya Ibuku membuatkanku ramuan betah melek (tahan terjaga)" jawab Mbah Las sambil tersenyum-senyum.
"Hahahaha!"
"Jadi, kapan malam pertamanya terjadi Las?" tanya Mbah Pin, yang sudah sangat kesulitan menikmati sebuah pisang goreng karena giginya yang ompong.
"Tidak pernah terjadi malam pertama, selama dua tahun kami membina rumah tangga."
"Hah?!"
"Kenapa?!"
Bersahutan Mbah Pin dan Mbah Dun menyatakan kekagetannya, kedua orang itu sampai berdiri dari kursinya karena tidak yakin dengan pendengarannya.
"Apa yang terjadi, Mbah Las?" tanyaku ikut penasaran juga.
"Dua tahun setelah pernikahanku, saat itu umurku sudah 15 tahun. Setiap hari, kedua orangtuaku, juga kakek nenekku selalu menanyakan kapan punya anak. Hal itu kusampaikan pada suamiku, barulah semua terungkap. Ternyata, suamiku itu tidak bisa menjadi seorang laki-laki sejati... burungnua tidak bisa berdiri!" cerita Mbah Las dengan mimik agak sedih.
"Apa?!" bagaikan koor, Pakdhe Jo, Mbah Dun, dan Mbah Pin tercengang bersamaan.
"Jadi, waktu Kasiadi (suami kedua Mbah Las) menikahimu, kamu masih perawan?" tanya Mbah Pin masih dengan mimik yang belum percaya.
"Yaiya, lah. Orang dua tahun cuma dielus, dan digerayangi saja!" jawab Mbah Las bernada nakal. Justru aku yang hampir trrpelanting jatuh dari kursi, mendengar jawaban 'nakal' nenek-nenek berumur 62 tahunan itu.
"Biyayakan! (sembrono!)" melihatku hampir jatuh, Pakdhe To yang sebelumnya asyik mendengarkan cerita itu terkejut Dia memakiku, sambil memegangi punggungku yang hampir menyentuh lantai tanah warung itu.
"Lalu, bagaimana kelanjutannya... sampai kamu bercerai dengan suami pertamamu itu, Las?" tanya Mbah Dun.
"Aku ceritakan pengakuan suamikunitu kepada Ibu dan Bapakku, mereka bersepakat untuk segera menceraikan kami. Seminggu setelah perceraian itu, Kang Wasidi nama suamiku itu gantung diri di kebun belakang rumahnya. Aku pingsan saat mendengar khabar itu, sampai sakit berkepanjangan.
Bapak dan Kakekku segera mencari Dukun yang katanya sangat sakti saat itu, mereka memanggil sang dukunnitu datang ke rumah. Dua malam, dia bersama Bapak dan Kakekku menunggui aku siang dan malam.
Suatu malam, sang dukun katanya mendapat petunjuk tentang penyakitku. Dia diperintahkan untuk memberitahu Bapakku, agar segera menikahkan aku lagi dengan orang asing yang pertama melewati rumah kami. Dengan begitu, semoga sakitku mendapat kesembuhan. Karena kata sang dukun, arwah kang Wasidi masih menganggapku sebagai istrinya.
Rumah kami jauh dari jalan desa, menunggu orang asing yang melewati depan rumah seperti menunggu kambing beranak kembar lima. Mbah Dukun selama lima hari lima malam, dengan ditemani Bapak dan Kakekku secara bergiliran mengawasi jalan depan rumah.
Di hari ketujuh, lewatlah... atau tepatnya terpontang-pantinglah seorang pemuda asing. Bagai sedang dikejar setan dia berlari, menuju rumah kami. Rumah kami terletak di pinggiran hutan, agak tetpisah dengan rumah tetangga.
Rupanya, pemuda itu sedang dikejar puluhan monyet liar. Ya jelas monyetnua mengejar, karena pemuda itu mengambil paksa seekor bayi monyet yang didekapnya di dada. Mbah Dukun segera tanggap, lari pemuda itu dihentikan
, kemudian mengambil anak monyet yang digendongnya itu... diletakkannya di dahan rwndah sebuah pohon rendah. Kawanan monyet itu pun segera pergi, setelah berhasil membawa sang bayi monyetnya.
Dan tentang si pemuda itu, dua jam lamanya dia gemetaran tak bisa berkata-kata. Ketakutan dan kepanikannya yang luar biasa, membuatnya hampir menjadi gila. Untunglah, Mbah Dukun yang sakti itu segera menyuwuk (menjampe) pemuda itu hingga kembali sadar.
Ibu dan Nenekku menghampiri pemuda gunggungan (over) itu, membawakanya nasi yang dibungkus daun jati dan lauk di dalam cuwo (baskom dari tanah liat). Dengan tanpa sungkannya, nasi dan lauk itu pun dilahapnya dengan tandas.
Pemuda pencari rumput, yang berasal dari desa ini ternyata mau dinikahkan denganku. Siang itu ju
ga kami dinikahkan, dan ajaibnua... sakitku pun sembuh seketika!" cerita Mbah Las dengan panjang lebar.
"Pemuda itu adalah, Kasiadi?" tanya Pakdhe To.
"Iya, dia memberiku lima orang anak lelaki selama hidupnya. Waskito, Warsito, Wardoyo, Wariono, dan Wassiyo. Semuanya aku yang memberibnama, mengambil nama awalan nama Kang Wasidi almarhum"
"Wah, Mbah Las hebat!" pujiku kagum pada wanita itu, atas daya ingatnya yang kuar biasa. Kisahnya sangat menghebohkan, jika sampai tetdengar oleh para produser sinetron atau FTV.a puring fan gelas kotor Mereka akan datang berduyun-duyun ke desaku ini, mewawancarai Mbah Las. Atau membeli kisah nyatanya itu, untuk dibuat film atau sinetron
"Sudah ah ceritanya, aku mau ke belakang mencuci gelas dan piring kotor!"
"Jangan ke belakang dulu, aku juga mau pulang. Ini, semua yang makan dan minum di warung ini aku bayari semuanya!" kata Mbah Dun yang kesehariannya adalah seorang blantik (penjual ternak).
"Alhamdulillaah!"
Sepulang dari warung itu, kepalaku semakin dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Orang pada jaman dulu ternyata benar membikin satu kata petuah. Tresno Jalaran Soko Kulino. Tresno yang tidak didasari nafsu duniawi, tetapu justru adalah sebagai penjaga hati. Cinta kepada orangtuanya, juga cinta pada sang penciptanya. Cinta yang tidak mementingkan diri sendiri, antara ketaatan dan kepatuhan yang dahsyat.
Shubhanallaahul adziim.
Tamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar