Sabtu, 19 Januari 2019

Serigala Jantan Si Manusia Buangan

Kontet hitam dekil kegemaran lalat dan kecoa yang menempel di punggung dan rambutnya, mengikutinya dengan pamrih yang setia. Gimbal, berkudis, dan kurap hiasan tubuhnya. Tidak mengenal bersuci pun bertata krama. Hanya sebentuk makhluk bernyawa yang tinggal di tepi rawa. Terlahir cacat dan tidak sempurna, dibuang orangtuanya karena kutukan Dewa. Semasa bayi hingga dewasa dia diasuh keliaran serigala

Melolong dia memandang rembulan, seakan mengadukan nasibnya pada sang Pencipta. Mengenang keburukan yang dikandung badan, medengar ratapan birahinya sepanjang pendengaran. Buas dan beringas, kejahatan yang tiada terbatas. Mengawini Ibu asuhnya dengan tiada puas. Sang serigala betina meratap dalam beban dan tindihan yang berat.

"Bukan seperti kami yang pantas engkau kawini, Anakku!"

"Siapa lagi, yang pantas?!"

"Mereka yang berdiri dengan dua kakinya!"

"Tetapi kemarin aku mengawini seekor Kera betina, Ibu. Dia mati dalam dahsyatnya gerakan tubuhku!"

"Bukan mereka, Anakku! Mereka adalah dari bangsa dan jenismu sendiri, hanya lebih sempurna dari yang engkau punya."

"Aku akan mencarinya, Ibu!"

"Tapi engkau akan kehilangan nyawa, Anakku. Mereka akan marah padamu, meneriakimu, dan memperlakukuanmu dengan kejahatannya."

"Aku akan mencobanya, Bu!"

"Pergilah, Sayang!

Maka perilakunya adalah seperti serigala juga layaknya, saling menjilati bulu yang dilakukan. Sehingga bangkitlah kembali birahi sang anak pada Ibunya. Serigala berina tua itu meraung dengan dahsyatnya, perpadu antara rasa kesakitan dan kasih sayang. Melayani anak asuhnya dengan cinta dan penderitaan raga tuanya. Dia mati dalam pondongan sang durhaka.

Mengaum sang manusia denganm. lengkingan bangsa serigala, khabarkan kematian sang ibu tercinta. Rasa sedihnya membanjiri seisi rimba, sahut menyahut mereka melolong dalam ratap kesedihan. Para gadis serigala berlarian masuk ke dalam lubang, takut menjadi korban senggama anak durhaka.

" Pergilah keluar hutan!" teriak serigala jantan tua yang meratapi kematian istrinya.

Meski murka, manusia serigala rerpaksa menurutinya. Meninggalkan gerombolannya, melupakan kawanannya. Berjalan dengan amarah dan sesaknya dada, menembus rimba tak seekor pun menyapa. Bahkan dedaunan berpaling dari penglihatannya, rumput pun menjadi layu tak bernyawa.

Sedih dan dendam mengiringi perjalanan meninggalkan hutan kegelapan, menapak gontai ke tempat suatu kaum yang telah lama memusuhinya. Dan kata Ibu asuhnya, mereka jugalah kaumnya yang sesungguhnya. Yang hanya pada mereka bolehlah dia memadu cinta, melampiaskan hasrat asmaranya yang membara bagai api neraka.

Dia berhenti di pinggiran hutan dengan waspada, karena mencium bau tubuh manusia yang masih tujuhpuluh hasta jauhnya. Dan terlihatlah sesosok itu sedang menghajar bumi dengan tongkatnya (mencangkul), inikah mahluk yang boleh dikawininya. Ketika dia mendekat dari balik semak, wajah dan penampilan manusia itu tidak menarik hatinya. Kepalanya besar dan pipih (mengenakan caping), dan dari mulutnya mengeluarkan asap putih (merokok).

Tetapi karena ini adalah kaum dari jenisnya, maka mungkin dia dapat dikawininya. Manusia serigala segera menyergap makhluk itu dengan segala nafsunya, menungganginya seperti dia menunggangi Ibu asuhnya. Tidak bisa, makhluk itu malah memukulkan kayu yang besar ke batok kepalanya. Manusia serigala melolong kesakitan, dia harus melarikan diri ke dalam hutan karena darah dalam kepalanya telah bercucuran.

Di tempat persembunyiannya, dia teringat pesan Ibu asuhnya.

"Tapi engkau akan kehilangan nyawa, Anakku. Mereka akan marah padamu, meneriakimu, dan memperlakukuanmu dengan kejahatannya!"

Tetapi itu menjadi sangat tidaklah utama lagi baginya, dia hanya ingin menggauli dari jenisnya. Bukan serigala, bukan kera, tetapi manusia dari jenisnya.

Malam merambat datang mengusir senja termaram, kepak sayap burung kembali ke sarang memecah kesunyian. Manusia tak bernama yang dibesarkan kaum serigala masih terdiam di dalam semak, matanya tajam menatap ke arah perkampungan. Seseorang harus menjadi korban pelampiasan nafsu berkawinnya yang semakin memuncak, seseorang yang bukan seperti ditemuinya siang hari

Akhirnya gelap mengikat malam dengan cahaya hitamnya yang pekat, nalurinya yang kuat menyuruhnya segera pergi mencari mangsa. Mangsa untuk dikawininya, korban untuk digaulinya, seseorang yang bisa meredam gelinjang murka birahi asmaranya.

Disini tempatnya, disini yang bukan tempat melampiaskan syahwatnya. Dia berlari ke puncak bukit kemarahan. Melolong sebagaimana pemuda serigala yang dikuasai api kemarahan. Dia akan kembali ke kawanan dimana dia dibesarkan. Mengejar serigala perawan, meskipun itu akan menyulut perselisihan dan kemarahan kawan. Dia adalah serigala jantan, bukan manusia buangan.

Tidak ada komentar:

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...