Selasa, 15 Januari 2019

Bapakku Adalah Mertuaku

Partijan melihat lagi penampilanya di kaca, rambutnya tampak mengkilat karena pomade (minyak rambut) yang di oleskannya. Kemeja batik pemberian anak perempuanya 3 tahun lalu, dikenakanya dengan bangga. Sudah 47 tahun, tapi masih terlihat seperti 17 tahun pujinya sendiri sambil memandang bayang wajahnya di cermin.

Ya... Partini anak bungsunya, sudah 5 tahun ini bekerja di Surabaya. Dia tidak memberi tahu apa pekerjaanya di Surabaya, tetapi... setiap bulan dia mengirimkan uang kepada Partijan. Setiap menjelang Idul Fitri Partini pasti pulang, membawa banyak oleh-oleh untuknya. Termasuk baju batik yang dipakainya ini, sangat pas di tubuhnya. Anak bungsunya itu, memang sangat sayang dan perhatian padanya.

Tidak seperti Partinah anak sulungnya, dia pergi ke Kalimantan 8 tahun lalu. Jangankan pulang untuk berhari raya denganya, memberi khabar keberadaannya pun tidak pernah. Meskipun kecewa dengan kelakuan anaknya itu, tetapi do'a-do'a terbaik selalu dia panjatkan. Semoga Partinah selalu diberi kesehatan, keselamatan, dan semua kebaikan di kehidupannya.

Partijan kembali berkaca, seulas senyum tersungging dari bibirnya. Malam ini, dia akan berkunjung ke rumah Wakinah. Janda beranak 2, yang sudah sebulan ini didekatinya.

Dia, sudah melamar wanita itu menjadi istrinya. Partijan memang sudah lama menduda, setelah kematian istrinya 10 tahun yang lalu. Wakinah pun, sudah menjanda 7 tahun lamanya.

Cinta diantara mereka tumbuh karena seringnya mereka bertemu di pasar Kecamatan, tempat mereka mencari nafkah sehari-hari.
Partijan menjual palawija, Wakinah menjual bumbu dapur. Partijan sengaja membuang biji timbangannya, agar selalu bisa meminjam biji timbangan milik Wakinah.

Awalnya Wakinah sangat benci dengan kelakuan Partijan itu, dianggapnya lelaki itu tidak mau keluar modal. Masa sih laba ratusan ribu sehari, beli biji timbangan yang puluhan ribu saja tidak bisa? Bathinnya.

Ternyata taktik Partijan manjur juga, setiap hari dapat selalu ber-interaksi (bertemu pandang) dengan janda cantik 37 tahun pujaanya itu. Hingga suatu saat, ketika mereka sama-sama membereskan dagangannya Partijan menembak (menyatakan perasaan)Wakinah, dengan gentleman (gagah berani).

"Nah... Boleh aku berterus terang, tentang perasaanku padamu?" kata Partijan, dengan suara yang dimirip-miripkan suara penyiar radio. Wakinah terkejut dengan kata-kata lelaki itu, ia pun menghentikan aktifitas-nya.

"Tumben mau ngomong serius, biasanya juga sekali ngomong cuma mau pinjam biji timbangan" jawab yang ditanya malu-malu.

"Ini serius Nah, tentang hubungan kita!" lelaki itu kini memandangi, wajah wanita yang didambakanya itu dengan mesra. Yang dipandangi jadi memerah mukanya, menunduk sambil pura-pura memberesi dagangannya.

"Apa sih Kang, jangan membuat hatiku deg-degan begini," hati Wakinah berdebar, jantungnya deg-degan.

"Maukah kamu menikah denganku, Nah?" tiba-tiba saja Partijan sudah berada didekatnya, wanita itu terpelanting jatuh... Karena mengira, Partijan ingin mencium pipinya.

Dengan sigap, Partijan membantu Wakinah berdiri. Moment (suasana) itu tak disia-siakan pedagang lainnya, yang langsung menggoda mereka berdua.

"Haduh sabar Pak Jan, belum muhrim sudah mau nyosor saja!" mereka semua sudah mengetahui, betapa Partijan sangat mencintai Wakinah.

"Bu Inah, kasian tu Pak Jan... Sudah tidak sabar, menunggu malam pertama!"

"Hahahaha!" maka, menggemuruhlah tawa para pedagang di pasar itu.

"Makanya cepat diresmikan, Pak Jan... Bu Inah... Biar bisa cari nafkah berdua, gak saling pinjam biji timbangan lagi,"

"Hahahaha!" terdengar tawa sahabat-sahabatnya, mereka menjadi salah tingkah dibuatnya.

****

"Bagaimana, Nah?"

"Aku tanya anakku dulu ya, Kang. Seminggu lagi, datanglah ke rumahku... Jangan terlalu malam datangnya, selepas Maghrib saja"

Partijan mengangguk setuju, apa artinya seminggu penantian... toh, setiap hari dia masih dapat bertemu wanita yang disayanginya itu.

Ternyata... Perkiraan Partijan tidak tepat, sejak kejadian itu Wakinah tidak berjualan lagi. Bukan karena marah denganya, tapi Wakinah sedang pergi memberitahu anaknya yang di Blitar, perihal rencana pernikahan dengannya. Seorang lagi anaknya bekerja di Kalimantan, khabarnya sudah menikah disana.

***

Dan ini sudah seminggu, dia akan mengunjungi Wakinah sore ini juga. Masih kurang percaya diri, dia berkaca lagi di kaca spion sepeda motornya. Masih tetap ganteng, seperti saat dia mengaca di kamar tadi.

Setelah mengunci pintu rumahnya, dia pun bergegas mengendarai sepeda motor menuju rumah Wakinah. Setengah jam lamanya... Waktu yang dibutuhkan kendaraan itu, untuk sampai ke desa sang tujuan 10 kilometer jaraknya.

Sampai disana, pWakinah menyambutnya di depan pintu. Penampilanya membuat Partijan pangling, rambut panjangnya digelung, memakai kebayak warna kuning pastel... Dibalut dengan legging hitam, dan riasan tipis di wajah ayunya itu... membuat Partijan terantuk tiang kayu, di teras rumah Wakinah. Wanita itu pun tak dapat menahan gelak tawanya, diiringi permintaan maaf pada calon suaminya.

Partijan pun dipersilakan masuk ke rumah, dimana di dalam terlihat seorang wanita lagi sedang menggendong bayinya.

"Itu Susanti, Kang. Dia itu menantuku istri Suwondo yang di Blitar itu, suaminya belum bisa ikut kemari karena masih sibuk dengan tanamannya," wanita yang menggendong bayi itu, menghampiri Partijan, mengajaknya berjabat tangan, seraya mencium tangannya.

"Duduklah, Kang. Inilah gubugku, banyak lubangnya. Maklum, rumah janda," kata Wakinah memancing suasana, tetapi yang dipancing malah bertanya,

"Bagaimana, Nah. Tanggapan anak-anakmu, dengan rencana pernikahan kita?" tanya Partijan, sambil matanya menatap wajah ayu di depanya itu.

Yang ditatap membalasnya dengan senyuman, senyum termanis yang pernah ia sunggingkan kepada seorang lali-laki. Seakan ingin memberitahu dunia, malam ini hatinya sedang berbunga-bunha.

"Mereka setuju semua, Kang,  Suwandi anak sulungku yang di Kalimantan, bahkan berencana pulang pada saat tanggal perkawinan kita. Bagaimana dengan anak-anakmu, Kang? Apa mereka mau, memiliki Ibu tiri seperti aku ini?"

"Partini anak bungsuku, bahkan memintaku mempercepat perkawinan kita... Menurutnya, tidak baik kalau terlalu lama runtang-runtung (berduaan), sedangkan  Anakku yang di Kalimantan, aku sudah kehilangan jejaknya sejak delapan tahun lalu"

Percakapan itu semakin hangat dan mesra, mereka sudah seperti layaknya suami istri saja. Sebelum jam sembilan malam, Partijan sudah pamit pulang. Wakinah mengantarkannya keluar, karena itulah dia mendapat ciuman di kedua pipinya. Kali ini, dia hanya mandah dan tersenyum bahagia.

***

Hari pernikahan pun terlaksana dengan lancar, pernikahan yang sederhana. Mereka mengucapkan ijab kabul di KUA, disaksikan anak, menantu, dan cucunya. Hanya yang dari Kalimantdatang, karena keterlambatan penerbangan dari sananya. Jika tidak terhalang lagi, baru keesokan hari mereka sampai di sini. Melalui handphone, mereka mengabarkan itu. Dan, semua memakluminya.

Malam itu Partijan mulai tidur di rumah istrinya, wanita yang sangat diidamkanya. Sepanjang malam mereka bercanda ria, tergelak bersama...  Diakhiri dengan cumbuan mesra, menikmati indahnya malam peetama.

Pukul enam pagi. Dua orang pengantin baru itu, dikejutkan suara ketukan di pintu. Dari suaranya, Wakinah hafal itu adalah suara Suwandi anaknya yang di kalimantan, mungkin bersama istri dan cucunya. Diapun bergegas merapikan pakaiannya, dan berlari menuju pintu rumahnya. Pintupun terbuka, satu pelukan dan ciuman anak sulungnya itu diterimanya.

"Maaf baru datang, Bu" kata Suwandi, "Ini istri dan anakku. Maaf, kami tidak sempat menjemput ibu saat kami menikah," sang istri pun ikut memeluk, dan mencium kedua pipi mertuanya.

"Ini anakmu, Ndi? Aduhai cantiknya, seperti ibunya," berkata begitu, Wakinah mengambil anak 2 tahun yang masih terlelap itu dalam pelukannya, diciuminya berkali-kali.

Partijan, bukanya tidak mendengar keributan kecil itu. Tapi tubuhnya terasa masih pegal-pegal, efek dari permainan semalam. Tapi, kemudian terdengar suara istrinya memanggilnya lanyang.

"Paaak... Ini anak, menantu, dan cucumu datang! Kesini cepat!"

"Iya, sebentar" jawab Partijan dengan ekspresi gemas, karena gagal rencananya untuk tidur lagi.

Dengan malas dia melangkah keluar, melempar senyum pada istrinya, pada anak tirinya, dan pada...??? Partijan hampir saja terpelanting jatuh, ketika matanya bertemu pandang dengan wanita istri Suwandi itu. Seperti tidak percaya dengan pandanganya, dia mengucek-ucek matanya

"Partinah?!" wanita itu tak kalah terkejutnya mendengar suara yang sangat dikenalnya, menatap wajah yang dirindukannya, dia segera menghambur dalam pelukan Partijan.

"Bapaaak!!!" maka, pecahlah tangis kedua orang yang berpelukan itu, Wakinah dan Suwandi pun memandang dengan seribu tanya di wajahnya.

"Siapa wanita ini, Kang?" tanya Wakinah lembut sambil menggamit lengan suaminya,

"Dia adalah Partinah anakku, yang 8 tahun ini bekerja di Kalimantan itu!"

"Jadi, ini Bapakmu sayang?" tanya Suwandi pada istrinya, Partinah pun mengangguk pasti.

Ibu dan anak itu saling berpandangan, tak terlukiskan rasa keterkejutan itu.

"Jadi? Bapakku, adalah Mertuaku???" tanya Suwandi datar, semuanya mengangguk bersamaan...

"Kok seperti judul sinetron Indosiar, ya?!" tanya Wakinah disambut tawa yang berderai air mata...

"Hahahaha!"

"Subhanallaah!"

Tidak ada komentar:

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...