Jumat, 15 Februari 2019

Andai Anakku Tidak Kumandangkan Adzan (Bagian 1)

Nadia sudah berubah setahun belakangan ini, setelah bisnis onlineshop yang digelutinya semakin besar. Sedikit demi sedikit perannya sebagai seorang Ibu dan seorang Istri terbengkalai, hari demi hari kesibukannya adalah membaca pesan dan chat di gawai. Aku sudah pernah memprotes kegiatannya ini, tetapi aku harus bersikap bijaksana menjadi seorang pemimpin rumah tangga.

"Usahamu sekarang memang sudah bertambah maju, Ma. Tapi aku minta, jangan mengabaikan tugasmu sebagai seorang Ibu bagi Naufal dong!" tegurku suatu saat padanya. Dia memandangku sekilas, lalu melanjutkan kegiatan dengan gawainya.

"Pa, aku sama sekali tidak mengabaikan kewajibanku pada Naufal. Aku tetap mengurusinya, mengantar jemputnya sekolah, mempersiapkan peralatan sekolah dan mengajinya, aku juga menemaninya saat belajar." jawabnya pelan.

"Iya, memang kamu menemaninya belajar. Tapi kamu juga tidak berhenti dengan gawaimu, bahkan kamu tidak menjawab pertanyaan Naufal saat dia kesulitan dengan pelajarannya."

"Naufal kan hanya mengulang pelajaran yang di sekolah, Pa. Wajar kan aku selalu memintanya membaca dulu bacaan pelajarannya, sebelum dia mengerjakan pertanyaan-pertanyaannya?".

" Dan waktumu untuk melayaniku sebagai Istri, sekarang pun sudah tidak kamu prioritaskan lagi!"

Nadia memandangku dengan tatapan anehnya, kemudian pergi tanpa bersuara ke dalam kamar. Sikap beginilah yang sebenarnya kukeluhkan, istriku sudah berubah karena kesibukan olshop-nya. Semakin hari, semakin banyak saja barang yang dijualnya. Dan tentu saja, semakin bertambah pula kesibukannya. Dimulai seusai mengantar Naufal ke sekolah, hingga  seeing aku harus menghentikan kesibukanya karena hari sudah sangat malam. Suasana rumah menjadi semakin tidak menyenangkan, sering kami harus membeli makanan di luar karena Nadia tidak lagi sempat memasak saking sibuknya. Atau sekarang Nadia tidak lagi pernah mencuci serta menyeterika baju-baju kami, alasannya hanya satu 'kecapekan'. Nadia selalu memakai jasa laundry setiap hari, untuk urusan mencuci dan menyeterika pakaian. Aku sudah memintanya mencari asisten yang bisa meng-handle kegiatan bisnisnya itu, tetapi dengan angkuhnya dia selalu menolak. Jika saja bukan karena Naufal, mungkin lebih baik aku tidak pulang saja lagi ke rumah ini saja.

*****

Di kantor, aku memiliki seorang teman yang sangat menyenangkan diajak ngobrol. Teman seprofesiku di dinas kepemerintahan, yang selalu fashionable di setiap penampilannya. Seorang wanita yang sangat cantik, walaupun terkadang aku melihatnya agak lebbay. Dia sudi mendengarkan keluh kesahku, memberiku ketenangan dengan jawaban-jawabannya. Namanya Rosita Fatmawati, seorang janda tanpa anak yang juga tinggal di komplek perumahanku. Nerselang tiga blok, hanya berlainan RT saja.

Lama kelamaan obrolan kami tidak lagi membicarakan masalah rumah tangga melulu, tetapi terkadang tak terasa berganti topik tentang hubungan suami istri. Dia sangat bersemangat sekali saat obrolan membahas tentang sexualitas, mungkin karena dia sudah menjanda tiga tahun lamanya. Bagaimanapun juga Rosita adalah wanita normal, yang masih membutuhkan hubungan biologis di dalam kehidupannya. Seperti panci bertemu tutupnya, kami dipertemukan karena keadaan yang sama.

Kami pun akhirnya berselingkuh, menjalin hubungan terlarang secara diam-diam. Walaupun sebenarnya itu tidak semuanya benar, seisi kantor sudah mulai kasak-kusuk membicarakan keintiman kami ini.Sering pergi berdua ke hotel kelas melati di kota Kabupaten, atau sekedar menyewa kamar di losmen murahan dekat tempat pariwisata. Rosita tak hanya lebih muda dari Nadia, tetapi dia juga lebih pintar memanjakan pasangan saat bercinta. Terus terang, semakin hari hatiku semakin jatuh cinta padanya.

*****

Saat itu hari minggu, aku tengah santai membaca sebuah koran lokal di ruang tamu. Ketika Naufal tiba-tiba duduk disampingku, dia sebenarnya sudah siap berangkat mengaji dengan pakaian takwanya. Setelah mencium tangan kananku, dia berkata dengan lirih.

"Pa, aku sekarang ditunjuk menjadi muadzin di mushola komplek kita."

Aku terkejut mendengar perkataannyanya, sudah lama aku tidak menanyakan tentang kegiatan mengajinya di TPA.

"Benarkah? Siapa yang menunjukmu, Nak?

" Ustadz Ahmad, Pa. Beliau bilang, suaraku sangat merdu dan mempunyai nafas panjang. Oleh karena itu, sejak hari senin kemarin akulah yang mengumandangkan adzan di mushola itu."

"Papa, belum.pernah mendengarmu mengumandangkan adzan?"

"Hari ini, coba Papa dengarkan ya?"

Sebelum sempat mengiyakanya, kudengar nada notifikasi WhatsApp dari gawaiku di meja depanku. Aku pun memberi isyarat Naufal untuk segera pergi mengaji, setelah itu baru kubaca bunyi pesan dari Rosita kepadaku. Dia ingin aku ke rumahnya sekarang, karena dia sudah sangat rindu.

Nadia tidak mengetahui aku mengeluarkan sepeda dari dalam garasi, mungkin dia sedang asyik membalas pesanan pelanggan-pelanggannya. Sepeda itu kugenjot dengan santai menuju rumah Rosita, yang hanya berjarak tiga gang dari rumahku.

Sesampainya aku langsung masuk saja ke dalam rumahnya, karena kulihat pintu depannya dibiarkan terbuka. Tentu saja sebelumnya aku berhenti di ujung gang itu, mengamati suasana  apakah aman jika aku masuk ke dalam rumahnya. Ternyata wanita itu sudah menungguku duduk di sofa ruang tamu rumahnya, rambut panjang yang biasa dikerudunginya kini diurai menutup dada dan perutnya. Dia tampak begitu sexy hanya dengan pakaian tidur tipisnya, yang langsung menggelendengku masuk ke dalam kamarnya yang harum. Seperti biasanya, dengan liar dia membuatku mengikuti permainan asmaranya. Jujur, hanya dengan Rosita aku merasakan tersanjung sebagai seorang laki-laki.

Ditengah asyiknya kami memadu kasih, tiba-tiba terdengar suara adzan menggema di seluruh ruangan itu. Aku tersentak dan terlonjak dari atas springbed, suara Naufal yang nyaring dan merdu menyeret kembali kewarasanku.

"Allaahu Akbar! Allaahu Akbaar!"

Bagai tersadar dari hipnotis, aku mengenakan kembali pakaianku yang sempat kulepaskan sebelumnya. Dengan tergesa pula aku keluar dari kamar itu, menyambar sepedaku dan mengayuhnya dengan cepat menuju rumah. Aku tidak peduli dengan suara Rosita, yang memanggil namaku dengan rasa kecewanya. Sepanjang jalan suara Naufal seperti memukuli wajahku, mengingatkan segala maksiat yang hampir setahun kujalani bersama Rosita. Setiap ayat yang disuarakannya, bagai menamparkan rasa malu dan dosa-dosaku selama ini.

"Maafkan Papa," ratapku lirih di sepanjang perjalanan,"Maafkan aku, Istriku."

*****

Sesampai di rumah, kulihat Nadia sedang mempersiapkan diri mengantar barang pesanan pelanggannya. Wajahnya tampak sangat pucat, dan sepertinya dia sedang menahan rasa sakit yang tiada terperi. Aku langsung memeluk tubuh kurusnya, seraya tak mampu lagi menahan bendungan air mataku. Dengan sesenggukan aku mengakui telah menghianatinya, yaitu telah berselingkuh dengan Rosita.

(bersambung)

2 komentar:

Sasmitha A. Lia mengatakan...

nerselang itu apa pak??

Winarto Sabdo mengatakan...

itu tipo... harusnya 'berselang' thanks for coming

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...