Jumat, 15 Februari 2019

Andai Anakku Tidak Kumandangkan Adzan (Bagian 2)

Sebetulnya Nadia sangat terkejut, raut wajahnya menunjukkan jiwanya sangat terpukul sekali dengan pengakuanku itu. Nadia pun meneteskan air matanya, tetapi tangisnya tak sehisteris tangisanku. Perlahan dia melepaskan diri dari pelukanku, dia tersenyum dan membuat isyarat agar aku tidak mengikutinya masuk ke dalam kamar. Dia keluar dengan secarik kertas berkop surat RSUD, dan langsung memberikannya padaku. Dia mbuat isyarat lagi dengan tangannya, mengajakku duduk di sofa.

Sebelum dengan runut aku membaca semua data yang ada di surat keterangan uji laboratorium itu, dengan suara pelan dia berkata kepadaku.

"Nikahilah Rosita, Pa! Sudah lama aku mendengar hubunganmu dengannya, aku merestui hubungan kalian itu" disaat yang sama, aku sudah membaca sampai pada tulisan yang dicetak tebal di dalamnya.

"Astaghfirullahal adziim, kamu menderita kangker kandungan Ma!" seruku sangat terkejut, setelah memastikan tulisan yang bercetak tebal itu. Kangker Kandungan.

Rosita mengangguk sambil tersenyum, lalu kedua tangannya menggenggam tangankh dengan kuat.

"Iya, Pa. Sudah stadium 4, sebenarnya aku tahu sudah menderita penyakit ini setelah melahirkan Naufal."

"Kenapa kamu merahasiakannya dariku, Ma!"

"Aku tidak ingin kamu merasa tertekan dan tersiksa, dengan penyakitku ini. Kelurgaku semua sudah mengetahui ini, tetapi aku berpesan kepada mereka agar tidak memberitahukannya kepadamu."

"Tidak, Sayang! Kamu sedang bercanda, kan? Kamu hanya ingin membuatku ketakutan saja, kan?!" aku memeluk tubuh wanita yang kurus itu dengan sangat erat, tangisku pun pecah tanpa dapat ku tahan lagi. Terasa ada beban yang menindih dadaku saat itu, seakan aku mendengar Nadia sedang berusaha berpamitan kepadaku.

"Tidak, Sayang! Kamu harus sembuh, akan aku jual apapun yang kita punya. Rumah ini, pekarangan warisan Ayahku, semua sawah milikku yang ada di desaku, semua akan aku jual secepatnya" aku sudah semakin tidak mampu mengendalikan diriku lagi, sementara setiap kulihat senyum manis dari wajah Nadia yang pucat, semakin membuat hatiku seakan diiris-iris.

"Aku akan membawamu pergi berobat ke Singapura, Sayang. Ke Jepang, atau kemanapun agar kamu bisa sembuh kembali!" teriakku semakin keras, karena kulihat wajah Nadia yang pucat semakin lemas. Aku begitu panik, saat dari hidungnya kulihat darah segar mengalir dengan derasnya.

"Nadia! Bangun, Sayang! Nadia! Nadia! Nadiaaaa!!!" aku berteriak histeris memanggil namanya, sambil mengguncang-guncangkan tubuhnya. Nadia tidak juga membuka matanya, sementara itu para tetangga yang mendengar teriakanku mulai berdatangan memenuhi ruang tamu rumahku. Dua orang memaksaku melepaskan rangkulan tanganku dari tubuh Nadia, lalu menahanku di sebuah kursi di ruangan itu. Aku masih bisa melihat dokter Winarti tetanggaku , sedang memeriksa tubuh Nadia dengan tetoskopnya. Sebentar kemudian dia berbalik menatap ke arahku, dan menyampaikan hasil pemeriksaannya.

"Ibu Nadia sudah meninggal, Pak Wijaya."

Aku berteriak memanggil nama istriku untuk yang terakhir kalinya, lalu kemudian semua menjadi gelap dan sunyi senyap.

*****

Nadia pun akhirnya meninggalkan aku dan Naufal anak semata wayang kami, setelah pemakamannya, dan beberapa tahun berikutnya aku masih menyesali diri. Apalagi setelah membaca suratnya untukku, yang terselip di halaman buku ordernya.

Dear Papa:
Mas Wijayaku
tercinta.

Teriring rasa Sayang dan Kasihku yang terdalam,
Mas Wijayaku Sayang, jika kamu menemukan surat ini, pastinya aku sudah tiada lagi di dunia ini. Karena kamu tahu sendiri, buku orderan ini selalu aku bawa kemanapun berada.

Mas Wijayaku tercinta, aku hanya ingin mengatakan padamu dengan setulus hatiku. Sesungguhnya, usaha onlineku ini hanyalah satu-satunya alasanku untuk tidak lagi bersedia 'melayani hasrat cintamu'. Aku ingin terlihat sibuk didepanmu, agar kamu menerima alasanku yang kelelahan itu. Maafkan disa-dosaku ini ya, Mas.

Selanjutnya, aku sudah mengetahui hubunganmu dengan Rosita dengan mata kepalaku sendiri. Pertama melihatmu masuk ke dalam hotel bersamanya, adalah saat mengambil drop peoduk dari kantor cabang. Aku menangis sedih setelah itu, karena semalaman kamu akhirnya tidak pulang ke rumah. Lalu yang kedua saat aku periksa kesehatan, di losmen depan RSUD itu aku melihatmu masuk bersamanya. Kamu pun tidak pulang lagi ke rumah, tetapi aku tidak menangis sedih lagi.

Aku sadar, aku sudah tidak bisa melayanimu lagi sebagai seorang istri. Aku hanya kecewa, karena kamu melakukannya dengan dosa. Sebenarnya aku sudah ingin memberitahumu tentang penyakitku ini, dan memintamu untuk menikahi Rosita. Tetapi seberapapun kuatnya keinginanku untuk bercerita, aku selalu tidak kuasa melakukannya.

Sekarang mungkin aku sudah tiada lagi, aku hanya ingin menitipkan anak kita Naufal Lutfyansyah padamu. Carilah ibu penggantiku, yang mau menyayangi Naufal seperti anak kandungnya sendiri. Sebenarnya aku ingin kamu menikahi Rosita setelah kepergianku ini, untuk menebus dosa-dosamu bersamanya. Tetapi jika ada pilihan lain yang sesuai dengan permintaanku ini, aku akan selalu merestuinya dari alam baka.

Kiranya cukup sampai ini saja penuturanku padamu Mas Wijaya Sayang, kepalaku sudah terasa sangat sakit. Seluruh tubuhku bagai terajam ribuan pisau, aku sudah tidak kuat lagi. Surat ini aku buat ketika engkau sedang tidak pulang ke rumah, mohon maaf atas segala dosa kesalahanku.

Salam sayang selalu

Nadia Dyah Saraswati
Istrimu

*****

Aku tidak pernah lagi bisa menikahi Rosita, dia meninggalkanku setelah aku dipensiunkan dini, karena dianggap tidak mempunyai kemampuan lagi mengabdi untuk negara. Aku memang mengalami depresi berat saat itu, sehingga memang benar pensiun dinilah solusi yang terbaik. Rosita kembali berselingkuh dengan teman sekerjaku, yang juga sudah mempunyai keluarga. Suatu hari mereka mengalami kecelakaan, selingkuhan Rosita meninggal di tempat kejadian. Sedangkan Rosita, meskipun selamat tetapi dia harus kehilangan kedua kaki dan lengan kanannya karena diamputasi. Sebulan setelah keluar dari masa perawatan, Rosita juga akhirnya menyusul selingkuhannya ke alam baka. Kecacatan tubuhnya membuat Rosita terguncang hebat, dia mati karena meminum racun serangga. Dan aku memilih setia kepada Nadiaku, tidak pernah lagi menikahi siapapun setelah kematian istriku itu.

Kini, setelah empatpuluh tahun dari kejadian yang kuceritakan ini. Aku terbaring lemah di ranjang rumah sakit, terbujur sendiri di ruangan pasien khusus. Naufal yang menempatkanku disini, dia adalah dokter sekaligus pemilik rumah sakit ini. Aku masih sering beetemu Nadia di alam mimpi, saat-saat aku ingin bercerita tentang Naufal dia selalu datang.

Malam ini aku ingin bercerita kepadanya, baru saja istri Naufal melahirkan anak ketiganya. Seorang bayi perempuan yang cantik, yang mata dan alisnya sangat mirip dengan alis dan mata almarhumah neneknya. Dan atas permintaanku juga, aku menitipkan nama Nadia pada cucu perempuanku itu. Semoga malam ini dia datang ke dalam mimpiku, karena aku sudah sangat merindukannya. Andai anakku tidak kumandangkan adzan saat itu.

Tamat.

4 komentar:

Suparto Parto mengatakan...

Mantap. Makin oke, Mas Win..

Sasmitha A. Lia mengatakan...

Apa yang terjadi kalau pengandaiannya itu terjadi pak??

Winarto Sabdo mengatakan...

Alhamdulillah atas bimbingan Pak Suparto juga... thanks for coming

Winarto Sabdo mengatakan...

dia tetap berselingkuh dan tidak mendapatkan kata maaf Nadia selama hidupnya...

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...