Selasa, 12 Februari 2019

Biografi Tan Malaka

Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka, lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat tanggal 2 Juni 1897. Wafat di Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, Kecamatan Semen (lereng Gunung Wilis) Kabupaten Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949. Dia adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang pemimpin Komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba(Mudyawarah Rakyat Banyak). Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran yang berbobot, dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih, maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris. Namun pemerintah ketika itu, menganggap dirinya sebagai pemberontak dan harus dilenyapkan.

Kepribadian Tan Malaka

Dia kukuh mengkritik pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, maupun pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan komunis, ia juga sering terlibat konflik dengan kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan komunis internasional, untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai “Pahlawan revolusi nasional” melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963.

Perjuangan Tan Malaka

Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Dia dibesarkan, dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat.

Tokoh ini diduga kuat sebagai orang di belakang peristiwa penculikan Sutan Sjahrir bulan Juni 1946 oleh “sekelompok orang tak dikenal” di Surakarta, sebagai akibat perbedaan pandangan perjuangan dalam menghadapi Belanda.

Pada tahun 1921, Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam). Untuk menyusun suatu sistem tentang kursus kader denhan ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu, sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.

Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah untuk anak anggota SI, bermaksud menciptakan kader-kader baru. Juga dengan alasan:

- Pertamamemberi banyak jalan kepada para murid untuk mendapatkan pekeejaan di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain)

- Kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan.

- Ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin.

Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat, hingga semakin lama semakin besar.

Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan. Seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda, lewat VSTP , dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran. Sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat, agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh.
“Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti mengalami kegagalan, maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.

Tan Malaka dan Partai Komunis

Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Dia tidak hanya mempunyai hak untuk memberikan aaran dan nasehat, tetapi juga untuk menggunakan hak vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan, supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional). dan Profintern yang telah ditentukan di kongres Moskwa, diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggungjawabnya sebagai wakil Komintern, lebih berat dari keanggotaannya di PKI.

Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda, dia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri, dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI (Sardjono, Alimin, Musso).

Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan, berakibat 'bunuh diri' bagi perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926, hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya, mengakibatkan ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya (Papua). Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan, dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjuangan nasional mendapat pukulan yang sangat berat, dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.

Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis “Menuju Republik Indonesia”. Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.

Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, dipenjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.

Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.

Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949, atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.

Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949. Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.

Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur, berdasarkan serangkaian wawancara yang dilakukan pada periode 1986 sampai dengan 2005 dengan para pelaku sejarah, yang berada bersama-sama dengan Tan Malaka tahun 1949. Dengan dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan Malaka, bekerja sama dengan Departemen Sosial Republik Indonesia  berhasil memindahkan kuburannya ke tanah kelahiranya, Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat.

Riwayat Tan Malaka

Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda.Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia, dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah, menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.Tahun 1921 da pergi ke Semarang. Bertemu dengan Semaun, dan mulai terjun ke kancah politik. Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai Pimpinan Partai.Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.

Madilog Dan Tan Malaka

Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir. Dengan menghubungkan ilmu bukti, dan mengembangkannya dengan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia, sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta, dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi/akal (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti. Walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika, tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu adalah konkrit. Sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya atau belum dapat menjawabnya, mengapa dan bagaimana.

Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya, didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara berfikir bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya, bukanlah cara berpikir yang teoritis untuk mencapai Republik Indonesia, sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.

Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang Kemasyarakatan, Kenegaraan, Politik, Ekonomi, Sosial, Kebudayaan, sampai ke bifang Kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesiaan, serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan serta perjuangannya.

#RCO2019
#onedayonepos
#Tantangan
#Level2

8 komentar:

Ciani Limaran mengatakan...

Lengkap pak ulasannya. Mantap

Isnania mengatakan...

Super nih.

Lia Anelia mengatakan...

Wow wow wow... super mantap Pak Dhe Win. 👍

Alif Kiky Listiyati mengatakan...

Jadi tahu Tan Malaka

Winarto Sabdo mengatakan...

Terima kasih penipaiannya, ada someone yang mengajariku membuat ini. Thanks for coming.

Winarto Sabdo mengatakan...

Terdengar seperti 'supermie' hahahaha... terima kasih, yang super buat yang lain saja akj mah yang kuper saja. Thanks foe coming.

Winarto Sabdo mengatakan...

Super mantap itu saudaraan sama mantap betul ya? Hahahaha... ini gegara someone yang sangat telaten mengajariku. Thanks for coming.

Winarto Sabdo mengatakan...

Untung bilangnya 'tahu', coba tadi bilangnya 'kenal' aku pasti akan ketakutan... hahahaha. Thanks for coming.

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...