Minggu, 03 Februari 2019

Sesobek Puisi Indah Dari Masa Lalu (Bagian 1)

Pukul 08.00. Bunyi wekker yang nyaring membangunkanku dari lelap, semalam aku pulang larut karena harus merapel tugas kantorku sebelum libur hari ini. Sabtu pagi yang seharusnya akan sangat menyenangkan, karena dalam dua hari ini aku tidak akan berhadapan dengan menumpuknya dokumen-dokumen kerja di kantorku.

Namaku Narto Putro Ajoso, kata kakekku semoga aku akan menjadi pria yang sukses dengan nama itu. Tetapi di sekolahku namaku itu menjadi bahan ejekan teman-temanku, karena terdengar sama di telinga dngan nama kota kecamatanku Rejoso. Aku seorang staff manager area, disebuah perusahaan konsultan. Usiaku 27 tahun, masih jomlo karena terkungkung dengan cinta masa laluku.

Saat pertama kali mataku terbuka, yang tampak pertama kali adalah bingkai biru di tepi tempat tidurku. Aku tersenyum menatap benda yang ada didalamnya. Setiap pagi pagi pasti seperti itu kejadiannya.

Bukan sebuah foto ataupun lukisan, hanya secuil kecil kertas lusuh bertuliskan puisi. Kertas yang aku robek dari buku miliknya 7 tahun lalu, saat buku itu dipinjamkannya pada teman sebangkuku.

Dia sama sekali tidak tahu aku merobek buku puisinya. Mungkin dia tidak menyadari hilangnya secuil halaman bukunya, mungkin juga dia tahu tetapi tidak memperdulikannya. Mungkin teman sebangkuku sudah memberitahunya, tetapi memang dia tidak berani menegurku. Karena dia memang tidak mengenalku, mungkin mengenalku tapi dia tidak mempedulikannya. Aku, hanyalah satu dari ratusan penggemarnya di sekolah.

Dia bukan artis, hanyalah seorang siswi cantik, berambut panjang, anak orang kaya, dan penuh prestasi. Dia cerdas dengan puluhan piagam penghargaan, dan sangat pintar bergaul. Sifatnya yang luwes justru menjadi daya tarik yang lebih, terutama bagi ratusan siswa termasuk aku. Tapi bisa dibilang, aku tidak terlalu menunjukkan diri bahwa aku menyukainya. Hanya sebagai penggemar rahasia saja, tidak lebih dari itu.

Memang, aku tidak berusaha mengenalnya lebih dekat. Aku sudah sangat senang mendengar cerita tentang dia, dari Rio Sabian teman sebangkuku. Aku tidak pernah menyapa ataupun menegurnya ketika bertemu atau berpapasan, aku menyukainya dengan diam, dalam.misteri rasa sayang yang kusimpan rapat di relung hatiku. Dialah Yashinta Prabawati, adik kelasku di SMP Negeri 1 Rejoso.

Aku merobek secuil halaman buku puisinya, karena aku ingin mempunyai kenang-kenangan yang akan selalu mengingatkanku padanya. Karena sebentar lagi aku akan lulus dari sekolah, dan akan kehilangan sosoknya entah sampai kapan.

Biasanya aku akan dengan sabar dan setia berdiri berlama-lama di tempat parkir sekolah, demi untuk bisa melihatnya datang ke sekolah dengan sepeda birunya. Momen itu takkan terjadi lagi, jika nanti aku harus pergi meninggalkan sekolah ini.

Aku kembali tersenyum manis saat melihat robekan catatan itu, teringat kembali saat-saat Rio mencak-mencak memarahiku karena telah merobek buku Yashinta.

"Kenapa kamu merobek buku Yashinta, Nar? Habis nanti aku dicaci makinya! Dasar Narto, edan!"

Dan membayangkanya tertunduk lesu, saat Yashinta memarahinya.

"Kenapa buku puisiku ini halamanya sobek, ha?".

Hahaha!

Kukeluarkan kertas itu dari dalam bingkainya, membacanya, untuk yang kesekian ratus kalinya, setiap kalimat yang tertulis dengan indah disana.

Cinta adalah tentang rasa yang lahir dari relung jiwa
Dimana kadang tidak mampu kita memahaminya
Dan setiap cinta akan menemukan hati yang setia.

Aku mencium lembut kertas itu, lalu menempelkan di dada dengan mesra. Konyol memang, tetapi memang hanya itu yang sanggup kulakukan untuk mengenangkan dia. Mencoba merasakan kedekatan yang hanya fatamorgana, karena dia kini entah dimana.

Setelah lulus SMP aku ikut Pamanku di Pasuruan, membantu pekerjaannya sambil melanjutkan SMA disana.

Nasib baik memelukku, selepas SMA aku langsung mendapat pekerjaan kantoran di Surabaya, itu juga karena Paman menitipkanku bekerja di perusahaan kawan baiknya.

****

Setelah merasa puas dengan kertas kenangan itu, maka kuletakkan dia di atas meja kerjaku. Tetapi tiba-tiba hembusan angin menerbangkan cuilan kertas itu melewati jendela, dan jatuh melayang di jalanan samping kamar kontrakanku.

Dengan tergesa aku keluar untuk memungutnya kembali, tetapi rupanya angin kembali telah menerbangkannya. Saat aku hampir mendapatkanya, angin meniupnya lagi menjauhi pekarangan rumahku. Aku kembali mengejar robekan kertas itu, tetapi setiap aku hampir mendapatkannya kembali angin juga meniupnya lagi.

"Aduh sial banget, sih! Malah keinjek, lagi!" seruku kesal saat tahu, kertas itu terinjak seorang gadis yang tengah melewati trotoar berpaving itu.

Dia mengambil sobekan kertas yang terinjak olehnya itu. Aku masih mengucek mataku yang tiba-tiba kemasukan debu, ketika kudengar gadis itu bertanya padaku.

"Jadi... dari tadi kamu mengejar-ngejar cuilan kertas ini, ya?"

Sepertinya aku pernah mengenali suara itu, tetapi dimana aku tak mampu mengingatnya. Dan betapa teramat terkejutnya hatiku, setelah dengan seksama kuperhatikan wajah gadis berkacamata itu.

Deg!!!
Aku kehilangan kata-kata dalam keterkejutanku, saat menyadari siapa sesungguhnya pemilik suara itu. Yashinta Prabawati.

"Shinta?! Shinta Prabawati?!" seruku dalam kegugupan yang teramat sangat, antara malu terlihat mengejar sobekan kertas, dan senang karena bertemu dengannya lagi setelah tujuh tahun lamanya.

"Mas Narto? Sunarto Putro Arjoso?" diapun tidak kalah terkejutnya denganku, tapi untuk saat itu dia masih menang momentum bukan sebagai orang yang konyol

"Kamu di Surabaya juga, ya. Sudah lama disini, bekerja atau kuliah?"

"Aku kerja disini, Mas. Jadi teller di Bank Aman Amano, sudah hampir setahun ini"

"Baru bertemu hari ini, padahal sudah hampir tiga tahun aku tinggal disini. Bagaimana kabarmu, Shin?" kataku, sambil mengulurkan tangan mengajaknya berjabatan. Dia menjabat tanganku dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya mengamati sobekan kertas itu.

"Kabarku sangat bahagia setelah bertemu denganmu, Mas" katanya, sambil tak lepas memandangi kertas secuil itu.

"Aku mengingat sobekan kertas ini berasal dari buku puisiku semasa SMP dulu, khan?"
tanyanya lembut, sambil memandangi wajahku yang 'merah padam'.

"Iya, Shin. Maaf, aku sudah merobeknya." kataku lirih, tanpa berani menatap kedua bola matanya. Aku pasrah saja... dan akan menerimanya, jika seandainya dia akan marah karena perbuatanku dulu itu.

"Ah, tidak apa Mas. Mas Rio sudah langsung memberitahuku saat itu juga, saat itu pun aku tidak marah kok," jawabnya, seraya menyodorkan kembali sobekan kertas usang itu padaku.

"Sekarang aku malah ingin bertanya, sudah hampir tujuh tahun tetapi kamu masih menyimpannya, Mas. Buku asal sobekan ini juga sudah tidak ada lagi, entah dimana keberadaannya. Kenapa?" akhirnya, pertanyaan yang selama ini kutakutkan terucap juga.

Aku menatapnya lekat untuk bisa lebih seksama mengamati perubahan di wajah pujaanku itu, tidak ada yang berubah sedikit pun Dia tetaplah Yashinta Prabawati yang cantik, rambutnya masih terlihat panjang walau dia menyanggulnya sekarang. Dan tentu saja kini dia tumbuh menjadi seorang gadis dewasa, yang semakin mempesona dan berkharisma. Wajahnya yang sekilas mirip Irish Bella, membuatku semakin terpesona

"Kok malah bengong sih, Mas?!" tegur Yashinta, yang mungkin tidak enak hati melihat kedua mataku seakan ingin menelanjanginya.

"Eh, maaf. Aku masih tidak menduga berjumpa denganmu disini, Shin. Ayo mampirlah ketempatku sebentar jika kamu ada waktu, kita ngobrol saja di teras depan rumah kontrakkanku." kataku sambil menggandeng tangannya, yang dengan cepat pula segera aku lepaskan.

Pertemuan dengannya yang tidak terduga itu, menimbulkan sensasi takut kehilangannya lagi. Sehingga aku dengan berani menggandeng tangannya, walaupun setelahnya aku takut dengan tanggapanya denhan perbiatanku itu.

"Ish, main gandeng saja! Iya aku akan mampir ke rumah kontrakanmu, Mas!" serunya lembut dengan senyum manis di wajah meronanya.

Aku bersyukur dalam hati yang penuh diliputi kebahagiaan yang tiada terkira, jika tidak sedang di tepi jalanan ramai... pastilah aku sudah berjingkrak-jingkrak kegirangan, sambil bernyanyi Sorak Sorak Bergembira karenanya.

****

Yashinta kupersilahkan duduk dulu, sementara aku akan membuatkannya minuman dingin yang kontras dengan udara Kota Surabaya saat itu. Sebelum aku pergi ke dalam rumah, Yashinta mengatakan sesuatu yang membuaatku membatalkan kesanku terhadapnya.

"Mas, suguhi aku air putih saja ya? Aku takut kamu masukkan obat bius ke dalam minuman racikanmu untukku nanti, seperti di film-film" berkata begitu dia sambil menutupi tawanya dengan jemari tangannya.

Ternyata, dia bukan gadis serius dan kalem yang selama ini aku bayangkan. Dia gokil! Aku mengepalkan genggaman tanganku ke arahnya, dan itu membuatnya terpingkal-pingkal dengan lepasnya.

(Bersambung)

4 komentar:

MS Wijaya mengatakan...

Keren pakwin... riobsabian itu sodaranya nisa sabian ya??

Winarto Sabdo mengatakan...

eh ini cerita era 90an khan? jangan2/rio sabian itu epaknya nissa ya???

Fitri Areta mengatakan...

Salah fokus sama Rio Sabian😂 keren ceritanya

Winarto Sabdo mengatakan...

dia adalah kawan dari Narto Putro Arjoso yg jadi penggemar rahasianya Yashinta Prabawati...

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...