Jumat, 14 Juni 2019

Day18

Hadiah Yang Membanggakan
Oleh: Winarto Sabdo

Hamish menjadi giliran terakhir memohon ijin, dan memohon do'a restu dari Romo Kyai Hasan Husen gurunya. Sudah setahun sampai hari ini, dia dan ratusan santri lainnya mondok di Ponpes Darut Taubatan Nasuha itu. Hari ini adalah hari terakhirnya menuntut ilmu di jenjang ibtidaiyah, kemarin baru saja dia dan 50 orang temannya di wisuda. Oleh karenanya mereka diberikan ijon berlibur, juga dikarenakan bertepatan dengan bulan suci Ramadhan.

"Masuklah, sekarang!" kata Mucklash temannya, dia ada di depannya saat berbaris menunggu giliran menghadap Romo Kyai tadi.

Sebelum mengiyakan perkataan temannya, dia sempat melirik hadiah yang diterima sahabatnya itu dari Sang Guru. Mucklash mendapatkan seuntai tasbih, yang konon katanya dapat menyala di kegelapan. Itulah yang dipikirkannya semenjak tadi, semoga diapun mendapat hadiah sebuah tasbih. Itu juga yang diinginkan Bapaknya sewaktu mengantarkannya ke ponped ini, beliau berharap dirinya berhasil mendapatkan seuntai tasbih. Karena itu adalah hadiah untuk prestasi di pondok ini, tidak ada yang lebih baik dari hadiah tasbih ini.

"Hamish, masuklah!" terdengar suara Romo Kyai dari dalam ruangan, tanpa menunggu lama diapun bergegas menghadap.

"Saya, Romo!"

Bocah 12 tahun itu menghadap dengan ragu, bayangan apa hadiah yang akan diterimanya mengganggunya. Dia mencium tangan sang guru, kemudian bersimpuh di bawah kursinya.

"Kamu akan pulang hari ini juga, Mish?" tanya sana Kyai.

"Saya, Romo. Sebab, teman-teman sedesa, dan yang tetangga desa, juga sudah berencana pulang bareng-bareng hari ini."

"Sudah menjelang Ashar, apa tidak sebaiknya kalian menginap dulu semalam di pondok. Baru seusai Shubuh kalian berangkat, menuju desa kalian masing-masing?"

"Mohon ampun, Romo. Kami sudah berjanji, untuk pulang bersama-sama." jawab Hamish dalam kekhawatiran, jangan-jangan teman terdahulunya sudah mengiyakan pendapat gurunya ini.

"Baiklah, aku tidak akan menahan kemauanmu Nak. Ini pemberian dariku, semoga bisa berguna bagi hidupmu kelak." kata sang guru, sambil menyerahkan sebuah kotak kardus yang bertali.

Hamish sangat terkejut menerimanya, sangat berbeda dengan yang diinginkan juga di harapkannya. Bukan seuntai tasbih, seperti keinginan Bapaknya.

Tanpa terasa, Hamish melelehkan air matanya. Itu terjadi, setelah dia mengucapkan terima kasih kepada Sang Kyai. Tentu saja ini terlihat oleh gurunya, hang langsung mendekati dan mengelus lembut punggung muridnya itu.

"Jangan menangis, kamu sudah berjanji untuk menuntaskan puasamu sebulan lamanya. Dan ingatlah, rejeki tidak akan tertukar."

"Saya, Romo." sahutnya, yang kemudian segera meninggalkan gedung aula di ponpes itu.

Dengan gontainya Mucklash berjalan menghampiri dua orang temannya, yang sudah menunggunya dengan gelisah di deoan pintu gerbang.

"Cepetan, Mish. Kita masih harus berjalan melewati gunung dan hutan, bisa kemalaman di jalan kita nanti!" teriak Mucklash tidak sabar, seperti juga Darwis yang ada di sampingnya.

"Iya, Mish. Lekaslah sedikit, dan ini tas perlengkapanmu." kata Darwis, sambil mengangsurkan tas Hamish yang berisi kitab dan pakaian bersih.

Hamish pun menerima barang bawaannya itu dengan enggan, sambil mempercepat jalannya mengikuti langkah kedua temannya di depan. Ketiganya melangkah menyusuri pematang sawah di depan pondokan hingga ke pinggir hutan, disanalah jalan setapak yang akan membawa mereka menuju desa kelahiran.

*****

Sudah hampir setengah jam mereka melangkah, sudah berada di dalam hutan yang mulai gelap. Dan beberapa kali Mucklash serta Darwis harus berhenti, menunggu langkah Hamish yang bagai tidak bertenaga itu.

"Hamish, cepat sedikit dong jalannya. Kita harus sudah melewati Gunung Sabak sebelum Maghrib, setelahnya baru bolehlah kita berlambat-lambat, karena sudah di kawasan hutan kita. Apa perlu aku bawakan bawaanmu itu, agar langkahmu bisa lebih cepat?" kata Mukhlash.

"Tidak usah, Klash. Biar aku bawa sendiri barangku, maaf hari ini aku agak lelet." jawab Hamish pelan.

"Bukan agak lambat lagi, tapi sangat lambat Mish!" seru Darwis, sambil merangkul bahu sahabatnya itu.

Mukhlash dan Darwis tidak berasal dari desanya, desa mereka masih setengah jam lagi berjalan. Dan tentang Gunung Sabak, yang mereka khawatirkan adalah bertemu dengan Macan Kumbang. Beberapa kali orang bercerita, pernah bertemu dengan hewan buas itu di sekitaran gunung. Untunglah pada saat bertemu manusia, hewan itu sedang membawa hewan hasil buruannya. Sialnya lagi, hewan itu mampu memanjat pohon seukuran apapun.

Alhamdulillah, sungguh karunia yang tiada terkira. Begitu memasuki kawasan Gunung Sabak, mereka ternyata sudah bertemu dengan orangtua mereka yang menjemput. Tetap saja, naluri orang tua lebih tajam. Melihat waktu yang seharusnya ditempuh dari pondok, dan mengantisipasi jika ada keterlambatan kedatangan. Ketiga orangtua masing-masing santri itu, memutuskan untuk menjemputnya di tengah jalan. Dan disinilah mereka bertemu, ketika masing-masing degup jantung bocah-bocah cilik itu mulai bergema.

Dengan hampir tanpa kendala, kecuali Hamish yang menjatuhkan kotak hadiah dari Gurunya itu beberapa kali. Akhirnya mereka tiba di tujuan masing-masing, tentu saja Hamish yang pertama sampai dan mencium tangan ibunya. Saat itu, bersamaan dengan kumandang adzan Maghrib terdengar.

*****

Hamish tampak sedang menimang-nimang bungkusan kotak, hadiah dari gurunya itu. Dalam hati dia merasa kecewa, karena tidak dapat mempersembahkan sebuah tasbih kepada Bapaknya. Dia merasa malu dan sedaih, sehingga berlama-lama didalam kamarnya seusai berbuka dan Sholat Maghrib.

"Hamish, Bapak memanggilmu Nak!" seru ibunya, setelah mengetuk pintu kamarnya.

"Iya, Mak. Aku akan segera menemuinya." jawabnya, kemudian dengan malas keluar dari kamar tidurnya menuju ruang tamu.

"Saya, Pak." katanya setelah sampai kepada bapaknya, dia begitu saja duduk disamping orangtuanya itu. Sementara itu, ibunya datang membawa sepiring irisan belewah.

"Kamu masih capek ya, setelah berjalan begitu jauhnya?" tanya bapaknya.

"Sedikit, Pak." jawabnya gelisah.

"Kamu mendapat hadiah apa dari Romo Kyai, Nak?" justru ibunya yang menanyakan, sesuatu yang di khawatirkannya.

"Maafkan Hamish Pak, Bu. Hanya Hamish yang tidak mendapatkan hadiah tasbih, seperti kawan-kawan lainnya." jawab bocah itu terlihat sangat sedih.

"Tidak mengapa itu, Nak. Karena bukan kita yang memutuskannya, syukuri saja ya?" kata bapaknya, melihat kemurungan di wajah anak semata wayangnya itu.

"Mungkin tahun depan, kamu mendapatkannya." kata ibunya menghibur, "Nah, kamu mendapat hadiah apa?"

"Sebentar, Hamish ambilkan." jawab bocah itu, meninggalkan kedua orangtuanya.

"Ini hadiahnya, Pak." sebentar kemudian bocah itu sudah sampai, menyerahkan kotak hadiah dari gurunya.

"Duduk sini, ayo kita buka bersama-sama." kata bapaknya, sambil meraih tangan Hamish duduk di pangkuannya. Ibunyapun segera bergabung bersama mereka, tampak wajahnya berseri dalam keingintahuannya.

"Bismillahirohmaanirrohiim!' ucap Bapaknya, sambil membuka isi kardus itu.

" Subhanalloh!" mereka berseru bersamaan.

Tampak di dalam kotak kardus itu beberapa barang, sebuah kotak kayu berisi tasbih perak, sebuah kitab Stambul, yang dibungkus dengan sebuah sajadah merah asli parsi.

"Sbhanalloh, sajadah Parsi yang sangat terkenal kelembutannya!" seru bapaknya sambil menimang-nimang benda itu dengan bangganya, "Yang ini boleh untuk Bapak, Nak?" terdengar pintanya sungguh-sungguh.

"Tasbihnya untuk Ibu ya, Nak?" pinta ibunya.

Hamish terkejut melihatnya, Bapak melupakan keinginannya pada tasbih bercahaya. Dan lebih memilih Sajadah Parsi berwarna merah itu, sementara ibunya dengan bangga mencium-cium tasbih barunya.

Tanpa mereka sadari, dalam kehebohan orangtuanya dwngan hadiah itu Hamish berucap syukur.

"Alhamdulillahirobbil" alamiin, terima kasih Yaa Alloh. Engkau ijinkan hambamu ini, membahagiakan, dan membanggakan kedua orangtuaku. Amiin."

-Tamat-

#RWCOdop2019
#onedayonepost
#Day18

Tidak ada komentar:

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...