Jumat, 14 September 2018

Melawan Gendruwo (Bagian I)

Karsono yang duduk dibelakangku tiba-tiba menepuk bahuku, karena terkejut aku menghentikan laju sepeda motorku,

"Ada apa, Kar?"

"Kelihatanya kita tersesat Kang, kita sudah melewati jalan ini dua kali. Kang Siman lihat rumah kecil dibawah pohon beringin itu, kita sudah melewatinya sebanyak dua kali"

Setengah celingukan, aku mencari rumah yang dimaksud Karsono. Ah itu, sebuah rumah kecil terbuat dari bambu, di samping sebuah pohon beringin tua yang sangat lebat daunya. Seingatku, sekitar tempat itu hanya gopakan kebo (kubangan kerbau) saja.

"Kenapa bisa tersesat ya, Kang. Kita sudah sering melewati jalan ini kan?"

Karsono turun dari boncengan motor, dan berjalan mendekati lengan kiriku.

"Apakah, kamu pernah melihat rumah kecil itu sebelumnya Kar?"

"Seingatku belum pernah, Kang. Sepertinya, rumah itu baru didirikan," kata Karsono dengan suara bergetar.

Aku dan Karsono memang mendapat tugas dari Kades di.Desaku, untuk meminta nasehat Ki Winarto Sabdo dari Dusun Jurang Kadut. Desaku sedang mendapat gangguan, dari sosok mahluk halus yang bernama Gendruwo. Mahluk sebangsa Jin itu, beberapa hari ini berulah di desaku. Sering menampakkan diri, setelah Barongan Pring (rumpun bambu) yang mungkin jadi tempat tinggalnya, ditebang warga untuk Pembangunan Desa.

Wargapun resah, karena Gendruwo ini sangat usil. Dia suka sekali menggoda wanita yang sedang sendirian di rumah, atau sedang tidur sendirian. Kemarin, istri Pak RT ditepuk pantatnya di dapur rumahnya. Istri Pak Bejo yang ditinggal jaga Siskamling, diremas payudaranya saat tertidur. Belum termasuk kontak motor, remote control, atau handphone yang tiba - tiba menghilang dari tempatnya. Pendek kata, desaku sedang di terror mahluk halus yang konon seperti Gorilla itu.

Biasanya, untuk sampai dusun Jurang Kadut tidak lebih dari setengah jam saja bersepeda motor dari desaku. Tapi nyatanya, kami sudah dua jam lebih berputar-putar di tempat ini, dan belum sampai juga.

Belum hilang rasa heran Kami, ketika terdengar suara berat dan parau dari belakang kami berada,

"Kalian mau pergi kemana, anak muda?"
bersamaan kami menoleh ke arah suara itu, Karsono terpelanting jatuh karena terkejut dengan kemunculan orang asing tersebut

Seorang Kakek-kakek berbaju gelap, menyangga tubuhnya dengan sebilah tongkat dari bambu berwarna hitam. Wajahnya sangat aneh, sudah sangat keriput, tetapi ditumbuhi kumis dan jenggot hitam yang sangat lebat. Aku tak bisa melihat gerak bibirnya, tapi bisa mendengar suaranya yang berat dan parau itu.

Tiba-tiba saja tercium aroma sangit, seperti ubi, atau kentang yang terbakar hangus. Bulu kuduk pun berdiri seketika, tanda ketakutan mulai menghinggapi hatiku. Tangan Karsono yang memeggang pundaku pun terasa gemetarnya, aku menoleh wajah sahabatku itu di keremangan malam, terlihat sangat ketakutan.

Kakek itu mengibaskan tangannya, dan seketika terang benderanglah suasana di sekitar tempat itu. Tidak seterang siang hari, tapi juga tidak segelap malam hari. Dan sungguh aneh, tiba-tiba perasaan takutku menghilang, Karsono pun sudah mulai melepaskan cengkeramanya di pundakku.

"Kalian mau kemana, selarut ini?" suara itu masih terdengar sama, namun tidak semenakutkan suara pertamanya tadi,

"Kami hendak ke Dusun Jurang Kadut , Kek. Maafkan ketidak sopanan kami, saya Siman dan teman saya itu Karsono. Kakek ini siapa?" tanyaku sembari menelungkupkan kedua tangan di dada, sebagai isyarat meminta maaf sembari turun dari sepeda motorku.

"Tidak usah sungkan anak muda, panggil saja Mbah Enggot, itu namaku," baru aku menyadari, walaupun tubuhnya agak membungkuk, tetapi tubuh Mbah Enggot sebenarnya lebih tinggi dan lebih besar dari tubuhku.

"Jika kalian hendak ke Dusun Jurang Kadut, maka kalian sudah tersesat jauh, nak" katanya dengan tanpa senyum do wajahnya.

Aku dan Karsono terkejut mendengar keterangan Mbah Enggot, bagaimana mungkin kami tersesat?, jalan menuju Dusun Jurang Kadut ini sudah sering kami lewati sebelumnya.

"Tapi, bukankah jalan menuju ke sana hanya ini satu-satunya , Mbah?" tanya Karsono sambil bersedekap karena mulai kedinginan, hal sama yang aku rasakan saat ini.

"Nanti akan Mbah ceritakan, tapi jangan di tempat ini. Mampirlah ke gubugku, kita berbincang lagi di sana,"

"Oh, jadi itu rumah Mbah Enggot ya?" tanya Karsono, yang wajahnya tiba-tiba berseri mendengar tawaran dari Mbah Enggot.

"Iya, rumah di bawah pohon Beringin itulah rumahku. Ayo kita ke sana, letakkan saja kendaraanmu itu di sini" bagai kerbau dicocok hidung, kami berdua menuruti saja ajakanya.

Kami berjalan beriringan, Mbah Enggot di depan, kami mengikutinya dari belakang. Bau ubi hangus itu semakin menusuk hidung, saat kami mulai mendekati rumah, atau tepatnya gubug itu.

Mbah Enggot membukakan pintu itu, kemudian kami dipersilahkanya masuk.
Di dalam gubug itu tak ada satupun penerangan, tetapi ruangan itu tampak seterang suasana di luar tadi. Tidak ada kursi, kamipun dipersilahkan duduk di lantai tanah yang dingin.

"Dlajah! Ada tamu Nduk, kemarilah sebentar untuk menemui mereka!"

"Siapa yang Mbah panggil?" tanyaku

"Dlajah anakku, Nak"

Mbah Enggot menengok salah satu pintu ruangan, mungkin dapur, dan menyuruh seseorang keluar menemui kami.
Sebentar kemudian seorang gadis keluar dari pintu ruangan itu, Karsono kembali terpelanting karena saking terkejutnya. Seorang gadis berkulit agak hitam, wajahnya seperti laki-laki arab, juga tubuhnya tinggi dan besar, rambutnya kribo tetapi panjang terurai. Dia tersenyum pada kami, kamipun membalas senyumnya. Payudaranya besar dan padat berisi, sebagian menyembul dari balik kemben yang dikenakanya. Aku menoleh wajah Karsono yang tampak terpesona dengan Dlajah, karena memang type wanita seperti inilah Favoritnya.Dia pun kembali ke dalam ruangann itu, setelah sebelumnya masih sempat mengerlingkan mata pada Karsono.

Dan rupanya Mbah Enggot pun mengerti isi hati Karsono, dia menyuruhnya membantu Dlajah di dapur. Sudah kuduga, Karsono pasti hanya sebentar bisa menahan hawa nafsunya. Karena dari tempatku duduk ini, aku sudah mendengar bunyi bibir beradu, lenguhan, rintihan lembut Dlajah, dan dengusan nafas Karsono yang penuh ghairah. Bocah edan !!!, makiku dalam hati. Kenapa tidak merasa sungkan sedikitpun, pada sang Tuan Rumah.

"Biarkan mereka, aku tahu isi hati mereka masing-masing. Sekarang nikmatilah makanan yang disajikan Dlajah ini, Nak," kata-kata Mbah Enggot tiba-tiba menyadarkanku dari lamunanku. Lamunanku, sedang membayangkan cumbu rayu Karsono dan Dlajah di dalam ruangan itu.

"Eh iya, Mbah " jawabku terbata, karena tiba-tiba di depanku sudah tertata rapi makanan yang lezat-lezat, juga minuman kopi yang masih mengepul uapnya.
Darimana datangnya semua ini? Apakah Dlajah yang mengantarkanya?
Ah tidak, tidak ada siapapun yang mengantarkan makanan dan minuman ini. Lalu, darimana ini semua ?. Ah sudahlah, tidak mungkin kakek baik ini akan mencelakaiku.

Aku mengambil sebuah Onde-onde yang sangat besar, mungkin tiga kali lebih besar dari biasanya. Terasa masih hangat, ini benar-benar baru keluar dari penggorengan. Hampir saja aku menggigitnya, ketika terdengar suara menggelegar menghardikku,

"Jangan dimakan!!!" qku menoleh ke pemilik suara itu, terlihat Ki Winarto Sabdo sedang berdiri gagah dengan kuda-kudanya. Asap putih tiba-tiba mekingkupi tempat itu, serta angin yang sangat kencang bertiup.

"Buang yang kau pegang itu, lalu kemari cepat!" kembali terdengar seruan keras Ki Winarto Sabdo atau Ki Bawuk itu.

Aku melihat apa yang kupegang, dan terkejut

"Hah!!!... tai Kebo?!"
akupun segera membuangnya dengan jijik, lalu mengusapkan tangaku di rerumputan.
Baru aku menyadari, rumah Mbah Enggot telah menghilang. Aku melihat Karsono tergeletak di rerumputan, dengan hanya mengenakan celana dalamnya.

"Biarkan dia di sana dulu, sekarang kesini bantu Aki!"

akupun mendekati Ki Bawuk yang pandanganya nanar terarah pada pohon beringin besar itu. Orang tua itu, ternyata sedang mengadu kekuatan ghaib dengan sesuatu yang di atas pohon angker itu.

"Pakai ini," perintah Ki Bawuk sambil memberikanku sebuahTashbih dari kayu cendana, "Kalungkan di lehermu!"

Aku segera mengalungkan tashbih itu, dan astaghfirullaahal adziim aku dapat melihat alam ghoib.
Di dahan pohon beringin itu aku melihat sesosok mahluk hitam, besar, kedua matanya bersinar merah, berbulu di sekujur tubuhnya. Siapakah mahluk ini ?, tanyaku dalam hati,

"Dia itu Gendruwo, atau Genderuwa, di Pewayangan didebut Gandarwa. Salah satu jenis Jin yang sangat usil juga berbahaya,"  seperti mengerti isi hatiku Ki Bawuk bercerita padaku, seraya tetap mewaspadai gerakan mahluk yang di atas pohon itu, "Hampir saja dia mencelakaimu, kue yang hampir kamu makan itu tadi tai kebo (kotoran kerbau), dan yang terlihat seperti kopi panas itu adalah ceren gupakan (air comberan dari kubangan), beruntung aku datang semua itu masuk perutmu"

sungguh tiba-tiba perutku menjadi mual mendengar cerita Ki Bawuk, jadi sejahat itu si Gendruwo itu pada manusia?.

Sekonyong-konyong, Ki Bawuk membuat gerakan memukul. Aku mendengar erangan Gendruwo itu, seakan menahan sakit yang luar biasa. Sekejap kemudian, mahkuk itu terjatuh ke tanah dengan suara yang berdebum, Sebentar berkelojotan, sebelum kemudian lenyap dari pandanganku.
Terlihat Ki Bawuk sangat keletihan, setelah berdo'a senenak dia kemudian menyapukan telapak tanganya ke wajahnya.

"Kemana Gendruwonya, Ki?" tanyaku seraya mencari dengan mataku, di pepohonan dan tempat gelap lainya,

"Dia sudah kembali ke alamnya, semoga dia tidak pernah datang lagi kemari"

Ki Bawuk memberiku isyarat untuk memeriksa kondisi Karsono, yang aku sendiri sudah tidak mengingatnya. Bocah Gemblung itu meringis kesakitan ketika kubangunkan, bibirnya membengkak ... entah dia baru menciumi apa,

"Kar, bangun!" teriakku lirih di telinganya, "Pakai bajumu, itu sudah ditunggu Ki Bawuk" demi mendengar nama lekaki tua itu, Karsono segera melompat bangun, celingukan mencari pakaiannya, mengenakanya dengan tergesa. Kemudian, dengan setengah masih membopongnya, kami menghadap Ki Bawuk. Mencium tanganya, dan duduk bersila di depan orang sakti itu.

"Malam ini, menginaplah kalian di rumahku. Aku akan memberi kalian bekal yang banyak, agar kalian mampu menyelesaikan masalah di desa kalian," kata lelaki tua itu. Kedua tangannya berputar-putar do atas kepala kami, sambil mulutnya terus merapalkan mantra.

"Baiklah Mbah, kami akan ke sana" kataku, sambil berusaha membangunkan tubuh Karsono.

"Duduklah bersila kembali, aku akan memindahkan tubuh kalian dari sini. Kita akan ke rumahku bersama-sama, pejamkan kedua mata kalian!" kata Ki Bawuk denhan tegas, kami pun mengikuti perintahnya. (Bersambung)

Nganjuk, 21 September 2018

2 komentar:

Nurul Hidayah mengatakan...

Genderuwone lucu yang serem fotone

Winarto Sabdo mengatakan...

jwakakakak....sg berhasil penata riase berarti dudu penulise...trima kasih krisarnya jangan kapok mampir lagi yaaa...

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...