Kamis, 08 November 2018

Keluarga Trio Kwek Kwek

Mungkin almarhum orang tuaku dulu bermaksud baik, dengan membangunkan rumah petak berderet untuk kami bertiga. Tiga rumah, dengan masing-masing lebar 4 meter dan panjang 6 meter. Dengan model yang sama, cat yang sama, sama-sama menghadap ke arah jalan desa di depannya.

Yang di ujung timur, ditempati kakak sulungku Suparno Wijaya dan istrinya Herissa Dita Violeta, dan anak lelakinya yang bernama Nicholas Budi Suparno Putra. Di ujung sebelah barat, dipilih tinggali olek kakak keduaku Supardi Wakhid bersama istrinya Muthia Saraswati serta anak lelaki mereka Steven William Supardi Putra. Sementara aku, menempati rumah yang di tengah bersama istri tercintaku Paini Dyah Sarinem, dan anak lelakiku Mokamad Isa Budha Mahadewa Suparwin Putra Tunggal. Namaku adalah Suparwin Mukiyo, anak bontot dari ayahku Mukidi Prawiro Dirjo dan ibuku Vidia Feronika Siti Ngatiyem.

Mereka berdua adalah lambang cinta sejati, senang susah bersama, bahkan meninggal pun bersama-sama. Bapak meninggal, karena berusaha menolong Ibuku yang tersengat aliran listrik. Saat itu, ibu sedang menjemur pakaian. Tanpa diketahui, ada kabel listrik terkelupas yang mengenai kawat jemuran, ibu pun berteriak karena tersengat aliran listrik. Bapak yang mengetahui itu segera bertindak, maksudnya memeluk ibu untuk dijauhkan dari tempat itu... malah beliau ikutan tersengat. Mereka berdua meninggal, dalam posisi berpelukan.

Tinggal di rumah deret sebetulnya sangat menyenangkan, selalu bisa berkumpul dengan saudara kandung-kandungku. Semenjak kecil kami hidup rukun dan damai, bersekolah dan bermain pun kani bertiga. Daripada menyebut kami 'Tiga Bersausara', orang-orang malah menyebut  kita 'Trio Kwek Kwek'. Memang seperti kembar tiga, karena selisih kelahiran kami hanya berselang 1 tahun... tepat 1 tahun jaraknya, kakak sulungku lahir tanggal 25 November 1969, kakak keduaku lahir 25 November 1970, hanya aku yang dijuluki November palsu, karena aku lahir pada 25 November 1971 melalui operasi cesar... karena sungsang. Sampai menjelang setengah abad usia kami ini, belum sekali pun kami terlibat perselisihan. Hampir tidak pernah berkonflik, saling berkata kasar pun tidak pernah.

Ini berbanding terbalik 180° dengan istri-istri kami, khususnya istri Kang Parno dan Kang Pardi. Sepanjang mereka berstatus istri, dan bergabung di dalam keluarga kami. Pertengkaran demi pertengkaran, adalah menu urama mereka. Mbak Herissa dan Mbak Muthia sudah seperti 'Tom and Jerry' saja layaknya, bagai air dan api, bagai 'Mikhail dan Lucifer', sangat sulit didamaikan. Jika mereka sedang bertengkar, bahkan ada lesakan bom di sekitar mereka pun tidaj hiraukan. Mbak Herissa dari Madura, sedangkan Mbak Muthia orang padang. Sama-sama keras kepala, sama-sama tidak mau mengalah, tentu saja... mereka sama-sama pelit. Istriku orang Wonogiri, lemah lembut, sopan santun, tidak sombong, tapi gampang menangis, cengeng dan lebbay, dia menangis tersedu-sedu saat naik delman... melihat kudanya dicambuk pak kusir, dia menangis histeris. Melihat film kartun Tom and Jerry pun dia bisa menangis terisak-isak, melihat Jerry dikejar-kejar Tom, dan dipukuli pakai sapu,"Aduh kasihan! Jerry dipukul sapu sama Tom, sampai gepeng tubuhnya!" atau,"Aduh kasuhan! Tim ditimpa piano sebegitu besar, sampai giginya copot semua!"
Nah, dapat dibayangkan betapa 'tenteramnya' hidup bersama mereka.

Minggu pagi, suasana awalnya tenang dan damai... sebelum Mbak Herissa memutar DVD kembang kempul Madura.

"Rama ebu... bule sapora'agih, romasa andi' sala dhe dika... agudde gabay ate rengsa... !!!"

artinya:
Ayah Ibu... aku meminta maaf... merasa punya salah padamu... menggoda membuat hatimu susah...

Mendengar musuh bebuyutannya memutar DVD, Mbak Muthia segera memutar lagu Padang kesukaannya... juga dengan volume yang sangat keras.

Biarlah nak karam di lauik nan dalam
Biarlah nak hilang kenangan lamo
Dinginnyo ko manusuak ka dalam dado

artinya:
Biarkanlah karam di lautan yang dalam
Biarkanlah hilang kenangan lama
Dinginnya malam ini menusuk ke dalam dada

Aku, istriku, dan anak semata wayangku segera menempatkan diri di teras rumahku. Istriku membuatkan kami teh hangat, dan pisang goreng yang juga masih hangat. Tiba-tiba, masuk dari pintu belakang rumahku kedua keponakanku. Nicholas anak Kang Parno, dan Steven anak Kang Pardi, bertiga dengan anakku Mokamad mereka sambil membaca komik di lantai teras. Kami semua sudah hafal situasi seperti begini, sebentar lagi akan menyaksikan Opera dengan gratis. Benar juga, dari rumah kang Parno keluarkah Mbak Herissa, dengan membawa spatella di tangan kanan, sedang tangan kirinya memegang wajan penggorengan. Dengan tatapan marah, dia memandang ke arah pintu rumah Kang Pardi sambil berteriak,"Patek celeng! Mosek ta' ro-karoan monyena beih esettel! Menga' se ngeddingagih!" artinya: Anjing hitam! Musik tidak karuan bunyinya saja di putar! Pekak didengarkan!

Mendengar makian musuh iparnya, Mbak Muthia pun segera keluar dari rumahnya, sama juga membawa spatulla dan wajan. Tanpa basa-basi lagi, dia langsung memaki dengan sengit,"He, orang bunian! Sakato sajo barucap manghina musiak Minang! Musik awak ko macam lengking Mak Lampir!" artinya: He, siluman hutan! Enak saja menghina musik Minang! Musikmu itu seperti tawa Mak Lampir!. Kami berlima tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya, Mokamad sampai berguling-guling menahan tawanya. Dan itu belum selesai, tibalah kepada makian favorit kami. Mbak Muthia, kali ini yang mengeluarkan jurus makian pertama.

"Dasar, Sate Lalat!" makinya, yang langsung dibalas oleh Mbak Herissa.

"Rendang tai Kambing!"

"Soto Ayam tiren!"

"Balado Kodok!"

"Oseng Ulat bulu!"
Ini berlangsung berjam-jam lamanya, diiringi tetabuhan dari wajan penggorengan setiap mereka memaki. Pak RT yang datang melerai pun, akhirnya lari terbirit-birut karena mereka lempari dengan batu. Mereka hanya akan lerai, saat mendengar adzan Dhuhur dari Mushola dekat rumah kami. Benar saja, tiba-tiba terdengar suara Adzan yang sangat nyaring.

Allaahu Akbar... Allaahu Akbar...
Allaahu Akbar Allaahu Akbaar...
Asyhadu alaa ilahailallaah
Asyhadu alaa ilahailallaah
Waasyhadu anna Muhammadurrasulullaah
Waasyhadu anna Muhammadurasulullaah
Hayaashalah Hayaashalah
Hayalal falaah hayalal falaah
Allahu Akbar Allahu Akbar
Laa ilahailallaah

Hening, sunyi, sepi, senyap, kami segera masuk ke dalam rumah tanpa terkecuali. Dengan diam segera mempersiapkan diri, menuju mushola untuk melaksanakan sholat. Itulah, sekelumit cerita seru tentang keluarga kami. Jangan meniru, atau mencibanya di rumah, tanpa bimbingan dan pengawasan psikiater.

2 komentar:

Yuliani Djaya mengatakan...

Itu namanya kok panjang-panjang, Om. Susah diapain hehe ...

Winarto Sabdo mengatakan...

masih panjangan namaku Winarto Sabdo Sukowanito Rikmodowo... terima kasih sudah mampir...

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...