Jumat, 14 Desember 2018

32 Hati Dalam 47 Tahun: Kesatu

Aku sengaja memperlambat langkah kakiku, hanya agar langkah kakinya dapat segera menyusulku. Tetapi dasar lelet, dia tak juga sampai kesampingku berjalan. Aku pun berhenti, dan menolehnya. Gadis itu masih tetap dengan langkah pendeknya, malah menatapku dengan tatapan 'tidak merasa' sedang ditunggu. Huh! ingin ku menyamperinya, lalu menggelendengnya berjalan disampingku.

"Sum! Ayo cepetan sedikit kenapa? Pegel nungguin kamu, tauk!" seruku dengan jengkel pada akhirnya, dan Sumirah pun berlari kecil mendekatiku.

"Kenapa menungguku? Biasanya, kamu berangkat dan pulang bersama Tono, Wayan, dan Santoso?" tanyannya dengan memasang wajah sok imutnya, setelah berhasil mengimbangi langkah kakiku.

"Hiiiih.... gemeeeessss!" kataku sambil menggeram padanya,"Kamu yang ngajak aku pulang bareng tadi, kan?! Karena ada titipan surat dari Ita, ingat?!"

Sumirah tampak teringat sesuatu, tanpa meminta maaf atas kealpaannya padaku baru saja. Gadis itu malah terlihat sibuk mengaduk-aduk isi tas sekolahnya, sepertinya dia mencari surat balasan dari Ita untukku.

"Dimana aku meletakkannya?" katanya, sambil masih mengaduk-aduk seisi tas bawaannya.

Tiba-tiba aku menjadi merasa panik juga, bagaimana kalau surat balasan dari Ita itu hilang sebelum kubaca? Apa isinya? Bagaimana, kalau si ceroboh Sumirah ini sudah menjatuhkannya di halaman sekolah? Bagaimana jika ditemukan oleh temanku, kakak kelasku, atau adik kelasku?.

Sementara itu. Belum ada tanda-tanda Sumirah sudah menemukan benda beramplop itu, dan ini membuatku semakin panik saja. Membayangkan seseorang telah memungutnya di lantai depan kelas Sumirah, lalu membaca isi surat itu beramai-ramai di suatu tempat. Ini gawat, berita akan segera tersebar ke seantero sekolah.

"Sudah ketemu belum, Sum?!" pertanyaanku tidak berbalas, sehingga dengan segera aku ikutan membongkar isi tasnya. Kukeluarkan sisir, dan tempat bedak kecil diantara pensil, pulpen, penghapus, dan semua peralaatan tulisnya. Saat itu kami tidak menyadari, beberapa pasang mata sedang mengawasi kesibukan kami.

"Heh! Kalian pacaran ya?!" tiba-tiba sebuah pertanyaan, terlontar begitu dekat di telinga kami. Terkejut, kami segera saling menjauhkan tubuh yang berhimpitan tadi, aku melihat Nanik teman sekelasku dan Endang adik kelasku sedang tersenyum-senyum kegirangan. Karena berhasil mengagetkan kami, mungkin.

"Kalian, masih akan lama berhenti di tempat ini? Jika begitu, kami akan berjalan pulang duluan ya?!" kata Nanik sambil memandangku, aku mengangguk tidak begitu menggubrisnya.

Biasanya, kami pulang bersama-sama. Ada Nanik, Endang, Sumirah, Suwarni yang hari ini tidak masuk sekolah. Bersama Santoso, Suhanto, Zainul, dan beberapa teman lainnya. Jarak sekolah kami dari desa kami semua memang dekat, hanya kurang dari satu kilometer. Dan kami juga berasal dari desa yang sama. Karena itulah, kami hanya berjalan kaki menempuhnya berangkat pulang ke sekolah.

Nanik dan Endang pun meninggalkanku dan Sumirah yang semakin kebingungan, semua isi tasnya bertaburan di atas rerumputan pinggir jalan setapak itu. Lalu, seakan mendapat bisikan ghaib tiba-tiba. Atau teringat sesuatu yang dilupakannya sejak tadi, dengan wajah bengong bin culun dia memandangku.

"Ada apa?!" tanyaku tidak mengerti, gadis itu tidak menjawabnya. Malahan, dengan cepat memasukkan semua yang berserakan di atas rerumputan itu ke dalam tasnya.

"Ayo ikut aku!" serunya, seraya menggandeng tanganku berlari menuju arah sekolahan lagi.

"Ada apa, Sum? Kenapa kita harus kembali ke sekolahan?"

"Surat balasan dari Ita, tertinggal di laci bangkuku!"

Bagai disambar petir rasa terkejutku. Dan bekas kelas Sumirah, pasti sudah diduduki anak kelas lain yang masuk siang. Tak terbayangkan, apa yang akan terjadi atas peebuatan si ceroboh ini.

Memasuki gerbang sekolah dengan bergandeng tangan, sudah menjadi pemandangan yang aneh... di mata anak-anak kelas siang. Apalagi Sumirah yang tubuhnya lebih besar dariku, lebih terlihat 'menyeretku' ketimbang tampak 'menggandengku". Memasuki selasar kelas, Sumirah belum memperlambat laju lari kecilnya. Dia juga belum melepaskan genggaman tangannya di tanganku, sia-sia saja aku coba melepasnya.

"Sum! Lepaskan gandenganmu!" seruku setengah berbisik, saat itu tepat di kelas ll D (kelas Vlll D) di pagi harinya... dan siang ini sudah menjadi ll E (Vlll E). Ruangan kelas yang terbatas di sekolah kami, mwmbuat fihak sekolah membagi seluruh siswa masuk beegiliran. Aku juga Sumirah, minggu ini mendapat giliran masuk pagi.

Akhirnya, cengkeraman tangannya di tanganku pun di lepaskannya. Aku mengelus rasa panas dan sakit yang terasa, di bekas genggaman tangannya itu. Ada bekas kuku di sana. Aku memandang sekeliling, banyak berkerumun siswa lain yang penasaran. Dan Sumirah dengan selonong saja langsung menuju 'bekas' bangkunya tadi pagi, kedua tangannya tampak merogoh laci meja. Bahkan kemudian merogoh laci meja disebelahnya. Aku pun akhienya ikut masuk kelas demi memahami, kejadian apa sesungguhnya yang gadis itu alami.

"Suratnya tidak ada! Sudah diambil seseorang!" serunya berbisik padaku, aku menjadi lemas dibuatnya. Terduduk tak berdaya, di sebuah bangku. Lemas karena capek berlarian, dan lunglai karena kepanikan. Hilang sudah harapanku, untuk dapat memiliki surat balasan dari Ita Paramitha. Dan ini semua, karena teman sebangku Ita ini.

"Kalian, mencari ini?!" tiba-tiba sebuah suara membuatku sontak memalingkan muka, mencari arah dari suara itu.

Anik Setyoningsih teman sekelasku dulu di kelas I C, tampak sedang memegang amplop berwarna merah muda di tangan kirinya. Aku segera menoleh ke arah Sumirah, dia mengangguk pasti itulah surat yang kami cari.

"Nik! Itu suratku, kembalikan padaku!" kataku, seraya berjalan mendekatinya.

"Ini suratmu? Kenapa ada di laci bangku Sumirah? Apa kalian pacaran?" Anik malah menginterogasiku.

"Bukan begitu... itu surat balasan..." aku tak melanjutkan kata-kataku, karena bingung memilih jawaban yang tepat.

"Akui saja, kalian pacaran kan?" tanya Anik lagi, aku tidak menjawabnya. Surat itu langsung aku sambar, begitu Anik menyodorkannya padaku. Langsung menuju pintu, lalu aku berlari meninggalkan kelas itu menuju pintu geebang sekolah.

Terdengar teriakan Anik dan beberapa kawan-kawannya.

"Hai, Win. Pacarnya ketinggalan nih!"

"Pacarnya kok ditinggal, sih?!"

"Hahahaha!"

Aku terus berlari keluar dari pintu gerbang sekolah, aku sempat menoleh ke arah kelas II E, aku melihat Sumirah tampak berjalan tertunduk. Mungkin anak-anak itu menggodanya dengan kata-kata yang menyakitkan hati, seperti terhadap diriku sebelum berlari tadi. Rasanya tidak tega juga mengetahui itu, aku berhenti menunggunya di bawah pohon d pinggir jalan menuju arah desa kami.

Dia tidak menghentikan langkahnya ketika sampai di tempatku menunggu, masih dengan menunduk dia melewatiku tanpa kata.

"Mereka mengolokmu?" tanyaku sembari mengiringi jalannya.

"Ini yang terakhir kalinya aku membantumu, jangan libatkan aku dalam hubunganmu dengan Ita lagi." jawabnya lirih tanpa sedikit pun coba memandang wajahku. Aku terkejut dengan perubahan perangainya, biasanya dia adalah anak tertebal mukanya di seluruh murid di SMPku ini. Tetapj kenapa hanya karena diolok begitu saja, dia langsung berubah jadi semurung itu.

"Baiklah, aku tidak akan melibatkanmu lagi. Tetapi, kumohon jangan kau bawa wajah masammu itu saat berjalan di sampingku. Nanti orang mengira kita pacaran, dan sedang masalah dalam.percintaan kita." aku coba melucu untuk mengembalikan kepercayaan dirinya.

"Kenapa? Kamu malu ya dikatakan beepacaran denganku, ya?" tanya Sumirah tiba-tiba, dan aku pun terkejut mendengarnya.

"Bukan begitu maksudku, Sum. Bersikaplah seperti biasanya, ceria lagi seperti hari-hari yang lalu."

"Pentingkah itu bagimu?"

"Itu sangat penting bagiku, aku tidak mau melihat sahabat baikku tampak bersedih seperri ini."

"Kamu tahu alasannya?"

"Alasanmu tiba-tiba menjadi murung seperti ini? Aku sedah melihat dan mendengar sendiri olok-olokan mereka padamu tadi, aku sangat meminta maaf padamu. Semua ini terjadi, gara-gara aku melibatkanmu dengan urusanku dan Ita."

"Bukan karena itu, Win!" tiba-tiba Sumirah menghentikan langkahnya, saat itu perjalanan kami sudah sampai Bendungan Margomulyo,"Kamu ingin tahu penyebabnya?"

Aku mengeryitkan dahi, menyadari percakapan kami ternyata semakin serius saja. Tiba-tiba hatiku menjadi deg-degan, misteri apakah yang tersimpan dalam kemurungan sahabat baikku itu?

"Baiklah, kita berhenti dulu di tempat ini. Bicaralah, aku akan mendengarkannya." jawabku, seraya mendahulhi duduk di sebuah bangunan tembok yang rubuh di sekitar bendungan itu.

"Baiklah aku akan menceritakannya, setelah itu terserah padamu ingin membenciku atau marah padaku."

"Apa, sih? Jangan membuat hatiku semakin berdebar-debar dong, Sum!" seruku tidak sabar.

Sumirah duduk disampingku, rasanya dia tidak merasa risih walaupun tubuh kami saling menempel. Justru aku yang merasa panas dingin, saat bahu nya menempel lekat di bahuku.

"Surat yang kamu bawa, yang kau anggap surat balasan dari Ita itu bukanlah dari dia yang sebenarnya," katanya sambil menundukkan kepalanya sambil memandangi ujung sepatunya,"Itu adalah balasan dariku!"

"Apa maksudnya, Sum? Aku benar-benar tidak memahaminya." kataku semakin tidak menentu, bingung dengan apa yang sedang dikatakannya. Sementara dengan bimbang dan ragu, kukeluarkan surat berwarna biru itu dari kantong celanaku.

"Itu bukan balasan dari Ita, bahkan dia tidak pernah menerima surat darimu. Aku membawa pulang surat yang kau titipkan padaku untuknya, tetapi aku tidak peenah  memberikannya." aku terkejut dengan jawaban gadis itu, dengan sangat penasaran akhirnya kutanyakan juga alasannya.

"Kenapa kamu lakukan itu, Sum. Aku menjadi bingung dengan pengakuanmu ini, untuk apa kamu melakukan semuanya itu?,"

"Karrna aku cemburu padanya! Karena sudah sejak lama aku menaruh hati padamu, tetapi justru orang lain yang kamu kirimi surat cinta!"

"Apa?! Kamu jatuh cinta padaku, Sum?" tanyaku segera, sambil menatap wajahnya seakan tidak mempercayai ucapannya. Sumirah mengangguk pelan, kemudian matanya yang berkaca menatap mataku dengan rasa yang menyentuh hatiku.

"Kamu mencintai aku, Sum?" tanyakublagi dengan suara yang lebih nyaring.

Sumirah tiba-tiba berdiri, sebelum berlari pergi meninggalkanku dia sempat berkata.

"Ya, aku mencintaimu. Sejak kau dengan sangat pahlawannya, mengambilkan topi pramukaku yang tertiup angin masuk ke sungai waktu itu. Walaupun akhirnya kamu harus kembali pulang, dan tidak masuk sekolah karena bajumu basah. Sejak saat itu, aku sudah jatuh cinta padamu Win!" selesai mengucapkan kata-kata itu dia berlari kencang sambil mengusap air matanya.

"Tapi, Sum. Itu adalah saat kita masih duduk di bangku kelas lima SD!" teriakku padanya yang semakin berlari jauh dariku. Meninggalkanku dalam ketidak percayaan, kebingungan, dan juga kebengongan yang dalam.

Aku membuka surat bersampul biru itu dan membacanya, hanya tertulis sebuah kalimat saja.

Aku juga mencintaimu, Win

Tertanda Ita Pharamita.

Amplop dan secaik kertas itu aku remas dalam kepalan tangan kananku, kemudian dengan sekuat tenaga kulemparkan ke arus air bendungan itu. Aku tersenyum bahagia, ternyata aku berhasil juga menahlukkan hati seorang wanita. Sumirah.

(Bersambung)

2 komentar:

Nychken Gilang mengatakan...

🤔🤔🤔🤔

MS Wijaya mengatakan...

Wihh mantappp lak win udah cinta"an 😂

Tehnik Membuat Paragraf Awal

Menulis cerita pendek membutuhkan teknik khusus. Kenapa? Kembali ke definisi, cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali dud...