"Mengapa engkau lebih memilih gadis culun itu, dibandingkan aku?!" teriak Manda kesal, sambil berkacak pinggang membelakangi pintu masuk ruangan itu. Gadis itu tiba-tiba saja menerobos pintu rumahku, dan langsung mengomel tidak jelas padaku. Bahkan aku belum mempersilakannya duduk.
"Kenapa sih, Nda? Masalah itu tidak sesederhana yang kamu kira, dan kamu pun tidak akan bisa memahaminya." jawabku sambil berdiri dari sofa, mencoba menenangkannya dengan membuat isyarat memintanya untuk duduk. Tapi dia tidak menghiraukannya, melanjutkan omelannya yang sedikit demi sedikit sudah mulai akj fahami.
"Apa karena aku berjlbab, seperti yang kamu katakan pada Amira? Aku bisa melepas jilbab ini!" seru Manda sambil menyentak jilbabnya lepas dari kepalanya, sehingga gelung rambutnya yang besar terlihat olehku. Selama ini aku hanya mendengar dari Amira teman Manda, tentang betapa panjang dan indahnya rambut gadis yang berprofesi sebagai perawat itu. Aku memang seorang Long Hair Lover (penyuka rambut panjang wanita).
Sesaat aku terkesima melihat gelung manda yang besar, rambutnya yang tergulung rapi itu tampak hitam mengkilap. Melihat aku terpesona dengan rambut indahnya, Manda malah melepas gulungan gelungnya. Dia mengurai rambut panjangnya yang sepantat itu dengan lembut, menyisirnya dengan jari. Menggoyang-goyangkan kepalanya, sehingga rambutnya yang indah itu meriap-riap sungguh menakjubkan.
"Manda, jangan begitu! Malu, jika ada yang melihatnya!" seruku padanya.
"Apa? Malu? Aku sudah kehilangan rasa maluku, sejak kamu memutuskan untuk mencitai perempuan 'Anak Pastor' itu!" sergahnya cepat,"Apa aku tidak tampak menggairahkan karena hijabku ini, dibanding dia yang setiap hari mengenakan hotpant dan rok mini? Aku bisa lebih jalang dari dia!"
"Hush, ngaco kamu! Tentu saja bukan karena itu pertimbanganku memilihnya, ada hal lain yang mendasar..."
Belum sempat kuselesaikan kalimatku, ketika tiba-tiba Manda sudah melompat dan duduk di pangkuanku. Tak sempat menghindar juga, ketika bibir merahnya mulai melumat bibirku. Gelagapan aku menghadapi lumatan yang beetubi-tubi itu, gadis ini sudah menjadi gila.
"Manda! Apa yang kamu lakukan?!" ujarku sembari mencoba mendorong tubuhnya, tidak berhasil. Malah dengan beringasnya dia mencumbui sekujur wajahku, hampir membuatku kesulitan bernafas. Hanya aroma wangi dari rambutnya yang membuatku menerima perlakuannya, aku mulai membalas ciuman gadis itu. Mengelus, meremas, kadang kujambak-jambak rambut panjangnya dengan lembut. Sensasinya pun semakin melenakanku, mataku terpejam menikmati fantasi kenikmatan yang tercipta dengan indahnya. Sehingga aku tidak menyadari, Manda sudah melepaskan pakaian atasnya.
Aku membuka mataku dan terkejut, saat tangan Manda yang lembut membimbing tanganku menuju payudaranya yang ranum. Sungguh, aku pernah membayangkan 'melakukan' ini bersama manda sebelumnya. Bahkan, membayangkan 'seandainya' tidur dengannya.
****
Manda Larashati adalah anggota 'Teater Pingsan' yang ku pimpin, sejak SMA dia sudah aktif mengikuti semua kegiatan teater kami. Bahkan, dialah primadona di teater kami. Dia adalah penghafal naskah yang luar biasa, dalam sebuah lakon Violet Is Blue (karya Mark Twain) yang digelar di Kedutaan Jepang. Dia mendapatkan gelar QOT (Queen of Theatres) dari sebuah majalah seni, dan diundang tampil di Kota Hiroshima juga Nagasaki.
Hubunganku dengannya sungguh teramat dekat, dia sering datang ke rumah, sekedar mengajak berbincang, atau membawakanku makanan. Maklum, sebagai seorang duda aku jarang sekali memperhatikan hal pokok ini. Anggota lain mengira kami berpacaran, tetapi aku hanua menganggapnya sebagai teman dan mitra kerja semata.
Hingga suatu saat Maria Magdalena bergabung di teater kami, sebagai anggota terbaru... selalu kuluangkan waktu ekstra untuk menambah pengetahuannya. Sering kami berdiskusi di sanggar hingga larut malam, bahkan satu saat kami menginap disana. Ketika itu hujan turun begitu derasnya, sejak pukul 19.00 hingga jam 22.30 tidak juga mereda. Sialnya lagi, Maria tinggal di Kabupaten tetangga Kabupatenku. Aku melarangnya untuk pulang selarut itu, dalam kondisi hujan pula. Kami pun meneruskan diskusi tentang keteateran di atas karpet sambil tiduran, aku meminjamkan jaketku untuk sekedar menghangatkannya dari dinginnya malam itu. Dan kami terjaga pukul 09.00 keesokan harinya, itu pun terbangun karena Manda yang datang ke sanggar membawa banner menjerit melihat kami tidur berpelukkan.
Sejak saat itu hubungan Manda dan Maria merenggang, bukan lagi merenggang... tapi terlihat Manda sangat membenci Maria Magdalena. Dia semakin gencar mendekati aku, bahkan dia rela menjnggui kami latihan walaupun dia tifakbada sesi. Sementara itu... sebuah curhatan Maria tentang keluarganya yang 'broken home' memberiku kesempatan untuk mengutarakan rasa cintaku padanya. Fia pun menerima cintaku, dan dia ingin aku swgera meminangnya. Aku pun menyanggupinya, rencanakh bulan ini juga aku akan meminta pada orangtuanya.
****
Entah berapa lama aku dan Manda saling pagut-memagut, aku benar-benar terbawa nafsu yang menggelora. Kucumbui sekujur tubuh gadis cantik itu, erangan dan lenguhan manja berkali-kali kudengar dari mulutnya. Desisan dan rintihan silih berganti, mengiringi gejolak asmara yang kian membara. Ketika tiba-tiba kudengar teriakan histeris.
"Maaaas!!! Apa yang sedang kalian lakukan ini?! Tega sekali kamu menghianati aku, Mas!
Dalam keterkejutan yang teramat sangat, aku menoleh ke arah sumber teriakan itu
Dan serasa mau pingsan aku, kulihat maria berdiri gemetaran dalam tangis di dekat pinth ruang tamu itu. Manda oun dengan penuh kepanikan segera membenahi pakaiannya, baru aku menyadari... dia sudah tidak mengenakan sehelai benang pun aku.
Diantara kepanikan, rasa bersalah, rasa berdosa, dan rasa malu yang tiada terhingga, aku tak dapat berkata sepatah kata pun. Melihat Maria berlari ke luar rumah pun aku tak bisa mencegahnya, lidahku terasa kelu dan tak sanggup mengeluarkan suara sepatah pun.
Sementara itu, Manda sudah selesai mengenakan baju dan jilbabnya, tertunduk malu dalam tangis dia berkata.
" Maafkan, Mas. Aku khilaf." berkata begitu dia sambil meraih tangan kananku, dia mencium tanganku dengan lembut,"Aku pulang,Ya" aku bahkan tak memandangnya lagi ketika dia berpamitan. Samar-samar kudengar suara mobilnya mulai menjauhi rumahku, aku menghempaskan diri di sofa.
Menutup wajahku dengan kedua belah telapak tanganku, bayangan wajah Maria yang sangat kecewa terbayang di pelupuk mataku. Betapa bangsatnya aku, terlalu mudah dikuasai nafsu berahi. Ya Tuhan! Aku sudah menyakiti hati kekasihku, wanita yang telah mempercayakan hatinya padaku. Tetapi ternyata aku tidak amanah, aku menghianati kepercayaannya. Aku telah menghancurkan masa depan indahku bersamanya, menghancurkan mimpi kami tentang hari esok.
Kuambil gawaiku yang tergeletak di karpet ruang tamu, segera aku menghubungi Maria. Semoga dia mau memaafkan kebodohanku ini, aku akan mengaku salah kepadanya. Tetapi berkali-kali coba kuhubungi nomernya, selalu suara operator yang menjawabnya. Aku mengambil kesimpulan dia mematikan gawainya, dan aku berniat untuk menyusul ke rumahnya. Aku takut dia berbuat nekat, terbawa emosi dan kesedihannya yang teramat.
****
Sebuah sepeda motor berhenti di depan rumahku, utu adalah Dito anggota teaterku juga yang berjualan koran dan majalah di dekat perempatan. Dia nampak tergesa-gesa menaiki tangga rumahku, bahkan dia madih mengenakan helm ketika berlari ke ruang tamu.
"Kang Daksa! Kang Daksaaa!" dia berteiak-teriak memanggil namaku.
"Aku disini! Tidak usah berteriak begitu, Dit!" kataku tidak beranjak dari sofa ruang tamuku,"Ada apa, sih?"
Dito tampak gemetaran, antara kecemasan dan ketakutan dia alami saat itu. Bahkan di depanku, membuka helmnya saja dia tidak bisa.
"Maria, Kang... Maria..." katanya dengan suara bergetar dan terbata-bata. Terlihat sekali dia sangat grogi, waktu menyebutkan nama kekasihku itu.
"Kenapa Maria, Dit? Ada apa dengannya?!" akhirnya aku menjadi tak sabaran juga, menunggu berita yang akan disampaikannya padaku. Sementara itu hatiku mengira-ira, mungkin telah terjadi sesuatu pada Maria.
"Maria kecelakaan di perempatan sana, Kang... dia tertabrak sebuah truk kontener..."
"Apa? Kamu yakin itu Maria?!" tanyaku penasaran, sambil mengguncang-guncang kedua bahu Dito.
"Iya, Kang. Aku sudah melihatnya, nyawanya tidak tertolong..."
Dito masih bercerita, tetapi aku sudah tidak lagi dapat mendengarnya. Pandangan mataku berkunang-kunang, kepalaku terasa sangat berat. Dengan sisa tenaga yang kumiliki ku coba membayangkan wajah kekasih hatiku itu lagi, dia tampak tersenyum sambil melambaikan tangan kanannya padaku. Satu teriakan dari mulutku memanggil namanya, sebelum aku terjatuh pingsan.
"Mariiiaaaaa!!!"
(Tamat)
2 komentar:
Waw.. 😂
gak di krisar yaaa...
Posting Komentar