Sesampai di dalam rumah, barulah aku menyadari tidak memiliki apapun yang bisa disuguhkan padanya. Sempat bingung juga sih, tapi akhirnya sebuah ide muncul begitu saja di kepalaku.
Bergegas aku menuju wastafel di depan kamar mandi, mencuci muka dengan foam, lalu mengganti baju di dalam kamar.
Shinta memakai sport sirt warna kuning pastel, dipadu dengan syal hijau dan streech denim menambah keanggunannya. Maka aku kenakan tennis sirt warna kuning, dengan denim kesukaanku. Tentu saja bermandi minyak wangi adalah keharusan bagiku saat itu, untuk menutupi bau badanku yang belum mandi semenjak pagi.
Melihatku keluar dari dalam rumah tanpa membawa sesuatu apapun Yashinta terkejut, dan matanya semakinn membelalak menyaksikan penampilanku.
"Mana air minumnya? Malah ganti pakaian, dan ini deodorant sudah kaya dibuat mandi saja. Mas, mau kemana?"
"Kita makan diluar saja ya, Shin?. Aku lupa kalau tidak memiliki apapun, untuk kusuguhkan pada sang tuan puteri." kataku sambil mengunci pintu rumah, dan menunggunya berdiri dari tempat duduknya,"Kamu tidak sedang terburu-buru kan?"
"Iya, gakpapa. Aku masih ada banyak waktu, sampai jam 3 sore nanti. Kita mau kemana, Mas?"
"Kamu pingin tempat terdekat, atau yang jauh untuk makan bersama ini?"
"Apaan, sih? Aku kan diajak, bukan mengajak. Terserah Mas Narto saja, lah." kata Shinta sok ketus, sambil berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menghampiriku.
"Kita makan di Sidoarjo yuk, ke sebuah restoran ala Jawa di Pondok Pinang Regency."
"Kita ini kan di Surabaya, Mas. Untuk makan saja harus pergi ke Sidoarjo, gak sekalian kita makan di Nganjuk... tanah kelahiran kita?" Yashinta mengakhiri perkataannya dengan tawa kecil yang terdengar renyah dan gurih di telingaku.
"Kamu serius mau makan di Nganjuk?"
"Kalau ke Nganjuk sih emang tujuan awalku sebelum ketemu kamu disini, jika memang tidak keberatan ayo kita pulang sekalian!" serunya ceria, seceria wajahnya yang berhias senyuman surga itu.
"Baiklah, kita ke Nganjuk saja. Walaupun, aku sudah tidak punya rumah lagi disana."
"Tenang saja Mas, tidur saja di rumahku!" jawaban Yashinta yang mengalir begitu saja dari bibirnya sesungguhnya membuatku berdebar-debar, untunglah dia tidak menemukan rasa terkejut itu di wajahku.
"Ah, apa kata nanti saja. Sekarang, kamu tunggu di pinggir jalan itu, di dekat pohon asem itu, aku mau mengambil mobilku dulu" kataku padanya, sambil menunjukkan tempat yang kumaksud.
"Mobilnya diparkir dimana, sepanjang jalan ini tidak terlihat ada mobil parkir?" tanyanya, yang kujawab dengan menunjuk rambu-rambu bergambar hurup P yang dicoret dengan tulisan dibawahnya 'Sepanjang Jalan Ini'.
Dia menutup mulutnya dengan malu, sementara aku berlari menyeberangi jalan menuju parking tower. Rumah yang kukontrak memang tidak tersedia garasi untuk mobil, jadi aku selalu memarkirkannya di tempat ini.
****
Dari Surabaya menuju Nganjuk sekarang hanya butuh waktu tempuh ±1jam saja, dari pintu masuk tol Dupak Surabaya menuju pintu keluar Kertosono Kabupaten Nganjuk.
Sepanjang perjalanan, kucuri-curi pandang ke arah Yashinta duduk. Wajah cantiknya tampak semakin sumringah saja, ketika tahu keseriusanku untuk pergi ke Nganjuk. Kami hampir saja lupa dengan tujuan makan siang itu, untunglah ada rest area di Megaluh Jombang yang ada restopoint-nya.
Avansa itupun kubelokkan menuju kesana, tentu saja Yashinta sudah mengerti apa maksudku. Dia segera merapikan penampilannya, menggerai rambut panjangnya yang indah itu. Setelah selesai disisirnya, maka digelungkannya kembali.
Dan barulah kusadari satu hal tentang Yashinta yang luput dari perhatianku sejak tadi, aku melihat di jari manisnya sudah melingkar sebuah cincin emas. Tetapi aku tidak segera menanyakannya, walaupun aku berfikir mungkin dia sudah bertunangan dengan seseorang.
Saat makan adalah saat yang tepat untuk berkomunikasi dengannya, tetapi dia malah sibuk mengajakku foto selfie di berbagai kesempatan. Dan akhirnya, nott importand chat here.
Selesai mengisi perut dengan puas, perjalanan pun kami lanjutkan kembali. Sebentar kemudian sudah terlihat saja papan pemberitahuan arah jalan keluar tol, dari Kertosono kami lanjutkan perjalanan ke arah barat melewati jalan provinsi menuju Kota Nganjuk.
"Oh, iya Mas. Kamu belum menjawab pertanyaanku , kenapa kamu masih menyimpan sobekan buku puisiku itu sampai sekarang?"
Pertanyaan itu akhirnya terdengar kembali, dan sekarang tidak ada alasan lagi untukku tidak menjawabnya. Aku menoleh ke arahnya yang sedang serius memandangi wajahku.
"Bukannya Rio sudah menceritakannya semua kepadamu, Shin?"
"Iya sih, tapi tidak tentang perasaanmu padaku Mas. Dan alasanmu menyimpan sobekan kertas itu, aku belum mendengarnya langsung darimu."
Aku mencoba tersenyum, harus bagaimana lagi. Aku kudu menjawabnya dengan jujur.
"Sebenarnya aku sangat menyukaimu sejak kita SMP, Shin. Saat itu aku kelas 3 dan kamu kelas 1 waktu itu."
"Kenapa tidak bilang padaku, waktu itu?"
"Aku lebih menikmati rasa suka itu dalam diam, tersembunyi dalam misteri yang tersimpan rapi di dalam hati. Hingga saat ini aku masih sangat menyayangimu, karena itu masih ku simpan sobekan kecil puisimu itu."
"Dan kamu tidak pernah mempertanyakan buku diarymu yang hilang, itu?"
"Kok kamu tahu buku diaryku hilang, apakah Rio menceritakannya padamu saat itu?"
Aku terkejut dengan satu kenyataan lain, ternyata dia juga menyimpan satu cerita tentangku di masa SMP. Tentang buku diaryku yang hilang.
"Diarymu ada padaku, sampai sekarang masih aku simpan. Aku suka membaca tulisanmu di tengah malam, ceritamu tentang pertemuan pertama denganku, memuji kecantikanku, keanggunanku, keluwesan dan kepintaranku." kata Yashinta.
"Aku sering menangis saat membaca pengakuanmu, saat kamu merobek buku puisiku. Dan kamu ceritakan telah membingkainya dengan pigura warna biru, melambangkan cintamu yang biru" tiba-tiba suaranya terhenti, aku terkejut melihatnya menitikkan air matanya.
"Andai kamu tahu, Mas. Aku sudah jatuh cinta padamu sejak membaca catatan diarymu itu, tetapi kamu sudah pergi entah kemana. Semua kawanmu tidak ada yang tahu kemana kamu melanjutkan sekolahmu, bahkan Rio sahabat terbaikmu pun tidak mengetahuinya." Yashinta mengakhiri perkataannya dengan isakan.
Saat itu mobil sudah memasuki desa kelahiran Yashinta, yang letaknya hanya berselang tiga desa dari desaku.
"Kita maafkan masa lalu kita, oke? Tak ada yang perlu disesali, aku tahu sekarang kamu sudah tidak sendiri lagi. Tapi aku turut bahagia, untuk kebahagiaanmu Shin." kataku, teringat cincin yang melingkar di jari manisnya itu.
"Mas Narto ngomongin siapa, sih? Emang siapa yang sudah tidak sendiri, Mas?" Yashinta nampak terkejut dengan kalimatku.
Aku segera menuding cincin di jari manisnya itu, dan dia segera menutupi mulutnya dengan kedua tangannya.
"Cincin, ini? Dan itu sudah membuatmu mengira, aku sudah menjadi milik seseorang? Please, deh. Ini adalah cincin adikku yang meninggal di hari pertunangannya, Ibuku bermimpi adikku menyuruh pakaikan cincin ini padaku. Semoga enteng jodoh, katanya."
"Jadi, kamu masih sendiri di usiamu ini?"
"Kenapa dengan usiaku? Tua maksudmu? Dan kamu sudah tidak jatuh cinta padaku lagi, begitu?" tiba-tiba Yashinta merubah sikap lembutnya,"Turunkan saja aku di depan rumah itu, Mas."
"Aku minta maaf, Shin. Aku mohon kamu jangan marah, ya..."
"Turunkan aku di depan rumah itu, Mas!"
"Tapi Shin, sampai saat ini aku masih sangat menyayangimu, aku masih sangat jatuh cinta padamu. Jika kamu masih sendiri, aku ingin melamarmu menjadi istriku... "
"Benarkah kata-katamu itu, Mas? Hop, kita turun disini ya... "
"Tapi Shin, aku bersungguh-sungguh dengan kata-kataku tadi... "
"Mas Narto yang tidak terlalu ganteng, apapu perkataanmu kita tetep harus turun disini, Mas. Ini rumahku, jika ingin melamarku maka masuklah ke dalam rumahku, temui kedua orangtuaku. Pintalah aku kepada mereka, oke?"
Dan menjadi talkless adalah sesuatu yang tidak aku harapkan dalam situasi seperti ini, kukeluarkan sobekan kertas kecil itu dari dalam saku. Kukecup mesra dengan sepenuh hatiku, disinilah dia menuntun hingha akhir pencarian cintaku yang lah lama hilang. Seperti tertulis di sobekan puisi itu:
"Cinta adalah tentang rasa yang lahir dari relung jiwa
Dimana kadang tidak mampu kita memahaminya
Dan setiap cinta akan menemukan hati yang setia."
Aku percaya dengan cinta, sebagaimana aku mempercayai kesetiaan. Mungkin prinsip ini jugalah yang membuat Yashinta betah menungguku, jatuh dalam pelukkannya. Tiba-tiba, aku sudah membayangkan 'Malam Pertama' pernikahan kami yang indah. Asyik Pakdhe!
(Tamat)
4 komentar:
Wahh hapoy ending 💚
padahal seharusnya ada bagian 3 dimana narto bertemu dengan anak shinta yg juga bernama narto...
Endingnya memang terlalu cepat. Saya yakin mas Win bisa bikin cerita yang lebih 'menggigit' ^^
bukan menggigit... tapi pasti akan merembet kemana-mana deh... thanks
Posting Komentar