Baru saja aku masuk kedalam WC, ketika terdengar suara jejak langkah menginjak daun kering disamping rumah. Suara itu sepertinya berhenti, tepat dibawah lubang ventilasi kamar kecil. Aku melongok keluar kearah bawah ventilasi, terlihat kepala bagian atas dari dua orang bocah yang sedang merapat didinding tempat itu. Walaupun mereka berbisik-bisik, tetapi dari tempat nongkrongku suara mereka terdengar sangat jelas.
"Nah, kamu lihat pepaya itu? Sudah menguning karena ranum, kan?" bisik bocah yang agak parau suaranya.
"Iya, bahkan aku melihat tiga buah yang sama di pohon lainnya!" seru suara bocah yang lainnya.
"Aku juga melihat beberapa jambu biji yang ranum, ayo kita petik sekarang!" bisik suara berbeda lainnya.
Ternyata ada tiga bocah diluar sana, yang merencanakan pencurian besar-besaran di kebun belakang rumah pikirku.
"Jangan dipetik sekarang, nanti yang punya tahu dan marah-marah. Kita ambil semuanya saja nanti, sepulang tarawih. Bagaimana, teman-teman?" bisik bocah yang bersuara paling besar, kemungkinan dialah ketuanya.
Lalu terdengar suara daun kering yang terinjak lagi, sekarang arah suaranya meninggalkan tempat itu. Dengan hati-hati aku mengintip dari lubang angin, dan segera dapat mengenali ketiga bocah itu. Yang terbesar itu bernama Walimin, dua lainnya Dwi dan Andri. Mereka tinggal di gang yang lain dari rumahku ini, meskipun masih sedesa juga.
"Jadi, selama ini yang mendahului memetik buah-buahan di belakang rumah itu mereka?" tanya hatiku, selesai menuntaskan hajat.
Aku segera berfikir untuk membuat mereka menjadi jera, dengan perbuatan buruk mereka mencuri buah-buahan. Sempat berfikir untuk menangkap basah mereka, dan membawanya ke orangtua mereka masing-masing. Tetapi jika nanti mereka sampai dihajar oleh orangtuanya, aku sungguh akan merasa sangat berdosa juga. Bagaimana menjadikan mereka jera, untuk tidak mengulangi perbuatan buruk mereka itu?
Akhirnya terfikir sebuah ide, untuk menakut-nakuti mereka saja. Agar tidak lagi berani menjarah buah-buahan, di kebun-kebun siapapun.
Aku masuk kedalam kamar, mengambil mukena bekas yang sudah berlubang peninggalan mantan istriku. Kemudian kumasukkan kedalamnya sebuah guling besar, dan mengikatnya dari luar seperti pocong. Kemudian aku pasangkan sebuah tambang plastik ke sebuah dahan, sementara guling yang kubentuk seperti pocong itu kusandarkan sebuah dinding bertutupkan plastik hitam. Ujung tali satunya kukaitkan disisi jendela kamarku, sangat mudah mempermainkannya dari sana.
Selepas sholat Tarawih, aku mulai memainkan strategi pengintaianku. Lampu kamar kumatikan, sambil mengawasi arah pagar tembok tempat mereka masuk kebunku tadi siang.
Tidak beberapa lama, ketiga bocah tanggung itu terlihat masuk dari luar tembok. Hanya seorang yang membawa lampu senter, dan seperti pencuri profesional mereka memainkan sinar senternya. Cahaya senter itu cuma kadang kala saja mereka nyalakan, sehingga tidak menarik perhatian siapa yang melihatnya. Berhasil, ketiga bocah itu sudah masuk ke kebun belakang rumahku.
Dari bisik-bisik yang kudengar, mereka sudah memulai aksinya. Seorang bertugas naik ke pohon, seorang menunggu hasil curian. Sementara seorang lagi, menunjukkan buah mana saja yang harus dipetik dengan sorot lampu senternya.
Dengan membaca situasi yang akurat, aku sudah tahu pasti posisi ketiga anak nakal itu. Seorang sudah naik dan menuju buah sasaran yang dituntun dengan cahaya senter, seorang lagi berdiri dibawahnya dengan posisi siap menerima angsuran hasil curian, dan seorang lagi duduk agak jauh dari pohon menuntun dengan senternya.
Maka dengan perlahan kutarik tali tambang dari dalam kamarku, menyibak plastik hitam yang menutupinya. Kemudian langsung melayang, jatuh dengan berayun-ayun disamping mereka. Secara otomatis cahaya senter diarahkannya ke benda putih, yang tergantung mendekatinya itu. Seperti tebakanku, ketiga bocah itu menjerit melengking dengan penuh ketakutan. Seorang yang naik pohon segera jatuh, dan menimpa teman dibawahnya. Mereka berhamburan terpontang-panting tidak beraturan, bergegas menaiki pagar dengan arah yang berbeda-beda.
"Pocoooong!" teriak mereka, sambil terpontang-panting berlari menjauhi kebunku. Aku terpingkal-pingkal membayangkan kehebohan mereka, yang berlari meninggalkan kebun belakang rumahku dengan arah yang berbeda-beda.
Sambil masih menahan tawa, aku segera keluar untuk membereskan jebakanku yang luar biasa itu. Semenjak peristiwa itu, semua buah-buahanku tidak pernah hilang lagi seperti sebelumnya.
Nah, jika ingin kebun anda terhindar dari perbuatan jahat bocah-bocah nakal. Silakan ikuti trik dan caraku ini, dijamin semua aman dari pencurian. Tetapi tetap saja tidak aman jika buah ranum tidak segera diamankan, karena Kampret dan Keluwang siap mendahului menikmatinya dari kita.
-Sekian-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar