Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) merupakan gerakan perjuangan menentang kebijakan pemerintah pusat yang dijalankan oleh Soekarno dan kroni-kroninya.
Dalam lintasan sejarah Indonesia, kehadiran PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) tak bisa dipisahkan dari keberadaan PDRI (Pemerintah Darurat Revolusioner Indonesia). Kedua peristiwa ini bagai mata rantai yang saling melengkapi.
PDRI dibentuk pada 19 Desember 1948 di Bukit Tinggi, Sumatera Barat oleh Syafruddin Prawiranegara. Ihwal terbentuknya PDRI bermula ketika Belanda melancarkan agresi kedua dengan menduduki ibukota negara, yang saat itu berada di Yogyakarta. Ketika itu Belanda juga berhasil menawan Presiden Soekarno, dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Beberapa jam sebelum ditawan, Soekarno menyurati Syafruddin selaku Menteri Kemakmuran RI, yang saat itu sedang menjalankan tugas di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Surat itu berisi mandat kepada Syafruddin agar segera membentuk PDRI.
Tanpa ada hambatan, sehari setelah itu, negara darurat pun terbentuk. Namun Syafruddin dan kawan-kawan terus diburu Belanda, yang tidak senang dengan berdirinya pemerintahan baru itu.
Roda pemerintahan terpaksa digerakkan dengan cara bergerilya, di hutan-hutan Sumatera Barat. Upaya Syafruddin menyelamatkan bangsa dari ketiadaan pemerintahan, boleh dikatakan berhasil. Melalui pemancar radio di Koto Tinggi, PDRI telah membukakan mata internasional, untuk tetap mengakui kedaulatan Republik Indonesia.
Setelah agresi militer Belanda berhenti, Soekarno dan Hatta pun dibebaskan. Setelah Dewan PBB mengakui kedaulatan Indonesia. Muhammad Natsir lalu datang ke Payakumbuh, membawa Syafruddin kembali ke Yogyakarta; untuk mengembalikan mandat pemerintahannya kepada Soekarno.
Setelah 10 tahun PDRI berlalu, pada tanggal 15 Februari 1958 Letnan Kolonel Achmad Husein mendeklarasikan berdirinya PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang berpusat di Padang, Sumatera Barat. Gerakan ini mendapat sambutan hangat dari para pejuang di wilayah Sulawesi, di mana pada tanggal 17 Februari 1958 mereka menyatakan mendukung PRRI.
Ikhwal pertentangan ini terjadi; dipengaruhi oleh tuntutan pemberlakuan otonomi daerah yang lebih luas, bukan tuntutan pembentukan negara baru, maupun pemberontakan. Tetapi lebih merupakan protes, mengenai bagaimana konstitusi dijalankan.
Bibit-bibit konflik tersebut mulai terjadi setelah dikeluarkannya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom; yaitu Provinsi Sumatera Tengah, yang mencakup wilayah provinsi Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang. Namun, protes tersebut yang harus ditumpas dengan kekuatan senjata.
Pengerahan kekuatan militer dalam penumpasan pemberontakan PRRI, adalah show of force terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia.
Semua tokoh PRRI adalah para pejuang kemerdekaan Indonesia, pendiri dan pembela NKRI. Pada waku Rapat Penguasa Militer Pusat pada tanggal 27 April 1957 di Istana Negara Jakarta, dalam pidatonya Achmad Husein mengatakan:
"Saya menjelaskan latar belakang terbentuknya dewan-dewan tersebut (Dewan Banteng di Sumatera Barat, Dewan Gajah di Medan, Dewan Garuda di Sumatera Selatan, dan Dewan Manguni di Manado). Sebagai seorang petugas negara dan sebagai TNI sejati yang ingin bertanggung-jawab bersama masyarakat, dalam rangka usaha untuk menyelamatkan nusa dan bangsa. Saya tidak dapat mengesampingkan fakta-fakta, yang tumbuh dan hidup di sekeliling saya. Bersumber pada pengalaman pahit, selama sebelas tahun dalam melaksanakan apa yang dinamakan demokrasi. Penyalahgunaan demokrasi yang meningkat kepada politieke verwording, dan verwording van het partijwezen, yang memang diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang oleh sistem-sistem sentralisme.
Tidak dapat disangkal; bahwa sistem sentralisasi mengakibatkan birokrasi yang tidak sehat, stagnasi dalam segala lapangan pembangunan daerah, sehingga mengakibatkan seakan-akan seluruh rakyat menjadi apatis dan kehilangan inisiatif. Apalagi adanya unsur-unsur, dan golongan-golongan yang tidak bertanggung-jawab, yang hendak memaksakan kemauan mereka yang tidak sesuai dengan alam pikiran Rakyat Indonesia, yang demokratis, dan bersendikan ketuhanan.
Keadaan yang seperti itulah pada umumnya menjadi latar belakang, dan sebab musabab dari tumbuhnya gerakan daerah di Sumatera Tengah, serta daerah-daerah lain. Jelaslah bahwa perjuangan atau gerakan-gerakan tersebut bersumber dari tujuan yang suci ke arah pembinaan suatu masyarakat yang adil, makmur dan berwatak, seperti berbahagia di bawah pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat; di mana terkandung unsur-unsur persamaan, bukan saja dalam lapangan politik dan hukum, tetapi juga persamaan dalam lapangan ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
Pada tempatnya kiranya pemimpin negara berterima kasih kepada gerakan-gerakan rakyat di daerah-daerah, yang ingin mencegah pembelotan cita-cita Proklamasi 1945, yang disebabkan oleh usaha tidak jujur dari pemimpin-pemimpin yang berkuasa di masa lalu.
Tetapi alangkah kecewanya saya mendengar reaksi-reaksi dari beberapa pemimpin dan golongan di ibu kota ini, seakan-akan gerakan-gerakan yang timbul di daerah itu adalah suatu kesalahan besar. Saya menolak keras dan tegas segala provokasi dan propaganda palsu yang dilancarkan oleh siapa pun yang mencap perjuangan suci rakyat di daerah-daerah sebagai gerakan separatisme, agen imperialisme, dan nama-nama lain.
Apabila kita boleh berkata tentang penghianatan, maka sejarahlah yang telah dan akan menentukannya. Tetapi yang pasti pada masa silam, daerahlah yang telah menyelamatkan kelanjutan hidup pemerintahan Negara Republik Indonesia. yang ada sekarang ini, dengan diselamatkannya Pemerintah Darurat Republik Indonesia pada masa revolusi tengah bergejolak.
Saya sendiri sebagai Ketua Daerah berusaha menemui berbagai tokoh-tokoh terkemuka, seperti Bung Hatta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Bung Sjahrir, Halim dari PSI, Moehammad Natsir dari Masyumi, dan K.H. Dahlan dari NU. Malah Bung Hatta dua kali mengunjungi Sumatera Tengah untuk meninjau dan melihat sendiri pembangunan-pembangunan yang tengah dilaksanakan. Ia menganjurkan agar pembangunan dilanjutkan terus.
Diakui atau tidak, hingga akhir tahun 1957, kondisi Indonesia sudah mengkhawatirkan. Infiltrasi komunis di pemerintahan dan masyarakat sudah sampai ke titik tertinggi, dan kekuatan komunis di Jawa sudah membahayakan. Apalagi tingkah laku Bung Karno makin menyuburkan PKI."
1. Awal Gerakan
Sejumlah perwira aktif dan perwira pensiunan mantan anggota Divisi IX Banteng di Sumatera Tengah menggagas pembentukan Dewan Banteng di Jakarta pada 21 September 1956. Gagasan itu didorong oleh kenyataan bahwa setelah kemerdekaan nasib para prajurit dan masyarakat yang menetap di luar pulau Jawa jauh dari kesejahteraan, padahal mereka adalah para pejuang yang bertaruh nyawa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1945-1950. Kondisi yang ada di Sumatera mereka pandang jauh berbeda dibanding pembangunan di pulau Jawa, padahal sumber devisa terbanyak saat itu berasal dari pulau Sumatera.
Hal lain yang menimbulkan ketidakpuasan mereka adalah munculnya ide NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) yang digagas oleh Soekarno tahun 1956. Dan perlakuan pemerintah pusat terhadap Komando Divisi IX Banteng.
Divisi IX Banteng adalah suatu divisi dalam Angkatan Perang Republik Indonesia, yang dibentuk pada masa Perang Kemerdekaan tahun 1945-1950 melawan kolonialis Belanda, dan membawahi teritorial Sumatera Tengah yang terdiri dari Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau serta Jambi sekarang ini. Divisi IX Banteng mempunyai pasukan yang cukup banyak karena adanya Sekolah Pendidikan Opsir di Bukit Tinggi, bahkan salah satu pasukannya yaitu Resimen 6 dianggap sebagai pasukan terbaik di Sumatera.
Penciutan Divisi Banteng dilakukan dengan mengirim pasukan-pasukannya ke berbagai daerah diantaranya ke Jawa Barat, Aceh, Ambon dan lain-lain. Salah satu pasukan Divisi Banteng yaitu Batalyon Pagaruyung mengalami nasib yang lebih menyedihkan dibanding batalyon lainnya. Seusai bertugas di Ambon, lima dari delapan kompinya dipindahkan dan dilebur ke dalam Divisi Siliwangi, Jawa Barat sehingga menyebabkan terputusnya hubungan dengan divisi induknya yaitu Divisi Banteng di Sumatera Tengah. Penciutan itu berlanjut terus sehingga akhirnya menyisakan satu brigade. Brigade yang kecil itu masih menyandang nama Brigade Banteng yang dipimpin Letnan Kolonel Achmad Husein. Selanjutnya brigade itupun diciutkan lagi sehingga hanya berbentuk resimen yaitu Resimen Infanteri 4 yang kemudian dilebur ke dalam Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan (TT I BB) yang berkedudukan di Medan. Achmad Husein-pun hanya menjadi Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB.
Perlakuan pemerintah pusat yang memecahbelah batalyon-batalyon, dan pembubaran Divisi IX Banteng menimbulkan rasa sakit hati para perwira-perwira, dan anggota pasukan lainnya dari Divisi Banteng yang telah berjuang mati-matian dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pertemuan para perwira yang pertama di Jakarta pada 21 September 1956, kemudian dilanjutkan dengan pertemuan kedua di Padang pada tanggal 20-24 November 1956. Pertemuan tersebut dihadiri tidak kurang dari 612 perwira aktif dan pensiunan yang berasal dari Divisi Banteng yang telah dibubarkan itu. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang situasi sosial, politik dan ekonomi rakyat Sumatera Tengah yang dianggap memprihatinkan. Pertemuan itu akhirnya menghasilkan beberapa keputusan dalam bentuk tuntutan.
Pada tanggal 20 Desember 1956 dibentuklah suatu dewan untuk mewujudkan hasil-hasil pertemuan yang kedua itu. Dewan itu dinamakan "Dewan Banteng", yang tetap mengambil nama dari Divisi Banteng yang telah dibubarkan. Dewan Banteng tidak hanya didukung oleh para perwira militer mantan anggota Divisi Banteng, tetapi juga oleh semua partai politik yang ada di Sumatera Tengah kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan Dewan itu juga didukung oleh semua elemen masyarakat Sumatera Tengah, seperti ulama, kaum intelektual, pemuda, kaum adat, sehingga melahirkan semboyan ketika itu yang berbunyi: "Timbul Tenggelam Bersama Dewan Banteng".
Namun dalam pendiriannya Dewan Banteng tetap mengakui Pemerintahan Republik Indonesia dibawah Presiden Soekarno, dan Perdana Menteri Djuanda, serta Jenderal A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Adapun tuntutan Dewan Banteng adalah:
a. Pemberian dan pengisian otonomi luas bagi daerah-daerah dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta pemberian perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang wajar, layak dan adil.
b. Dihapuskannya sistem sentralisme yang dalam kenyataannya mengakibatkan birokrasi yang tidak sehat dan juga menjadi pokok pangkal dari korupsi, stagnasi pembangunan daerah, hilangnya inisiatif dan kegiatan daerah serta kontrol.
c. Pembentukan kembali Komando Pertahanan Daerah dalam arti teritorial, operatif dan administratif yang sesuai dengan pembagian administratif dari Negara Republik Indonesia dewasa ini dan merupakan komando utama dalam Angkatan Darat.
d. Ditetapkannya eks. Divisi IX Banteng Sumatera Tengah sebagai kesatuan militer yang menjadi satu korps dalam Angkatan Darat.
Pada tanggal 20 Desember 1956, Letkol Achmad Husein merebut kekuasaan Pemerintah Daerah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo, dengan dalih gubernur yang ditunjuk Pemerintah tidak berhasil menjalankan pembangunan daerah dengan baik.
Pada tanggal 22 Desember 1956, dua hari sesudah terbentuknya Dewan Banteng, Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan juga mengumumkan pembentukan Dewan Gajah di Medan, dan menyatakan melepaskan diri dari pemerintahan PM Djuanda, serta mengaku wilayah teritorialnya dalam keadaan Darurat Perang (SOB).
Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I (TT-I) Bukit Barisan yang menjabat Menteri Luar Negeri PRRI melihat bahaya komunis mengintai Sumatera Utara. Perkebunan-perkebunan raksasa yang saat itu berada di bawah pengawasannya rawan untuk disusupi komunis. Sebab, para buruh merupakan ”ladang emas” bagi mereka untuk digarap. Para buruh yang sudah terasuki paham komunis ini mendirikan organisasi bernama SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Organisasi ini bertugas melumpuhkan usaha perkebunan, transportasi, dan pelabuhan di Belawan, Sumatera Utara, sehingga pemasukan negara terhambat dan pemerintah mengalami kesulitan ekonomi. Rencana berikutnya, mereka akan menuntut kekuasaan.
Maludin Simbolon membentuk Divisi Pusuk Buhit dibantu oleh Mayor Boyke Nainggolan yang diangkat sebagai penasehat. Boyke merupakan putera dr. F.J. Nainggolan, mantan Menteri Kesehatan Negara Sumatera Timur. Sikap Kolonel Maludin Simbolon ini mendapat reaksi keras dari pemerintah pusat dengan memerintahkan KSAD Jenderal A.H. Nasution untuk memecatnya dan menggantinya dengan Letnan Kolonel Djamin Ginting.
Pada Maret 1958 Mayor Sinta Pohan menghalangi pengembangan pelabuhan Samudra, dan lapangan terbang Pinang Sori di Sibolga, Tapanuli Tengah. Ia mendapat dukungan dari Mayor Sahala Hutabarat selaku Komandan Resimen IV. Letkol Jamin Gintings lalu menskorsing mereka, tapi mereka justru keluar dari TNI dan bergabung dengan PRRI. Di samping itu Mayor Boyke Nainggolan, Wakil Kepala Staf Komando Daerah Militer (Kodam) TT I/BB malah mengultimatum Panglima TT I/BB Jamin Gintings agar turut membelot. Akibat imbauannya tidak dihiraukan, pada 16 Maret 1958 sekira pukul 03.00 pagi Mayor Boyke Nainggolan bersama pasukannya menyerang lapangan terbang Polonia, dibantu oleh Mayor Sinta Pohan dengan dukungan 12 truk pasukan. Mereka menahan pejabat militer yang tak mau bergabung.
Pada pertengahan bulan Januari tahun 1957 di Sumatera Selatan Letnan Kolonel Barlian juga membentuk Dewan Garuda, demikian juga pada 17 Februari 1957 Letkol Herman Nicholas Ventje Sumual mendirikan Dewan Manguni di Manado. Di Padang, Achmad Husein juga menuntut pembubaran Kabinet Juanda, dan mengusulkan Bung Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk kabinet nasional. Untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi, pemerintah pusat mengadakan musyawarah nasional pada September tahun 1957. Kemudian Musyawarah Nasional Pembangunan pada November 1957, yang bertujuan mempersiapkan pembangunan di daerah secara integral.
Di tengah kemelut yang demikian, pada 21 Februari 1957, Soekarno menyampaikan pidato tentang konsep Demokrasi Terpimpin yang disiarkan langsung oleh RRI ke seluruh Indonesia. Bukan meredakan keadaan, pidato ini justru menambah ketegangan politik negara. Pro dan kontra di tengah masyarakat tak terhindarkan. Masyumi dan Partai Katholik secara jelas menolak konsep ini. NU, PSII, Parkindo, IPKI, dan PSI menolaknya samar-samar. Sedangkan PNI dan PKI menjadi partai yang paling gigih mendukung konsep ini. Paling disayangkan dari keadaan-keadaan di atas adalah sikap Soekarno yang telah bulat dan yakin bahwa satu-satunya solusi atas seluruh persoalan bangsa adalah Demokrasi Terpimpin.
2. Berdirinya PRRI
Akibat tuntutan dari Dewan Banteng tidak mampu dipenuhi oleh pemerintah pusat. Hal ini mengakibatkan Dewan Banteng tidak lagi mengirimkan penghasilan daerah Sumatera Tengah ke Pemerintah Pusat, tetapi dipakai untuk pembangunan daerah. Bahkan Dewan Banteng juga melakukan barter hasil-hasil alam Sumatera Tengah dengan pihak luar negeri. Seluruh dana yang didapat dari hasil bumi itu digunakan untuk pembangunan daerah.
Hanya dalam beberapa bulan saja terlihat hasil yang nyata berbeda dengan keadaan sebelumnya, bahkan pembangunan di Sumatera Tengah di bawah Dewan Banteng dianggap sebagai yang terbaik di Indonesia pada waktu itu.
Apa yang dilakukan Dewan Banteng tersebut membuat hubungan daerah Sumatera Tengah dengan pemerintah pusat semakin menegang. Puncak dari ketegangan itu berujung pada terbentuknya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI. Pada waktu rapat raksasa di Padang, Letkol Achmad Husein selaku pimpinan mengeluarkan ultimatum yang isinya agar Kabinet Djuanda menyerahkan mandatnya kepada presiden dalam waktu 5 X 24 jam, dan presiden diminta kembali kepada kedudukan konstitusionalnya. Ia juga menuntut agar pemerintah pusat membersihkan kabinetnya dari unsur-unsur PKI. Ultimatum ini ditolak oleh pemerintah pusat, bahkan Achmad Husein dan kawan-kawannya dipecat dari Angkatan Darat.
Pada tanggal 15 Februari 1958, Letkol Achmad Husein mengumumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia di Padang. PRRI lalu membentuk kabinet dan Syafruddin Prawiranegara sebagai perdana menteri. Gerakan ini mendapat dukungan dari para tokoh elit politik pusat dari Partai Masyumi dan PSI. PRRI lalu membentuk kabinet yang terdiri dari:
Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan,
Mr. Assaat Dt. Mudo sebagai Menteri Dalam Negeri, Dahlan Djambek sempat memegangnya sebelum Mr. Assaat sampai di Padang,
Kol. Maludin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri,
Burhanudin Harahap sebagai Menteri Pertahanan dan menteri kehakiman,
Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran,
Muhammad Sjafei sebagai Menteri PPK dan Kesehatan,
J.F. Warouw sebagai Menteri Pembangunan,
Saladin Sarumpaet sebagai Menteri Pertanian dan Perburuhan,
Muchtar Lintang sebagai Menteri Agama,
Saleh Lahade sebagai Menteri Penerangan,
Ayah Gani Usman sebagai Menteri Sosial,
Kolonel Dahlan Djambek sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi setelah Mr. Assaat sampai di Padang.
Kolonel Maludin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri PRRI, pernah dibujuk oleh agen rahasia Amerika Serikat CIA (Central Intelligence Agency) agar PRRI meledakkan mau instalasi pertambangan minyak Caltex di Riau. Namun saran tersebut ditolak oleh Maludin, karena jika diledakkan akan ada alasan bagi Amerika Serikat untuk mendaratkan marinirnya ke Indonesia, karena usaha mereka di diganggu. Ia juga mengatakan bahwa ia tidak menghendaki Indonesia mengalami seperti yang terjadi antara Korea Utara dan Korea Selatan atau 'balkanisasi' negara dan bangsanya. Mengenai hal ini diungkap jelas dalam buku Payung Bangun: " Kolonel Maludin Simbolon Liku-Liku Perjuangan dalam Pembangunan Bangsa."(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, hal. 256-257).
3. Berdirinya PERMESTA
Di Makassar, Letkol H.N. Ventje Sumual bersama rekan seperjuangannya pada 2 Maret 1957 memproklamirkan berdirinya Piagam Perjuangan Semesta. Piagam tersebut ditandatangani antara lain oleh Letkol H.N. Ventje Sumual, Letkol Sjamsoedin Koernia (ayah Sjafri Sjamsoedin mantan Panglima Kodam Jaya), Mayjend Andi Matalatta (ayah penyanyi senior Andi Meriem Matalatta), Kolonel Daniel Julius Somba, Mayor Dolf Roentoerambi, Mayor Eddy Gagola, dan Kapten Wim Najoan. Gerakan ini meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia Timur serta mendapat dukungan dari tokoh-tokoh Indonesia Timur. Ketika itu keadaan Indonesia sangat rawan dan hampir seluruh pemerintahan di daerah diambil alih oleh militer. Selain itu mereka juga membekukan segala aktivitas Partai Komunis Indonesia, serta menangkap kader-kader PKI.
Keadaan semakin genting tatkala diadakan rapat di gedung Universitas Permesta di Sario Manado yang menghadirkan para tokoh militer, politik, dan kaum cendikiawan. Dalam rapat tersebut dibicarakan tentang pemutusan hubungan dengan pemerintah pusat. Kolonel D. J. Somba, Panglima Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah memberikan gambaran tentang perkembangan di Sumatera dan keputusan agar dibentuknya PRRI. Selanjutnya ia memberikan sebuah pernyataan, "Permesta di Sulutteng menyatakan solidaritas dan sepenuhnya mendukung pernyataan PRRI. Oleh sebab itu, mulai saat ini juga Permesta memutuskan hubungan dengan Pemerintah Republik Indonesia, Kabinet Djuanda."
Seketika para peserta rapat berdiri dan menyambutnya dengan pekik, "Hidup PRRI! Hidup Permesta! Hidup Somba!" Setelah itu rapat diskors 30 menit untuk menyusun teks pemutusan hubungan dengan pusat oleh tiga orang yaitu Kolonel D. J. Somba, Mayor Eddy Gagola, dan Kapten Wim Najoan. Setelah selesai menyusun teks pemutusan hubungan degan Pemerintah Pusat, rapat dilanjutkan dan teks tersebut dibacakan kepada para hadirin. Respon peserta rapat sangat antusias, dengan ramai mereka mendengungkan pekik, "Hidup Permesta! Hidup PRRI! Hidup Somba-Sumual!" Setelah itu Mayor Dolf Roentoerambi bertanya kepada hadirin, "Bagaimana, saudara-saudara setuju?" Serentak menjawab, "Setuju! Setuju!"
Kembali suasana yang sangat ramai dari para hadirin. Setelah rapat tersebut, Kolonel D. J. Somba selaku pimpinan Kodam Sulawesi Utara dan Tengah mengadakan rapat di Lapangan Sario, Manado. Ia membacakan teks pemutusan hubungan dangan Pemerintah Pusat yang isinya: "Rakyat Sulawesi Utara dan Tengah termasuk militer, solider pada keputusan PRRI dan memutuskan hubungan dengan Pemerintah RI."
Hari itu juga pemerintah pusat kemudian mengumumkan pemecatan dengan tidak hormat atas Letkol H.N. Ventje Sumual, Mayor D.J. Somba, dan kawan-kawannya, dari Angkatan Darat. Saat itu pula para pelajar, mahasiswa, pemuda, dan ex-KNIL mendaftarkan diri untuk menjadi pasukan dalam Angkatan Perang Permesta. Bagi mereka yang telah mendaftar, langsung diberi latihan di Mapanget. Pada tahun 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado. Di sini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas dengan keadaan pembangunan mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga mengetahui bahwa mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self determination) yang sesuai dengan sejumlah persetujuan dekolonisasi. Di antaranya adalah Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville dan Konferensi Meja Bundar yang berisi mengenai prosedur-prosedur dekolonisasi atas bekas wilayah Hindia Timur.
Pergolakan ini pun terus berlanjut dan semakin menuju terjadinya Perang Saudara. Ketika itu Republik Indonesia, yang baru berdiri kurang lebih 10 tahun setelah pengakuan kedaulatan, benar-benar berada di ujung tanduk. Keutuhan Negara Republik Indonesia sangat membahayakan akibat maraknya terjadi pemberontakan karena ketidakpuasan dan ketidakcocokan terhadap kepemimpinan Soekarno, mulai dari DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), pemberontakan Andi Azis di Makassar, dan Republik Maluku Selatan.
Selain itu, di dalam tubuh pemerintahan RI banyak terjadi pergolakan politik terutama dengan silih bergantinya kabinet seiring dengan penerapan Demokrasi Terpimpin. Di sisi lain, hubungan Dwi Tunggal Soekarno dan Hatta mengalami keretakan. Hal ini terjadi akibat kedekatan Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia yang selalu memusuhi Hatta. Akhirnya dengan berat hati, Hatta mengundurkan diri dari jabatan sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia di kala suasana negara yang kritis.
Akibat pemutusan hubungan Permesta dengan pusat, Kota Manado menjadi sangat mencekam. Kegelisahan meghantui setiap penjuru Manado. Warga seakan tak bisa tenang untuk sesaat pun karena khawatir akan adanya serangan dari Pemerintah Pusat yang diperkirakan tak lama lagi akan datang menyerbu daerah yang dikuasai Permesta.
Banyak masyarakat Manado yang mengungsi ke luar kota untuk menghindari Perang Saudara yang tampaknya akan menjadi sebuah kenyataan, Di lain pihak juga dukungan terhadap Permesta semakin besar. Dengan masuknya Kolonel Alexander Evert Kawilarang mantan Panglima Kodam III/Siliwangi kelima dan Panglima Tentara dan Teritorium I Bukit Barisan pertama, setelah berhenti sebagai Atase Militer RI pada Kedubes RI di Washington DC, Amerika Serikat, ia berhenti dari dinas militer dengan Pangkat Brigadir Jenderal. Selanjutnya pulang ke Sulawesi Utara untuk bergabung dengan Permesta. Disana ia mendapat jabatan sebagai Panglima Besar/Tertinggi Angkatan Perang Revolusi PRRI dan Kepala Staf Angkatan Perang APREV (Angkatan Perang Revolusi) PRRI, dengan pangkat Mayor Jenderal dan selanjutnya ia menjadi Panglima Besar Permesta.
4. Operasi Militer
Pemerintah Pusat menganggap gerakan PRRI harus segera ditumpas dengan kekuatan senjata. Lantas pemerintah pusat melakukan operasi gabungan yang terdiri dari Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Operasi pun dilancarkan sebagai berikut:
1. Operasi Tegas dengan sasaran Riau, operasi ini bertujuan untuk merebut daerah perminyakan di Riau. Meski PRRI memiliki basis terkuat di Sumatera Barat dan Sumatera Utara, penunjukan Riau sebagai sasaran dinilai tepat. Pasalnya, posisi Riau cukup strategis karena berbatasan dengan jalur lalu lintas laut internasional. Menguasai Riau akan menutup kemungkinan pemberontak melarikan diri melalui selat Malaka. Selain itu Caltex (perusahaan minyak raksasa multi nasional asal Amerika Serikat), telah lama beroperasi di Riau.
Duta Besar AS Howard Jones didampingi pejabat tinggi Caltex menemui Perdana Menteri Juanda di Jakarta. Kedua tamu ini khawatir keselamatan warga dan investasi Amerika di Riau. Mereka mengisyaratkan ancaman. Armada Laut AS yang berpangkalan di Pasifik dan kesatuan militer Inggris di Singapura bersiaga di perairan Riau. Pasukan marinir AS akan diturunkan bila pemerintah Indonesia tak mampu mengamankan wilayahnya.
Operasi ini tergolong skala besar karena melibatkan kekuatan inti dari semua angkatan mulai dari AD, AL, AU, termasuk Kepolisian. Sebagian besar armada laut dan pesawat terbang dikerahkan. Abdul Haris Nasution yang berpangkat Letnan Jenderal berkedudukan sebagai ketua Gabungan Kepala Staf (GKS). Adapun yang menjadi komandan operasi ialah Letkol AD Kaharudin Nasution, Wakil I Letkol AU Wiriadinata, dan Wakil II Mayor AL Indra Subagyo. Selain pasukan reguler, pasukan elite masing-masing matra dikerahkan. Satu kompi RPKAD (kini Kopassus), dua kompi Pasukan Gerak Tjepat (PGT, kini Paskhas AU), dan Korps Komando (KKO) AL. Dalam operasi di Riau, satuan-satuan Brimob diturutsertakan di bawah pimpinan Komisaris Polisi Sutjipto Danukusumo. Penerjunan dan pendaratan pasukan diberangkatkan dari Tanjung Pinang, ibukota Riau Kepulauan. Pasukan RPKAD dari komando Kangguru pimpinan Letnan II Benny Moerdani, menyita sekira 80 truk yang ditinggalkan di landasan lapangan terbang. Setelah digeledah, truk-truk tadi membuat kebutuhan logistik berupa persenjataan dan uang.
2. Operasi 17 Agustus pimpinan Kolonel Ahmad Yani dengan sasaran Padang. Pasukan khusus dari Banteng Raiders dan KKO menjadi pasukan andalan yang dipersiapkan untuk menggempur pusat konsentrasi musuh dari darat dan laut. KRI Pati Unus pun dipersiapkan untuk membombardir Kota Padang sekaligus untuk mendaratkan pasukan dari laut. Meskipun Komando Pasukan Katak (Kopaska) belum resmi berdiri di tahun 1958, namun beberapa perwira Angkatan Laut dan RPKAD sudah disekolahkandi Amerika Serikat. Satuan pasukan tempur bawah air ini pun memiliki peran tingg dalam menumpas PRRI di Padang.
Malam 17 April 1958, pasukan inilah yang melumpuhkan penjagaan pantai pasukan PRRI di Kota Padang. Sehingga satu batalyon yang dipimpin oleh Kolonel Achmad Yani melenggang masuk ke kota ini. Ia berhasil menduduki Padang dalam waktu 6 jam. Setelah itu baru masuk ke Bukittinggi dan Payakumbuh, hingga akhirnya menguasai wilayah Sumatera bagian tengah sampai ke Riau dan Sumatera Utara.
3. Operasi Bukit Barisan di bawah pimpinan Letkol Jamin Gintings dilancarkan pada tanggal 7 April 1958. Jamin Gintings mendatangkan bantuan dari luar teritorialnya. Ada Yon Infantri Siliwangi, satu kompi Pasukan RPKAD dan satu kompi PGT/AURI. Selama dua minggu, pasukan Jamin Gintings beserta Batalyon 137 bergerak dari Sidikalang, via Dolok Sanggul, Siborong-borong, Tarutung, hingga Sibolga. Sementara itu pasukan Batalyon 133 Siliwangi pimpinan Mayor Raja Sahnan bergerak dari Rantau Parapat, via Kota Pinang, Gunung Tua, Panyabungan hingga ke Bukit Tinggi di Sumatera Barat. Hingga 27 April 1958 akhirnya Boyke dan pasukannya menyerah kepada pasukan Batalyon 137. Semua wilayah yang sempat diduduki Boyke seperti Lapangan Udara Pinang Sori kembali dikuasai Kodam TT I/BB. Jakarta mengirimkan pasukan payung yang diterjunkan di Medan untuk mendukung pasukan Jamin Gintings, sehingga pasukan yang setia pada Maludin mundur menghindari pertempuran ke utara Medan, lalu melanjutkan Balige, Tapanuli Tengah. Selanjutnya, Maludin dan pasukan yang loyal kepadanya kemudian melanjutkan perlawanan secara bergerilya, dan berkoordinasi dengan kekuatan PRRI lainnya di bawah Letkol Achmad Husein di Bukit Tinggi. Selain di Medan, pemerintah pusat juga menerjunkan pasukan payung dan melakukan pendaratan pasukan dari laut di Palembang dan Padang, untuk secara efektif menguasai kota-kota pusat perlawanan PRRI di Sumatera tersebut.
Pada tanggal 27 Juli 1961, Maludin Simbolon bersama staff dan pasukannya "Divisi Pusuk Buhit" menyerahkan diri secara resmi kepada Panglima Kodam II, Letkol. Manaf Lubis di Balige, Tapanuli. Dengan demikian rencana Maludin Simbolon dan kawan-kawan untuk merebut Sumatera Timur dan Tapanuli berhasil digagalkan.
4. Operasi Sadar di bawah pimpinan Letkol Dr. Ibnu Sutowo yang merupakan Panglima TT-II Sriwijaya dengan sasaran Sumatera Selatan.
Di masa penumpasan ini, kesempatan PKI untuk membalas dendam terhadap PRRI yang selama ini memusuhi mereka terbuka lebar, apalagi setelah Kolonel Pranoto diangkat menggantikan Kolonel Ahmad Yani sebagai Panglima Kodam III dan Komandan Operasi 17 Agustus.
Syafrudin Bahar, dalam Kaharoeddin Gubernur di Tengah Pergolakan, 1998, memaparkan bagaimana Pranoto mengerahkan sekitar 6.341 OKR (Organisasi Keamanan Rakyat) dan OPR (Organisasi Pemuda Rakyat) untuk menyerang PRRI. Jumlah ini hampir setara dengan sembilan batalyon tentara. Kenyataannya OKR menjelma menjadi Pemuda Rakyat yang dijadikan ujung tombak PKI melakukan berbagai teror, intimidasi, dan tindakan brutal. Banyak korban berjatuhan di Sumatera Barat yang semuanya adalah pendukung PRRI. Kebiadaban kian menjadi-jadi dengan ikutnya Mayor Latif sebagai Perwira Seksi I/Intelijen, Letnan Untung (kelak memimpin kudeta G30S/PKI) sebagai Komandan Kompi, dan anggota Biro Khusus Komite CC-PKI, Djajusman. Jadilah penumpasan PRRI sebagai ajang balas dendam menghabisi mereka yang dulu gencar menuntut pembubaran PKI. Pendukung PRRI yang tidak lari ke hutan sering ditemukan dalam karung tanpa kepala atau mata. Di Matur Mudik, tentara pelajar yang dijemput malam oleh OPR banyak yang tak pernah kembali lagi.
Di Mahek Suliki, anggota PRRI yang bersiap kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi ditembaki hingga tewas. Di desa Lariang, Bonjol Pasaman, Kolonel Dahlan Djambek yang bersiap turun gunung memenuhi panggilan pemerintahan Soekarno pada 13 September 1961 diberondong sampai tewas. Pada 29 Mei 1961 Achmad Husein menyerahkan diri dan berakhirlah pemberontakan PRRI. Presiden Soekarno mengeluarkan Keppres Nomor 449/1961 tentang pemberian amnesti umum kepada semua orang yang terlibat dalam PRRI/Permesta untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi sebelum 5 Oktober 1961. Seluruh tokoh yang terlibat dengan PRRI menyerahkan diri. Namun, amat disayangkan, selepas kembali ke pangkuan NKRI, mereka ditangkap dan dipenjarakan. Muhammad Natsir mantan Perdana Menteri Indonesia kelima dan Menteri Penerangan kedua sekaligus salah seorang ulama besar Indonesia yang ikut mendamaikan perseteruan antara PRRI dan pemerintah juga dituduh pro terhadap PRRI, ia ikut dipenjara dari tahun 1962-1966 bersama dengan Syafruddin Prawiranegara dan Burhanudin Harahap. Perlu diketahui pula bahwa saat itu dunia dalam suasana Perang Dingin. Seperti halnya saat ini, pihak Amerika Serikat sering memberi bantuan pesenjataan terhadap negara yang sedang kacau. Namun pihak pemerintah tetap memandang bahwa Muhammad Natsir dan tokoh lainnya adalah pemberontak dan antek Amerika Serikat. Muhammad Natsir dan Syafruddin Prawiranegara melakukan gerakan ini bukan atas dasar kepentingan Amerika Serikat dalam melawan komunisme. Tapi mereka yakin berdiri di atas kebenaran dan menegakkan keadilan. Keyakinan tersebut memperlihatkan rasa tanggung jawab atas amanah yang diberikan Tuhan ke pundak mereka. Audrey Kahin mengatakan, “Natsir and Sjafruddin had never lost the belief that their struggle would ultimately be successful. Both were intensely devout and retained a strong faith in the justice of their cause."
Untuk menumpas gerakan Permesta di Sulawesi, pemerintah pusat melalui KSAD Mayor Jenderal A.H. Nasution melakukan persiapan guna melakukan operasi militer terhadap kedudukan Permesta di Sulawesi. operasi ini di sebut Operasi Militer IV dengan pimpinan Letkol Bardosono dengan rincian sasaran Sulawesi Utara bagian Tengah pada bulan Maret 1958. Palu dan Donggala telah direbut oleh APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) dan Pasukan Mobile Brigade, di bawah pimpinan Kapten Frans Karangan. Dikabarkan bahwa akhir Maret 1958, Permesta mendapatkan bantuan gerombolan Jan Timbuleng (Pasukan Pembela Keadilan/PPK) juga turut bergabung gerombolan pemberontak lainnya, kurang lebih 300 orang dari satu kelompok (Sambar Njawa) yang dipimpin Daan Karamoy serta bekas istri Jan Timbuleng, Len Karamoy sebagai komandan pasukan, menawarkan diri untuk melatih sebuah laskar wanita untuk Permesta (PWP).
Pada 13 April 1958 pesawat-pesawat milik AUREV menyerang lapangan udara Mandai, Makassar, serta tempat tempat lainya seperti Ternate, Balikpapan dan Donggala dan serangan yang paling fatal adalah serangan terhadap Kapal Hang Tuah yang sedang bersandar di pelabuhan Balikpapan enyebabkan Kapal tersebut tenggelam. Pada tanggal 18 mei 1958 dilakukanlah Operasi Mena II di bawah Komando Letkol. KKO Huhnholz untuk merebut lapangan udara Morotai di sebelah utara Halmahera.
Soedomo selaku Kepala Staf memerintahkan untuk berlayar ke Pulau Tiaga di lepas Pantai Ambon dengan di dukung Pesawat P-51 Mustang dan B-26 serta Pasukan Gerak Cepat, Pasukan Angkatan Darat dan Gabungan Marinir. Lalu Datanglah serangan dari Allen Pope menggunakan Pesawat B-26 Invader. Sebelumya ia telah menyerang Ambon setelah terbang dari Mapanget. Seketika pun Allen Pope menukikan pesawatnya untuk menyerang kedudukan Pasukan APRI. Melihat tanda bahaya, para awak yang berada di dalam kapal dengan serentak melakukan tembakan balasan. Hampir seluruh pasukan yang ada di dalam kapal melakukanya. Mulai dengan penangkis udara, senapan serbu, senapan otomatis, senapan infanteri bahkan pistol.
Di sisi lain bantuan untuk pemerintah pusat pun datang dari penerbang bernama Ignatius Dewanto dengan menggunakan Pesawat kopkit P-51. Dewanto langsung memacu pesawatnya dan lepas landas untuk membantu iring-iringan ALRI yang diserang. Tetapi dia tidak menemukan B-26 AUREV. Ferry Tank (Tangki bahan bakar cadangan) dilepas di laut. Lalu terlihatlah konvoi kawan-kawanya yang diserang B-26 milik AUREV buruannya. Dengan cepat ia mengejar Dewanto lalu mengambil posisi di belakang lawan. Roket ditembakkan namun, berkali-kali lolos, disusul dengan tembakan 6 meriam 12,7 karena jaraknya lebih dekat, memungkinkan ia dapat mengenainya lebih besar.
Dewanto yakin tembakannya mengenai sasaran. Lalu semua awak yang berada di dalam kapal melihat pesawat milik AUREV itu terbakar lalu terlihatlah dua buah parasut yang jatuh, ada yang jatuh di sebuah pohon, serta luka terhempas karang. Kedua orang itu adalah Allen Pope dan Harry Rantung, Pope adalah seorang penerbang bayaran asal Amerika Serikat yang sedang melakukan tugas untuk membantu Permesta. Akibat melemahnya kekuatan Permesta di udara, menyebabkan APRI dengan mudah menguasai setiap Wilayah yang semula diduduki Permesta. Kemudian Pasukan RPKAD bersiap untuk menyerang Mapanget namun mengalami kegagalan serta menewaskan Miskan, seorang Prajurit dan Sersan Mayor Tugiman.
Pada tahun 1960 Pihak Permesta Menyatakan kesediaanya untuk berunding dengan pemerintah pusat. Perundingan pun dilangsungkan Permesta diwakili oleh Panglima Besar Angkatan Perang Permesta, Mayor Jenderal Alex Evert Kawilarang serta pemerintah pusat diwakili oleh Kepala Staf Angkatan Darat Nicolas Bondan. Dari perundingan tersebut tercapai sebuah kesepakatan yaitu bahwa pasukan Permesta akan membantu pihak TNI untuk bersama-sama menghadapi pihak Komunis di Jawa. Pada tahun 1961 Pemerintah Pusat melalui Keppres 322/1961 memberi amnesti dan abolisi bagi siapa saja yang terlibat PRRI dan Permesta tetapi bukan untuk itu saja bagi anggota DI/TII baik di Jawa Barat, Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan juga berhak menerimanya.
Sesudah keluar keputusan itu, beramai-ramai banyak anggota Permesta yang keluar dari hutan-hutan untuk mendapatkan amnesti dan abolisi. Seperti Kolonel D.J. Somba, Mayor Jenderal A.E. Kawilarang, Kolonel Dolf Runturambi, Kolonel Petit Muharto Kartodirdjo, dan Kolonel Ventje Sumual beserta pasukannya menjadi kelompok paling akhir yang keluar dari hutan-hutan untuk mendapatkan amnesti dan abolisi. Pada tahun itu pula Permesta dinyatakan bubar. Setelah PRRI/PERMESTA jatuh, kedudukan PKI semakin menguat. Sebagian tokoh militer yang ikut menumpas perjuangan PRRI/PERMESTA pada tanggal 30 September 1965 akhirnya terbunuh secara mengenaskan di tangan PKI.
Disarikan dari berbagai sumber.